Anda di halaman 1dari 6

Inilah Nasihat Menggetarkan Maulana Habib Luthfi pada Dosen-dosen Perguruan Tinggi.

Dosen-dosen PTN PTS se-Jateng DIY sowan kepada Habib Luthfi bin Yahya pada Ahad (19/5) di
kediamannya di Noyontakan setelah shalat Tarawih. Pisowanan yang bertajuk The Pisowanan of
Love and Lights: Dosen PT PTN se-Jateng DIY plus UI untuk Ngecas Sanubari dan Pembekalan
Dakwah dan Kaderisasi Aswaja di Perguruan Tinggi Reaktivasi Spirit Dakwah Wali Sembilan
menandai era baru dakwah aswaja di perguruan tinggi se-Indonesia.

Koordinator dakwah Aswaja di perguruan tinggi yang diberi tanggung jawab oleh Idaroh Aliyah
Jatman Moh Yasir Alimi (pengurus Idaroh Aliyah Jamaah Ahlit Thoriqoh An-Nahdhiyyah, lajnah
Matan) menjelaskan, "Waktunya sudah tiba untuk kebangkitan kembali dakwah wali sembilan di
perguruan tinggi. Dulu dengan bimbingan Kanjeng Sunan Ampel, nah sekarang dengan
bimbingan Abah Luthfi. Di seluruh kampus se-Indonesia. Di satu sisi untuk menciptakan generasi
muda yang tangguh, cerdas, dan bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, cinta ulama, cinta
aulia dan cinta Rasulullah Saw. Di sisi lain sebagai sarana pembelajaran bagi pendakwah itu
sendiri untuk membersihkan diri sehingga mencapai hati yang bening (pure heart), dan beramal
shaleh untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Semua dengan bimbingan Mauala Habib Luthfi,
dibantu para masyayikh lainnya."

Ada kurang lebih 100 dosen hadir dalam pisowanan yang khusuk malam itu. Yasir mengatakan,
"Nasihat beliau yang pendek ini cukup sebagai bekal hidup kita juga bekal dakwah. Seandainya
kita tidak mencari nasihat lain di WA, tapi cukup dengan nasihat ini saja sudah cukup
menjadikan hidup kita bermakna. Siapa yang bisa berpegang padanya, akan menjadi orang
pilihan."

Inilah nasihat Maulana Habib Luthfi kepada dosen-dosen PTN PTS se-Jateng DIY sebagai bekal
untuk berdakwah:

Kita hendaknya perhatian dan perhitungan dengan pengalaman Mbah Hasyim Asy’ari. Tugasnya
Mbah Hasyim Asy’ari ora enteng. Bagaimana pada waktu itu beliau berhadapan dengan Wahabi
pada waktu beliau di Harom Mekah dan bagaimana peristiwa itu Mbah Hasyim tahu persis. Dan
bukan satu Mbah Hasyim saja. Guru saya Mbah Kiai Arsyad, Kiai Abdullah Hadhiq Bale Kambang,
Kiai Abdullah bin Nuh Bogor dan banyak lagi. Kita butuh belajar pada para beliau.

Berat tapi tidak menyerah

Ketika Mbah Hasyim kembali ke Indonesia berhadapan dengan penjajah. Di satu sisi harus
menyelamatkan akidah, di satu sisi harus memerdekakan bangsa dari belenggu penjajah. Tugas
Mbah Hasyim berat. Kalau kita-kita ini 'rasanggup wis ngono ae lah'.

Untuk mengisi maturnuwun kita kepada beliau-beliau ini agar Nahdhotul Ulama ini agar tidak
mudah digoyah. Tidak mudah digoyang. Kalau tidak kita-kita ini yang dapat menyelamatkan
siapa? Aku tak takon?
Tanggung jawab kita bersama bagaimana menyelamatkan situs-situs sejarah. Bagaimana
berpartisipasi menjaga makam-makam auliya Allah yang ada di Indonesia. Karena itu data
otentik dakwah Islam di Indonesia. Bukan soal kuburan. Tapi bukti otentik bahwa penyebar-
penyebar Islam di Indonesia yang ada di Indonesia. Kalau sekedar kuburan, kuburan pirang-
pirang. Kuburan tuaa mau cari berapa. Tapi yang mengandung sejarah terutama yang berkaitan
dengan al-Islam nasru syariah, nasru ahlus sunnah wal jamaah boleh dikatakan masih terbatas
dan banyak yang makamnya tidak terurus. Nah, ketika kita akan menunjukkan saksi sejarah,
kuburane wis raeneng. Terkadang kuburane rusak, tahu tempatnya tapi sudah nisannya pothol
baling baling kanggo kijingane yo wis remuk. Lha ini bagaimana kalau gitu?

Tugas Matan (pemuda NU) di antara tugas lainnya adalah menyelamatkan situs sejarah para
ulama. Maka alangkah baiknya kalau ada dari Matan itu sendiri ada tim khusus mencatat
mengumpulkan nama-nama tokoh ulama yang di Indonesia biar publik itu tahu. Publik itu biar
membaca. Biar publik tambah dewasa. Biar tidak ada kelompok-kelompok yang mengklaim.

Tidak tahu sejarah menjadi sebab mudah dibenturkan

Artinya para habaib terdahulu, para kiai terdahulu sinergi dalam bekerja. Akhir-akhir ini yang
tidak tahu oknum-oknumnya yang tidak tahu sejarah mungkin, bisa saja kan, itu satu contoh lah
sehingga nabrak NU, karena tidak tahu sejarah berdirinya Nahdhatul Ulama, yang tahunya
organisasinya belaka. Akibat tahunya hanya organisasinya belaka, bagaimana jerih payah NU
dan tujuan NU banyak yang tidak paham.

Akibatnya mudah dibawa ke politik, mudah dibenturkan dan sebagainya. Satu contoh rumpun
yang kecil. Kita tidak mencontohkan rumpun yang besar. Rumpun yang kecil: keluarga.

Perjuangan orang tua

Bilamana keluarga mengetahui, mengalami serta mendalami bagaimana perjuangan Bapak dan
Ibu. Satu sisi jerih payahnya orang tua setengah mati dalam mencari nafakah, juga memajukan
putra-putrinya dalam memajukan putra putrinya dalam pendidikan. Terkadang ya maaf saja,
anaknya tidak diberitahu. Kadang haram pun diuntal. Demi anak-anaknya karena masyqqot
keadaan yang sangat masyaqqot sekali. Apakah kita tahu perjuangan orang tua sampai sejauh
itu?

Kita tidak tahu. Tahunya kita kenyang. Tahunya disekolahkan. Tahunya kita berpakaian dan lain
sebagainya. Nah Ibu bagaimana. Wis berase thithik, anake pitu piye kira-kiranya anak-anake iku
iso makan kabeh. Mbhoh digawe bubur, mboh digawe arem-arem, bagaimanalah caranya ibu
supaya putra putrinya bisa makan. Terkadang bapaknya capeknya setengah mati, ibunya sak
biso-biso mencari tambahan entah jualan arem-arem, entah jualan nogosari, untuk nilai tambah
pada hariannya. Mana tuntutan yang di pondok pesantren, tuntutan yang di sekolahan, dan
sebagainya. Saya kira kalau setiap anak sadar terhadap perjuangan kedua orang tua insyaallah
anak-anak itu tidak mudah dipecah belah.
Kenapa keluarga itu mudah dipecah belah, karena tahunya seneng. Wong tuwo mis omahe
mentereng, sudah punya mobil. Sudah punya sawah sudah punya kebun. Punya hotel atau
punya yang lain perusahaan dan sebagainya tapi tidak pernah mempelajari bagaimana untung
ruginya, bagaimana hutang perbulannya di bank, harus mengangsur kepada bank, anak-anak
kita kan tidak tahu.

Paling sudah dewasa baru ngerti...oh yo Bapak di bank urusannya, tapi dia memanggul
kesusahan itu kalau tidak kebetulan maka saling melempar. Tidak kompak. Nah ini akibat
daripada sejarah tidak tahu sejarah orang tuanya.

Bagaimana pondok pesantren berdiri? Kita tarik ke atas sedikit. Bagaimana perjuangan para kiai
dalam menghimpun kekayaannya di waktu tertentu karena anak didiknya masih jauh-jauh dan
belum tentu dapat kiriman dari orang tua. Ono sing pas-pasan bagaimana kiai itu membiayai
anak santrinya. Dobel lagi sudah memberikan ilmunya, juga masih ngurus yang lainnya.

Tarik ke yang lebih besar lagi. Bagaimana menyelamatkan akidah ala ahli sunnah wal jamaah
perjuangannya. Tarik yang lebih besar lagi bagaimana merah putih ini berkibar kembali. Bisa
mengusir penjajahan dan sebagainya. Kalau kita rata-rata tahu perjuangan pendahulu tidak
mudah dikompori dan tidak mudah dipicu, dan lain sebagainya.

Karena bangsa ini hampir kepaten obor, nasionalismenya yang membentuk organisasi seperti
sekarang ini seolah-olah organisasi saja. Padahal munculnya kekuatan nasionalisme berangkat
dari sejarah. Kalau sejarahnya kuat, nasionalismenya ndak keropos. Mengapa nasionalisme
keropos karena tidak tahu sejarah. Ini sumber utama.

