Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KONSEP DASAR

HIV AIDS & VAKSINASI UNTUK ODHA

KELOMPOK III

RIDHA TRI ROHYANI 175070209111003


PRASETIYO TENTREM SUBEKTI 175070209111012
ANJAR SATRIA 175070209111018
RACHMAT FAJAR NOOR KUSUMA 175070209111031
YUNITA SARI 175070209111042
RONI HENGKI 175070209111054
I KADE ADI GUNAWAN 175070209111064
AGUS SAPUTRA 175070209111071
AAN TRISNAYANTI 175070209111078

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN PROGRAM B


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KONSEP DASAR HIV

A. Defenisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik


khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau
merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa
faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae,
genus Lentivirus . Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.2 Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang
menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome).
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV yaitu retrovirus yang terdiri dari 2 rantai
RNA, dimana virus menjadi DNA intermediet dengan pertologan enzim
reversetranskriptase dan DNA sel yang diserang dalam bentuk provirius. Sebagian besar
orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-
tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun.
AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium
klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan
sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang
apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati.

Gb 1. Struktur anatomi HIV (TeenAIDS, 2008).


Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala
klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.

b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun,
demam, batuk dan pernafasan pendek.

c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.

1. Fase akut

Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan,
mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati,
myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-
gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit,
faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik
narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang
akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.

2. Fase asimptomatik

Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung
berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang
tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang rendah.

3. Fase simptomatik

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.

B. Etiologi
Infeksi human immunodefeciency virus (HIV) yang terdiri dari 2 yaitu :
a. HIV-1  progresitas menjadi AIDS lebih cepat
b. HIV-2  banyak terdapat pada orang di Afrika Barat

C. Patofisiologi
HIV yang dulu disebut sebagai HTLIV-III (Human T cell lymphotropik virus Tipe III)
atau LAV (Lymphadenopathy virus), adalah virus sitopatik dari famili retrovirus. Virus ini
ditransmisikan melalui kontak seksual, darah atau produk darah yang terinfeksi, dan
cairan tubuh tertentu, serta melalui perinatal. Virus tidak ditransmisikan melalui kontak
biasa. Virus memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang memiliki molekul CD4.
Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T4. Sel-sel target
lainnya adalah monosit, mekrofag, sel dendrite, sel langerhans san sel mikroglia. Dasar
utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang mengandung
marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung
maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya
sistem imunitas seluler terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk
antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan
diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian
dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid)
agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian
menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan.
Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang diaktifkan, repikasi serta pembentukan tunas
HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru terbentuk ini, kemudian
dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel CD4+ lainnya. Infeksi monosit dan
makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan kematian
sel yang bermakna. Tapi sel-sel ini menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut
dapat tersembunyai dari system imun dan terangkut ke seluruh tubuh lewat system ini
untuk menginfeksi berbagai jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan ini dapat
mengandung molekul CD4+ atau memiliki kemampuan untuk memproduksinya. Replikasi
virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV : tempat primernya adalah
jaringan limfoid. Ketika system imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi dan virus
tersebut menyebar ke dalam plasma darah yang menyebabkan infeksi berikutnya pada
sel CD4+ yang lainnya. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status
kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4
sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan
gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
“window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala
klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut. 3-6 minggu setelah terinfeksi
gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada
sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar
2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.

Gb.2 Patofisiologi HIV hingga menimbulkan AIDS

D. CARA PENULARAN

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007).

Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak
dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan
dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)

1. Seksual, Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua
individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari
individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur
tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas
kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan
sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
7. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan
dan sesudah lahir melalui ASI.
8. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.

Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci, 2000).

Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV (Fauci,2000).
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara
lain:

1. Kontak fisik

 Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan
dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
 Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau melalui hal-hal
sehari-hari seperti berbagi makanan, tidak akan menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita

3. Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja
penderita HIV/AIDS tidak akan menular.

 Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.


 Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit
lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d. Mencret/diare dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit

Tanda dan gejala yang lebih sepesifik atau secara sistem dapat berwujud sebagai berikut :
1. Pernapasan
- Sesak napas, dispnea, batuk, nyeri dada, dan demam
- Pneumonia pneumocytis carinii (PPC) merupakan infeksi yang paling umum. .
Pneumoni pneumocystis (PCP). Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS
merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, rasa sakit saat
bernafas dalam dan demam.
- Penyakit kompleks Mycobacterium (KMA) timbul sebagai penyakit utama infeksi
pernapasan
- Mycobacterium tuberculosis (TBC ) yang berkaitan dengan HIV terjadi dini dalam
perjalanan penyakit, penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke organ
lain di luar paru , dalam tahap ini jika terdiagnosa lebih dini akan memberikan
respon yang cukup baik terhadap terapi anti tuberculosis.
- Cytomegalovirus (CMV). Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada
paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab
kematian pada AIDS.
- Mycobacterium avilum. Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir
dan sulit disembuhkan.
2. Gastrointestinal
Anoreksia / Tidak ada nafsu makan, mual, muntah, kandidiasis oral dan
esophagus, serta diare kronis. Dari berbagai masalah tersebut dapat menyebabkan
penurunan berat badan >10% per bulan
3. Kanker
- Insidens kanker tinggi, termasuk sarcoma kopasi (SK) dan limfoma sel-B
- Karsinoma kulit, lambung, pancreas, rectum dan kandung kemih.
4. Sidrom pelisutan (kakeksia)
Penurunan berat badan, involunter terjadi melebihi 10% dari berat badan
dasar, ditunjukkan dengan diare kronis, kelemahan kronis dan terdapatnya demam
intermitten atau konstan tanpa adanya penyakit penyerta.
5. Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul pada
fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia,
mielopati, neuropati perifer.
- Ensepalopati (kompleks demensia AIDS <KDA>) terjadi pada dua pertiga pasien
penderita AIDS.
- Cryptococcuc neoformans, infeksi jamur.
- Leukoenselofalopati multifokal progressif (LMP) suatu gangguan demielinisasi
system saraf pusat.
6. Integumen
Sarcoma kopasi, herpes simpleks, herpes zoster dan berbagai bentuk
dermatitis.
7. Infeksi HIV pada wanita
- Kekambuhan kandidiasi persisten menjadi tanda awal dari infeksi HIV
- Penyakit hubungan seksual (PHS) ulserativa akan lebih parah
- Human papilomavirus dan kanker serviks menunjukkan peningkatan keparahan.
- Insidens menstruasi abnormal tinggi (Amenore atau terjadi pendarahan diantara
masa menstruasi)
Tumor, oportunistik dan neurologis menjadi 3 Manifestasi klinik utama yang muncul dari
penderita AIDS secara umum.

Gejala dan stadium klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency
Syndrome (AIDS) :
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO
atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala
mayor dan satu gejala minor.

Tabel 1. Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV/AIDS

Gejala Mayor Gejala Minor


Berat badan menurun >10% dalam 1 Batuk menetap >1 bulan
bulan Dermatitis generalisata
Diare kronik berlangsung >1 bulan Herpes Zooster multi-segmental dan
Demam berkepanjangan >1 bulan berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
wanita
Retinitis Cytomegalovirus

Tabel 2. Stadium Klinis HIV/AIDS Menurut WHO

Stadium Gejala Klinis


I Tidak ada penurunan berat badan
Tanpa gejala atau hanya limfadenopati generalisata peristen
II Penurunan berat badan < 10%
ISPA berulang : sinusitis, otitis media, tonsilitis dan faringitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir ( kelititis angularis )
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal ( seboroik atau prurigo )
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
III Penurunan berat badan > 10 %
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya > 1 bulan
Kandidiasis oral atau oral hairy leukoplakia
TB paru dalam 1 tahun terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial yang berat ; Pneumonia, piomiosis
Anemia: Hb < 8 gr/dl, trombositopenia kronik < 50 x 103
IV Sindrom Wasting ( HIV )
Pneumoni pneumocystis
Peumonia bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes simplek ulseratif > 1 bulan
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Kanker serviks yang invasif
Rinitis CMV
TB Extra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis kriptokokus
Infeksi mikobakteria non TB meluas
Leukoensefalopati multifokal progresif
Kriptospridiosis kronis, mikosis meluas
E. Komplikasi
Beberapa merupakan tanda dan gejala dari stadium klinis HIV yang sedang terjadi.
1. Infeksi oppurtunistik : Thrush, pneumonia pneumokistik, toksoplasmosis, TB, infeksi
saluran pencernaan, leukoensefalopati multifokal, infeksi oleh sitomegalivirus,
sarcoma kopasi, kanker.
2. Kerusakan pernapasan dan kegagalan respirasi
3. Sindrom pelisutan dan gangguan keseimbangan cairan serta elektrolit
4. Reaksi yang merugikan terhadap obat-obatan

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium HIV
 Infeksi HIV mempunyai masa asimtomatik yang panjang, oleh karena itu
pemeriksaan lab penting untuk menentukan adanya infeksi HIV.
 Pemeriksaan lab yang paling banyak digunakan adalah tes antibody HIV, karena
mempunyai sesibilitas tinggi (99,9%)

 Hasil tes yang didapat :


- Positif (+)
- Negatif (-)
- Positif palsu (false +)
- Negatif palsu (false -)

 Hasil yang positif palsu dapat disebabkan :


- Auto antibody
- Penerimaan vaksin HIV
- Kesalahan teknik pemeriksaan

 Hasil negative palsu dapat disebabkan :


- Masih dalam periode jendela (window periode)
- Serokonvensi, pada keadaan AIDS lenjut
- Agammaglonulinemia
- Kesalahan teknik pemeriksaan
 Untuk tujuan diagnostic hasil tes dinyatakan bila :
- Melalui pemeriksaan antibody HIV (tes ELISA) 3 kali dengan reagen berbeda
memberikan hasil positif (+)
- Melalui pemeriksaan antibody HIV (tes ELISA) 1 kali dan konfirmasi weastern blot
memberikan hasil positif (+)
- Melalui pemeriksaan tes cepat (Abbot diagnostik) dan western blot memberikan
hasil positif

 Jenis-jenis pemeriksaan HIV :


- Tes antibody HIV / anti HIV
- Tes untuk deteksi virus (viral land)
- Tes antigen HIV
- Tes CD4 digunakan untuk mengetahui berapa jumlah limsofit T helper yang tersisa,
bukan untuk tujuan diagnostic HIV positif atau negatif.

G. Penatalaksanaan Medis / Pengobatan


 Pengobatan suportif :
- Meningkatkan keadaan umum penderita
- Meningkatkan gizi yang sesuai
- Pemberian obat sistemik bila diperlukan
- Roboransia
- Dukungan psikososial
 Pengobatan infeksi oppurtunistik :
- TBC (th/ spesifik TBC)
- Jamur (th/ klindamisin, asam folat, pirinetamia, sulfadiasim)
- Herpes (th/ axyclovir)
- Citomegalovirus (th/ glansiclovirm farkamet)
- Kanker terkait AIDS, disesuaikan standar th/ kanker
 Pengobatan dengan anti Retroviral (ARV)
- CD4 lebih kecil dari 350/mm3 ( WHO < 200 / mm3 ) atau lebih
- Limfosit total lebih kecil dari 1200 / mm3
- Viral load lebih besar dari 55000 kopi / ml ( RT.PCR )

 Pengobatan dengan terapi alternatif


Pengobatan tradisional/alternative adalah cara penyembuhan di luar ilmu
kedokteran moder dan ilmu keperawatan yang diperoleh dengan turun temurun
dan melalui pendidikan, baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Menurut sumber lain tatalaksana kondisi yang terkait dengan HIV adalah sebagai
berikut :

Pengobatan sebagian besar infeksi (seperti pneumonia, diare, meningitis)


pada anak dengan infeksi HIV, sama dengan pada anak lain. Pada kasus dengan
kegagalan pengobatan, pertimbangkan untuk menggunakan antibiotik lini kedua.
Pengobatan pada infeksi berulang juga sama, tanpa memandang frekuensi
kambuhnya.
Beberapa kondisi yang terkait HIV membutuhkan tatalaksana spesifik, seperti
berikut ini.
1 Tuberkulosis
2 Pneumocystis jiroveci (dahulu carinii) pneumonia (PCP)
3 Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
4 Infeksi jamur
5 Sarkoma Kaposi

