Oleh : Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah, Puslitbang SDM Balitbang Dephan
Pendahuluan.
Sejalan dengan reformasi di segala bidang dan aspek kehidupan paska keruntuhan Rejim
Orde Baru, TNI telah menyikapinya secara positif. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya
konsep Paradigma Baru TNI sebagai wujud dari upaya reformasi internal di tubuh TNI,
tak lama setelah era reformasi nasional digulirkan, TNI secara “Gentleman” dan dewasa
mengakui bahwa di masa lalu selama ± tiga dasa warsa telah menampilkan peran fungsi
yang berlebihan (distorsi) dari Tupok yang diembannya, sebagai alat pertahanan negara.
Peran TNI (saat itu ABRI) terutama Koter/Apter memasuki hampir seluruh aspek
kehidupan masya-rakat, berbangsa dan bernegara. TNI disalah-gunakan bukan sebagai
alat negara tapi alat peme-rintah dalam rangka melestarikan kekuasaan. “Tidak ada tugas
yang tidak dapat diselesaikan TNI, kecuali tugas pokoknya” itulah sepenggal kalimat
yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang mengandung cibiran.
Prestasi seorang prajurit Apter dalam meningkatkan prosentase suara untuk Golkar,
seringkali dihargai melebihi prestasi tempur, karena setelah itu prajurit Apter tersebut
sudah mengantongi “Credit Point” yang tinggi untuk dapat menduduki jabatan karier atau
kekaryaan. Upaya Pembinaan Teritorial (Binter) melalui Kegiatan Teritorial (Giatter) dan
Operasi Teritoral (Opster) yang terencana saat itu tidak semata-mata untuk menciptakan
stabilitas keamanan dan atau mewujudkan kekuatan ruang, alat dan kondisi perjuangan
(RAK Juang), namun tidak lepas dari nuansa penguatan politik pemerintah. Sadar akan
kekeliruannya dimasa lalu telah menjadi alat kekuasaan yang kadang-kadang
mengorbankan jati di-rinya sebagai prajurit rakyat dan prajurit pejuang, maka TNI tidak
mau lagi mengulangi pengalaman pahitnya dan punya keinginan kuat untuk berubah.
Lahirnya Paradigma Baru TNI dan bergulirnya reformasi internal TNI, termasuk konsep
penataan kembali struktur dan fungsi teritorial merupakan bukti nyata komitmen tersebut.
Namun di lain pihak kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berkembang
menyimpang dari arah dan tujuan reformasi akibat tuntutan yang berlebihan (euforia) di
tengah-tengah keterpurukan ekonomi. Penyimpangan itu diperparah lagi dengan perilaku
oknum-oknum tertentu baik di kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang
kurang terpuji menyebabkan banyaknya agenda reformasi tidak berjalan, sehingga
muncul kata-kata plesetan reformasi menjadi “deformasi” atau “repotnasi”.
Kondisi demikian telah menimbulkan rasa antipati dan frustrasi pada sebagian warga
masyarakat terutama kalangan bawah yang diwujudkan dalam bentuk ketidak-pedulian
atas ketertiban dan hukum/peraturan perundang-undangan, partisipasi politik, kontrol
sosial serta bela negara. Justru yang merebak di tengah-tengah masyarakat adalah
kekerasan, kriminalitas, wacana silang pendapat (saling tuding), hingga keinginan
memisahkan diri dari NKRI (seperti di Aceh, Irian Jaya/Papua dan sebagai-nya).
Bagaimanakah dalam si-tuasi kondisi yang tidak kondusif seperti itu Komando Teritorial
(Koter) harus memerankan dirinya sesuai tuntutan reformasi ?.
Paradigma Baru TNI dan Pengaruhnya Terhadap Koter. Sejalan dengan tuntutan
reformasi, Rapim TNI tahun 1998 telah menghasilkan konsep Paradigma Baru TNI dalam
fungsi sosial sebagai hasil reformasi internal TNI tahap I adalah:
Merubah Posisi dan Metode Tidak Harus di Depan. Hal ini mengandung arti bahwa
kepeloporan ABRI/TNI dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara kini
berubah untuk memberi kesempatan sepenuhnya kepada institusi fungsional
melaksanakan tugasnya.
Mengubah dari Konsep Menduduki Menjadi Mempengaruhi. Hal ini mengandung
arti bahwa peran sospol ABRI/TNI dipandang tidak perlu lagi menempatkan personil
dalam jabatan sipil.
Mengubah dari Cara Mempengaruhi Secara Langsung Menjadi Tidak Langsung.
Bilamana dimasa lalu peran sospol ABRI dikonotasikan berperan aktif dalam kancah
politik praktis, maka perubahan yang dimaksud mengandung makna, penanggalan peran
sospol dalam politik praktis.
Senantiasa Melaksanakan “RoleSharing” (kebersamaan dalam pengambilan keputusan
penting kenegaraan dan pemerintahan) dengan komponen bangsa lainnya, dalam suatu
sistem nasional terpadu. Karena pada dasarnya fungsi dan peran masing-masing
merupakan subsistem yang saling mengait dalam rangka mewujudkan kinerja manajemen
nasional.
Dengan adanya Paradigma Baru Sospol ABRI/TNI ini sangat berpengaruh terhadap
perubahan struktur dan kultur kerja Koter/Apter. Lembaga sospol langsung dilikuidasi
disusul dengan likuidasi Badan Pembinaan Kekaryaan ABRI. Sebagai implikasinya,
kepadatan kegiatan di Koter berkurang cukup drastis. Pengurangan ini lebih terasa lagi
setelah keluarnya TAP MPR Nomor :VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan
TAP MPR Nomor : VII/MPR/2000 tentang Ketentuan TNI sebagai alat negara yang
berperan sebagai alat pertahanan NKRI, minus keamanan yang menjadi tugas pokok
Polri.
Pada Rapim TNI tanggal 20 April 2000 diputuskan bahwa TNI tidak lagi mengemban
fungsi sospol guna memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan . Dengan
keputusan ini berarti TNI telah menanggalkan Doktrin Dwi fungsi dan secara tidak
langsung Paradigma baru TNI di bidang sospol juga berakhir. Langkah-langkah reformasi
internal TNI selengkapnya yang telah dilaksanakan adalah :
Perumusan Paradigma Baru TNI
Pemisahan TNI dari Polri
Menanggalkan peran sospol secara bertahap dan tidak terlibat politik praktis
Pengakhiran Doktrin kekar-yaan sehingga tidak ada lagi prajurit dinas aktif yang
menduduki jabatan kekaryaan.
Likuidasi institusi sospol dari struktur TNI
Netralitas TNI dalam Pemilu
Refungsionalisasi hubungan antara institusi TNI dengan organisasi keluarga besar
TNI menjadi hubungan fungsional dan kekeluargaan.
Penempatan pembinaan organisasi Korpri TNI kembali dalam fungsi pembinaan
personil.
Refungsionalisasi dan restrukturalisasi teritorial sebagai fungsi pemerintahan.
Membuka badan usaha yang bernaung di bawah yayasan TNI terhadap
transparansi profesionalisme berdasarkan kaidah manajemen badan usaha dan
audit publik.
Meningkatkan pemahaman sadar hukum dan HAM kepada prajurit secara
keseluruhan.
Memandang setiap masalah kebangsaan dari pendekatan peran TNI dan
kewenangan sebagai instrumen pertahanan yang dicirikan oleh undang-undang
sesuai kesepakatan bangsa.
Mencermati sikon yang terjadi sekarang dimana konsep, tatanan dan arah reformasi di
segala bidang yang amat diharapkan segera terwujud sepertinya “jauh panggang dari api”,
demikian pula dengan upaya pemerintah dalam pemulihan ekonomi dan penciptaan
lapangan/kesempatan kerja belum menujukkan hasil yang memadai. Di lain pihak
mentransfomasikan fungsi teritorial yang selama ini dilaksanakan Koter menjadi fungsi
pemerintahan otonomi daerah yang dalam keadaan transisi pasti tidak mudah, karena
menyangkut perubahan baik yang bersifat struktural maupun kultural, proses perubahan
itu seyogyanya tidak berlangsung dalam pemisahan, namun harus dalam proses estafeta,
bertahap dan gradual serta memperhatikan potensi lingkung-an dan kekuatan serta
kemampuan daerah setempat.