Coba kita tarik kembali ke bawah. Kalau anak-anak kita tahu perjuangan orang tua, insyaallah
tidak mudah untuk dibenturkan.

Ini yang saya khawatirkan ke depan perkembangan Nahdhatul Ulama, kebesaran NU semua
tergantung di pundak kalian, di pundak kita kita semua. Nah itulah pentingnya kita
mengembangkan kita mencatat para tokoh yang berjasa besar tapi banyak yang hilang. Generasi
kita banyak yang tidak mengetahui. Ini tanggung jawab siapa? Mau menyalahkan siapa? Ya tidak
perlu menyalahkan mari kita ubah mind set-nya. Harus mind set-nya diubah bagaimana
menanamkan kefanatikan kepada setiap individu NU supaya muncul NU-NU muda yang rasional,
yang dedikasinya luar biasa, dan lain sebagainya. Ini tantangan bagaimana memajukan
Nahdhatul Ulama khususnya, umumnya untuk memajukan bangsa atau republik ini.

Perjuangan pendahulu

Ini tugas kalianlah. Yang saya pentingkan di situ. Dan itu tidak semudah (yang dibayangkan).
Maka dari itu bareng-bareng merintis kembali tanaman-tanaman yang sudah ditanamkan oleh
kesepuhan-kesepuhan kita. Panjenengan-panjenengan semua terutama saya itu ibarat ngantuk
temu gethuk. Lha piye kon ora zaman Kiyai Sholeh Darat ke atas, kita tidak bicara jaman Kiai
Sholeh Darat ke bawah, itu buah saja.
Bagaimana kita kita, itu ibu-ibu nyuwun sewu, di satu desa yang masih di bawah ke atas terbuka,
ndak laki ndak perempuannya. Yang rapet dari pusat ke bawah. Ke sawah ke pasar masih ada
yang begitu itu. Saya dulu pernah masuk di desa di Pekalongan Njeporo saja masih ada yang
sebagian seperti itu. Yang prawane. Rondone. Begitu. Karena ndak tahu aurat. Nah kiai-kiai kita
dahulu berhadapan dengan orang-orang begitu.

Sing durung weruh kerajinan, koyo opo baune, kringete koyo opo baune rambute awake koyo
opo ambune dan sebagainya karena belum mengetahui tentang thaharah.

Tarik lagi zaman setelah Wali Sembilan yang membuat adaptasi dari Budha ke Islam, Hindu ke
Islam sampai bagiamana mitoni (tingkepan) pakai sajen pakai ini pake ini dan sebagainya, Wali
Sembilan tidak menerjang ini. Tapi caranya berbeda. Kalau dulu disebut sajen, Wali menyebut
sedekah. Dan sebagainya supaya tidak tumbukan. Itu keberhasilan para aulia terdahulu. Dan
ketika berhadapan dengan penjajah bagaimana membangkitkan cinta tanah air.

Bikin cinta tanah sedekah bumi. Cinta air sedekah laut. Digabung menjadi sedekah bumi sedekah
laut. Di situ di perjuangan ulama sesepuh kita dahulu dengan slametan ini slametan itu. Kalau
tidak dengan cara seperti itu akan tercium oleh Belanda. Ditutupi dengan polesan macem
macem lah. Tapi mempunyai kandungan dan filosofi semua. Nah, kita mampu menerjemahkan
apa tidak?

Nah, kita-kita ini tidak berhadapan dengan hal seperti itu. Tahu-tahu sudah gemelar. Sudah ada
perguruan tinggi. Sudah ada Madin MTS MA. Yang kurang baik kita baiki, yang kurang halus kita
halusi. Itu pun tidak mudah kok ternyata. Paham kan kira-kira ini?

Makanya saya pesan kepada kalian. Itulah perjuangan perjuangan para Ahlussunnah wal
Jam'aah. Itulah perjuangan Ahlussunnah wal Jamaah mewujudkan rahmatan lil alamin. Tadi di
antaranya ora tumbukan tingkep, terus diserang tingkepan itu. Nujuh bulan tidak langsung
ditumbuk. Tidak langsung dijeblosake. Bikin, belokke beri kepada fuqoro wal masakin.
Kembange, bener sing meteng diadusi, anake ben ayu. Tapi setelah itu diganti, 'Kalau anakmu
pingin ganteng Surat Yusuf, mitonane. Anak wadon ben ayu Surat Mariyam. Terus surat-suratan
dongane. Begitiuah pelan dan halusnya upaya beliau membelokkan. Itulah wujud rahmatan lil
alamin.

