Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa. karena berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Selain itu penulis juga mengucapkan banyak
terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan tugas dan membimbing
kami. Penulis membuat makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
MANAJEMEN RESIKO BENCANA PARIWISATA tentang “KEBIJAKAN
PEMERINTAH KESIAPSIAGAAN BENCANA PADA DESTINASI WISATA”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka penulis
berharap kritik dan saran dari pembaca . Semoga makalah ini memberikan informasi
bagi pembacat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
D. MANFAAT
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BENCANA
3
5. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional
dan internasional;
6. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
7. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan;dan
8. Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
(Yultekni, 2012)
4
Pengamanan Hotel pada Elemen Sembilan t en t ang Penanganan Keadaan
Darurat berisi :
a. Usaha hotel wajib memiliki prosedur penanganan keadaan darurat
untuk menghadapi keadaan darurat dan diuji secara berkala untuk
dilakukan pada saat kejadian yang sebenarnya. Pengujian prosedur
penanganan keadaan darurat tersebut secara berkala dilakukan oleh
pekerja hotel yang memiliki kompetensi. Untuk kegiatan pengujian
prosedur penanganan keadaan darurat seperti pada instalasi atau
peralatan yang mempunyai potensi ancaman besar, contohnya uji
coba memadamkan kebakaran dan mengatasi ancaman bom di hotel
dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang
b. Usaha hotel wajib menetapkan, menerapkan dan memelihara suatu
prosedur penanganan keadaan darurat untuk:
1) mengidentifikasi potensi terjadinya keadaan darurat;
2) menangani situasi darurat; dan
3) petunjuk pelaksanaan untuk tim manajemen krisis (crisis
management team).
c. Dalam perencanaan penanganan keadaan darurat, usaha hotel wajib
memasukkan tanggung jawab kepada pihak-pihak terkait.
d. Usaha hotel wajib mengantisipasi situasi darurat, mencegah dan
menurunkan dampak terhadap status keamanan.
e. Usaha hotel wajib menguji secara berkala prosedur penanganan keadaan
darurat agar tetap terlatih dengan melibatkan pihak-pihak terkait.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2006 tentang Search and Rescue (SAR)
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman
Umum Mitigasi Bencana;
5
9. Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No.
PM.106/PW.006/MPK/2011.
10. Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia Nomor: PM.106/PW.006/MPEK/2011 Tentang Sistem Manajemen
Pengamanan Hotel pada Elemen Sembilan tentang Penanganan Keadaan
Darurat.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra Indonesia
dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam yang
menakjubkan dapat dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat iklan
yang ditayangkan di media elektronik dan media cetak.
2. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
3. Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-promo
yang menarik.
4. Mempermudah akses ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki jalan
dan membuka penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan wisata.
6
1. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk
lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah destinasi
terkena bencana.
2. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga sulit
untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan kebutuhan yang
kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses dengan mudah di
daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara keseluruhan.
3. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak dapat
dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana berperilaku dalam
penanganan bencana.
4. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti garis
pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya yang lebih
besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
5. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka
kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi, ke
mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana prosedur
darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami bencana.
6. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya suatu
sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua jenis
perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana.
7
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat terutama pada
pekerja di kawasan pariwisata.
d. Pemindahan wisatawan serta penduduk dari daerah yang rawan bencana ke
daerah yang lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat di sekitar kawasan
wisata.
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan di kawasan pariwisata yang terstruktur yang
berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai,
bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
2. Mitigasi (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
a. Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
1) Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat
ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik
sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian
bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana
yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
8
2) Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya
tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan
gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana
yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai
saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang
berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang
akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
3) Persiapan (preparedness); kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur
mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena
bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui
kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika
situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah
daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat
menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi
dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah
perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan
fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta
usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman
terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi
struktur).
9
pelaku pariwisata dalam upaya mitigasi bencana menjadi suatu
keharusan.
2) Selain itu, pembangunan infrastruktur terutama di destinasi pariwisata
prioritas yang rawan bencana. Misalnya dengan membangun sistem
peringatan dini (Early Warning System) di titik rawan bencana dan
mendirikan shelter evakuasi sementara di tempat yang strategis dan
aman dari bencana.
3) Selain itu, diperlukan juga pemasangan jalur atau rambu evakuasi yang
mengarahkan masyarakat dan wisatawan saat ada perintah untuk
melakukan evakuasi.
4) Infrastruktur penunjang juga perlu mendapat perhatian, seperti
pembangunan model hunian penduduk dan fasilitas kritis seperti rumah
sakit dan sekolah. Fasilitas pariwisata seperti pusat informasi pariwisata
(Tourism Information Center), hotel atau penginapan perlu dirancang
sedemikian rupa sehingga tahan terhadap ancaman gempa.
5) Hal penting lainnya adalah membangun dan meningkatkan kapasitas
masyarakat dan wisatawan karena mereka merupakan pihak yang
pertama berhadapan dengan resiko bencana. Maka, penting untuk
memberikan edukasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan
kebencanaan di kawasan wisata rawan bencana tadi, seperti
meningkatkan kesiapsiagaan, mengatasi kepanikan ketika bencana
datang, atau dengan mengadakan simulasi tanggap bencana.
6) Terakhir, travel warning atau peringatan untuk tidak mengunjungi
destinasi yang sedang dalam siaga bencana penting untuk
disosialisasikan, baik melalui media cetak dan elektronik.
3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu
10
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
Berikut beberapa indikator yang dapat menjadi tolak ukur untuk menilai
kesiapsiagaan dalam menanggapi bencana di kawasan pariwisata.
a. Indikator Kesiapsiagaan
1) Pengetahuan dan sikap terhadap bencana
Pengetahuan terhadap bencana merupakan alasan utama seseorang
untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya kesiapsiagaan yang
ada (Sutton dan Tierney, 2006). Pengetahuan yang dimiliki
mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga
dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat
tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam. Indikator
pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan pengetahuan
dasar yang semestinya dimiliki oleh individu meliputi pengetahuan
tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun apa yang harus
dilakukan bila terjadi bencana (ISDR/UNESCO 2006). Individu atau
masyarakat yang memiliki pengetahuan yang lebih baik terkait dengan
bencana yang terjadi cenderung memiliki kesiapsiagaan yang lebih baik
dibandingkan individu atau masyarakat yang minim memiliki
pengetahuan.
2) Rencana tanggap darurat
Rencana tanggap darurat adalah suatu rencana yang dimiliki oleh
individu atau masyarakat dalam menghadapi keadaan darurat di suatu
wilayah akibat bencana alam (Sutton dan Tierney, 2006). Rencana
tanggap darurat menjadi bagian yang penting dalam suatu proses
kesiapsiagaan, terutama yang terkait dengan evakuasi, pertolongan dan
penyelamatan, agar korbanbencana dapat di minimalkan
(ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat sangat penting
terutama pada hari pertama terjadi bencana atau masa dimana bantuan
11
dari pihak luar belum datang (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap
darurat ini adalah situasi dimana masyarakat memastikan bagaimana
pembagian kerja sumber daya yang ada pada saat bencana.
3) Sistem peringatan dini
Sistem peringatan meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi
jika akan terjadi bencana. Sistem peringatan dini yang baik dapat
mengurangi kerusakan yang dialami oleh masyarakat (Gissing, 2009).
Sistem yang baik ialah sistem dimana masyarakat juga mengerti
informasi yang akan diberikan oleh tanda peringatan dini tersebut atau
tahu apa yang harus dilakukan jika suatu saat tanda peringatan dini
bencana berbunyi/menyala (Sutton dan Tierney, 2006). Oleh karena itu,
diperlukan juga adanya latihan/simulasi untuk sistem peringatan
bencana ini.
4) Sumber daya mendukung
Sumber daya yang mendukung adalah salah satu indikator
kesiapsiagaan yang mempertimbangkan bagaimana berbagai sumber
daya yang ada digunakan untuk mengembalikan kondisi darurat akibat
bencana menjadi kondisi normal (ISDR/UNESCO, 2006). Indikator ini
umumnya melihat berbagai sumber daya yang dibutuhkan individu atau
masyarakat dalam upaya pemulihan atau bertahan dalam kondisi
bencana atau keadaan darurat. Yang dapat berasal dari internal maupun
eksternal dari wilayah yang terkena bencana. Sumber daya menurut
Sutton dan Tierney dibagi menjadi 3 bagian yaitu sumber daya manusia,
sumber daya pendanaan/logistik, dan sumber daya bimbingan teknis
dan penyedian materi.
5) Modal sosial
Modal sosial sering diartikan sebagai kemampuan individu atau
kelompok untuk bekerja sama dengan individu atau kelompok lainnya.
Masyarakat atau individu yang memiliki ikatan sosial yang lebih baik
antara satu dengan yang lainnya akan lebih mudah dalam melakukan
12
kesiapsiagaan yang ada. Selain itu modal sosial yang baik diantara
masyarakat di wilayah yang rentan terhadap bencana akan mengurangi
kerentanan itu sendiri (Martens, 2009). Modal sosial yang solid antara
penduduk akan mempermudah masyarakat dalam melakukan mobilisasi
pada saat evakuasi akan dilakukan. Modal sosial juga dapat menjadi
pengerak indikator kesiapsiagaan yang lainnya seperti menyepakati
tempat evakuasi yang sama, sepakat dalam mengikuti pelatihan, dan
bersama-sama dalam melakukan tindakan kesiapsiagaan lainnya
(Sutton dan Tierney 2006).
b. Upaya Kesiapsiagaan yang Dapat Dilakukan di Kawasan Pariwisata
Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di tahap preparedness.
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsure
pendukungnya di kawasan pariwisata.
2) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi masyarakat sekitar daerah
pariwisata beserta pekerja di kawasan tersebut.
3) Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
4) Penyiapan dukungan / stok logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu
guna mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan peringatan dini (early warning).
7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).
8) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan.
9) Pembuatan standar bantuan dan pelayanan.
c. Pembentukan Tim Bencana
Pembetukan tim bencana juga sangat dibutuhkankan. Tim bencana
merupakan orang-orang yang mengkoordinir atau memiliki tanggung jawab
terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang biasanya digunakan di
hotel biasanya adalah Emergency Responsible Team dan Fire Brigade,
sedangkan menurut BPBD Kota Denpasar beberapa jenis tim bencana
13
adalah Publict Save Community (PSC), Barisan Relawan Bencana
(BALANA), dan Search and Rescue (SAR). Adapun jenis-jenis tim
bencana tersebut adalah sebagai berikut :
1) Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh Georgetown
University (2014) sebagai berikut,”The Emergency Responsible Team
(ERT) is responsible team for coordinating the response to crises
affecting the safety and operation of some disaster. They will be called
to assist in the management of the emergency situation”. Tim ini
merupakan tim khusus yang menangani masalah bencana, tim ini selain
dibentuk oleh Georgetown University juga dibentuk oleh berbagai
organisasi termasuk hotel.
2) Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut “Fire Brigade is a private or
temporary organization of individual equipped to fight fires”. Fire
Brigade tersebut merupakan organisasi yang bertugas untuk
menanggulangi segala jenis bencana yang berhubungan dengan
kebakaran. Selain dari pemerintah, tim ini biasanya juga dibentuk oleh
hotel-hotel.
3) Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community merupakan
petugas yang memberikan pelayanan kedaruratan kepada masyarakat
Kota, dioprasikan oleh petugas khusus yang dilengkapi dengan tiga
mobil ambulance, dan siaga 24 jam di setiap pos jaga. Petugas PSC
bergerak mengikuti pergerakan mobil pemadam pada saat terjadi
kebakaran dan PSC setiap saat bertugas mengevakuasi korban
kecelakaan lalulintas dan bencana lainya.
4) Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43 Tahun 2005
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, Searh
14
and Rescue (SAR) memiliki pengertian yaitu badan yang berfungsi
melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian dan pengendalian potensi
Search and Rescue (SAR) dalam kegiatan SAR terhadap orang dan
material yang hilang atau dikhawatirkan hilang, atau menghadapi
bahaya dalam pelayaran dan atau penerbangan, serta memberikan
bantuan SAR dalam penanggulangan bencana dan musibah lainnya
sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan Internasional.
5) Barisan Relawan Bencana (BALANA)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana (BALANA)
merupakan barisan relawan bencana yang direkrut dari pegawai Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan Pemerintah Kota
Denpasar yang ditugaskan ikut serta menangani bencana.
15
4) Penyediaan sanitasi
d. Penyediaan dan penyebaran informasi korban, fasilitas rusak dan lain-lain.
e. Pemberantasan vektor untuk pencegahan penyakit menular.
f. Koordinasi dan pengelolaan bantuan.
5. Pemulihan (Recovery)
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah
yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih
baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi :
a. Perbaikan sarana/prasarana sosial dan ekonomi.
b. Penanggulangan kejiwaan pasca bencana (post traumatic stress) melalui
penyuluhan, konseling, terapi kelompok (di sekolah) dan perawatan.
c. Pemulihan gizi/kesehatan.
d. Pemulihan sosial ekonomi sebagai upaya peningkatan ketahanan
masyarakat (antara lain: penciptaan lapangan kerja, pemberian modal
usaha, dll).
Parameter Penilaian
1. Pengetahuan bencana terdiri dari:
a. Pengetahuan umum
16
2) Sudah pernah melakukan/berpartisipasi dalam
pelatihan singkat kebencanaan yang diberikan oleh
dinas/instansi yang relevan dan ada tanda bukti
sertifikat/surat keterangan secara individu atau kelembagaan,
3) Jika poin b diatas terpenuhi, apakah sudah
disosialisasikan dilingkungan perusahan .
4) Apakah daftar manajemen atau staff yang telah
mengikuti pelatihan kebencanaan disediakan
5) Tersedia referensi/dokumen tentang kebencanaan dan
pengurangan risiko bencana yang mudah diakses oleh
manajemen dan staff.
6) Pernah mendatangkan ahli/konsultan dalam upaya
pengurangan risiko bencana dan peningkatkan kapasitas
pengetahuan kebencanaan.
7) Memiliki pengetahuan tentang cuaca, iklim, kualitas
udara, gempa bumi dan tsunami sesuai hazard masing-
masing.
8) Mengetahui potensi risiko bencana yang terjadi
dilingkungan perusahaanya dan mengetahui cara
penanganannya
9) Tersedia dokumen kajian risiko yang disusun
berdasarkan potensi hazard dilingkungan perusahannya
masing-masing
17
kebencanaan seperti BPBD, BMKG, SAR, PMI,
Dinas Kesehatan, BPPT, LIPI, Perguruan Tinggi dll.
Dibuktikan dengan sertifikat/Surat Keterangan.
2) Perusahan pernah mengikuti drill/simulasi
yang dilakukan oleh Dinas/Lembaga yang menangani
kebencanaan.
3) Perusahan pernah terlibat langsung dalam
kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana yang
diselenggarakan oleh Dinas/Instansi kebencanaan
minimal dilakukan didaerah sekelilingnya.
4) Pernah terlibat langsung/berpartisipasi dalam
kegiatan tanggap darurat bencana.
2. Mitigasi
a. Mitigasi Struktural
1) Tersedia denah/peta bangunan yang terpasang disetiap sisi
gedung/kamar kerja/kamar istirahat dll.
2) Terdapat areal yang bisa digunakan sebagai titik kumpul (assembly
point) ketika terjadi emergency.
3) Jika point 3 diatas tersedia, apakah assembly point sudah sesuai dengan
kreteria standard persyaratan assembly point.
4) Apakah telah ditentukan daerah aman (safe area) untuk beberapa hazard
contohnya untuk gempabumi, tsunami, kebakaran atau banjir.
5) Tersedianya sarana proteksi kebakaran aktif (Sistem deteksi dan alarm,
APAR, Hidrant, Springkler dll) yang dirancang sesuai dengan standar
tingkat bahayanya.
6) Jika point 5 diatas tersedia, apakah semua karyawan/staff mampu
mengoperasionalkan.
7) Apakah sarana proteksi dimaksud siap digunakan kapan saja ? (Periksa
kartu control)
18
8) Apakah tersedia fasilitas dan aksesibilitas bangunan yang diperuntukan
kepada kelompok disable (cacat),
9) Sistem penanggulangan banjir sudah didesain sedemikian rupa (
drainase, biopori)
10) Dilengkapi dengan sistem pembuangan limbah yang aman dari
pencemaran lingkungan
11) Dilengkapi dengan tangga darurat dan pintu keluar darurat disetiap unit
bangunan.
12) Penangkal petir telah terpasang sesuai dengan persyaratan tinggi
bangunan dan telah diperiksa dan diuji secara berkala.
13) Struktur ruang telah memperhatikan aspek pengurangan resiko
bencana/kecelakaan yang menimbulkan bencana (antara kamar
kerja/kamar tamu dengan cooler, boiler, genset, limbah dll)
14) Apakah terpasang tanda-tanda peringatan bahaya pada area-area bahaya
disekitar bangunan
15) Membangun kemandirian semua komponen manajemen perusahan ,
untuk meningkatkan kesadaraan membangun kesiapsiagaan dan
pengurangan risiko bencana (Periksa dokumen kajian risiko bencana).
16) Turut aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan
untuk pengurangan resiko bencana baik yang dilaksanakan sendiri atau
patisipasi.
17) Apakah ada inisiatif bekerjasama dengan stakeholder lain dalam
kegiatan sosial fokus kepada pengelolaan lingkungan terutama dengan
masyarakat disekitar lokasi perusahaan/hotel.
19
1) Adanya kebijakan perusahaan peduli terhadap pengelolaan
lingkungan demi keamanan dan keselamatan bila terjadi
ancaman bencana.
2) Apakah pernah mengadakan pelatihan pengurangan Risiko
Bencana
3) Memiliki MOU dengan Instansi terkait dalam rangka
membangun/meningkatkan kapasitas staff terhadap aksi-aksi
pengurangan risiko bencana.
4) Tersedia kebijakan perlindungan (santunan, asuransi dll.)
terhadap staff/karyawan, aset perusahaan dan pemakai jasa
perusahaan.
20
1) Perusahaan telah menentukan cara untuk memperoleh informasi
peringatan dini dari instansi terkait seperti PUSDALOPS, BMKG,
PVMBG, BPBD Provinsi dan kabupaten/kota.
2) Kalau point 1 diatas tersedia, apakah ada terpasang atau menggunakan
jenis teknologi apa.
3) Memiliki mekanisme yang jelas dalam menerima informasi peringatan
(bagan/skema sistem peringatan dini)
4) Pembagian tugas yang jelas bagi para pejabat/staff ketika menerima
informasi peringatan dini dan reaksi yang harus dilakukan.
5) Bagaimana dengan penyampaian peringatan dini (warning) kepada para
tamu dan pekerja perusahan, adakah format arahan yang standard untuk
reaksi yang efektif dan efisien?
6) Rambu evakuasi terpasang atau rambu lainnya sesuai dengan hazard
diwilayahnya.
7) Tersedia peta rencana evakuasi sesuai dengan identifikasi hazard
(Gempa bumi, Tsunami. Kebakaran, banjir dll) serta prosedur dan
strategi yang digunakan.
c. Kapasitas Respon
1) Tersedia data potensi dan sumber dayaseperti, data personil terlatih,
peralatan dan perlengkapan dalam mendukung penanggulangan
bencana (data base)
2) Tersedia peralatan standard first responder seperti tandu, kotak
Pertolongan Pertama (dulu disebut kotak PPPK), spalk/bidai, pembalut
cepat/mitela, masker secukupnya.
3) Tim khusus yang dibentuk sudah dilengkapi dengan peralatan standard
Alat Pengaman Diri (APD)
4) Telah mengikuti pelatihan bantuan hidup dasar (BHD) dan Medical
First Responder (MFR)
21
5) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti pelatihan
(Praktis) Search and Resque (SAR)
6) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti pelatihan
penanganan kasus kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit
7) Regu pemadam kebakaran terbentuk dan terlatih menggunakan
peralatan yang tersedia di perusahaan.
4. Keamanan
a. Perusahaan memiliki prosedur yang jelas penanganan keamanan ketika
terjadi ancaman bencana.
b. Perusahaan memiliki peralatan penunjang untuk pemantauan aktifitas
keamanan dan kemungkinan terjadinya bencana seperti CCTV
c. Petugas keamanan memiliki pengetahuan praktis kebencanaan
d. Memiliki jejaring komunikasi yang kuat dengan instansi terkait Seperti
dengan TNI, POLRI, Pecalang Desa adat dll.
e. Tersedia check list dinas/instansi pelaku kebencanaan, contact person dan
nomor telephon penting.
22
d. Contoh material informasi seperti Room directory, brosur, leaflet, poster
atau booklet yang telah tersedia.
e. Dokumen kegiatan pelatihan kebencanaan yang pernah dilaksanakan
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25