Dasar pemikiran refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial itu sendiri didasarkan pada
asum-si bahwa masyarakat Indonesia masa depan yang hendak kita bangun adalah
masyarakat madani yang demokratis dan mo-dern. Dengan demikian perlu konsep yang
matang melalui proses perencanaan yang terpadu dan komprehensif, mempertimbangkan
sebagai faktor yang mempengaruhi baik internal maupun eksternal. Pengalihan fungsi
Binter tidak selalu me-ngandung konsekwensi pembubaran Koter. Walaupun fungsi
teritorial secara bertahap dialihkan kepada institusi fungsional, Koter masih diperlukan
untuk menyelenggarakan fungsi pertahanan atau fungsi tentara, karena fungsi ini sesuai
undang-undang tidak dapat didelegasikan kepada pemerintah daerah. Sedangkan fungsi
keamanan menjadi tanggung jawab Pemda.Visualisasi Koter di masa depan dan Koter
sebagai aparat peme-rintah pusat di daerah untuk melaksanakan fungsi operasional militer
sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu sebagai penindak dan penyangga awal serta pelatih
rakyat, tanpa memiliki kewenangan langsung menjangkau masyarakat. Oleh karena itu,
sesuai kewenangannya yang hanya dalam aspek operasional fungsi pertahanan, maka
sesuai dengan doktrin, Koter tingkat terendah yang berkemampuan melaksanakan fungsi
tersebut adalah Korem. Namun dalam im-plementasinya secara tuntas me-nyeluruh akan
memakan waktu lama (diperkirakan 15 tahun). Sebagai konsekuensi pembubaran Koter,
perlu dipikirkan dan dipertimbangkan keberadaan Kantor Wilayah Dephan di Propinsi
dan Kabupaten/Kota, karena selama ini Kodam dan Kodim yang melaksanakan tugas dan
fungsi Dephan di daerah. Hal ini merupakan masalah yang harus menjadi perhatian
bersama semua komponen bangsa mengingat masalah pertahanan merupakan hal yang
penting dan kompleks serta tanggung jawabdan kewenangan penyelenggaraannya berada
di tangan peme-rintah pusat. Dalam hal ini Dep-han seyogyanya segera menindaklanjuti
saran perlunya Kanwil Dephan dengan membentuk Pokja Pengkajian dan Pengembangan
mengenai Kanwil Dephan di Daerah yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
NKRI di era reformasi dan otonomi daerah serta globalisasi. Kondisi geografi, demografi
dan kondisi sosial (Ipolek-sosbud) yang sedang mengalami ancaman, gangguan dan
hambatan serta pengaruh globalisasi yang memungkinkan pengaruh asing terasa, semakin
besar. Hal ini memperluas dan memperbesar bentuk dan spektrum anca-man dari luar.
Dalam kondisi se-perti ini TNI dituntut tanggung jawabnya untuk secara bersama-sama
komponen bangsa lainnya memantau, memelihara dan menegakkan persatuan dan
kesatuan bangsa dalam rangka memelihara integritas nasional dalam bingkai NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD ’45.
Ada suara-suara sumbang dari kalangan tertentu di masyarakat yang tidak menghendaki
lagi TNI berkiprah diluar tugas pokoknya selaku aparat pertahanan negara termasuk
keberadaaan Koter yang menuntut dihapuskan. Alasannya, bermacam argumen antara lain
keberadaan Koter akan menghambat demokratisasi, mengesankan ada nuansa mili-
terisme di tengah-tengah masya-rakat, semua fungsi pemerintahan telah terbagi habis dan
fungsi Binter merupakan fungsi peme-rintahan dan lain-lain. Semua itu sudah cukup
memberikan alasan pembenaran bahwa TNI, sudah saatnya kembali ke “barak” dan
meninggalkan peran fungsi lain diluar tugasnya selaku alat per-tahanan negara.
Kondisi geografi Nasional yang terdiri lebih dari 17.500 pulau yang tersebar di lautan
Nusantara, berada pada posisi silang diantara dua benua dan dua samudra,
memungkinkan “musuh” masuk secara ilegal dengan mudah dari berbagai penjuru tanah
air. Demikian juga para pencuri kekayaan laut kita bebas berkeliaran.
Kondisi demografi/penduduk yang semakin menumpuk di Pulau Jawa sebagai akibat
remigrasi para transmigran yang terusir dari Aceh, Papua, Kalbar, Kalteng, Sulteng dan
Maluku, terhambatnya program transmigrasi , bahkan yang terjadi semakin banyak
pendatang dari luar Jawa yang menetap di Jawa. Hal ini memperlebar kesenjangan
pemerataan penduduk di seluruh wilayah tanah air.