1. Tuberkulosis

Pada anak tersangka atau terbukti infeksi HIV, diagnosis tuberkulosis penting
untuk dipertimbangkan.
Diagnosis tuberkulosis pada anak dengan infeksi HIV seringkali sulit. Pada infeksi
HIV dini, ketika kekebalan belum terganggu, gejala tuberkulosis mirip pada anak tanpa
infeksi HIV. Tuberkulosis paru masih merupakan bentuk paling sering dari tuberkulosis,
juga pada anak dengan infeksi HIV. Dengan makin berkembangnya infeksi HIV dan
berkurangnya kekebalan, penyebaran tuberkulosis makin sering terjadi. Dapat terjadi
meningitis tuberkulosis, tuberkulosis milier dan tuberkulosis kelenjar yang menyebar .
1. Obati tuberkulosis pada anak infeksi HIV dengan obat Anti Tuberkulosis yang
sama seperti pada anak tanpa infeksi HIV, tetapi gantikan tioasetazon dengan
antibiotik lain (lihat pedoman nasional pengobatan tuberkulosis)

Catatan: Thioacetazone dihubungkan dengan risiko tinggi terjadinya reaksi kulit


yang berat dan kadang-kadang fatal pada anak dengan infeksi HIV. Reaksi ini dapat
dimulai dengan gatal, tetapi berlanjut menjadi reaksi yang berat. Jika thioacetazone
diberikan, ingatkan orang tua tentang risiko reaksi kulit yang berat dan nasihati
untuk segera menghentikan tioasetazon, jika terjadi gatal atau reaksi kulit.

2. Pneumocystis jiroveci (dahulu carinii) pneumonia (PCP)

Buat diagnosis tersangka pneumonia pneumosistis pada anak dengan


pneumonia berat atau sangat berat dan terdapat infiltrat interstisial bilateral
pada foto toraks. Pertimbangkan kemungkinan pneumonia pneumosistis pada anak,
yang diketahui atau tersangka HIV, yang tidak bereaksi terhadap pengobatan untuk
pneumonia biasa. Pneumonia pneumosistis sering terjadi pada bayi dan sering
menimbulkan hipoksia. Napas cepat merupakan gejala yang sering ditemukan,
gangguan respiratorik tidak proporsional dengan tanda klinis, demam biasanya
ringan. Umur umumnya 4–6 bulan.

1. Segera beri Kotrimoksazol (trimetoprim (TMP) secara oral atau lebih baik secara
IV dosis tinggi: 8 mg/kgBB/dosis, sulfametoksazol (SMZ) 40 mg/ kgBB/dosis 3 kali
sehari selama 3 minggu.
2. Jika terjadi reaksi obat yang parah pada anak, ganti dengan pentamidin (4
mg/kgBB sekali sehari) melalui infus selama 3 minggu. Tatalaksana anak dengan
pneumonia klinis di daerah dengan prevalensi HIV tinggi.
3. Lanjutkan pencegahan pada saat mulai membaik dan mulai beri ART sesuai
indikasi.

3. Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)

Tersangka LIP: foto toraks menunjukkan pola interstisial retikulo-nodular


bilateral, yang harus dibedakan dengan tuberkulosis paru dan adenopati hilar bilateral
(lihat gambar). Anak seringkali tanpa gejala pada fase awal, tetapi selanjutnya terjadi
batuk persisten, dengan atau tanpa kesulitan bernapas, pembengkakan parotis
bilateral, limfadenopati persisten generalisata, hepatomegali dan tanda lain dari gagal
jantung dan jari tabuh.
Beri percobaan pengobatan antibiotik untuk Pneumonia bakterial sebelum
mulai dengan pengobatan prednisolon. Mulai pengobatan dengan steroid, hanya jika
ada temuan foto toraks yang menunjukkan lymphoid interstitial pneumonitis ditambah
salah satu gejala berikut:

1. Sianosis
2. Pulse oxymetri menunjukkan saturasi oksigen < 90%.

Beri prednison oral, 1–2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Kemudian kurangi dosis
selama 2-4 minggu bergantung respons terhadap pengobatan.

Mulai pengobatan hanya jika mampu menyelesaikan seluruh rencana terapi (yang
dapat berlangsung selama beberapa bulan bergantung hilangnya gejala hipoksia),
karena pengobatan yang tidak tuntas akan tidak efektif dan bisa berbahaya. Hati-hati
terhadap reaktivasi tuberkulosis.
Gb. 2 Lymphocytic Interstitial Pneumonia ( LIP ) dan Pneumoncystis Jiriveci Pneumonia
( PCP )

4. Infeksi jamur

4.1. Kandidiasis Oral dan Esofagus


Obati bercak putih di mulut (thrush) dengan larutan nistatin (100 000 unit/ml).
Olesi 1–2 ml di dalam mulut sebanyak 4 kali sehari selama 7 hari. Jika tidak tersedia, olesi
dengan larutan gentian violet 1% Jika hal ini masih tidak efektif, beri gel mikonazol 2%, 5
ml 2 kali sehari, jika tersedia.
Tersangka (suspect) Kandidiasis esofagus jika ditemukan: kesulitan atau nyeri saat
muntah atau menelan, tidak mau makan, saliva yang berlebihan atau menangis saat
makan. Kondisi ini bisa terjadi dengan atau tanpa ditemukannya oral thrush. Jika tidak
ditemukan thrush, beri pengobatan percobaan dengan flukonazol (3–6 mg/kgBB sekali
sehari). Singkirkan penyebab lain nyeri menelan (sitomegalovirus, herpes simpleks,
limfoma, dan, yang agak jarang, sarkoma Kaposi), jika perlu rujuk ke rumah sakit lebih
besar yang bisa melakukan tes yang dibutuhkan.

4. Beri flukonazol oral (3–6 mg/kg sekali sehari) selama 7 hari, kecuali jika anak
mempunyai penyakit hati akut. Beri amfoterisin B (0.5 mg/kgBB/dosis sekali sehari)
melalui infus selama 10–14 hari dan pada kasus yang tidak memberikan respons
terhadap pengobatan oral, tidak mampu mentoleransi pengobatan oral, atau ada
risiko meluasnya kandidiasis (misalnya pada anak dengan leukopenia).

4.2. Meningitis Kriptokokus


Diduga kriptokokus sebagai penyebab jika terdapat gejala meningitis; seringkali
subakut dengan sakit kepala kronik atau perubahan status mental. Diagnosis pasti melalui
pewarnaan tinta India pada Cairan Serebro Spinal (CSS). Obati dengan amfoterisin 0.5–1.5
mg/kgBB/hari selama 14 hari, kemudian dengan flukonazol selama 8 minggu. Mulai
pencegahan dengan flukonazol setelah pengobatan.

5. Sarkoma Kaposi
Pertimbangkan sarkoma Kaposi pada anak yang menunjukkan luka kulit yang
nodular, limfadenopati yang difus dan lesi pada palatum dan konjungtiva dengan memar
periorbital. Diagnosis biasanya secara klinis, tetapi dapat dipastikan dengan biopsi. Perlu
juga diduga pada anak dengan diare persisten, berkurangnya berat badan, obstruksi usus,
nyeri perut atau efusi pleura yang luas. Pertimbangkan merujuk untuk penanganan di
rumah sakit yang lebih besar.

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah ataupun mengurangi keparahan dari
HIV pada anak adalah sebagai berikut :
Pencegahan dengan Kotrimoksazol
Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak dengan
infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh pneumonia berat. PCP saat
ini sangat jarang di negara yang memberikan pencegahan secara rutin.
Siapa yang harus memperoleh kotrimoksazol

1. Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV) sejak umur
4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari program pencegahan transmisi
ibu ke anak = prevention of mother-to-child transmission [PMTCT]).
2. Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau keluhan apapun
yang mengarah pada HIV, tanpa memandang umur atau hitung CD4.

Berapa lama pemberian Kotrimoksazol


Kotrimoksazol harus diberikan kepada:

1. anak yang terpapar HIV – sampai infeksi HIV benar-benar dapat disingkirkan dan
ibunya tidak lagi menyusui
2. anak yang terinfeksi HIV— terbatas bila ARV tidak tersedia
3. Jika diberi ART—Kotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat indikator klinis dan
imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6 bulan atau lebih (lihat
juga di bawah). Dengan bukti yang ada, tidak jelas apakah kotrimoksazol dapat terus
memberikan perlindungan setelah perbaikan kekebalan.
Keadaan yang mengharuskan dihentikannya Kotrimoksazol:

1. Terdapat reaksi kulit yang berat seperti Sindrom Stevens Johnson, insufisiensi ginjal
atau hati atau keracunan hematologis yang berat
2. Pada anak yang terpajan HIV, hanya setelah dipastikan tidak ada infeksi HIV

 Pada anak umur < 18 bulan yang tidak mendapat ASI—yaitu dengan tes virologis
HIV DNA atau RNA yang negatif.
 Pada anak umur < 18 bulan yang terpajan HIV dan mendapat ASI. Tes virologis
negatif dapat dipercaya hanya jika dilaksanakan 6 minggu setelah anak disapih.
 Pada anak umur > 18 bulan yang terpajan HIV dan mendapat ASI – tes antibodi HIV
negatif setelah disapih selama 6 minggu.

3. Pada anak yang terinfeksi HIV

 jika anak mendapat ART, kotrimoksazol dapat dihentikan hanya jika terdapat bukti
perbaikan sistem kekebalan. Melanjutkan pemberian Kotrimoksazol memberikan
keuntungan bahkan setelah terjadi perbaikan klinis pada anak.
 Jika ART tidak tersedia, pemberian kotrimoksazol tidak boleh dihentikan.

Bagaimana dosis pemberian Kotrimoksazol?

1. Dosis yang direkomendasikan 6–8 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam sehari. Bagi
anak umur < 6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau ¼ tablet dewasa, 20 mg
Trimetoprim/100 mg sulfametoksazol); bagi anak umur 6 bulan sampai 5 tahun beri 2
tablet pediatrik (atau ½ tablet dewasa); dan bagi anak umur 6-14 tahun, 1 tablet
dewasa dan bila > 14 tahun digunakan 1 tablet dewasa forte. Gunakan dosis menurut
berat badan dan bukannya dosis menurut luas permukaan tubuh.
2. Jika anak alergi terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah memberi Dapson.

Apakah langkah tindak lanjut yang dibutuhkan?


Penilaian terhadap toleransi dan ketaatan: Pencegahan dengan Kotrimoksazol harus
merupakan bagian rutin dari perawatan terhadap anak dengan infeksi HIV dan dilakukan
penilaian pada semua kunjungan rutin ke klinik atau kunjungan tindak lanjut oleh tenaga
kesehatan dan/atau anggota lain dari tim pelayanan multidisiplin. Tindak lanjut klinis awal
pada anak, dianjurkan tiap bulan, selanjutnya tiap 3 bulan, jika Kotrimoksazol dapat
ditoleransi dengan baik

Nutrisi
1. Anak harus makan makanan yang kaya energi dan meningkatkan asupan energi mereka.
2. Orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV harus dianjurkan untuk makan berbagai
variasi makanan yang menjamin asupan mikronutrien.
IMUNISASI PADA ODHA

Masih ingat kan kalau orang dewasa yang sehat juga tetap perlu imunisasi? Nah bagi
orang yang hidup dengan HIV, imunisasi menjadi lebih penting untuk diberikan. Mereka
mengalami kondisi turunnya daya tahan tubuh, sehingga semakin rentan terkena infeksi. Virus
HIV menyerang sel darah putih (CD4) dan memproduksi virus di dalamnya. Kemudian sel darah
putih akan menjadi rusak dan mati sehingga tubuh kehilangan kemampuan melawan benda asing
yang masuk ke dalam tubuh.

Kuman yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang sehat, justru bisa
menimbulkan penyakit pada orang yang daya tahan tubuhnya menurun karena HIV. Kondisi ini
diebut infeksi oportunistik. Meski demikian, infeksi oportunistik dapat diobati, dan lebih baik lagi
karena ia dapat dicegah (profilaksis). Salah satunya adalah dengan imunisasi.

Tidak semua imunisasi boleh diberikan kepada orang yang hidup dengan HIV. Hal ini
berkaitan dengan jenis imunisasi dan metode penghasil kekebalan yang muncul oleh imunisasi
tersebut. Respon imunisasi pada orang dengan HIV positif bisa berbeda dari orang sehat, mulai
dari tidak merespon hingga respon tidak optimal. Orang HIV positif yang mengonsumsi ARV
(pengobatan untuk HIV) dapat memberi respon imunisasi yang lebih baik.

Rekomendasi imunisasi yang penting diberikan bagi semua orang dengan HIV/AIDS
adalah:

– Hepatitis B

Imunisasi ini penting untuk diberikan kecuali bila sedang ada infeksi hepatitis aktif atau bukti
bahwa klien telah memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (riwayat imunisasi). Dosis yang
diperlukan untuk imunisasi hepatitis B sama dengan orang normal yakni 3 suntikan dalam
waktu 6 bulan. Setelahnya perlu dilakukan tes darah untuk mengetahui kadar antibodi, bila
ternyata jumlahnya masih rendah maka diperlukan suntikan tambahan.

