Anda di halaman 1dari 11

REAKSI IMUNOLOGIK HUMORAL

Nama : Hastya Tri Andini


NIM : B1A017081
Rombongan : II
Kelompok :2
Asisten : Hanif Tri Hartanto

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salmonella merupakan bakteri gram negatif yang motil, aerob, dan tidak
dapat memfermentasi laktosa. Salmonella bersifat patogen pada manusia dan
hewan, dengan menyerang sistem pencernaannya. Keberadaan berbagai macam
spesies Salmonella dapat dideteksi dengan uji biokimiawi maupun analisis
antigen (Jawetz et al., 1991). Analisis antigen Salmonella yang dilihat dari
interaksinya dengan antibody serum tubuh dikenal sebagai reaksi Widal (Block,
1999). Reaksi widal ini berkaitan dengan reaksi antara antigen-antibodi atau biasa
disebut aglutinasi. Interaksi antigen-antibodi ini dibagi menjadi 3 yaitu interaksi
primer atau interaksi awal antigen dengan antibodi merupakan suatu kejadian
pengikatan molekul antigen dengan anntibodi. Interaksi sekunder merupakan alat
bantu untuk mengvisualisasikan reaksi misalnya presipitasi. Interaksi tersier
merupakan tanda-tanda biologik interaksi antigen-antibodi (Bellanti, 1993).
Antigen (Ag) adalah substansi yang apabila diperkenalkan kepada suatu
spesies asing dapat menimbulkan pembentukan antibodi (Ab) dan bereaksi secara
spesifik dengan antibodi tersebut. Umumnya antigen adalah protein, beberapa
merupakan polisakarida atau polipeptida. Suatu substansi harus dinilai “asing”
atau “non-self” oleh tubuh agar bekerja sebagai antigen karena pada umumnya
tubuh tidak membentuk Ab terhadap protein-proteinnya sendiri (Jawetz et al.,
1974).
Aglutinasi adalah teknik yang jauh lebih peka dari presipitasi, kadang-
kadang diinginkan mengubah sistem presipitasi ke sistem aglutinasi. Salah satu
cara yang dapat dilakukan yaitu dengan pengikatan kimiawi antigen terlarut
dengan partikel lembam yang menyebabkan partikel yang telah disensitisasi ini
beraglutinasi. Uji aglutinasi digunakan secara luas dalam diagnosis infeksi
bakteri. Prosedur yang biasa pada uji aglutinasi bakteri adalah melakukan titrasi
serum (antibodi) terhadap suspensi standar antigen (Block, 1999).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui penetapan titer
antibodi terhadap antigen Salmonella typhiii pada seseorang yang terserang
demam thypoid (tifus).
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah serum penderita
tifus, serum kontrol, dan antigen Salmonella typhii H.
Alat yang digunakan adalah spuit, tabung eppendorf, sentrifugator, object
glass, mikropipet, yellow tips, batang pengaduk, dan mikroskop.

B. Cara Kerja

1. 3 buah object glass disiapkan.


2. Serum darah sebanyak 20 µl diteteskan pada object glass kemudian
dicampurkan dengan satu tetes (2 ml) antigen S. typhii H kemudian dicampur
dengan menggunakan batang pengaduk dan digoyang-goyang selama 1 menit.
3. Object glass yang telah diberi campuran antigen dan serum kemudian diamati
dibawah mikroskop, apabila terjadi aglutinasi (hasil positif) maka dilanjutkan
dengan menggunakan serum darah sebanyak 10 µl.
4. Serum darah 10µl diteteskan pada object glass kemudian ditambahkan dengan
satu tetes (2 ml) antigen S. typhii H kemudian diratakan dengan menggunakan
batang pengaduk digoyang-goyang selama 1 menit.
5. Object glass diamati dibawah mikroskop, apabila terjadi aglutinasi (hasil
positif) maka dilanjutkan dengan menggunakan serum darah sebanyak 5µl.
6. Serum darah sebanyak 5 µl diteteskan pada object glass dan dicampurkan
dengan satu tetes (2 ml) S. typhii H kemudian diratakan dengan menggunakan
batang pengaduk digoyang-goyang selama 1 menit.
7. Diamati dibawah mikroskop.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 3.1 Kontrol Negatif Gambar 3.2. Kontrol Positif