Kondisi Sosial di era reformasi ini ternyata tidak menjadi semakin baik bahkan
sebaliknya yaitu :
Isu agama dan kesukuan yang dahulu dianggap bukan masalah, sekarang muncul lagi ke
permukaan yang mengancam persatuan, kesatuan integritas nasional
Ideologi politik, ada indikasi di era reformasi ini untuk membangkitkan lagi partai
komunis dan kelompok radikal/ekstrimis penganut agama tertentu berkeinginan me-
nghidupkan lagi ideologi agama. Penolakan azas tunggal dalam Orpol, keberadaan partai
politik yang sudah demikian banyak masih terus bertambah, namun masing-masing
cenderung bukan memperjuangkan kepenti-ngan bersama melainkan kepentingan
kelompoknya masing-masing. Akibatnya kesulitan yang dirasakan rakyat kurang
mendapat perhatian.
Kondisi ekonomi nasional yang belum mengalami per-baikan yang berarti, harga
sembako semakin meningkat, pengangguran yang semakin bertambah, telah mencuatkan
angka kriminalitas yang semakin tinggi, semakin memperburuk kondisi Kamtibmas di
tengah-tengah masyarakat.
Pengaruh budaya asing telah demikian merasuk kedalam perilaku kehidupan masyarakat
khususnya kaum muda. Adat istiadat dan tatakrama warisan budaya leluhur serta kesenian
tradisional berada dalam kondisi kritis diambang kepunahan. Semua itu terjadi akibat
globalisasi informasi dan media masa khususnya TV yang sekarang penggunaannya
demikian meluas dan bukan lagi dianggap barang mewah. Sayangnya pengelolanya
kurang memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan budaya nasional. Sebaliknya,
tayangan seni budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai adat dan moralitas
ketimuran lebih dominan dapat kita saksikan.
TNI merasa terpanggil untuk tetap berada di tengah-tengah masyarakat guna mengawal,
mengamankan dan menegakkan integritas negara dan bangsa.Dalam kondisi bangsa yang
sedang dilanda krisis multi dimensi sangat naif pemikiran yang menghendaki TNI
kembali ke “Barak” dan hanya mengurusi ancaman bersenjata musuh yang datang dari
luar, seperti yang diinginkan sebagian kalangan masyarakat. Sebagai alat negara yang
disiapkan menghadapi musuh dari luar, ada sebagian kecil kalangan yang merasa
keberadaan Koter/Apter tidak diperlukan lagi di era reformasi ini. TNI memahami
pendapat tersebut namun situasi transisi sekarang ini bukan saat yang tepat, TNI
meninggalkan fungsi teritorialnya. Doktrin Hankamrata mensyaratkan TNI sebagai
kekuatan inti yang ditopang kekuatan dasar rakyat terlatih, komponen cadangan dan
komponen pendukung sarana prasarana. Hal tersebut mengisyaratkan ada hubungan yang
erat, harmonis, sejiwa dan manunggal antara TNI dengan rakyat. Panglima Besar Jenderal
Soedirman pernah menyatakan :” Tentara bukan merupakan satu golongan diluar
masyarakat, bukan pula suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat, tetapi tidak lain dan
tidak lebih adalah salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu,
seperti bagian-bagian lain yaitu : tani, buruh, dan lain-lain juga mempunyai tugas dan
kewajiban tertentu ”.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Panglima Besar Soedirman, Jenderal Besar
A.H. Nasution menyatakan : ”TNI bukan sekedar alat pemerintah sebagaimana yang
berlaku di negara demokrasi Barat, bukan pula alat suatu partai sebagaimana yang
ditentukan di negara komunis, apalagi semacam rejim militer yang mendominasi negara,
TNI adalah alat perjuangan rakyat”. Kata-kata kedua Jende-ral Besar tersebut
mengisyaratkan repleksi historis dan pan-dangan jauh ke depan, mewaspadai komitmen
integritas dan keutuhan NKRI berdasarkan pancasila dan UUD 45. Memarginalkan TNI
dari rakyat hanya akan memberikan peluang bagi musuh negara untuk “mengobok-obok”
rakyat agar memusuhi negaranya dan sekaligus mencerai beraikan persatuan nasional.
Kondisi demikian akan membuka kesempatan gerakan sparatisme meng-aktualisasikan
diri dan me-ngembangkan kekuatannya. Bilamana hal ini terjadi resikonya sangat mahal,
disintegrasi bang-sa. Pemikiran agar peran fungsi TNI “dilokalisir”dapat dipahami dari
dua sisi :
Pertama adalah idealis sesuai profesionalisme militer, tanpa melihat faktor kesejarahan,
doktrin Hankamrata dan lain-lain.
Kedua adalah pemikiran emo-sional yang dilandasi pengalaman traumatik represi militer
di masa Orde Baru.
Kedua pemikiran ini harus disikapi TNI secara dewasa dengan kebesaran jiwa sesuai
tuntutan reformasi. Dalam hal ini TNI sudah siap secara moral untuk me-nerimanya,
namun demikian tanggung jawabnya selaku bayangkari negara tidak mau me-ngambil
resiko meninggalkan ge-langgang (Koter) dalam kondisi negara/masyarakat yang sedang
“sakit”.
Penampilan adalah cermin kepribadian. Kesan pertama seseorang terhadap diri kita
adalah dari sosok penampilan, kemudian sikap, tutur kata dan sebagainya. Penampilan
yang rapi, sikap yang sabar namun tegas, tutur kata yang ramah dan sopan santun da-lam
berbicara memberikan kesan pertama yang baik dan citra diri positif yang akan
mengundang apresiasi masya-rakat terhadap seseorang pejabat teritorial. Untuk memper-
oleh penampilan yang baik ini tidak sulit yang penting ada kemauan kerena TNI sudah
memiliki pedoman Sapta-marga, Sumpah Prajurit dan Delapan Wajib TNI. Sikap yang
“korek”, sabar namun tegas, perhatian, tidak ragu-ragu serta “tanggap, tanggon dan
trengginas” dalam meng-hadapi setiap persoalan akan memberikan “credit point” yang
bagus. Bilamana ketiga pedoman hidup TNI di atas dapat diimplementasikan da-lam
perilaku sehari-hari, di-sertai sikap yang baik, maka ia bukan saja dapat diterima
kehadirannya, tetapi akan menjadikannya sosok prajurit teladan.
Pengetahuan. Pengetahuan yang luas terutama menyangkut bidang dan medan tugasnya
akan memperluas wawasan dan cakrawala berfikir se-orang Apter. Dengan itu, seorang
Apter akan dapat bertindak proaktif dan antisipatif serta memberikan ide-ide atau konsep
pemecahan masalah atau pemberdayaan potensi masyarakat kepada Pemda, Instansi
Fungsional dan pihak-pihak lainnya secara tepat dengan penuh percaya diri. Sehingga dia
juga tidak gentar untuk berdebat dengan siapa saja.
Pengamat dan Pendengar yang baik. Seorang Apter di era reformasi dituntut banyak
bergerak mengamati situasi, jadi pendengar yang baik untuk menampung aspirasi yang
berkembang di masyarakat dan menyalurkan serta membicarakannya dengan pihak
terkait. Sehari-hari bila perlu dapat terjun di tengah-tengah komunitas rakyat miskin de-
ngan cara menyamar. Hal ini penting, karena komunitas miskin ini sering menjadi obyek
binaan gerakan separatis dan kelompok ekstrimis (Ekki, Ekka dan Ekla). De-ngan
menjadi seorang pengamat dan pendengar yang baik, seorang pejabat/Apter akan
mengetahui hakekat permasalahan yang terjadi di da-erahnya. Dengan pemahaman yang
akurat atas latar belakang masalah, maka ia akan dapat memberikan alternatif solusi
masalah yang tepat.
Memahami Bidang Hukum. HAM dan Lingkungan Hidup. Di era reformasi, penegakan
hukum hak azasi manusia/HAM dan lingkungan hidup merupakan tuntutan yang
mengemuka. Oleh karena itu seorang pejabat/Apter harus memahami ketiga bidang
tersebut diatas.
Hukum. Untuk menghindari agar tidak bertindak diluar kewenangannya dan menyika-pi
segala persoalan yang terjadi dari sudut pandang hukum, maka ia harus “melek” hukum
dan “concern” mene-gakkannya.
HAM. Untuk menghindari agar ia tidak dituduh melanggar HAM dalam tindakannya dan
dapat menilai peristiwa pelanggaran HAM, maka ia harus paham kaidah-kaidah HAM.
Lingkungan Hidup. Pemahaman aspek lingkungan hi-dup perlu dimiliki oleh seorang
pejabat/Apter. Karena lingkungan hidup merupakan ruang tempat manusia berki-prah dan
mencari nafkah se-panjang hidup ia tinggal di si-tu. Oleh karena itu setiap orang harus
memahami dan sadar atas pentingnya upaya pelestarian lingkungan hidup. Dalam
pengertian “pelestarian lingkungan hidup” mengan-dung makna, tidak mengeks-
ploitasinya secara berlebihan dan dilakukan dengan cara yang benar, tidak mengotori-nya,
menjaga keseimbangan komunitas manusia, flora, fauna yang ada di suatu lingkungan.
Keterampilan. Yang dimaksud adalah bagaimana se-orang Apter trampil menilai dan
menyimpulkan masalah yang terjadi, kemudian mengkoordinasikannya dan
membicarakannya dengan institusi yang tepat guna mendapatkan cara pemecahan
masalah yang paling tepat dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Pedekatan hukum. Penegak-kan hukum merupakan satu pesan reformasi yang harus
ditegakkan karena selama hukum dapat dipermainkan atau “dibeli” oleh kalangan yang
mampu, maka keadilan tak dapat ditegakkan.
Kenyataan sekarang “hukum ibarat golok, tajam ke bawah sedangkan ke atas tumpul”,
(istilah KH Zainuddin MZ).
Pendekatan kerja sama. Di era reformasi, agar disadari bahwa TNI sudah mengakui
bahwa fungsi Binter adalah fungsi pemerintahan. Dengan demikian yang bertanggung
jawab adalah institusi/dinas pemerintahan daerah. Tugas seorang pejabat/Apter peran
sertanya semata-mata untuk mengkoordinasikan dan mendorong berjalannya fungsi
masing-masing lembaga fungsional.
Oleh karena itu Apter sekarang harus terdiri dari SDM muda berkualitas, berdedikasi,
memi-liki bekal pengetahuan dan ke-terampilan serta wawasan kebangsaan yang kuat.
Dalam hal ini Kasad, Jenderal Ryamizard R. pernah mengingatkan “Jangan jadikan Binter
sebagai kelinci percobaan, karena bisa menghancurkan negara kita”. Di era oto-nomi
daerah, dimana tumpuan utama otonomi berada didaerah Kabupaten/Kota, setiap Kodim
dituntut untuk memahami karakteristik daerahnya dan menyusun pedoman khusus bagi
para Apter setempat agar dapat menyikapi kekhususan-kekhususan yang menyangkut adat
istiadat, pan-tangan, tradisi dan lain-lain. Dengan berbekal pedoman/bu-jukter khusus ini
diharapkan Apter berperilaku yang “pas” dan tidak menyimpang.
Penutup.
Sesuai konsep “Strategi Difensif Aktif” dalam Doktrin Hankamrata, bahwa bilamana TNI
ber-tempur menghadapi agresi mu-suh di dalam wilayah teritorial NKRI, bahu membahu
bersama rakyat. Untuk membangun kesatuan kekuatan yang solid, kemanunggalan TNI-
rakyat harus tetap dibina, karena Doktrin Han-kamrata hingga saat ini masih sesuai
dengan situasi kondisi yang berlaku dan keterbatasan kemampuan TNI. Dilihat dari sudut
pandang konsep Doktrin Hankamrata ini, sesungguhnya tidak salah tentara ada di tengah-
tengah masyarakat karena ia punya tugas melatih rakyat, keberadaan Koter-pun
urgensinya masih relevan. Demikian sekilas Aktualisasi Peran Koter/Apter di Era
Reformasi yang diharapkan, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Mabes TNI, TNI abad XXI : Langkah-langkah Reformasi Internal TNI Lanjutan (Tahap
II), Jakarta, 2001.
Lemhannas, Refungsionali-sasi Teritorial dalam rangka Pertahanan Negara, Jakarta, 2001.
Mabes TNI, Implementasi Paradigma Baru TNI dalam Berbagai Keadaan Mutakhir,
Jakarta, 2001.
------, Petunjuk Induk ABRI tentang Operasi Teritorial, Jakarta, 1996.
------, Pokok-pokok Kebijaksanaan Pembinaan Teritorial Tahun 1994-1998, Jakarta,1995.
Dep. Pertahanan Keamanan RI, Petunjuk Angkatan Bersenjata tentang Peranan Apter
dalam Proyek KKN, Jakarta, 1984.
Kaster TNI, Ceramah pada Rapat Koordinasi Teritorial Tahun 2001, Jakarta, 2001.
Salim Said, DR, Restrukturisasi Komando Teritorial suatu Tinjauan Politik, Makalah pada
Rakorter TNI 2001.
Seskoad, Dimensi Perubahan Masyarakat Indonesia dalam Era Industrialisasi (Bunga
Rampai), Bandung, 1994.
Sajidiman Soerjohadiprodjo, Restrukturisasi Fungsi Koter di Era Reformasi, (Makalah),
Jakarta, 2001.