– Influenza

Orang dengan HIV perlu mendapat imunisasi flu sekali setiap tahun, dan hanya diberikan dalam
bentuk suntikan. Imunisasi dengan cara semprotan hidung (nasal spray) tidak boleh digunakan
pada orang ini, karena mengandung virus hidup.

– Pneumokokal Polisakarida

Segera setelah terdiagnosa memiliki HIV, maka orang ini perlu mendapat imunisasi
pneumokokal. Kecuali bila orang ini telah diimunisasi dalam 5 tahun sebelum diagnosis
ditegakkan. Penting juga untuk memperhatikan kadar CD4 klien, karena bila <200 sel/mm3,
imunisasi pneumokokal perlu diulang. Imunisasi pneumokokal diberikan satu kali setiap 5
tahun.

– Tetanus dan Difteri Toksoid

Pemberiannya diulang setiap 10 tahun, sama seperti rekomendasi pada orang normal. Bagi
wanita imunisasi ini sangat penting apalagi terkait kehamilan dan proses persalinan. Para
pengguna narkotika suntik juga sangat dianjurkan mendapat imunisasi ini untuk mencegah
infeksi tetanus.

– Tetanus, Difteri, dan Pertussis

Orang dengan HIV yang telah berusia 64 tahun atau yang lebih muda direkomendasikan untuk
mendapat imunisasi ini sebagai booster imunisasi tetanus dan difteri. Imunisasi dapat diberikan
setidaknya 2 tahun setelah mendapatkan imunisasi tetanus dan difteri yang pertama, terutama
bagi mereka yang kontak dengan bayi di bawah usia 12 bulan dan para petugas kesehatan.

Setelah mendapatkan imunisasi, hendaknya tidak dilakukan pengukuran viral load (CD4)
terlebih dulu hingga 4 minggu setelahnya.

Salah satu pertimbangan dalam memberikan imunisasi adalah kadar CD4 dalam darah. Bila
kadarnya terlalu rendah (<200 sel/mm3) dikhawatirkan respon tubuh terhadap imunisasi tidak
muncul. Untuk itu diperlukan konsumsi ARV agar daya tahan tubuh meningkat dan mampu
merespon imunisasi. Beberapa imunisasi di bawah hanya disarankan untuk kelompok tertentu
orang dengan HIV positif:

– Hepatitis A

Yang disarankan untuk mendapat imunisasi ini adalah para petugas kesehatan, lelaki yang
melakukan hubungan seks dengan lelaki lain, pengguna narkotika suntik, orang dengan
penyakit liver kronis (termasuk hepatitis kronis B atau C), orang dengan hemofilia, serta orang
yang bepergian ke daerah endemis.

– Kombinasi Hepatitis A dan B

Boleh diberikan ke orang yang membutuhkan imunisasi baik hepatitis A dan B.

– Hemofilus Influenza tipe B

Hemofilus influenza tipe B dapat menyebabkan meningitis. Perlu didiskusikan terlebih dulu
antara orang dengan HIV positif bersama petugas kesehatan, sebelum memberi imunisasi.
– Human Papillomavirus

Imunisasi ini diberikan sebanyak 3 kali dalam 6 bulan. Sangat disarankan bagi perempuan
berusia 9-26 tahun, tapi tidak bagi mereka yang sedang hamil.

– MMR (Measles, Mumps, Rubella)

Orang dengan HIV positif yang kadar CD4-nya <200 sel/mm3, memiliki riwayat penyakit yang
mengarah ke AIDS, atau menunjukkan gejala klinis HIV, tidak boleh mendapatkan imunisasi
ini. Bila diperlukan, imunisasi bisa diberikan terpisah untuk mencapai kadar antibodi yang
mencukupi. Pemberian sangat tergantung dengan kondisi pasien sehingga perlu konsultasi
dengan tenaga medis yang merawatnya.

– Meningokokal

Direkomendasikan bagi mereka yang berada di populasi rentan untuk infeksi meningokokal,
seperti mahasiswa yang tinggal bersama di asrama, personil militer, orang yang tidak memiliki
limpa (riwayat operasi pengangkatan limpa), dan orang yang pergi ke daerah tertentu yang
rawan meningitis. Bila masih berada dalam populasi berisiko, maka imunisasi dulang setelah 5
tahun.

– Varicella

Bagi mereka yang lahir setelah tahun 1980, imunisasi ini tidak diperlukan. Imunisasi ini termasuk
disarankan, namun bagi orang dengan HIV positif yang CD4-nya berada di level atau di bawah
200 sel/mm3, imunisasi ini tidak diberikan. Selain itu juga tidak disarankan bagi ibu hamil untuk
mendapat imunisasi ini.