Gambar 3.3 Hasil Positif Serum 5 µl Gambar 3.4 Hasil Positif Serum 10 µl

Gambar 3.5 Hasil Positif Serum 20 µl


B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum bahwa sampel yang positif tifus
menunjukkan infeksi berat akibat Salmonella typhii karena terjadi aglutinasi pada
setiap konsenterasi, yaitu pada konsenterasi 20 μl, 10 μl dan 5 μl. Hasil positif
menunjukkan terjadinya aglutinasi yang terlihat seperti bintik hitam. Aglutinasi
terjadi karena antigen S. typhiii H berikatan dengan antibodi pada tubuh yang
dihasilkan oleh sel B. Antibodi ini muncul karena sebelumnya tubuh sudah
terpapar penyakit ini sebelumnya, sehingga sel imun belajar untuk melawan
dengan cara membentuk antibodi. Antigen dan antibodi ini akhirnya berikatan dan
membentuk kompleks antigen-antibodi. Hal ini sesuai dengan pustaka yang
menyatakan bahwa serum yang mengandung Ab terhadap Salmonella apabila
bereaksi dengan Ag Salmonella yang dilekatkan pada partikel, akan mengalami
aglutinasi karena Ab dalam serum akan mengikat Ag bakteri Salmonella (hasil
positif). Tetapi apabila serum penderita tidak mengandung Ab terhadap
Salmonella, maka tidak akan terjadi aglutinasi karena tidak ada ikatan (interaksi)
antara Ag Salmonella dengan Ab terhadap Salmonella (hasil negatif)
(Cruickshank, 1965).
Demam tifoid adalah satu dari penyakit manusia tertua yang tertulis dalam
literatur sastra barat. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat
akut pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhii
(Salmonella typhii). Serovar Salmonella yang terkait tetapi berbeda secara
evolusioner, yaitu serotipe A (Paratyphi A), juga dapat menyebabkan jenis
demam enterik penyakit hampir tidak bisa dibedakan dari demam tifoid (Galan,
2016). Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. Penyakit ini masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropik (Pramitasari,
2013).
Menurut Sudoyo (2009), gejala klinis yang biasa ditemukan pada
seseorang yang mengalami demam tifoid, yaitu demam, pada kasus-kasus yang
khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa
tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam
hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga. Kedua gangguan pada saluran pencernaan, pada mulut terdapat
nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi
selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi
diare. Ketiga gangguan kesadaran, umumnya kesadaran penderita menurun
walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor,
koma atau gelisah.
Salmonella typhii termasuk bakteri gram negatif yang memiliki flagel,
tidak berspora, motil, berbentuk batang, berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob
dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Menurut Sudoyo (2010), berikut
penjelasan mengenai antigen-antigen tersebut. Antigen O merupakan somatik
yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari
lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam,
alkohol dan asam yang encer. Antigen H merupakan antigen yang terletak di
flagela, fimbriae atau fili S. typhii dan berstruktur kimia protein. S. typhii
mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella
lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada
pemberian alkohol atau asam. Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhii
(kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia
glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan
pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya
karier. Outer Membrane Protein (OMP) S. typhii merupakan bagian dinding sel
yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu
protein porin dan protein nonporin.
Uji Widal adalah suatu Uji yang menggunakan serum yang mengandung
antibodi terhadap Antigen O Salmonella typhi, dimana reaksi ikatan antigen
dengan antibodi mengakibatkan terjadinya aglutinasi yang berbentuk gumpalan
seperti pasir putih. Reaksi Widal mengukur titer antibodi serum yang
mengaglutinasi antigen O dan H S.typhi. Dengan mengetahui titer pada Widal
maka akan diketahui seberapa tinggi antigen berikatan dengan antibodi, karena
semakin tinggi titer widalnya itu berarti semakin mudah untuk membantu
mendiagnosa penyakit demam typhoid (Widyastuti, 2016). Prinsip pemeriksaan
reaksi widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Pemeriksaan widal relatif murah dan
mudah untuk dikerjakan, tetapi pemeriksaan ini dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor, sehingga spesifitas dan sensitivitasnya hanya berkisar 60 – 80 %
(Anggraini & Sanatang, 2018).
Menurut Olopoenia & King (1999), untuk penetapan titer antibodi dalam
serum digunakan 3 seri pengenceran, yaitu sebagai berikut, Pengenceran 1:80
yang terdiri dari 20 µl serum dengan 40 µl reagen S. typhi H. Pengenceran 1:160
yang terdiri dari 10 µl serum dengan 40 µl reagen S. typhi H. Pengenceran 1:320
yang terdiri dari 5 µl serum dengan 40 µl reagen S. typhi H. Pengenceran pertama
yaitu pengenceran 1:80 yang dibuat dengan cara menambah 1 tetes (40 μl) reagen
S. thyphii kedalam 20 μl serum darah. Sehingga titer antibodinya adalah 20 x
1/1600 = 1 / 80. Pengenceran selanjutnya adalah 1: 160 yang dibuat dengan cara
menambah 1 tetes (40 μl) reagen S. thyphii kedalam 10 μl serum darah. Sehingga
titer antibodinya adalah 10 x 1/1600 = 1 / 160. Begitu juga pengenceran terakhir
yaitu 1: 320 dibuat dengan menambahkan 1 tetes (40 μl) reagen S. thyphii
kedalam 5 μl serum darah. Sehingga titer antibodinya adalah 5 x 1/1600 = 1 / 320.
Ketiga pengenceran tersebut akan menghasilkan tingkat reaksi infeksi yang
berbeda-beda.
Menurut Olopoenia & King (1999), kemungkinan negatif palsu dan positif
palsu adalah sebagai berikut yaitu positif palsu, dimana penderita pernah
mendapatkan vaksinasi atau adanya reaksi silang dengan spesies bakteri lain.
Kemungkinan hasil positif palsu dapat terjadi pada imunisasi dengan antigen
Salmonella. Beberapa jenis serotype Salmonella lainnya memiliki antigen O dan
H juga sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya dan
menimbulkan hasil positif palsu. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada carrier
tifoid.Penderita telah mendapatkan terapi antibiotik sebelumnya sehingga dapat
menghalangi respon antibodi dan menimbulkan hasil negatif palsu. Negatif palsu,
dimana penderita sudah mendapatkan terapi antibiotic, waktu pengambilan
darahnya kurang dari 1 minggu sakit, serta keadaan pasien yang buruk dan adanya
imunobiologis yang buruk. Menurut Madhu et al. (2014), pada uji widal adanya
aglutinasi tergantung pada tingkatan penyakitnya. Aglutinasi biasanya muncul
pada akhir minggu pertama, jadi jika darah diambil sebelumnya kemungkinan
akan menunjukkan hasil negatif palsu.
Reaksi widal merupakan tes sederhana dan murah yang dianggap dapat
menjadi hal yang bernilai dalam pemberdayaan darah di negara-negara
berkembang, meskipun tes widal dapat memberikan hasil tes positif dan negatif
palsu. Tes lain seperti Dot EIA, Tubex, dan ELISA, juga telah dilakukan namun
juga memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu usaha untuk mengembangkan
tes yang lebih sensitif dan spesifik terhadap demam tifoid terus dilakukan (Khan
et al., 2014).
Kelemahan reaksi Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Mencari standar titer uji
Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di
populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan
peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat (Jawetz et al., 1974).
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif palsu pada
tes ini (Hosoglu et al., 2008).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa uji


Widal serum pada kelompok 3 rombongan II positif infeksi berat karena terjadi
aglutinasi yang berarti terdapat infeksi oleh Salmonella typhii dan terserang demam
tifoid (tifus). Kadar infeksi sedang disimpulkan berdasarkan terjadinya aglutinasi
pada pemberian serum dengan volume 20 µl dan 10 µl. Kadar infeksi berat
disimpulkan berdasarkan hasil positif yang terus–menerus terjadi pada pemberian
serum dengan volume berbeda secara bertahap, yaitu 20 µl, 10 µl, dan 5 µl.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, S. & Sanatang, S., 2018. Gambaran Metode Widal Dan Pcr Dalam
Mendeteksi Salmonella Thypi Pada Serum Mahasiswa Prodi Analis
Kesehatan Dengan Riwayat Thypoid Di Stikes Mandala Waluya
Kendari. JURNAL MEDILAB, 2(02), pp. 1-8.
Bellanti, J. A., 1993. Imunologi III. Yogyakarta : UGM Press.
Block, J. G., 1999. Microbiology Principles and Exploration 4th Edition. USA:
Prentice Hall Inc.
Cruickshank, R. 1965. The Widal Test medical biology 11th ed. U.K: Murex Biotech
Limited.
Galan, J. E., 2016. Typhoid Toxin Provides A Window Into Typhoid Fever and The
Biology of Salmonella typhii. Proceedings of the National Academy of
Sciences, 113(23), pp. 6338-6344.
Hosoglu, S., Bosnak, V., Akalin, S., Geyik, M. F. & Ayaz, C., 2008. Evaluation of
False Negativity Of The Widal Test Among Culture Proven Typhoid Fever
Cases. J Infect Dev Ctries. 2(6), pp. 475-8.
Jawetz, E., Melnick, J. L. & Adelberg, E. A., 1974. Review of Medical Microbiology.
Canada: Lange Medical Publication.
Jawetz, E., Melnick, J. L. & Adelberg, E. A., 1991, Mikrobiologi untuk Profesi
Kesehatan (Review of Medical Microbiology), Edisi ke-16. Jakarta: EGC,
Penerbit Buku Kedokteran.
Khan, S., Miah, R. A., Haque, S. & Naheen, C. R., 2014. Comparison Of Results
Obtained By Widal Agglutination Test & Polymerase Chain Reaction
Among Clinically Suspected Typhoid Fever Cases. Bangladesh Journal of
Physiology and Pharmacology, 30(2), pp. 46-50.
Madhu, G. N., Shankarappa, S., Kadahalli, L. R. & Kuralayanapalya P. S., 2014. A
Comparative Clinical Study of Effi Cacy of Microimmuno Assay With
WIDAL-Test in Enteric Fever in Children. Journal of the Scientific Society
41. pp. 114-117.
Olopoenia, L.A., & King, A.L. 1999. Widal Aglutination Test – 100 Years Later :
Still Plaqued by Controversi. Washington: Howard University.
Pramitasari, O., 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada
Penderita yang Dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 2(1), pp. 1-10.
Sudoyo, A. W., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Widyastuti, R., 2016. Hubungan Kadar Sgpt (Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase) Dengan Titer Widal Antigen O Salmonella Typhiii Pada
Penderita Demam Typhoid. The Journal Of Muhammadiyah Medical
Laboratory Technologist, 2(1), pp. 43-53.

Anda mungkin juga menyukai