Kunci sukses dakwah

Tantangan kita tidak sedikit. Tantangan kita besar. Bagaikan orang mendaki gunung. Belum
tentu ada air di atasnya. Belum tentu tanah tidak bisa ditanami. Tapi kita tidak boleh putus asa.
Harus merangkak. Harus sampai ke tepi. Sak ego egone akal kita bagaimana bisa tumbuh
bagaimana supaya bisa mendapatkan air. Bukan terus memutusi lha iki ra mungkin nek ono
banyune. Lha kowe ndisiki kersane pengeran po piye. Itulah.
Tidak ada pintu tertutup dalam medan dakwah. Dakwah di mana pun berada. Ingat itu saja.
Bekal utama dalam dakwah yang berhasil adalah menghilangkan akuismenya. Kalau bisa
menghilangkan akuismenya, itu memang sulit tapi setapak demi setapak, itu keberhasilan dalam
berdakwah.

Tapi kalau kita dakwah masih bawa sistem saya, saya contohne aku dewe aku ora nyindir gus
utowo habib liyo. Iki awakku dewe. Kalau saya dakwah saya masih bawa habibnya terus. Tidak
dihormati setitik murung, munting dan sebagainya yo repot. Iya kan?

Tapi coba jangan bawa akunya. Mangan nganggo lepekan piring tanah ok. Pakai daun jati ok.
Yang penting barengan. Ndak usah berkata saya habib, orang membaca sendiri kok nanti. Ndak
usah bicara saya Gus, orang sudah membaca. Lambat atau cepat. Ndak usah. Itulah keberhasilan
dalam berdakwah.

Wali Sembilan tidak pernah mengatakan iku ki lho kali jogo. Orang itu tahu sendiri.

Jangan jadi madahil Qubur

Maka jangan kita jadi orang madahil qubur. Madahil qubutr itu opo, wis mati nembe ngalem-
alem. Isih urip nyedak ae ora. Sih sugeng ndak melok melok e bejo. Oh iya aku tau krungu ndak
tepat itu. Baru setelah meninggal disebut: orang ono koyo kiai nganu ah. Iku perjuangane luar
biasa.

Coba urip di zaman Kalijaga. Neng njenengan urip Zaman Kalijaga ora ingkar mawon bejo. Ora
menangi mawon mpun bejo. Jare wali kok jejeran karo sinden. Jare wali kok nari. Jare wali kok
ngene. Yao terus “Kalijogo luar biasa kramat” iso ngomong ngono kan saiki. Kon ora menangi.
Coba menangi alhamdulillah ora ingkar mawon bejo. Ayo arep ngomong opo.

Tantangan

Dakwah selalu ada tantangannya. Kadang sesama Ahlussunnah wal Jamaah Annadhdhiyyah
belum bisa bersatu. Justru itu menantang kita untuk berjuang. Jangan jadikan itu kendala.
Jadikan PR. Kendala itu jadikan PR. Bukan kendala. Kalau kamu jadikan kendala maka mundur.
Tapi kalau jadi PR, maju terus. Iku sing bener.

Perjuangane Sunan Gunungjati di Cirebon mengeluarkan kesaktian. Keramat itu dan ini.
Memang kondisinya harus seperti itu. Coba Kalau Sampeyan menangi, bisa saja berkata, "Jare
wali kok mencak mencak ae. Wali kok ngene gak iso iku." Alhamdulillah ora menangi. Nek
menangi ora ingkar bejo sampeyan. Hayo arep ngomong opo. Contohe Sunan Drajat dewe
meneh.

Sultan Abdul Fatah, nak sak jaman bakal dikomentari, wali kok nak teko kudu ngene (jalan
merangkak). Wali itu kan bebas ngurus umat dan sebagainya. Akhirnya umaroe tidak dihargani
malah dihukumi. Jare Wali kok ngono. Jare Wali kok seneng dadi Sultan. Lha nikulah penyakit
kita di sini sekarang. Kabeh arep diukur awake dewe (Semua akan diukur dengan dirinya
sendiri).

Pertemuan ditutup dengan doa dari Abah. Doa untuk tasbih yang disiapkan panitia untuk
dihadiahkan para peserta dan ijazah ratib kubro, ratib hadhaz zaman yang diperlukan zaman ini
untuk penjagaan umat. “Ratib dibaca setiap jumat pagi, habis Subuh. Ojo takon khasiate. Ngko
ndak ta’alluq karo khasiate. Minum obat tidak diberi waras oleh Allah karena eleng obate tidak
ingat Allah Swt." (Yasir Alimi)

Anda mungkin juga menyukai