Selain imunisasi yang perlu dipertimbangkan pemberiannya, ada beberapa imunisasi yang
sama sekali tidak boleh diberikan untuk orang dengan HIV positif. Sediaan imunisasi yang berasal
dari virus hidup tidak disarankan pemberiannya bagi orang HIV positif. Hal ini karena respon yang
dihasilkan tidak akan seperti respon pada orang sehat. Malah berisiko membuat orang dengan
HIV positif menderita penyakit akibat imunisasi yang diberikan. Kontak dengan orang yang baru
menerima imunisasi dari virus hidup juga perlu dihindari selama paling tidak 2-3minggu setelah
iminusasi. Contoh imunisasi yang tidak disarankan pada orang HIV positif adalah:

 Anthrax
 Smallpox (cacar)
 Zoster
Adapun Imunisasi pada anak dengan AIDS yang bersumber dari Pedoman Penerapan

Terapi HIV pada Anak, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014 adalah sebagai
berikut :

Gb. 3 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 Tahun

keterangan:
1. Vaksin Hepatitis B.
Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian injeksi
vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B dan
imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatitis B
selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi.
2. Vaksin Polio.
Pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk
polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun
sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG.
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur 2 bulan. Apabila
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan Tes tuberkulin. Anak yagn belum
terdiagnosis HIV atau sudah didiagnosis HIV tetapi sehat, maka BCG boleh diberikan.
4. Vaksin DTP.
Vaksin DTP pertamadiberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan vaksin
DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun
DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak.
Campak diberikan pada umur 9 bulan, 2 tahun dan pada SD kelas 1 (program BIAS). 6.
Vaksin Pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu
dosis ulangan 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis
terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin Rotavirus.
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali.
Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan
dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin
rotavirus pentavalen: dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2, dan ke-
3 4-10 minggu, dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal
4 minggu).
8. Vaksin Varisela.
Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, namun terbaik pada umur
sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
dengan interval minimal 4 minggu.
9. Vaksin Influenza.
Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi
dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 – <36 bulan, dosis 0,25 mL.
10. Vaksin Human papiloma virus (HPV).
Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali
dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan interval 0, 2, 6 bulan.
11. Selama anak sehat (HIV positif maupun tidak), jadwal imunisasi dikerjakan menurut
jadwal.
12. Bila anak sudah terinfeksi HIV dan mendapatkan pengobatan ARV, imunisasi dapat
ditunda hingga 6 bulan pengobatan. Bila mungkin lakukan pemeriksaan CD4, bila > 15%
maka imunisasi aman diberikan.

Hal terkait Imunisasi pada anak menurut sumber lain adalah sebagai berikut :

1. Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi HIV tetapi belum
menunjukkan gejala, harus diberi semua jenis vaksin yang diperlukan (sesuai
jadwal imunisasi nasional), termasuk BCG. Berhubung sebagian besar anak
dengan HIV positif mempunyai respons imun yang efektif pada tahun pertama
kehidupannya, imunisasi harus diberikan sedini mungkin sesuai umur yang
dianjurkan.
2. Jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah menunjukkan
gejala.
3. Berikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa memandang ada gejala
atau tidak) tambahan imunisasi Campak pada umur 6 bulan, selain yang
dianjurkan pada umur 9 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner&suddart.2005.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta;EGC


Nursalam, M.Nurs (Hons) dan Ninuk Dian kurniawati, S.Kep.Ns. 2008. Asuhan
Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba medika
Smeltzer,Suzanne C.2001.Keperawatan Medikal Bedah Ed.8.Jakarta;EGC
http://pemudaindonesiabaru.blogspot.com
http://www.chem-istry.org/artikel_kimia/berita/adakah_obat_untuk_hivaids_saat_ini/
http://www.dinkes-diy.org
http://www.lusa.web.id/penyakit-imunologi-hiv-aids/

http://blog.angsamerah.com/imunisasi-dan-hiv/

http://eprints.undip.ac,id/440774/3/3_BAB_II_pdf&ved/

http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2013/11/laporan-pendahuluan-hiv-aids.html?

http://www.ichrc.org/83-penanganan-lainnya-untuk-anak-dengan-hiv-positif

Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun
2014

Anda mungkin juga menyukai