Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma Bronkial

2.1.1 Sejarah

Asma adalah penyakit yang setua artefak. Kertas papirus Mesir yang

ditemukan sekitar tahun 1870 berisi resep untuk asma yang ditulis dalam huruf

hieroglif yang menuliskan campuran herbal yang dipanaskan di atas batu agar

penderita dapat menghisap asap hasil pembakarannya (Clark, 2013). Filsuf

Yunani “Hippocrates” adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah “asma

(asthma)”, asma berasal dari bahasa Yunani, yakni azein yang artinya “sulit

bernapas” (Bull, 2007). Meskipun asma telah diperkenalkan oleh Hippocrates

lebih dari 2.000 tahun yang lalu, tetapi sampai sekarang penyakit ini masih

menjadi masalah kesehatan (Sundaru, 2002).

Catatan sejarah yang berusia 1.500 SM menunjukkan bahwa asma

dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh “roh”. Pada abad ke-17 dan ke-

18 dokter mulai menyadari bahwa asma disebabkan oleh penyempitan saluran

napas. Pada tahun 1678, dokter Thomas Willis mendeskripsikan asma sebagai

“penyempitan (obstruksi) bronki oleh cairan kental, pembengkakan dinding, dan

obstruksi dari luar tubuh”. Sir John Floyer pada tahun 1698 pertama kali

menyatakan bahwa asma disebabkan oleh spasme (kejangnya) otot polos bronkus.

Sejak tahun 1970-an mulai didapatkan kejelasan bahwa asma merupakan

gangguan peradangan kronis pada saluran napas (Clark, 2013).

Universitas Sumatera Utara


7

2.1.2 Definisi

Asma bronkial adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1) obstruksi

saluran napas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan; 2)

inflamasi saluran napas; 3) peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai

rangsangan (hipereaktivitas) (Sundaru & Sukamto, 2010).

Asma bronkial adalah penyempitan bronkus yang bersifat reversibel yang

terjadi oleh karena bronkus yang hiperaktif mengalami kontaminasi dengan

antigen (Rab, 2010). Penyakit yang menyerang cabang-cabang halus bronkus

yang sudah tidak memiliki kerangka cincin-cincin tulang rawan, sehingga terjadi

penyempitan yang mendadak. Akibatnya penderita sesak napas, sehingga untuk

membantu pernapasan seluruh otot-otot pernapasan difungsikan secara maksimal.

Penyebab asma adalah alergi atau peka terhadap berbagai bahan seperti: butir-

butir sari bunga, bulu kucing, spora jamur, dan sebagainya. Pada waktu serangan

asma, sering ekspirasinya disertai bunyi: “ngiik, ngiiiik” yang panjang, karena

udara yang dihembuskan keluar melalui pipa yang sangat sempit. Dengan adanya

bunyi tersebut, di daerah Jawa penyakit asma dinamakan pula sakit mengi

(Irianto, 2014).

Adapun definisi asma bronkial, ada 3 hal yang penting yaitu sebagai

berikut (Dinajani, 2008):

a. Timbulnya secara periodik


b. Kronik
c. Reversibel (fungsi paru dapat kembali normal dengan atau tanpa pengobatan)

Universitas Sumatera Utara


8

2.2 Epidemiologi

2.2.1 Distribusi dan frekuensi

Angka kejadian asma pada anak dan bayi lebih tinggi daripada orang

dewasa, meskipun demikian asma dapat timbul sembarang waktu. Ada bayi

berumur kurang dari satu tahun sudah menderita asma, tetapi tidak heran bila ada

kakek atau nenek yang berumur 80 tahun baru menderita asma. Jika pada masa

kanak-kanak, penderita asma laki-laki lebih banyak daripada penderita

perempuan, pada usia dewasa terjadi sebaliknya. Di negara-negara yang telah

maju penelitian kedokterannya, 5-20% bayi dan anak-anak menderita asma,

sedangkan penderita asma usia dewasa dan orang tua rata-rata berkisar antara 2-

10%. Memang ada daerah-daerah tertentu seperti di Alaska atau di daerah

pegunungan di Papua New Guinea penduduknya jarang yang menderita asma,

tetapi di pulau Trista da Cunha pernah dilaporkan 49% penduduknya menderita

asma. Walaupun belum ada angka-angka yang resmi dari penelitian yang pernah

dilakukan di beberapa tempat diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia menderita

asma. Tinggi rendahnya angka kejadian ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara

lain faktor umur penderita, jenis kelamin, bakat alergi, bangsa, keturunan,

lingkungan dan faktor psikologik (Sundaru, 2002).

Jika Kanada dan Meksiko tidak dimasukkan ke dalam data statistik,

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta, Georgia

melaporkan bahwa pada tahun 2008, sekitar 38,4 juta orang (10,2 juta anak-anak

dan 28,2 juta orang dewasa) di Amerika Serikat telah didiagnosis asma pada suatu

saat dalam hidup mereka. Di Amerika Serikat, 3.816 orang meninggal akibat asma

Universitas Sumatera Utara


9

pada tahun 2004 dan diperkirakan sebesar 3.587 orang meninggal pada tahun

2005. Terdapat variasi menurut usia pada data tersebut, yaitu pasien yang berusia

diatas 65 tahun lebih sering meninggal akibat asma dibandingkan kelompok umur

lainnya. Pasien wanita biasanya lebih sering meninggal akibat gejala asma yang

mereka alami, dan 64% kematian akibat asma pada tahun 2004 terjadi pada wanita

(Clark, 2013).

2.2.2 Determinan

Determinan dari Asma Bronkial dapat dilihat dari host dan environment

yang juga sebagai agent.

i. Host

Determinan asma bronkial berdasarkan host diantaranya adalah faktor

genetika dimana yang diturunkan adalah bakat alergi dan hipersensitifitas saluran

pernafasan, jenis kelamin wanita pada usia dewasa lebih berisiko menderita asma

bronkial, dan pada individu obesitas (indeks massa tubuh > 30 kg/m2) dapat

menderita asma bronkial akibat terjadinya perubahan fungsi jalan napas karena

efek dari obesitas pada mekanika paru-paru (GINA, 2016).

ii. Environment dan Agent

Asma Bronkial juga dipengaruhi oleh faktor environment sebagai pencetus

dimana environment ini juga merupakan agent dari penyakit asma bronkial

tersebut. Beberapa faktor pencetus asma bronkial antara lain (Ayres, 2003):

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor

pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan

Universitas Sumatera Utara


10

(antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan

dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada

faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebut di atas, maka akan terjadi

serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus

yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga

disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini

menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat

berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan

mengalami asma gabungan.

2.3. Patogenesis

Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan

pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma

adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan (Sundaru & Sukamto,

2010).

2.3.1. Asma sebagai penyakit inflamasi

Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas.

Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas dengan vasodilatasi) dan rubor

(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa

sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu).

Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu

Universitas Sumatera Utara


11

infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa

membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik.

Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik

dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu

paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur

imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur

IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting

Cells = sel penyakit antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan

dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan

memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma

membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel,

eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-

mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin

(PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin

(TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan

peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel

radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan

hipereaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel

inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa

inflamasi dan HSN.

2.3.2. Hipereaktivitas saluran napas (HSN)

Yang membedakan asma dengan organ normal adalah sifat saluran napas

pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu),

Universitas Sumatera Utara


12

zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik,

selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap

alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian

lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas

seseorang yaitu:

1. Inflamasi saluran napas.

Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan

erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa

intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan

gejala asma.

2. Kerusakan epitel

Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma

kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan

meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi

ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus

sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai

bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan mengakibatkan

bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.

3. Mekanisme neurologis

Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis.

4. Gangguan intrinsik

Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga

berperan pada HSN.

Universitas Sumatera Utara


13

5. Obstruksi saluran napas

Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas diduga ikut berperan pada

HSN.

2.4 Klasifikasi

2.4.1 Klasifikasi derajat beratnya asma berdasarkan gejala klinis sebelum

pengobatan menurut GINA (Global Initiative for Asthma) (Dinajani, 2008)

Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Beratnya Asma Berdasarkan Gejala Klinis


Menurut GINA
Intermiten
a. Gejala-gejala kurang dari satu kali per minggu
b. Kekambuhan (eksaserbasi) sebentar
c. Gejala-gejala di malam hari tidak lebih dari dua kali per bulan
d. VEP1 (Volume Ekspirasi Puncak) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi) ≥ 80%
prediksi
e. Variabilitas VEP1 dan APE < 20%
Persisten Ringan
a. Gejala-gejala lebih dari sekali per minggu tetapi kurang dari satu kali per hari
b. Eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur
c. Gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per bulan
d. VEP1 atau APE ≥ 80% prediksi
e. Variabilitas VEP1 dan APE < 20-30%
Persisten Sedang
a. Gejala-gejala setiap hari
b. Eksaserbasi dapat mempengaruhi aktivitas dan tidur
c. Gejala-gejala di malam hari lebih dari dua kali per bulan
d. VEP1 atau APE ≥ 80%
e. Variabilitas VEP1 dan APE > 30%
Persisten Berat
a. Gejala-gejala setiap hari
b. Eksaserbasi sering kali
c. Gejal-gejala asma di malam hari sering kali
d. VEP1 atau APE < 60% prediksi
e. Variabilitas VEP1 dan APE > 30%

2.4.2 Klasifikasi asma bronkial berdasarkan penyebabnya

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkial dapat diklasifikasikan menjadi 3

tipe, yaitu (Ayres, 2003):

Universitas Sumatera Utara


14

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor

pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan

(antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan

dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada

faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebut di atas, maka akan terjadi

serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus

yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga

disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini

menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat

berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan

mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan

Tipe asma gabungan merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma

ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

2.5 Gambaran Klinis

Asma umumnya dimulai semasa anak-anak, tetapi dapat terjadi pada usia

berapa pun. Pasien mungkin memiliki riwayat yang menunjukkan atopi, termasuk

rinitis alergika, eksema, atau urtikaria, dan mungkin menghubungkan serangan

asma dengan alergen spesifik, misalnya semacam rumput-rumputan dan kucing.

Pasien seperti itu dikatakan menderita asma alergika. Banyak pasien seperti itu

Universitas Sumatera Utara


15

dikatakan menderita asma alergika. Banyak pasien seperti demikian yang

mengalami peningkatan IgE serum total, peningkatan IgE spesifik, dan eosinofilia

darah tepi. Jika tidak ada riwayat umum tentang alergi dan tidak ada alergen

eksternal yang dapat dikenal, digunakan istilah asma nonalergika (West, 2010).

Pada semua penderita asma, terdapat hipereaktivitas seluruh jalan napas,

yang menyebabkan gejala akibat iritan non spesifik, seperti asap, udara dingin,

atau olahraga. Hipereaktivitas (hiperresponsivitas) jalan napas dapat diuji dengan

memajankan pasien terhadap inhalasi metakolit atau histamin yang konsentrasinya

semakin bertambah dan mengukur FEV1 (resistensi jalan napas). Konsentrasi

yang menghasilkan penurunan FEV1 sebesar 20% dikenal sebagai PC20

(konsentrasi provoaktif 20). Serangan dapat terjadi setelah olahraga, terutama saat

hawa dingin. Konsumsi aspirin adalah penyebab pada beberapa individu karena

inhibisi jalur siklooksigenase. Hal ini mungkin memiliki komponen genetik. Di

antara serangan, pasien mungkin tidak menunjukkan gejala maupun inflamasi

menetap. Faktor psikologis sangat penting (West, 2010).

Selama serangan, pasien mungkin mengalami dispnea, ortopnea, dan

ansietas yang berat. Otot napas tambahan menjadi aktif. Paru mengalami

hiperinflasi, dan ronki nyaring terdengar di semua lapangan. Nadi menjadi cepat

dan mungkin terdapat pulsus paradoksikus (tekanan sistolik dan nadi yang sangat

menurun sewaktu inspirasi). Sputum sedikit dan kental. Foto toraks menunjukkan

hiperinflasi, tetapi selain itu normal. Status asmatikus menunjukkan serangan

yang terus-menerus selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari tanpa remisi

walaupun dengan terapi bronkodilator. Sering kali terdapat tanda kelelahan,

Universitas Sumatera Utara


16

dehidrasi, dan takikardia yang jelas. Dada mungkin menjadi senyap, tetapi

membahayakan dan diperlukan segera penatalaksanaan yang lengkap (West,

2010).

2.6 Pencegahan

Pencegahan asma hampir sama dengan pengendalian asma. Pengendalian

asma lebih ditujukan pada mereka yang sudah divonis menderita asma, sedangkan

pencegahan asma ini lebih bersifat umum dan ditujukan terhadap mereka yang

tidak menderita asma. Usaha pencegahan ditujukan agar orang yang sehat tidak

terkena asma, di mana tindakan-tindakan yang dilakukan lebih umum dan lebih

menyeluruh. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pencegahan asma

bronkial antara lain:

2.6.1 Pencegahan Primer

Beberapa upaya yang dilakukan dalam pencegahan primer antara lain:

i. Hidup sehat dan seimbang

Seseorang dengan pola hidup dan makan sehat umumnya memiliki kesehatan

yang lebih terjaga. Stamina tubuh juga lebih terjamin sehingga lebih mudah

mencegah diri dari berbagai penyakit, termasuk mencegah asma (Mumpuni &

Wulandari, 2013).

ii. Berolahraga

Olahraga sangat penting untuk menjaga kesehatan, melancarkan peredaran darah,

dan menjaga stabilitas pernapasan. Berolahraga setiap hari sangatlan penting, baik

mereka yang terkena asma maupun tidak (Mumpuni & Wulandari, 2013). Latihan

Universitas Sumatera Utara


17

pemanasan dapat membantu mengatasi gejala asma yang dipicu oleh olahraga saat

melakukan latihan pertama (Rohan & Suprapto, 2014).

iii. Menghindari sumber berbagai penyakit

Stres, makanan tinggi kolesterol, bekerja siang malam tanpa henti, minuman

keras, maupun narkoba adalah berbagai hal tidak baik yang merusak kesehatan.

Tubuh yang lemah akan mudah terserang penyakit, termasuk rentan alergi dan

terkena asma (Mumpuni & Wulandari, 2013).

iv. Menjaga kebersihan lingkungan

Lingkungan di mana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi

timbulnya serangan asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan.

Rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari. Seluruh

pembuangan air harus lancar. Kamar tidur merupakan tempat yang perlu

mendapat perhatian khusus (Sundaru, 2002). Lingkungan rumah dan lingkungan

sekitar yang bersih dan sehat akan membantu kita terhindar dari berbagai

penyakit. Bersihkan rumah setiap hari dengan membebaskan rumah dari debu,

bau-bauan yang menyengat, bangkai binatang, sampah yang berhamburan, dan

hal-hal lain yang merusak kebersihan dan kesehatan (Mumpuni & Wulandari,

2013).

v. Mengonsumsi makanan yang menguatkan stamina tubuh

Wortel, pepaya, tomat, ikan, beras merah, dan lain-lain yang menjadi penguat

stamina tubuh. Konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi untuk mengetahui

secara pasti berapa kebutuhan kalori untuk menguatkan stamina tubuh (Mumpuni

& Wulandari, 2013).

Universitas Sumatera Utara


18

vi. Menghindari segala hal pemicu asma

Bagi yang tidak menderita asma, ada baiknya menghindari segala hal pemicu

asma, seperti tungau, debu, bulu binatang (kucing, anjing, burung, kelinci, kecoak,

tikus, dan lain-lain), orang-orang yang sedang terserang influenza, tempat-tempat

ramai atau penuh sesak, kehujanan, pergantian suhu udara yang ekstrem, aktivitas

fisik berlebihan atau olahraga yang melelahkan, uap zat-zat kimia dan polusi

udara lainnya (asap rokok, asap mobil, uap bensin, uap cat, dan lain-lain), zat

aditif buatan. Hal ini dikarenakan semua itu dapat memicu penyakit asma

(Mumpuni & Wulandari, 2013).

vii. Menggunakan obat-obat pencegah asma

Pada serangan penyakit asma yang ringan dan jarang, penderita dapat memakan

obat-obatan seperti bronkodilator, baik dalam bentuk tablet, kapsul, maupun sirup

(Mumpuni & Wulandari, 2013).

2.6.2 Pencegahan Sekunder

2.6.2.1 Diagnosa

1. Anamnesis (wawancara)

Wawancara antara dokter dengan penderita atau keluarganya merupakan

bagian yang amat penting dalam membuat diagnosis penyakit pada umumnya,

asma khususnya. Dokter akan menanyakan berbagai hal mengenai penyakit

penderita sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi (Sundaru, 2002).

Beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain (Depkes,

2009):

a. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?

Universitas Sumatera Utara


19

b. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan (pencetus)?
c. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold) merasakan
sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
d. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan
aktivitas atau olahraga?
e. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat
pelega (bronkodilator)?
f. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca
atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba)?
g. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjunktivitis
alergi)?
h. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,
saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?
2. Pemeriksaan fisik

Dokter belum dapat menegakkan diagnosis asma secara pasti hanya

dengan menempelkan stetoskop pada dada penderita. Pemeriksaan jasmani selain

mencari bukti-bukti yang dapat mendukung diagnosis asma juga dimaksudkan

untuk menemukan penyakit-penyakit lain yang mungkin ada, di samping penyakit

asma sendiri. Asma yang berat pada anak sering mengganggu pertumbuhannya

sehingga penderita lebih kecil dibandingkan dengan sebayanya. Kadang-kadang

ditemukan dada yang mengembung seperti dada burung. Umumnya dengan

wawancara dan pemeriksaan jasmani dokter sudah dapat menentukan apakah

seseorang menderita asma atau tidak. Tetapi ada beberapa penyakit yang kadang-

kadang sulit dibedakan dengan asma atau penyakit asma sendiri yang gejalanya

tidak khas (Sundaru, 2002).

Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai

sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai

kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien

Universitas Sumatera Utara


20

bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang

untuk menegakkan diagnosis (Sundaru & Sukamto, 2010).

3. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Kadang-kadang dengan wawancara dan pemeriksaan jasmani saja dokter

belum dapat memastikan diagnosis asma karena banyak keadaan atau penyakit

yang menyerupai asma, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang, antara lain

(Sundaru, 2002):

i. Spirometri

Pemeriksaan spirometri atau kadang-kadang disebut tes fungsi paru

bertujuan untuk menunjukkan adanya penyempitan saluran napas. Pemeriksaan

spirometri tidak saja berguna untuk diagnosis asma, tetapi juga bermanfaat untuk

menilai beratnya penyempitan saluran napas dan menilai hasil pengobatan.

Untuk memantau berat ringannya penyempitan saluran napas serta menilai

hasil pengobatan asma, saat ini tersedia alat yang disebut Flow Meter, salah

satunya adalah Mini Wright Peak Flow Meter. Alat ini sangat praktis karena

mudah dibawa kemana-mana, disamping itu harganya relatif murah. Meskipun

hasil pengukuran dengan flow meter tidak seteliti pemeriksaan spirometri, tetapi

alat ini cukup membantu penderita dalam memantau penyakitnya di rumah atau

dimana saja.

ii. Pemeriksaan rontgen

Pemeriksaan rontgen paru hanya sedikit membantu dalam diagnosis asma,

karena pemeriksaan ini tidak dapat menunjukkan adanya penyempitan saluran

napas. Tujuan pemeriksaan rontgen pada asma ialah untuk melihat adanya

Universitas Sumatera Utara


21

penyakit paru lain seperti tuberkulosis atau komplikasi asma, seperti infeksi paru

atau pecahnya alveoli (pneumotoraks).

iii. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah juga tidak banyak membantu dalam diagnosis asma.

Pemeriksaan ini bertujuan selain untuk melihat adanya infeksi atau anemi (kurang

sel darah merah), juga untuk melihat adanya tanda-tanda penyakit alergi yang

berhubungan dengan asma seperti pemeriksaan jumlah eosinofil (jenis sel darah

putih tertentu), kadar zat anti IgE dan kadar IgE spesifik.

iv. Pemeriksaan tes kulit

Tes ini bertujuan untuk membantu diagnosis asma khususnya dalam hal

menentukan alergen sebagai pencetus serangan asma.

v. Uji provokasi bronkus (Tes provokasi bronkial)

Pemeriksaan provokasi, baru dilakukan bila dokter masih belum dapat

memastikan diagnosis asma meskipun ia sudah melakukan berbagai macam

pemeriksaan. Dengan melakukan provokasi baik dengan zat kimia seperti

histamin, metakolin atau hawa dingin atau kegiatan jasmani, dalam beberapa

menit saluran napas penderita asma yang tadinya normal akan menyempit. Pada

orang normal, tes provokasi ini tidak memberikan reaksi penyempitan saluran

napas, tetapi pada penderita asma selain menunjukkan penyempitan saluran napas

kadang-kadang sampai menimbulkan gejala asma seperti sesak, batuk, dan mengi.

Universitas Sumatera Utara


22

2.6.2.2 Pengobatan

1. Pengobatan asma bronkial berdasarkan derajat beratnya asma

i. Asma Intermitten

Terjadi karena serangan jarang, serta fungsi parunya normal, pasien tidak

memerlukan obat jangka panjang. Obat penghilang sesak hanya dipakai kalau

perlu saja seperti bila ada gejala atau bila mau olahraga atau masuk ke lokasi yang

akan menyebabkan sesak seperti gudang atau tempat berdebu. Obat yang

dianjurkan adalah golongan agonis beta 2 hirup (Combivent, Bricasma, Berotec

atau Ventolin). Obat yang lain sebagai alternatif dapat dipakai seperti teofilin,

agonis beta 2 oral tetapi efeknya lambat dan efek sampingnya lebih besar

(Sundaru, 2002).

ii. Asma Persisten Ringan

Pasien dengan persisten ringan memerlukan pengobatan pencegahan (kontroler)

setiap hari untuk mengendalikan asmanya. Obat yang dianjurkan adalah

kortikosteroid hirup (Inflammide, Pulmicort, Becotide) setiap hari. Alternatif lain

adalah teofilin lepas lambat (Quibron, Euphyllin). Agonis beta 2 hirup hanya

dipakai untuk menghilangkan gejala dan pemakaiannya tidak boleh melebihi 3-4

kali sehari (Sundaru, 2002).

iii. Asma Persisten Sedang

Pasien dengan asma persisten sedang memerlukan pengobatan setiap hari

untuk mengendalikan asmanya. Pasien yang tidak terkendali dengan

kortikosteroid hirup dosis rendah (setara dengan 400 µg budesonid) harus

ditambahkan agonis beta 2 hirup aksi panjang baik formoterol atau salmeterol.

Universitas Sumatera Utara


23

Obat kombinasi tersebut telah beredar di Indonesia dengan nama Seretide dan

Symbicort. Kedua jenis obat ini menurut penelitian sangat baik selain

memberikan perbaikan gejala asma dan fungsi paru juga meningkatkan kepatuhan

makan obat. Hal ini karena 2 sediaan obat dijadikan satu, sehingga membuat

pengobatan asma menjadi lebih sederhana. Saat ini terapi kombinasi

kortikosteroid hirup dan agonis beta 2 aksi panjang merupakan terapi yang paling

efektif dan paling dianjurkan. Tentu saja tersedia alternatif lain seperti teofilin

lepas lambat agonis beta 2 oral aksi panjang, dan antilekotrin sebagai pengganti

salmeterol dan formoterol (Sundaru, 2002).

iv. Asma Persisten Berat

Pengobatan memerlukan berbagai macam obat, seperti kortikosteroid hirup (diatas

1.000 µg budesonid atau beklometason dipropionat) ditambah agonis beta 2 hirup.

Kombinasi kedua obat tersebut seperti Seretide (kombinasi fluticasone dan

salmeterol) atau Symbicort (kombinasi budesonide dan formoterol), kadang-

kadang diberikan empat kali sehari untuk memberikan hasil yang lebih baik

(Sundaru, 2002).

2. Pengobatan asma bronkial akut (serangan akut)

Penderita asma bronkial yang sedang mendapat serangan asma harus

segera diobati dengan obat-obat antiasma yang dapat menghilangkan gejala asma.

Obat-obat yang termasuk dalam kelompok untuk asma akut terdiri atas

bronkodilator dan kortikosteroid sistemik. Sedangkan bronkodilator sendiri terdiri

atas 3 golongan yaitu:

Universitas Sumatera Utara


24

i. Simpatomimetik

Mimetik artinya menyerupai. Simpato berasal dari kata simpatetin yaitu

suatu hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal anak ginjal, sehingga obatnya

sering disebut sebagai adrenalin. Adrenalin sebenarnya obat antiasma yang

ampuh, tetapi sayangnya mempunyai banyak efek samping dan hanya dapat

diberikan secara suntikan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

saat ini telah dikembangkan obat-obat antiasma golongan simpatomimetik yang

ampuh, aman dan praktis penggunaannya. Tujuan dari pemberian obat

simpatomimetik adalah untuk melebarkan saluran napas dengan jalan melemaskan

otot-otot saluran napas yang sedang mengkerut (Sundaru, 2002).

ii. Santin (teofilin)

Tujuan dari pemberian obat teofilin adalah untuk melebarkan saluran napas

dengan cara melemaskan otot saluran napas yang mengerut. Meskipun efeknya

sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda

(Sundaru, 2002).

iii. Atropin

Atropin hanyalah bronkodilator yang lemah sehingga tidak dipergunakan sebagai

obat utama antiasma. Usaha penelitian di bidang farmasi telah berhasil membuat

turunan Atropin yaitu: Ipratropin bromida (Atrovent), tetapi efek melebarkan

saluran napasnya tidak begitu kuat (Sundaru, 2002).

iv. Kortikosteroid sistemik

Kortikosteroid atau steroid merupakan hormon kortison yang dihasilkan oleh

bagian kortek (tepi luar) anak ginjal. Sistemik berarti cara kerja obat melalui

Universitas Sumatera Utara


25

aliran darah. Tujuan dari pemberian obat tersebut adalah untuk melebarkan

saluran napas dengan jalan mengurangi pembengkakan jaringan sekitar saluran

napas dan mengurangi produksi lendir (Sundaru, 2002).

2.7 Kerangka Konsep

KARAKTERISTIK PENDERITA ASMA BRONKIAL


1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Suku
Pekerjaan
Pendidikan
Daerah Asal/Tempat Tinggal
2. Faktor Pencetus
3. Riwayat Serangan
4. Riwayat Keluarga
5. Lama rawatan rata-rata
6. Sumber Biaya
7. Keadaan Sewaktu Pulang

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai