Pendahuluan
Pada dasarnya Dokter berasal dari bahasa latin tang berarti guru, yaitu
merupakan seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan
orang-orang yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa
disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan
pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran. Dengan
keilmuannya dan keahliannya dalam menyembuhkan orang-orang yang sakit,
dari keahliannya tersebut seorang dokter mempunyai beberapa sumber
penghasilan. Penghasilan yang diterima dokter tersebut merupakan objek pajak
penghasilan, maka seorang dokter wajib membayar atau melunasi pajak
penghasilan termasuk penghasilan yang diterima dari penghasilan lainnya.
SumberPenghasilanDokter
Pada umumnya dokter memiliki beberapa sumber penghasilan yaitu:
1. Penghasilan yang bersumber dari keuangan rumah sakit atau bendaharawan rumah sakit sebagai pegawai tetap PNS atau
karyawan rumah sakit berupa gaji, tunjangan-tunjangan, honorarium, dan imbalan lainnya.
2. Penghasilan yang diterima sebagai tenaga ahli atau tenaga profesional berupa fee, komisi, dan imbalan lainnya.
3. Penghasilan yang diterima sebagai anggota atau peserta kegiatan yang mendapatkan imbalan berupa uang saku atau uang
rapat
4. Penghasilan yang diterima berupa penghargaan atau hadiah atas hasil membuat obat-obatan atau alat kesehatan.
5. Penghasilan yang diterima dari buka praktik sendiri.
6. Penghasilan lain yang diterima diluar pekerjaan yang terkait dengan kedokterannya, seperti penghasilan dari bunga
deposito, penjualan tanah, sewa mesin, hadiah, deviden dll.
Sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota
TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
Sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya;
Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV,
Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat perwira Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas dokter yang bekerja di Rumah Sakit sebagai Pegawai Tetap
Contoh :
Dokter Ricki adalah pegawai tetap di RS ABC dengan gaji dan tunjangan per bulan sebesar Rp15.000.000, Dokter Ricki belum
menikah dan mempunyai 4 tanggungan yaitu ibu yang tidak punya penghasilan, tante dan dua adik kandung. Berapakah PPh Pasal 21
yang harus dipotong oleh RS ABC?
Catatan:
Rumah Sakit ABC wajib memberikan bukti potong PPh pasal 21 untuk Dokter Ricki.
2. Penghitungan PPh 21 atas dokter (PNS) yang menerima penghasilan berupa Honorarium, komisi atau fee, uang saku,
uang presentasi, uang rapat yang dananya berasal dari APBN/APBD
Contoh :
Dokter Daniel (PNS Golongan IV) menerima honorarium yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp9.500.000. Berapa PPh Pasal
21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja?
Jawab:
15% xRp9.500.000 = Rp1.425.000,-
Catatan:
Pada Kasus ini Pemotongan PPh Pasal 21 bersifat final, oleh karena itu tidak diperhitungkan lagi dengan penghasilanlainnya, namun
tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan OP dengan melampirkan bukti potong PPh Pasal 21 tersebut.
3. Penghitungan PPh 21 atas dokter (Swasta) yang menerima penghasilan berupa Honorarium, komisi atau fee, uang saku,
uang presentasi, uang rapat yang dananya berasal dari APBN/APBD
Contoh :
Dokter Sandi (Pegawai swasta) menerima uang komisi yang berasal dari DEPKES sebesar Rp16.000.000,-. Berapa PPh Pasal 21
yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja?
Jawab:
5% x (50% x Rp16.000.000,-) = Rp400.000,-
Catatan:
Pada kasus ini Dokter Sandi wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari DEPKES dan wajib menghitung kembali penghasilan
tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya.
4. Penghitungan PPh 21 atas dokter (PNS/Swasta) yang membuka praktik di rumah sakit dan/atau klinik
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari 50% (lima
puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai.
Contoh :
Dokter Indro melakukan kerjasama dengan RS TBC untuk membuka praktik dokter setiap hari Senin – Jumat mulai pukul 19.00 –
21.00 WIB. Perjanjian kerjasama berupa bagi hasil sebelum pajak sebesar 60:40 untuk Dokter Indro dan RS TBC mulai berlaku
bulan Februari 2014. Pada bulan Februari 2014, jumlah pasien yang berobat sebanyak 300 pasien dengan jumlah pembayaran sebesar
Rp. 60.000.000,-. Sesuai dengan kesepakatan bahwa Dokter Indro akan menerima penghasilan sebelum pajak sebesar 60% X Rp.
60.000.000 = Rp. 36.000.000. Berapa PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja?
Jawab:
5% x (50% x Rp60.000.000,-) = Rp1.500.000.-
Maka penghasilan bersih setelah pajak yang diterima oleh Dokter Indro adalah Rp. 36.000.000 – Rp. 1.500.000,- = Rp. 34.500.000,-
Catatan:
Besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum
dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
5. Penghitungan atas dokter yang menerima penghasilan dengan membuka praktik sendiri.
Penghasilan yang diterima dokter baik dari pekerjaan bebas sebagai tenaga ahli atau pegawai tetap di rumah sakit atau klinik
kesehatan, maupun laba usaha dari membuka praktik sendiri dikenakan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih dahulu
dikurangi dengan PTKP setahun.
Contoh :
Dokter Sigit menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya PPh yang terutang selama satu tahun, yaitu:
Selain itu, Dokter Sigit mendapatkan penghasilan neto sebagai pegawai tetap di rumah sakit kasih sayang sebesar Rp200.000.000,-
setahun. Maka perhitungan PPh terutang adalah:
Penghasilan neto (Rp100.000.000 + Rp200.000.000)
Rp 300.000.000,-
Pengurang:
Rp 24.300.000,-
PTKP (TK/-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 275.700.000,-
PPh Pasal 21 terhutang :
Referensi:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak
Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah