Anda di halaman 1dari 44

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN


HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)/
AQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

OLEH :
NI PUTU SUYATI NINGIH
NIM 189012135
KELAS B10 - B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI


PROGRAM STUDI PROFESI NERS ALIH JENJANG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV/ AQUIRED IMMUNO
DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk
family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas
tubuh pejamu. Pada proses replikasi virus HIV diperlukan adanya perubahan dari
Ribonucleic Acid (RNA) menjadi Deoxyribonucleid Acid (DNA) di dalam sel
pejamu. Virus HIV menginfeksi tubuh memiliki masa inkubasi yang lama (masa
laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS (Direktorat
Jenderal PP & PL, 2012). HIV merupakan retrovirus yang menyerang sel-sel
sistem kekebalan tubuh manusia terutama CD4 positive T-sel dan macrophages
(komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu
fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan
yang terus-menerus. Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit (KPA
Nasional, 2010).
AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immuno Deficiency Virus) yang
menyebabkan kolapsnya sistem imun (Corwin, 2000). AIDS diartikan sebagai
bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi
Human Immunodefciency Virus (HIV). Manivestasi infeksi HIV ditandai dengan
tanda-tanda gelaja gangguan sistem imun yang ringan sampai manivestasi yang
menunjukkan kelainan sistem imun yang berat (Smeltzer, 2001). Smeltzer & Bare
(2001) menyatakan bahwa HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab
Accuired
Immunideficiency Syndrome (AIDS), yaitu gejala dari penyakit yang mungkin
terjadi saat sistem imun dilemahkan oleh virus HIV.
1) Struktur virus HIV
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder
yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat
lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan
komponen fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag, pol, dan
env. Gag berarti grup antigen, pol mewakili polimerase, dan env adalah
kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam
Kurniawati & Nursalam, 2007). Gen gag mengode protein inti. Gen pol
mengode enzim reverse transcriptase, protease, dan integrase. Gen envi
mengode komponen struktural HIV yang dikenal dengan glikoprotein. Gen
lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus yaitu rev, nef, vpu, dan
vpr (Kurniawati & Nursalam, 2007)

Gambar 1. Struktur virus HIV


Sumber: Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam Kurniawati &
Nursalam, 2007

2) Siklus hidup virus HIV


Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat
pendek. Hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel pejamu
baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap
harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada
membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang
terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke
pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, di mana replikasi virus
menjadi semakin cepat. Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1. masuk dan mengikat;
2. reverse transkriptase;
3. replikasi;
4. budding;
5. maturasi (Kurniawati & Nursalam, 2007).

Gambar 2. Siklus hidup HIV


Sumber: Fauci, 1996 dalam Kasper, D. E, et al, 2005 dalam Kurniawati &
Nursalam, 2007

3) Tipe virus HIV


Ada 2 tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS yaitu HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam
subtipe dari HIV-1 telah ditemukan dalam area geografis yang spesifik dan
kelompok spesifik risiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang
berbeda. Menurut Smeltzer & Bare (2001), HIV-2 adalah virus yang sama
jalur penularannya dan juga menyebabkan AIDS. Tes serologik dapat
membedakan antara HIV-1 dan HIV-2.

2. Epidemiologi
Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2011 jumlh orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir
tahun 2010 terdapat 34 juta orang, du pertuganya tinggal di Afrika kawasana
selatan Sahara, di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 %. Di Afrika
Selatan 5,6 juta orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus
infeksi baru HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu
orang, kawasan Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah
Afrika Selatan dimana terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS. Menurut World
Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 teradapat 3,5 juta
orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa negara seperyi
Myanmar, Nepal, dan Thailand meununjukkan penurunan infeksi baru HIV. Hal
ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program pencegahan
HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP) ( WHO, 2011).
Berdasarkan data statisti kasus HIV/AIDS di Indonesia oleh Ditjen PP & PL
Kemenkes RI sampai bulan September 2014 diketahui sebanyak 22.869 orang
terinfeksi virus HIV dan sebanyak 1.876 orang dengan AIDS. Secara kumulatif
laporan HIV & AIDS sejak bulan April 1987 sampai dengan bulan Sepember
2014 adalah sebanyak 150.296 orang dengan HIV dan sebanyak 55.799 orang
AIDS dengan angka kematian sebanyak 9.796 orang. Kasus HIV AIDS ini lebih
umum menyerang pada kaum laki-laki yaitu sebanyak 30.001 orang (Ditjen
PP&PL Kemenkes RI, 2014).
3. Etiologi
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yang mempunyai sedikit
perbedaan pada pathogenesis,manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis
yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar
terutama di Afrika Barat (Scully, 2004). Transmisi horizontal HIV terjadi
melalui kontak seksual yang intim atau pajanan parenteral dengan darah atau
cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal (vertikal) terjadi
ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada bayinya.
Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara
orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus
tersebut (Corwin, 2000). Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia
adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual laninnya (terutama
yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV.
Jalur penularan HIV sangat beragam (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, yaitu darah, air mani, cairan
vagina, dan air susu ibu (ASI). HIV menular melalui:
1) Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan
vagina dari orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum
terinfeksi (yaitu hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui
vagina atau dubur; juga melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih
kecil).
2) Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi
HIV.
3) Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
4) Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan
jika menyusui sendiri.
Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk
kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan virus lain
yang menular melalui darah (misalnya hepatitis), bukan hanya HIV. HIV tidak
menular melalui:
1) Bersalaman, berpelukan
2) Batuk, bersin
3) Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar
mandi, WC, kamar tidur, dll
4) Gigitan nyamuk
5) Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama
6) Memakai fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum, sauna, dll
HIV tidak menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di
luar tubuh. Virus ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya
dibersihkan dengan cairan pemutih (bleach) seperti bayclin atau chlorox, atau
dengan sabun dan air. HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka
(Murni dkk, 2009).

4. Klasifikasi
1) Klasifikasi laboratorium (Limfosit CD4+)
CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV
berdasarkan hitung limfosit CD4+ dan kategori klinis, yaitu
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus
Surveilans AIDS yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD4+ Kategori Klinis
A B C
Total % (Asimtomatik) (Simtomatik, (Indikator
bukan kondisi A AIDS)
atau C)
≥ 500 ≥ 29% A.1 B.1 C.1
200-499 14-28% A.2 B.2 C.2
< 200 < 14 % A.3 B.3 C.3

a. Berdasarkan hitung limfosit CD4+:


a) Kategori 1 : lebih besar atau sama dengan 500 CD4+ T-cells/ul
b) Kategori 2 : 200-499 CD4+ T-cells/ul
c) Kategori 3 : < 200 CD4+ T-cells/ul
b. Berdasarkan kategori klinis :
a) Kategori klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan pada dewasa atau remaja
dengan infeksi HIV yang sudah dipastikan tanpa keadaan dalam
kategori B dan C, yaitu:
(a) Infeksi HIV yang asimptomatik.
(b) Limpadenopati generalisata yang persisten
(c) Infeksi HIV yang akut dengan keadaan sakit yang menyertai.
b) Kategori klinis B
Keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
(a) Angiomatosis baksilaris
(b) Kandidiasis orofaring/vulvaginal
(c) Displasia servik
(d) Gejala konstitusional, seperti panas (38,5ºC) atau diare lebih dari
1 bulan
(e) Herpes zoster
(f) Leukoplakia oral yang berambut
(g) Idiopatik trombositopeni purpura
(h) Listeriosis
(i) Penyakit inflamasi pelvic khususnya jika disertai komplikasi
abses tuboovarii
(j) Neuropati peripir
c) Kategori klinis C
Keadaan dalam kategori C mencakup ;
(a) Kandidiasi bronkus, trakea/paru-paru, esophagus
(b) Kanker servik inpasif
(c) Koksidiodomikosis ektrapulmoner/diseminata
(d) Kriptokokosis ekstrapulmoner
(e) Kriptosporidosis internal kronis
(f) Penyakit cytomegalovirus (bukan hati, lien, kelenjar limpe)
(g) Retinitis cytomegalovirus
(h) Encepalopati yang berhubungan dengan HIV
(i) Herves simpleks, ulkus kronis (durasi lebih dari 1 bulan)
(j) Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmoner
(k) Isosporiasis intestinal yang kronis
(l) Sarkoma Kaposi
(m)Limfoma Burkitt
(n) Kompleks mycobacterium avium atau M. kansasil yang
diseminata atau ekstrapulmoner
(o) Mycobakterium spesies lain atau spesies yang tidak dikenali,
diseminata atau ekstrapulmoner
(p) Pneumonia pneumocytis carnii
(q) Pneumonia rekuren
(r) Leukoensefalopati multifokal progresif
(s) Septikemia salmonella yang rekuren
(t) Toksoplasmosis otak
(u) Sindrom pelisutan akibat HIV (Smeltzer, 2001)
2) Klasifikasi Stadium Klinis
WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis berdasarkan kriteria
klinis. Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat
defisiensi kekebalan tubuh pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1
atau 2 biasanya tidak mempunyai gejala defisiensi kekebalan tubuh yang
serius. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda stadium klinis 3 atau 4
biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak
mempunyai cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan terjadina infeksi
oportunistik (IO).
Tabel 2. Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
Stadium Skala Aktivitas Gambaran Klinis
1 Tidak ada gejala, aktivitas normal, atau hanya:
(Asimptomatik)  Limfadenopati generalisata persisten: kelenjar
multipel berukuran kecil tanpa rasa nyeri
2 (Sakit ringan) Simptomatik, aktivitas normal
 Berat badan turun 5-10%
 Luka pada sudut mulut (keilitis angularis)
 Dermatitis seboroik: lesi kulit bersisik pada batas
antara wajah dan rambut serta sisi hidung
 Prurigo: lesi kulit yang gatal pada lengan dan
tungkai
 Herpes zoster: papul disertai nyeri pada sisi tubuh,
wajah, atau ekstremitas
 ISPA berulang: infeksi tenggorokan berulang,
sinusitis atau infeksi telinga
 Ulkus pada mulut berulang
3 (Sakit sedang) Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur kurang
dari 50%
 Berat badan turun > 10%
 Kandidiasis mulut: bercak putih yang menutupi
daerah di dalam mulut
 Oral hairy leukoplaakia: garis vertikal putih di
samping lidah, tidak nyeri, tidak hilang jika
dikerok
 lebih dari 1 bulan diare: kadang-kadang intermiten
 infeksi bakteri yang berat: pneumonia, piomiositis,
dan lain-lain
 Tuberkulosis paru
 Hb < 8 g, lekosit < 500, trombosit < 50.000
 Gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikan akut
4 (Sakit Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur
berat/AIDS) lebih dari 50%
 HIV wasting syndrome: sangat kurus disertai
demam kronik dan/atau diare kronik
 Kandidiasis esofagus: nyeri hebat saat menelan
 Lebih dari 1 bulan: ulserasi herpes simpleks: luka
lebar dan nyeri kronik di genetalia dan/atau anus
 Limfoma*
 Sarkoma kaposi: lesi berwarna gelap (ungu) dikulit
dan/atau mulut, mata, paru, usus, dan sering
disertai edema
 Kanker serviks invasif*
 Retinitis CMV
 Pneumonia pneumosistis*: pneumonia berat
disertai sesak napas dan batuk kering
 Tuberkulosis ekstraparu*: contoh pada tulang atau
meningitis
 Meningitis kriptokokus*: meningitis dengan atau
tanpa kaku kuduk
 Abses otak toksoplasmosis*
 Ensefalopati HIV*: gangguan neurologis yang
tidak disebabkan oleh faktor lain seringkali
membaik dengan pengobatan ARV
3) Klasifikasi Fase HIV
Menurut Family Health International (2004) dan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (2008) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
fase dari virus HIV sampai menjadi AIDS, yaitu sebagai berikut ini.
a) Fase pertama
Fase pertama belum terlihat adanya infeksi HIV meskipun dengan tes
darah karena pada fase ini masih belum terbentuk antibodi terhadap HIV
tetapi pada fase ini orang yang terinfeksi HIV sudah dapat menularkan
virus HIV pada orang lain (BKKBN, 2008). Lamanya sistem tubuh dalam
membentuk antibodi terhadap HIV adalah satu sampai enam bulan. Fase
ini disebut juga dengan periode jendela (window period) (Family Health
International, 2004).
b) Fase kedua
Fase kedua merupakan fase yang paling lama. Fase ini berlangsung
sekitar dua sampai sepuluh tahun setelah terinfeksi HIV. Hasil tes pada
fase ini akan menunjukkan hasil positif tetapi belum menampakkan gejala
sakit (BKKBN, 2008).
c) Fase ketiga
Fase ketiga sudah mulai terlihat adanya penurunan sistem kekebalan
tubuh ini sudah mulai muncul gejala awal penyakit seperti keringat
berlebihan pada malam hari, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar
getah bening, flu yang tak kunjung sembuh, nafsu makan berkurang
sehingga menyebabkan penurunan berat badan (BKKBN, 2008).
d) Fase keempat
Fase keempat sudah masuk pada tahap AIDS. Hasil tes juga menunjukkan
positf AIDS. Pada fase ini sudah muncul penyakit yang disebut dengan
infeksi oportunistik seperti kanker, infeksi paru, infeksi usus, dan infeksi
otak (BKKBN, 2008).

5. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau
berada dalam sel limfosit. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4+. Secara imunologis, sel T
yang terdiri atas limfosit T-helper disebut limfosit CD4+ akan mengalami
perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, lapisan luar HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor
CD4+ dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan
membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian
inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase
dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase
menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan
RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari
DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:41-42).
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian
bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4+ mengalami sitolisis. Virus HIV
yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus,
dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis. Gejala-gejala
klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien
setelah beberapa waktu lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4 + mengalami
penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl
setelah terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Stewart, 1997 dalam
Kurniawati & Nursalam, 2007:42). Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan
kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau
tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL
darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya
menurun sebanyak 40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi.
b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit
CD4+ yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko
tinggi menderita AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka
penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang
menyebabkan virus berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana
terjadi infeksi oportunistik yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat
menyerang berbagai sistem organ, seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan
sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi peradangan dan terjadi
peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah bersihan jalan
nafas tidak efektif, perubahan pola nafas dan nyeri. Pada peradangan dapat
muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal terjadi diare dan jamur
pada mulut yang memunculkan masalah diare, dan perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan. Pada neuro terjadi penurunan fungsi transmitter
sehingga timbul masalah perubahan proses pikir. Di kulit terjadi lesi yang
dapat memunculkan masalah nyeri dan kerusakan integritas kulit (Price &
Wilson, 2008).

6. Manifestasi Klinis
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor.
Seseorang yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa di
diagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain.
Berikut ini adalah tanda dan gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV
berdasarkan klasifikasi WHO.
1) Gejala mayor:
a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
b) Diare kronis
c) Demam memanjang tanpa sebab
d) Tuberkulosis
2) Gejala minor:
a) Limfadenopati generalisata
b) Kandidiasis oral
c) Batuk menetap
d) Distres pernapasan/pneumonia
e) Infeksi berulang
f) Infeksi kulit generalisata (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).

Tabel 3. Tabel tanda dan gejala HIV AIDS


Sistem Tubuh Manifestasi Klinis
Keadaan Umum  Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan
dasar
 Demam (terus menerus atau intermiten,
temperatur oral > 37,5ºC) yang lebih dari satu
bulan
 Diare (terus menerus atau intermiten) yang
lebih dari satu bulan
 Limfadenopati meluas
Infeksi Jamur  Kandidiasis oral*
 Dermatitis seboroik*
 Kandidiasis vagina berulang
Infeksi Virus  Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih
dari satu dermatom)*
 Herpes genital (berulang)
 Moluskum kontagiosum
 Kondiloma
Sistem Respiratory  Batuk lebih dari satu bulan
 Sesak nafas
 Tuberkulosis
 Pneumonia berulang
 Sinusitis kronis atau berulang
Sistem  Hilanya selera makan
 Mual ,muntah
Gastrointestinal  Kandidiasis oral yang dapat menyebar pada
esophagus dan lambung
 Diare kronis
 Penurunan berat badan lebih dari 10% berat
badan sebelumnya, hilangnya massa otot
 Kelemahan karena hipermetabolisme tubuh.
Sistem Integumen PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan
dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti
kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis.
Sistem Neurologi  Ensefalopati HIV (kompleks dimensia AIDS)
berupa sindrom klinis yang ditandai penurunan
progesif pada fungsi kognitif, perilaku dan
motorik. Manifestasi dini mencakup gangguan
daya ingat, sakit kepala, kesulitan konsentrasi,
konfusi progesif, pelambatan psikomotorik,
apatis dan ataksi. Stadium lanjut mencakup
gangguan kognitif global, kelambatan dalam
respon verbal, gangguan afektif, seperti
pandangan yang kosong, hiperrefleksi
paraparesis spatik, psikosis, halusinasi, tremor,
inkontinensia, serangan kejang, mutisme.
 Meningitis kriptokokus, yaitu infeksi jamur
Cryptococcus neoform dengan gejala demam,
sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual,
vomitus, perubahan status mental, dan kejang.
 Leukoensefalopati multifokal progresiva
(PML) merupakan kelainan sistem saraf pusat
dengan demielinisasi yang disebabkan virus
J.C manifestasi klinis dimulai dengan konfusi
mental dan mengalami perkembangan cepat
yang pada akhirnya mencakup gejala
kebutaan, afasia, paresis .
 Mielopati vaskuler merupakan kelainan
degeneratif yang mengenai kolumna lateralis
dan posterior medulla spinalis sehingga terjadi
paraparesis spastik progresiva,ataksia serta
inkontinensia.
 Neuropati perifer yang berhubungan dengan
HIV diperkirakan merupakan kelainan
demielisasi dengan disertai rasa nyeri serta
matirasa pada ekstrimitas, kelemahan,
penurunan reflkes tendon yang dalam,
hipotensi ortostatik.

Tabel 4. Gejala HIV AIDS sesuai dengan fase-fase infeksi


Antibodi yang Dapat
Fase Lamanya fase Gejala-Gejala
terdeteksi ditularkan
1. Periode 4 mg - 6 bln Tidak Tidak ada Ya
jendela setelah infeksi
2. Infeksi HIV 1-2 minggu Kemungkinan Sakit seperti flu Ya
primer akut
3. Infeksi 1-15 tahun Ya Tidak ada Ya
asimtomatik atau lebih

4. Supresi imun Sampai 3 Ya Demam, Ya


simtomatik tahun keringat malam
hari, penurunan
BB, diare,
neuropati,
keletihan, ruam
kulit,
limpadenopati,
perlambatan
kognitif, lesi
oral

5. AIDS Bervariasi 1-5 Ya Infeksi Ya


tahun dari oportunistik
penentuan berat dan tumor
kondisi AIDS –tumor pada
setiap sistem
tubuh,manifesta
si neurologik

7. Pencegahan
Pencegahan HIV dianjurkan melalui pendekatan ABCD yaitu:
1) A atau Adstinence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan
kegiatan seksua sebelum menikah;
2) B atau Be faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah;
3) C atau Condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan
perilaku seks berisiko;
4) D atau Drugs yaitu tidak menggunakan napza suntik agar tidak
menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada
masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja.
Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut Level & Clark
yaitu:
1) Promosi Kesehatan (health promotion)
2) Perlindungan khusus (spesific protection)
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment)
4) Pemabatasan cacat (disability limitation)
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan kepada remaja maupun
para pengguna NAPZA, antara lain:
1) Pencegahan pada remaja
a. Merubaha perilaku dan sikap adalah lebih mudah jika dimulai
sebelum pola dibentuk;
b. Sumber kekuatan pencegahan berada didalam dirinya sendiri;
c. Dapat dilakukan KIE dalam bentuk kelompok-kelompok.
2) Pencegahan pada pengguna NAPZA suntik:
a. Program penjangkauan masyarakat berbasis komunitas sebaya
b. Meningkatkan akses untuk alat suntik yang steril dan kondom;
c. Meningkatkan akses untuk perawatan ketergantungan obat
(Brown, 2001).

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi
terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.

a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody
yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. Metode ELISA dibagi 2
jenis tehnik yaitu tehnik kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non
kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek.. Antibody
biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke
12 setelah tubuh terpapar virus HIV,sehingga kita menganjurkan agar
pemeriksaan ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah
seseorang dicurigai terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya
aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang
terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena,
air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam
konsentrasi yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Pada
prinsip kompetitif bahan yang mengandung antigen yang berlabel dan
antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi label radio isotop
sehingga terjadi kompetisi antara antigen yang akan ditentukan kadarnya
dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan antibody spesifik
tersebut sampai terjadi keseimbangan.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
Metode ini biasanya dipakai untuk mengukur susbtrat vang besar
dan memiliki lebih dari satu epitop.. Reagen pelacak yaitu suatu
antibody diikatkan pada partikel lateks atau metal koloid (konyugat),
diendapkan (tetapi tetap, tidak terikat) pada bantalan konyugat
(conyugate pad). Bila sampel ditambahkan pada bantalan sampel,
maka sampel tersebut secara cepat akan membasahi dan melewati
bantalan konyugat serta melarutkan konyugat. Selanjutnya reagen
akan bergerak mengikuti aliran dari sampel sepanjang strip membran,
sampai mencapai daerah dimana reagen akan terikat.
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Sering dipakai untuk melacak molekul yang kecil dengan epitop
tunggal yang tak dapat mengikat dua antibody sekaligus.
Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif
ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif.
Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini
sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR
test.
a. Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi
dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas
reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus
b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada window periode dan pada anak usia kurang dari 18 bulan.
Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak
dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR,
menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1.
c. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibody p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi
RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat
dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24
dari antibody anti-p24.
d. PCR Test
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical, sel-
sel, dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain
Reaction (RT PCR) ini yang paling sensitive. PCR adalah suatu teknologi
yang menghasilkan turunan / kopi yang berlipat ganda dari sekuen nukleotida
dari organism target, yang dapat mendeteksi target organism dalam jumlah
yang sangat rendah dengan spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan
lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat
mahal dan memerlukan alat yang canggih.
b. Pemeriksaan lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan
paru-paru
f) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam
3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif..

9. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan yang
meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian
virologi. Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung
seumur hidupnya. Untuk ODHA yanng akan memulai terapi ARV dalam
keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjrkan untuk
memberikan Kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu
sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien
untuk minum obat, dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang
tindih antara Kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat
ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol (Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil, dan ko infeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
3. Limfosit total <1000 -1200/µ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (stadium 1 menurut
WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum adanya
petunjuk mengenai tingkatan penyakit.
4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut
termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada
mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan
CD4 dan limfosit total (Nursalam, 2007).
Tabel 5. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Sumber: Direktotat Jenderal PP & PL, 2011


Obat ARV bekerja untuk menghambat replikasi virus dalam tubuh pasien.
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV sebelum pasien jatuh sakit
atau munculnya IO yang pertama. Tujuan pemberian terapi ARV adalah untuk
menurunkan HIV RNA menjadi dibawah 5000 copies/µ dan peningkatan CD4
diatas 500 cell/µl. Pemberian terapi ini akan memperlambat perkembangan
HIV dan mencegah IO.
Rekomendasi WHO dalam pemberian ARV adalah kombinasi 3 obat ARV
yaitu sebagai berikut.
1. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), menghambat proses
perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat
bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk zidovudine (ADX atau
AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine
(d4T), dan abacavir (ABC).
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), bekerja dengan
menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat
reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.
3. Protease inhibitor (PI), menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi
memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk
memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah indinavir (IDV),
nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV),
dan loponavir/ritonavir (LPV/r).
4. Fusion inhibitor, mencegah masuknya HIV ke target sel dengan cara
berikatan dengan amplop protein disekitar virus, yang termasuk golongan
ini adalah enfuvirtide (T-20).
Tabel 6. Penggunaan NRTI dan NNRTI

b. Non Farmakologi
Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu didukung
pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).
1. Pemberian Nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur
vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang
biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
(New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation, 2004). Kondisi
tersebut sangat berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi vitamin
dan mineral. Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan tubuh dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh
(Yayasan Kerti Praja, 2002 & William, 2004). HIV menyebabkan hilangnya
nafsu makan dan gangguan penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan
dengan menurunnya atau habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam
tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak masih
stadium dini. Walaupun jumlah makanan ODHA sudah cukup dan
berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin
dan mineral (Anya, 2002).
2. Aktivitas dan Olahraga
Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan akut.
Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh
yang berefek menyehatkan. Olah raga yang dilakukan secara teratur
menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.

B. Clinical Pathway
(Terlampir)
C. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Data Demografi
Nama, umur tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status perkawinan,
alamat, pekerjaan, status imigrasi, perilaku berisiko. Nama anggota
keluarga yang dapat dihubungi.
2) Riwayat sosial
a. Orientasi sexual pria,wanita, dan gay
b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa
pengaman
c. Riwayat pekerjaan
d. Riwayat travelling
e. Gangguan mental
3) Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )
Terapiradiasi,defisiensinutrisi,penuaan,aplasiatimik,limpoma,kortikost
eroid,globulin anti limfosit,disfungsitimikcongenital.
b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositikleukemiakronis,mieloma,hipogamaglobulemiacongenital,pr
oteinlisingenteropati (peradangan usus).
4) Pola Kesehatan
a. Persepsi tentang kesehatan dan penanganan kesehatan
Persepsi terhadap penyakit, penggunaan alkohol dan obat-obatan
b. Nutrisi dan metabolisme
Kehilangan BB, anorexia, mual, muntah, lesi pada mulut, ulser pada
rongga mulut, sulit menelan, kram abdomen
c. Eliminasi
Diare persisten, nyeri saat BAK
d. Aktifitas dan olah raga
Kelelahan kronik, kelemahan otot, kesulitan berjalan, batuk, sesak
nafas, kemampuan melakukan ADL.
e. Tidur dan istirahat
Insomnia
f. Gangguan kognitif dan persepsi
Sakit kepala, nyeri dada, kehilangan memori, demensia, parestesis
g. Seksualitas
Riwayat berperilaku seks berisiko tinggi menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan, dan hepers genetalia.
h. Peran dan tanggung jawab
Peran serta keluarga dalam menjaga kesehatan pasien
i. Pola tata nilai dan kepercayaan
Kebiasaan keluaraga dan pasien beribadah
5) Pemeriksaan Fisik
a. B1 Breathing
Inspeksi
a) Sekret di lubang hidung yang mengganggu pernafasan
b) Sesak nafas (dispneu, takipneu), pernafasan cuping hidung
c) Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80%
(PCP)
d) Retraksi interkostalis
Palpasi
Terdapat pembesaran kelenjar limfe
Perkusi
Terdengar hipersonor
Auskultasi
Terdapat suara nafas tambahan atau ronchi
b. B2 Blood
Inspeksi
a) Anemis
b) Perdarahan yang lama
c) Terdapat luka yang sulit kering dan ruang pada kulit
Palpasi
a) Takikardi/bradikardi
b) CRT mungkin akan > 2 detik atau bisa dalam kondisi normal
Auskultasi
Suara jantung biasanya terdengar normal namun biasa terdengar suara
jantung S3 dan S4 bila sudah terjadi kardiomiopati.
c. B3 Bowel
a) Lesi pada mulut: kapossi sarcoma
b) Candida mulut: plag putih yang melapisi
c) Rongga mulut dan lidah: kandidiasis
d) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia)
e) Ginggivitis
f) Muntah
g) Diare
h) Inkontinen alvi
i) Hepatosplenomegali
d. B4 Brain
Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC),
kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan
memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan
kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis, dan koma
e. B5 Bone
Muscle Wasting
f. B6 Bladder
Inspeksi
Perubahan warna dan karakteristik urin
Palpasi
Nyeri tekan daerah suprapubik
Tabel 6. Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS
(Menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah
Ketergantungan
1. Sistem 1. Integritas Perasaan Perasaan
Pernapasan : Ego: minder dan tak membutuhkan
Dyspnea, TBC, Perasaan tak berguna di pertolongan orang
Pneumonia berdaya atau masyarakat lain
2. Sistem putus asa Interaksi sosial:
Pencernaan:Nau 2. Faktor stress: perasaan
sea-Vomiting, baru/lama terisolasi atau
Diare, 3. Respon ditolak
Dysphagia, BB psikologis:
turun 10% denial,
selama 3 bulan marah,
3. Sistem cemas,
Persarafan: iritable
letargi,nyeri
sendi,
encelopathy.
4. Sistem
Integumen:
Edema yang
disebabkan
Kapsosis
Sacroma, Lesi
di kulit atau
mukosa, dan
alergi
5. Lain-lain :
Demam, resiko
menularkan

2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
napas
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
seperti kelemahan otot
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolisme
4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen
usus atau infeksi HIV
5. Hipertemia berhubungan dengan proses penyakit ( infeksi), peningkatan
laju metabolisme tubuh
6. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan imunitas
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
8. Risiko infeksi
9. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
neuropati perifer
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Perencanaan
No
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Bersihan jalan Setelah diberikan asuhan Manajemen Jalan Napas
napas tidak efektif keperawatan selama 1 x 24 1. Monitor pola napas
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. mengi,whezing, ronkhi kering)
berhubungan jam diharapkan bersihan jalan
3. Posisikan semi fowler atau fowler
dengan nafas pasien efektif 4. Beri minum hangat
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
hipersekresi jalan Dengan kriteria hasil:
6. Beri oksigen, jika perlu
napas 1. Produksi sputum menurun 7. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Frekuensi pernapasan 8. Ajarkan batuk efektif
9. Kolaborasi pemberian bronkodilator dan tidakan nebulizer bila perlu.
membaik (RR : 16-20
kali Latihan Batuk Efektif
/menit)
3. Tidak ada sesak napas 1. Identifikasi kemampuan batuk
4. Tidak ada suara napas 2. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
3. Monitor intake dan output cairan
tambahan
4. Buang sekret pada tempat sputum
5. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
6. Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik,tahan selama
2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu selama 8
detik
7. Anjurkan tarik nafas dalam hingga 3 kali
8. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran
Pemantauan Respirasi
1. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, hyperventilasi, napas
kusmaul)
2. Monitor kemampuan batuk efektif
3. Monitor adanya sumbatan jalan napas
4. Monitor saturasi oksigen, nilai AGD, hasil x-ray torak
2 Pola napas tidak NOC: Management jalan napas
Setelah diberikan askep selama
efektif 1. Monitor jalan napas
2 x 24 jam diharapkan pola
berhubungan 2. Momitor bunyi nafas (mis: mengi,wheezing)
nafas kembali efektif
dengan hambatan 3. Beri minum hangat
Dengan kriteria hasil:
upaya nafas seperti 4. Posisikan semi fowler atau fowler
1. Secara verbal tidak ada
kelemahan otot 5. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
keluhan sesak
6. Beri oksigen, jika perlu
2. Suara napas normal
7. Ajarkan tehnik batuk efektif
(vesikular)
8. Kolaborasi pemberian brionchodilator, ekpectoran,mukolitik, bila perlu
3. Frekuensi pernapasan
Pemantauan Respirasi
dalam batas normal sesuai 1. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, hyperventilasi, napas
usia (16-24x/mnt) kusmaul)
2. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Irama nafas teratur.
3. Monitor adanya sumbatan jalan napas
4. Monitor saturasi oksigen, nilai AGD, hasil x-ray torak

3. Defisit nutrisi Setelah diberikan tindakan Manajemen Nutrisi


berhubungan keperawatan selama 3 x 24 1. Identifikasi status nutrisi
dengan jam diharapkan nutrisi pasien
ketidakmampuan adekuat dengan kriteria hasil 2. Identifikasi alergi makanan
mencerna 1. Porsi makan yang 3. Monitor asupan makanan
makanan, dihabiskan meningkat
4. Monitor berat badan, hasil pemeriksaan laboratorium
2. BB membaik
peningkatan
3. IMT membaik 5. Lakukan oral hygiene sebelum makan,jika perlu
kebutuhan 4. Nafsu makan membaik
6. Berikan makanan tinggi serat,tinggi kalori dan protein
metabolisme 5. Membran mukosa membaik
7. Ajarkan diet yang diberikan
8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenois
nutrien yang dibutuhkan

Promosi Berat Badan


1. Identifikasi penyebab BB kurang
2. Monitor mual dan muntah
3. Monitor berat badan
4. Monitor albumin,elektrolit, limfosit
5. Berikan perawatan mulut sebelum makan
6. Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien
7. Beri suplemen, jika perlu
8. Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi
9. Jelaskan peningkatan asupan kalori yang diperlukan.
4. Diare berhubungan Setelah diberikan tindakan Manajemen Diare
dengan inflamasi keperawatan selama 3 x 24 1. Identifikasi penyebab diare
gastrointestinal: jam diharapkan diare dapat 2. Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi tinja
kuman patogen teratasi. 3. Monitor tanda dan gejala hipovolemia (mis: takikardia, nadi lemah)
usus atau infeksi Kriteria Hasil : 4. Berikan asupan cairan oral
HIV 1. Feses berbentuk, BAB 5. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
sehari sekali-tiga hari 6. Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
2. Menjaga daerah rectal dari
7. Anjurkan makanan porsi kecil tapi sering
iritasi
8. Anjurkan menghindari makanan pembentuk gas
3. Tidak mengalami diare
4. Menjelaskan penyebab 9. Kolaborasi pemberian obat antispamodik dan obat pengeras feses
diare Pemantauan Cairan
5. Mempertahankan turgor
1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, tekanan darah
kulit
2. Monitor berat badan
3. Monitor elastisitas dan turgor kulit
4. Monitor kadar albumin dan protein total
5. Monitor intake dan output cairan
6. Atur interval waktu pemantauan sesuai kondisi pasien
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
8. Informasikan hasil, tujuan dan prosedur pemantauan.
5. Hipertermia Setelah diberikan tindakan Manajemen Hipertermia
berhubungan keperawatan selama...x 24 jam 1. Identifikasi penyebab hipertermia
2. Monitor suhu tubuh
dengan proses diharapkan termoregulasi
3. Monitor haluaran urine
penyakit (infeksi), membaik. Dengan kriteria 4. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
5. Longgarkan pakaian
peningkatan laju hasil:
6. Berikan cairan oral
metabolisme 1. suhu tubuh dalam rentang 7. Ganti linen lebih sering
8. Lakukan pendinginan eksternal
normal (36-37,5°c)
9. Anjurkan tirah baring
2. nadi dan RR dalam rentang 10. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena jika perlu
normal
3. tidak ada perubahan warna Regulasi temperatur
kulit dan tidak ada pusing 1. Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan dan nadi
2. Monitor warna dan suhu kulit
3. Monitor dan catat tanda dan gejala hipertermia
4. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
5. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
6. Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu.

6. Intoleransi aktivitas Setelah diberikan tindakan Manajemen energi


berhubungan keperawatan selama ..x 24 jam 1. Monitor kelelahan fisik dan emosional
dengan kelemahan diharapkan pasien dapat 2. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
umum, meningkatkan aktivitas 3. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus
ketidakseimbangan Dengan kriteria : 4. Lakukan rentang gerak pasif dan aktif
antara suplai dan 1. Menunjukkan peningkatan 5. Beri aktifitas distraksi yang menenangkan
kebutuhan oksigen, yang dapat diukur dalam 6. Anjurkan tirah baring
tirah baring toleransi aktivitas 7. Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
2. Tekanan darah pasien 8. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala keletihan tidak
normal (110-120/ 60-80 berkurang
mmHg) 9. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
10 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

Terapi aktivitas
1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas
2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
3. Monitor respon emosional,fisik,sosiala dan spiritual terhadap aktifitas
4. Fasilitasi aktifitas rutin,sesuai kebutuhan
5. Fasilitasi aktifitas motorik untuk merelaksasi otot
6. Libatkan keluarga dalam aktifitas
7. Beri penguatan positifatas partisipasi dalam aktifitas
8. Anjurkan melakukan aktifitas fisik untuk menjaga fungsi dan kesehatan
9. Anjurkan keluarga memberikan penguatan positif
7. Nyeri kronis Setelah diberikan tindakan Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan selama.. x 24 jam 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
dengan ganguan diharapkan nyeri yang 2. Identifikasi skala nyeri
imunitas dirasakan berkurang
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
Dengan kriteria
1. Mampu mengontrol nyeri 4. Identifikasi faktor yang memperberat/meringankan nyeri
(tahu penyebab nyeri,
5. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
mampu menggunakan
6. Monitor efek samping penggunaan analgetik
teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri, 7. Berikan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
mencari bantuan) 8. Fasilitasi istirahat dan tidur
2. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan 9. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri 10. Jelaskan strategi meredakan nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
11. Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman 12. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
setelah nyeri berkurang 13. Kolaborasi pemberian analgesik

Perawatan kenyamanan
1. Beri posisis yang nyaman
2. Ciptakan lingkungan yang nyaman
3. Dukung keluarga terlibat dalam pengobatan
4. Jelaskan mengenai kondisi dan pilihan pengobatan
5. Ajarkan terapi relaksasi dan tehnik distraksi
6. Ajarkan latihan pernapasan

8. Risiko infeksi Setelah diberikan tindakan Pencegahan Infeksi


berhubungan keperawatan selama .. x 24 Edukasi Pencegahan Infeksi
dengan penyakit jam diharapkan pasien akan 1. Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
kronis, bebas infeksi oportunistik dan 2. Batasi jumlah pengunjung
ketidakadekuatan komplikasinya. 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pertahanan tubuh Dengan kriteria hasil : pasien
sekunder 1. Tidak ada tanda-tanda 4. Pertahankan tehnik aseptik pada pasien beresiko tinggi
(mis.penurunan infeksi baru 5. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
hemoglobin, 2. Hasil Lab tidak menunjukan 6. Ajarkan mencuci tangan dengan benar
imunosupresi, adanya infeksi oportunis, 7. Ajarkan etika batuk
leucopenia), kadar leukosit dalam batas 8. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
kerusakan jaringan normal(5-10 x 109/liter) 9. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
kulit

9 Gangguan Setelah diberikan tindakan Perawatan Integritas Kulit


integritas kulit keperawatan selama .. x 24 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis;perubahan
berhubungan jam diharapkan gangguan sirkulasi,perubahan status nutrisi, suhu lingkungan ekstrim)
dengan penurunan integritas kulit teratasi 2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
imunologis, Dengan kriteria hasil : 3. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
neuropati perifer 1. Lesi pada kulit berkurang 4. Bersihkan area perineal dengan air hangat ,terutama pada periode diare
2. Menunjukan tingkah laku / 5. Gunakan produk berbahan minyak pada kulit kering
teknik untuk mencegah 6. Anjurkan menggunakan pelembab
kerusakan kulit / 7. Anjurkan minum air yang cukup
meningkatkan kesembuhan 8. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
9. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
10.Anjurkan menghindarkan suhu yang ekstrim
Edukasi program pengobatan
1. Identifikasi pengetahuan tentang obat yang digunakan
2. Beri dukungan untuk menjalani program pengobatan dengan baik dan
benar
3. Libatkan keluarga untuk memberi dukungan pada pasien selama
pengobatan
4. Jelaskan manfaat dan efek samping pengobatan
5. Jelaskan cara penyimpanan obat,pengisisan kembali, pemantauan sisa
obat
6. Informasikan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan selama
pengobatan
7. Anjurkan mengkonsumsi obat sesuai indikasi
4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan pelaksanaan rencana keperawatan
oleh perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya: Intervensi dilaksanankan sesuai
rencana setelah dilakukan validasi; ketrampilan interpersonal, teknikal dan
intelektual dilakukan dengan cermat dan efesien pada situasi yang tepat,
keamanan fisik dan psikologis pasien dilindungi serta dokumentasi intervensi
dan respon pasien. Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi
secarakongkrit dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi
masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien.

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi
keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
Evaluasi yang dilakukan pada diagnosa keperawatan pasien dengan
HIV/AIDS adalah berdasarkan kriteria evaluasi dari diagnosa keperawatan
tersebut. Adapun evaluasinya adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas efektif
2. Pola nafas pasien efektif
3. Nutrisi pasien adekuat
4. Diare teratasi
5. Suhu tubuh pasien dalam batas normal
6. Aktivitas pasien meningkat
7. Nyeri berkurang
8. Tidak terjadi infeksi
9. Gangguan integritas kulit teratasi

6. Discharge Planning
Discharge planning pada pasien dengan HIV/AIDS adalah:
1. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk segera menghubungi tim
kesehatan atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi
tanda – tanda dan gejala infeksi.
2. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengamati respon
terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek
samping.
3. Memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang penjadwalan
pemeriksaan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2008. Modul Pelatihan


Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Calon Konselor Sebaya.
Jakarta: Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013.


Nursing Intervention Classification. Oxford: Elcevier.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012.


Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis KO Infeksi TB-HIV. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan: definisi &


Klasifikasi 2015-201. Jakarta: EGC

Hudak & Gallo.1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Dasar HIV/AIDS. [serial


online]. http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids. [10 Mei 2015]..

Moorhead, S., Johnson, M., Meridean L. Maas., & Swanson, E. 2013.


Nursing Outcome Classification. Oxford: Elcevier.

NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi


2012 – 2014. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-


Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi I Cetakan III (Revisi). Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Edisi I Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai