Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Di Amerika Serikat, resiko penyakit diabetes tipe 2 telah tumbuh menjadi epidemi. Hari
ini, dokter lebih peka terhadap resiko diabetes pada pasien, tetapi banyak dokter tidak menyadari
bahwa gangguan seperti skizofrenia dan gangguan bipolar berhubungan dengan resiko
peningkatan diabetes. Penggunaan antipsikotik atipikal juga dapat menempatkan pasien pada
resiko gangguan komplikasi yang lebih dikenal sebagai sindrom metabolik. Perubahan fisik
seperti berat badan mungkin merupakan indikasi efek samping metabolic pada pasien yang
diobati dengan antipsikotik. Dokter mengobati pasien dengan gangguan jiwa perlu menyesuaikan
diri terhadap perubahan fisik yang mungkin merupakan tanda serius diabetes atau sindrom metabolik.

Antipsikotik membuka dunia baru bagi penderita gangguan jiwa. Membuat penderita gangguan
jiwa dapat berpikir jernih, meningkatkan kemampuan kerja, keterampilan interaksi sosial yang lebih baik
dan sangat efektif bagi mereka dengan gangguan pikiran yang mempengaruhi kemampuan mereka
untuk berfungsi dalam masyarakat. Ketika antipsikotik generasi kedua, yaitu antipsikotik atipikal,
dipasarkan tahun 90-an, antusiasme pasar sangat tinggi karena obat tersebut beresiko rendah pada efek
samping berupa kesulitan motorik (tardive dyskinesia).

Antipsikotik generasi kedua datang dengan masalah tak terduga: yaitu berat badan
yang berlebihan di sekitar perut. Meskipun peningkatan berat badan juga merupakan efek
samping dari obat antipsikotik generasi pertama seperti Thorazine, namun berbeda dengan obat
antipsikotik atipikal. Obat tersebut menyebabkan peningkatan berat badan yang terjadi dengan
cepat langsung ke perut, meski seringkali tanpa orang mengubah diet makan atau tingkat latihan olahraga.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kenaikan berat badan secara langsung berkaitan
dengan resistensi insulin. Insulin spesifik terkait lemak perut ini menyebabkan segudang resiko
bagi mereka yang mengkonsumsi obat-obatan.

1
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pola Hubungan Terjadinya Diabetes dan Gangguan Kejiwaan


Penyerta diabetes dan gangguan kejiwaan dapat hadir dalam pola yang berbeda. Pertama,
keduanya dapat hadir sebagai kondisi independen dengan koneksi langsung yang tidak jelas.
Dalam skenario kedua adalah hasil dari jalur patogen yang independen dan paralel. Kedua, tentu
diabetes dapat menjadi rumit dengan munculnya gangguan kejiwaan. Dalam kasus diabetes
berkontribusi patogenesis gangguan kejiwaan. Berbagai faktor biologis dan psikologis
menengahi munculnya gangguan kejiwaan dalam konteks seperti itu. Ketiga, gangguan kejiwaan
tertentu seperti depresi dan skizofrenia bertindak sebagai faktor risiko independen yang
signifikan untuk perkembangan diabetes. Keempat, mungkin ada tumpang tindih antara
presentasi klinis hipoglikemik dan episode ketoasidosis dan kondisi seperti serangan panik.
Kelima, toleransi glukosa terganggu dan diabetes bisa muncul sebagai efek samping dari obat
yang digunakan untuk gangguan kejiwaan. Pengobatan gangguan kejiwaan dapat mempengaruhi
perawatan diabetes dengan cara lain juga seperti yang dibahas dalam bagian berikutnya.

Diabetes dan gangguan kejiwaan berinteraksi dengan cara lain juga. Penyalahgunaan zat tertentu
seperti tembakau dan alkohol dapat mengubah farmakokinetik dari obat-obatan hipoglikemik
oral. Selain itu, adanya gangguan kejiwaan komorbiditas seperti depresi dapat mengganggu
manajemen diabetes dengan mempengaruhi kepatuhan pengobatan.
2
Demikian pula gangguan tertentu seperti fobia jarum dan suntikan dapat memberikan kesulitan
pada penyelidikan dan proses pengobatan seperti tes glukosa darah dan injeksi insulin. Pasien
dengan gangguan kejiwaan juga kurang memungkinkan untuk mencari pengobatan. Penundaan
tersebut akan menunda deteksi terjadinya diabetes.

B. Implikasi dari Hubungan Terjadinya Diabetes dan Gangguan Kejiwaan

Gangguan kejiwaan yang terjadi pada pasien dengan diabetes berhubungan dengan gangguan
kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan, miskinnya kepatuhan pengobatan, miskinnya
kontrol glikemi (dibuktikan dengan peningkatan kadar HbA1c), peningkatan kunjungan ruang
gawat darurat karena diabetes ketoasidosis, tingginya frekuensi rawat inap, Selain itu ada
peningkatan biaya perawatan medis. Biaya perawatan untuk kondisi kesehatan bebas-mental
pada pasien dengan gangguan kejiwaan dengan gangguan endokrin.1

C. Diagnosis Gangguan Kejiwaan antara Pasien dengan Diabetes

Salah satu tantangan terbesar dalam manajemen gangguan kejiwaan antara orang-orang yang
menderita diabetes adalah rendahnya angka untuk mendeteksi. Sampai dengan 45% dari kasus
gangguan mental dan tekanan psikologis yang berat yang terdeteksi pada pasien yang sedang
dirawat untuk diabetes. Dokter harus menyadari kemungkinan terjadinya gangguan kejiwaan
yang mungkin terkait dengan diabetes.

Gangguan kejiwaan dapat didiagnosis dengan menggunakan dua sistem nosological yang paling
sering digunakan. Ini adalah International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Conditions-10 (ICD-10) dari organisasi kesehatan dunia (WHO) dan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV) dari American Psychiatric Association
(APA).

Bab dibagi lagi menjadi 10 kategori dari 00-09 dengan setiap diagnosa psychiatric [tabel 1]. Ada
versi singkat perawatan primer ICD-10 yang ditujukan untuk membantu dokter perawatan primer
dalam mendiagnosis gangguan kejiwaan.2

3
Beberapa gangguan kejiwaan tertentu relevansi berkaitan dengan diabetes termasuk delirium,
gangguan penggunaan zat, depresi, kecemasan, psikotik, penyakit seperti skizofrenia, gangguan
makan. Bagian berikutnya memberikan gambaran dari kondisi kejiwaan ini dalam konteks
diabetes.

Delirium
Delirium pada diabetes bisa menjadi gejala dari episode hipoglikemik atau ketoasidosis diabetik.
Delirium merupakan manifestasi berat dari fase-fase ini. Pasien dengan diabetes dan menderita
gangguan kejiwaan lebih cenderung mengalami hipoglikemik delirium. Delirium ini dikaitkan
dengan berbagai hasil yang merugikan, termasuk tinggal di rumah sakit meningkat, peningkatan
kerusakan kognitif dan fungsional, morbiditas dan mortalitas.3

4
Delirium diabetes bisa hadir sebagai hypoactif atau hiperaktif delirium. Pada hiperaktif delirium,
pasien bersemangat, berbicara tidak relevan dan bergerak di sekitar tanpa tujuan. Sebaliknya,
ketenangan dan mengurangi aktivitas psikomotor mendominasi gambaran klinis pada hipoaktif
delirium. Selain itu, disorientasi, kebingungan, dan perubahan sensorium ditanggung oleh kedua
bentuk ini. Gambaran klinis lain delirium meliputi gangguan persepsi seperti halusinasi,
gangguan siklus tidur-bangun dan gangguan pikiran.

Identifikasi dini sangat penting untuk hasil delirium. Yang utama dari pengobatan adalah koreksi
penyebab yang mendasar dengan perawatan suportif. Dosis rendah dopaminergik antagonis (juga
dikenal sebagai antipsikotik tipikal) dapat digunakan untuk mengontrol gangguan perilaku.
Dianjurkan untuk menggunakan obat-obatan potensi tinggi seperti seperti haloperidol. Karena
gambar klinis dapat bervariasi dengan cepat dan penting untuk menilai pasien berkala dan
memodifikasi rencana perawatan yang sesuai.4

5
Mood Disorder
Gangguan mood termasuk gangguan depresi, dysthymia dan gangguan afektif bipolar (BPAD).
Hubungan terjadinya diabetes dan depresi telah didirikan dalam studi klinis pada populasi
umum. Hubungan terjadinya ini dikaitkan dengan peningkatan gangguan serta kematian. Risiko
perkembangan depresi adalah 50-100% lebih tinggi di antara pasien dengan diabetes
dibandingkan dengan populasi umum. Prevalensi pasien BPAD dengan diabetes ditemukan
terjadi peningkatan (di rumah sakit yang berbasis studi) atau sama (dalam survey epidemiologi)
yang diamati pada populasi umum.

Munculnya depresi pada diabetes dikaitkan dengan komplikasi yang meningkat, tingkat
kematian, dan biaya perawatan kesehatan.

Suatu meta-analisis terbaru telah melaporkan bahwa individu depresi memiliki 60% peningkatan
risiko perkembangan diabetes. Sebuah hubungan tertentu telah ditemukan antara risiko
perkembangan diabetes dan depresi nonsevere, depresi terus-menerus, dan depresi yang tidak
terobati.5

Demikian pula, diabetes telah diakui sebagai kondisi "depressogenic". Perubahan kimia
(termasuk perubahan neuro-endokrin seperti hypercortisolemia, leptin aktivitas dalam sistem
limbik, mengubah glukosa transportasi, sitokin sitokin proinflamatory) terkait dengan diabetes
atau pengobatan, faktor-faktor psikologis (seperti stres terkait dengan hidup dengan diabetes,
miskin kepatuhan pengobatan), dan faktor-faktor perilaku (gaya hidup, merokok, makan
berlebihan) telah terlibat dalam asosiasi kausal ini.

Ada hubungan sederhana diantara penggunaan antidepresan dan insiden diabetes dengan
penggunaan antidepresan jangka panjang pada dosis moderat atau tinggi yang meningkatkan
risiko diabetes hampir dua kali lipat. Demikian pula faktor-faktor seperti miskin diet, kebiasaan
tidak aktif, penggunaan nikotin berlebihan, obat-obatan psikotropika yang digunakan untuk
pengobatan bipolar disorder telah terlibat dalam hubungan antara BPAD dan diabetes.

Tricyclic antidepressants (TCAs), selective serotonine reuptake inhibitors (SSRIs), selective


serotonin, and norepinepherine reuptake inhibitors, serotonin modulators adalah obat yang biasa
digunakan untuk terapi depresi.

6
Pengenalan baru atipikal antipsikotik telah menarik banyak perhatian untuk efek samping
mereka yaitu gangguan metabolik dan kardiovaskular. Obat ini terkait dengan peningkatan risiko
kenaikan berat badan dan gangguan toleransi glukosa. Risiko efek samping bervariasi dalam
atipikal antipsikotik dengan clozapine dan olanzapine cenderung menjadi penyebabnya.
Demikian pula mood stabilizer seperti litium dan natrium valproate berhubungan dengan berat
badan dan gangguan kontrol glikemia .

Box 5: General principles of management of mood and anxiety disorders in diabetes

7
Box 6: Pharmacotherapy for depression and anxiety disorders in diabetes

Intervensi Nonfarmakologi seperti terapi perilaku kognitif dan interpersonal terapi dapat
digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan farmakoterapi.

Anxiety Disorder
Prevalensi gangguan kecemasan di antara pasien dengan diabetes jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Gejala ansietas telah diketahui menjadi faktor risiko signifikan untuk
perkembangan diabetes. Korelasi negatif telah diamati antara prevalensi gangguan kecemasan
dan tingkat HbA1c.

Tingkat prevalensi Generelized Anxiety Disorder (GAD) telah ditemukan menjadi sekitar tiga
kali lebih tinggi dari yang dilaporkan pada populasi umum. Namun, tingkat gangguan panik,
Obsessive Compulsive Disorder (OCD), Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), dan
Agoraphobia telah ditemukan dalam kisaran yang dilaporkan dalam komunitas studi.6

Fobia jarum dan suntikan dan fobia episode hipoglikemik adalah dua kondisi yang terkait dengan
diabetes.

8
Pasien dengan kondisi ini cenderung melewatkan pemantauan glukosa atau bahkan pemberian
dosis insulin pada kasus yang berat. Juga mereka mungkin mempertahankan keadaan
hiperglikemia kronik karena takut terjadinya episode hipoglikemik.

Gejala klinis seperti berkeringat, kecemasan, tremor, takikardia, dan kebingungan yang dialami
pada episode hipoglikemik dan gangguan kecemasan. Hal ini dapat menghadirkan sebuah
tantangan diagnostik terutama di kalangan orang-orang yang memiliki fobia episode
hipoglikemik.7

Obat-obatan yang digunakan dalam manajemen gangguan kecemasan seperti SSRI,


benzodiazepin dan beta adrenergic blockers bisa berpotensi mengganggu control glikemia dan
fisiologis normal dari tanda-tanda peringatan sebuah episode hipoglikemik yang akan datang.

Diabetes and Schizophrenia


Tidak jelas apakah skizofrenia adalah faktor risiko independen untuk diabetes, karena tidak ada
studi yang dilaporkan untuk semua faktor risiko pada penyakit diabetes, walaupun literatur
menunjukkan bahwa ini bisa terjadi.

Selama awal abad 20, beberapa peneliti menemukan bahwa intoleransi glukosa dan
hiperglikemia terjadi dengan peningkatan frekuensi antara pasien dengan demensia praecox.
Beberapa studi terbaru juga telah melaporkan hal yang serupa. Ryan et. al. membandingkan 26
obat antipsikotik pada pasien dengan skizofrenia dengan umur dan jenis kelamin sebagai kontrol
subjek, dan ditemukan sebuah prevalensi yang tinggi dari terganggunya glukosa puasa dan
tingginya resistensi insulin. Pada pasien skizofrenia dengan penggunaan obat-obatan telah
ditemukan peningkatan lebih dari tiga kali yang mana berhubungan dengan lemak pada daerah
intra abdomen (dimana berkorelasi dengan resistensi insulin) dengan umur dan BMI sebagai
control subjeknya.

Obat-obatan antipsikotik, terutama atipikal baru, mempunyai kontribusi pada prevalensi


kegemukan dalam populasi penderita skizofrenia obat, dengan perkiraan berkisar 40-60%
dibandingkan dengan 30% dari populasi orang dewasa umum. Selain itu, penggunaan obat-

9
obatan antipsikotik atipikal baru tampaknya meningkatkan risiko memperoleh atau
memperburuk diabetes tipe 2, bahkan juga menyebabkan diabetes ketoasidosis dan kematian.

Penelitian pada hubungan diabetes dan skizofrenia sebagian besar terfokus pada perkiraan
prevalensi dari pada hasil diabetes jangka panjang. Hal ini mungkin, bahwa hasil diabetes miskin
dalam populasi karena beberapa alasan. Pertama, risiko relatif kematian terkait dengan
skizofrenia 1.6 - 2,6 kali lebih tinggi daripada populasi umum, dengan penyebab utama kematian
menjadi penyakit kardiovaskular. Usia rata-rata kematian adalah 61 tahun untuk orang dengan
skizofrenia sedangkan 76 tahun untuk masyarakat umum. Kedua, pasien dengan skizofrenia
punya prevalensi yang tinggi (sekitar 75%) perokok. Ketiga, tidak adanya kepatuhan pada
pengobatan umum dan diperkirakan akan menjadi 50%. Akhirnya, kelompok ini sering
menderita gangguan wawasan, miskin akses ke perawatan medis, menurunnya kadar dukungan
psikososial, dan peningkatan kadar stress yang semuanya dapat memperburuk hasil medis.8

Diabetes and Dementia


Prevalensi diabetes tipe 2 meningkat dengan usia, seperti halnya prevalensi demensia. Beberapa
calon studi telah mengatakan bahwa risiko perkembangan demensia meningkat dengan kehadiran
obesitas di usia pertengahan dan diabetes di kemudian hari.

Dalam penelitian pada hewan, telah ditemukan penipisan reseptor insulin saraf pada beberapa
fitur dari degenerasi sel saraf yang terlihat di penyakit Alzheimer. Ini mendukung gagasan bahwa
bagian dari patofisiologi penyakit Alzheimer mungkin berhubungan dengan resistensi insulin
saraf.

Lebih lanjut, diabetes tipe 2 telah ditemukan menjadi faktor risiko independen untuk penyakit
Alzheimer dan demensia vaskular.9

10
Antipsychotic Medications and Obesity
Tak lama setelah pengenalan chlorpromazine, dokter menyadari bahwa penggunaan obat-obatan
antipsikotik menyebabkan pasien memperoleh berat badan yang berlebih. Itu lebih lanjut
memberitahu bahwa agen potensi rendah (chlorpromazine dan thioridazine) menyebabkan
kenaikan berat badan lebih besar dari pada obat-obatan potensi lebih tinggi (fluphenazine dan
seperti haloperidol).

Diantara obat-obatan atipikal, berbagai variasi derajat berat badan telah dilaporkan. Hummer et
al. melaporkan bahwa setelah pengobatan 1 tahun, pasien dengan pengobatan memakai
Clozapine memiliki berat badan > 10% dari berat badan awal. Tujuh pasien berat badannya terus
bertambah, sampai mencapai berat badan maksimum 30% dari berat badan awal mereka.

Clozapine-induced penambahan berat badan tidak muncul pada awal perawatan. Olanzapine,
dengan struktur kimia yang sama, juga telah dikaitkan dengan penambahan berat badan yang
signifikan. Dalam studi prospektif, olanzapine menyebabkan hampir dua kali peningkatan berat
badan dari pada risperidone. Penambahan berat badan ini tampaknya tidak berhubungan dengan
dosis dan dapat bertahan hingga 1 tahun.10

Antipsychotic Medications and Hyperglycemia


Laporan kasus dan database retrospektif analisis menunjukkan bahwa konvensional dan atipikal
antipsikotik dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dalam konsentrasi glukosa puasa.

Hiperglikemia ini dapat mengakibatkan onset baru tipe 2 diabetes, asidosis metabolik atau
ketosis dan kematian bahkan hiperglikemia yang terkait. Kebanyakan kasus onset baru jenis 2
diabetes terjadi dalam 6 bulan pertama perawatan dan sering, meskipun tidak selalu, terkait
dengan penambahan berat badan atau obesitas yang signifikan. Riwayat keluarga untuk diabetes
juga dikaitkan dengan peningkatan risiko.

Tampaknya ada variabilitas di antara antipsikotik generasi kedua tertentu sehubungan dengan
tingkat insiden diabetes. Koro et al., dalam studi kasus-kontrol, berdasarkan populasi besar,
menemukan resiko diabetes yang terkait dengan antipsikotik yang cukup variabel.

11
Studi retrospektif pada beberapa populasi besar menemukan bahwa olanzapine dan clozapine
dikaitkan dengan tingginya angka yang signifikan pada diabetes dari pada obat-obatan
antipsiokotik konvensional risperidone dan quetiapine. Bagaimanapun, risiko dari diabetes lebih
tinggi dengan penggunaan pengobatan obat antipsikotik dari pada sampel populasi pasien umum.

Selain itu, tingkat insulin yang tinggi telah ditemukan pada 46% pasien yang dirawat dengan
obat-obatan clozapine, dibandingkan dengan 21% dari mereka yang menerima obat-obatan
konvensional dan 71% pada sampel kecil dari pasien yang dirawat dengan olanzapine,
menunjukkan bahwa resistensi insulin adalah mekanisme yang mungkin.

Identification of Risk Factors for Diabetes


Banyak pasien yang memilih antipsikotik atipikal yang tidak adekuat untuk factor-faktor risiko
diabetes. Consensus konferensi dari American Diabetes Association, American Psychiatric
Association, American Association of Clinical Endocrinologist, dan North American Association
untuk studi obesitas merekomendasikan beberapa dasar evaluasi dalam menggunakan
pengobatan. Klinisi harus mendapati riwayat pribadi dan riwayat keluarga terkait dengan
obesitas, dislipidemia, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler.11

Tekanan darah dasar, glukosa puasa, dan tingkat lipid harus diperiksa. Rekomendasi ini
menyediakan kualitas yang sangat tinggi dari perawatan karena banyak pasien dengan
skizofrenia mungkin memiliki diabetes, lipid meningkat, dan hipertensi dan tidak menyadarinya.

Idealnya, berat badan pasien harus dimonitor pada setiap kunjungan. Tekanan darah, glukosa dan
tingkat lipid harus rechecked di 12 minggu dan setiap tahun sesudahnya.

12
Dampak Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik dan Diabetes

Antipsikotik atipikal dianggap terobosan signifikan dalam pengobatan gangguan psikotik,


dengan frekuensi rendah atau tidak adanya efek samping ekstrapiramidal. Secara bertahap
muncul laporan kasus yang menunjuk ke peningkatan kadar hiperglikemia dan diabetes melitus
terkait dengan penggunaan atypicals. Pada tahun 1999, Lindenmayer & Patel melaporkan kasus
olanzapine-induced diabetes ketoasidosis (DKA), yang memutuskan penghentian pengobatan
dengan olanzapine. Para penulis membahas peran olanzapine dalam menekan pengeluaran
insulin dan dalam menghasilkan respon hiperglikemia. Tovey et al. (2005) membahas dua pasien
yang dirawat dengan clozapine, yang kemudian menderita diabetes melitus, saat tes darah rutin.
Tingkat gula darah kembali ke dalam kisaran normal setelah penghentian clozapine di salah satu
pasien, tapi tidak di yang lain. Para penulis membahas mekanisme clozapine yang mungkin
berkontribusi terhadap resistensi insulin melalui penurunan uptake glukosa dalam otak dan
jaringan perifer maupun gangguan fungsi sel β. Mereka menekankan perlunya monitoring
sebelum dan setelah memulai pengobatan dengan clozapine.

Clozapine menghambat sekresi insulin dalam respon terhadap glukosa, yang dapat menjelaskan
hiperglikemia dan diabetes yang terkait dengannya, namun tidak mempengaruhi 'pelepasan
insulin basal'. Menariknya, haloperidol tidak berpengaruh pada pelepasan insulin.

Summary
Obat-obat antipsikotik sering diresepkan oleh dokter nonpsychiatric, dan penggunaan atipikal
antipsikotik meningkat. Meskipun obat-obat ini memiliki beberapa keuntungan dan tolerabilitas
atas obat-obatan konvensional, baru-baru ini telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kenaikan
berat badan, diabetes, dan hyper-triglyceridemia.

Dalam populasi geriatrik dengan diabetes, obat-obatan ini telah dikaitkan dengan peningkatan
risiko serebrovaskular dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Pada anak-anak dan remaja,
pengetahuan tentang perkembangan anak dan pengakuan dari pengaruh faktor-faktor psikologis
pada kepatuhan pengobatan adalah penting.

13
Skrining untuk faktor risiko penyakit jantung dan metabolik sangat penting ketika atipikal
antipsikotik akan diresepkan. Pemeriksaan dasar ini harus mencakup pertanyaan tentang riwayat
pribadi dan keluarga pada faktor risiko diabetes dan pengukuran tekanan darah, glukosa puasa
dan lipid serum. Pengurangan risiko diabetes, termasuk gizi dan aktivitas fisik konseling, kontrol
tekanan darah, menurunkan kolesterol dan trigliserida, menurunkan berat badan dan
meningkatkan aktivitas fisik, dapat memiliki dampak positif pada diabetes dan penyakit kejiwaan
dan dapat berhasil digunakan pada pasien dengan skizofrenia.

14
Daftar Pustaka
1. Goldney RD, Phillips PJ, Fisher LJ, Wilson DH. Diabetes, depression, and quality
of life: a population study. Diabetes Care. 2004;27:1066–70
2. Li C, Ford ES, Zhao G, Balluz LS, Berry JT, Mokdad AH. Undertreatment of
mental health problems in adults with diagnosed diabetes and serious
psychological distress: the behavioral risk factor surveillance system,
2007. Diabetes Care. 2010;33:1061–64
3. MacLullich AM, Beaglehole A, Hall RJ, Meagher DJ. Delirium and long-term
cognitive impairment.Int Rev Psychiatry. 2009;21:30–42
4. Han JH, Shintani A, Eden S, Morandi A, Solberg LM, Schnelle J, et al.
Delirium in the emergency department: an independent predictor of death
within 6 months. Ann Emerg Med. 2010;56:244–52
5. Egede LE, Zheng D. Independent factors associated with major depressive
disorder in a national sample of individuals with diabetes. Diabetes
Care. 2003;26:104–11
6. Huang CJ, Chiu HC, Lee MH, Wang SY. Prevalence and incidence of anxiety
disorders in diabetic patients: a national population-based cohort study. Gen
Hosp Psychiatry. 2011;33:8–15.
7. Hermanns N, Kulzer B, Krichbaum M, Kubiak T, Haak T. Affective and
anxiety disorders in a German sample of diabetic patients: prevalence,
comorbidity and risk factors. Diabet Med.2005;22:293–300
8. Kasanin J: The blood sugar curve in mental disease. II. The schizophrenia
(dementia praecox) groups. Arch Neurol Psychiatry16 : 414-419,1926
9. Stahelin HB, Monsch AU, Spiegel R: Early diagnosis of dementia via a two-step
screening and diagnostic procedure. Int Psychogeriatr9 : 123-130,1997
10. Hummer M, Kemmler G, Kurz M, Kurzthaler I, Oberbauer H, Fleischhacker WW:
Weight gain induced by clozapine. Eur Neuropsychopharmacol5 :437-440,1995
11. American Diabetes Association, American Psychiatric Association, American
Association of Clinical Endocrinologists, North American Association for the
Study of Obesity: Consensus development conference on antipsychotic drugs and
obesity and diabetes. Diabetes Care 27:596 -601, 2004
15
REFERAT

GANGGUAN JIWA PADA PASIEN DIABETES

Disusun Oleh :

Richa Hakbar Rafsanjani


11.2012.144

Dokter Pembimbing :

Dr.Elly Ingkiriwang, Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
16

Anda mungkin juga menyukai