LP Aids
LP Aids
OLEH :
NI PUTU SUYATI NINGIH
NIM 189012135
KELAS B10 - B
2. Epidemiologi
Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2011 jumlh orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir
tahun 2010 terdapat 34 juta orang, du pertuganya tinggal di Afrika kawasana
selatan Sahara, di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 %. Di Afrika
Selatan 5,6 juta orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus
infeksi baru HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu
orang, kawasan Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah
Afrika Selatan dimana terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS. Menurut World
Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 teradapat 3,5 juta
orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa negara seperyi
Myanmar, Nepal, dan Thailand meununjukkan penurunan infeksi baru HIV. Hal
ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program pencegahan
HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP) ( WHO, 2011).
Berdasarkan data statisti kasus HIV/AIDS di Indonesia oleh Ditjen PP & PL
Kemenkes RI sampai bulan September 2014 diketahui sebanyak 22.869 orang
terinfeksi virus HIV dan sebanyak 1.876 orang dengan AIDS. Secara kumulatif
laporan HIV & AIDS sejak bulan April 1987 sampai dengan bulan Sepember
2014 adalah sebanyak 150.296 orang dengan HIV dan sebanyak 55.799 orang
AIDS dengan angka kematian sebanyak 9.796 orang. Kasus HIV AIDS ini lebih
umum menyerang pada kaum laki-laki yaitu sebanyak 30.001 orang (Ditjen
PP&PL Kemenkes RI, 2014).
3. Etiologi
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yang mempunyai sedikit
perbedaan pada pathogenesis,manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis
yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar
terutama di Afrika Barat (Scully, 2004). Transmisi horizontal HIV terjadi
melalui kontak seksual yang intim atau pajanan parenteral dengan darah atau
cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal (vertikal) terjadi
ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada bayinya.
Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara
orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus
tersebut (Corwin, 2000). Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia
adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual laninnya (terutama
yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV.
Jalur penularan HIV sangat beragam (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, yaitu darah, air mani, cairan
vagina, dan air susu ibu (ASI). HIV menular melalui:
1) Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan
vagina dari orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum
terinfeksi (yaitu hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui
vagina atau dubur; juga melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih
kecil).
2) Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi
HIV.
3) Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
4) Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan
jika menyusui sendiri.
Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk
kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan virus lain
yang menular melalui darah (misalnya hepatitis), bukan hanya HIV. HIV tidak
menular melalui:
1) Bersalaman, berpelukan
2) Batuk, bersin
3) Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar
mandi, WC, kamar tidur, dll
4) Gigitan nyamuk
5) Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama
6) Memakai fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum, sauna, dll
HIV tidak menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di
luar tubuh. Virus ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya
dibersihkan dengan cairan pemutih (bleach) seperti bayclin atau chlorox, atau
dengan sabun dan air. HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka
(Murni dkk, 2009).
4. Klasifikasi
1) Klasifikasi laboratorium (Limfosit CD4+)
CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV
berdasarkan hitung limfosit CD4+ dan kategori klinis, yaitu
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus
Surveilans AIDS yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD4+ Kategori Klinis
A B C
Total % (Asimtomatik) (Simtomatik, (Indikator
bukan kondisi A AIDS)
atau C)
≥ 500 ≥ 29% A.1 B.1 C.1
200-499 14-28% A.2 B.2 C.2
< 200 < 14 % A.3 B.3 C.3
5. Patofisiologi
Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau
berada dalam sel limfosit. Virus ini masuk ke dalam tubuh dan terutama
menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4+. Secara imunologis, sel T
yang terdiri atas limfosit T-helper disebut limfosit CD4+ akan mengalami
perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, lapisan luar HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor
CD4+ dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan
membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian
inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase
dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA polimerase
menyusun copy DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan
RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk copy DNA kedua dari
DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000 dalam Kurniawati & Nursalam, 2007:41-42).
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untai ganda akan masuk ke
inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copy dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+ kemudian
bereplikasi, menyebabkan sel limfosit CD4+ mengalami sitolisis. Virus HIV
yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus,
dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak
adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis. Gejala-gejala
klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien
setelah beberapa waktu lamanya karena tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut, sel CD4 + mengalami
penurunan jumlah dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200-300/µl
setelah terinfeksi dalam kurun waktu 2-10 tahun (Stewart, 1997 dalam
Kurniawati & Nursalam, 2007:42). Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan
kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau
tahun :
a. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL
darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya
menurun sebanyak 40-50% dan selama masa ini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi.
b. Setelah sekitar 6 bulan kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit
CD4+ yang rendah membantu dalam menentukan orang-orang berisiko
tinggi menderita AIDS.
c. Satu sampai 2 tahun sebelum terjadinya AIDS jumlah limfosit CD4+
biasanya menurun drastis, jika kadarnya mencapai 200 sel/ml darah, maka
penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan timbul penyakit baru yang
menyebabkan virus berproliferasi dan menjadi infeksi yang parah dimana
terjadi infeksi oportunistik yang didiagnosis sebagai AIDS yang dapat
menyerang berbagai sistem organ, seperti paru, gastrointestinal, kulit, dan
sensori saraf. Pada paru-paru dapat terjadi peradangan dan terjadi
peningkatan produksi mukus yang menimbulkan masalah bersihan jalan
nafas tidak efektif, perubahan pola nafas dan nyeri. Pada peradangan dapat
muncul masalah hipertermi. Pada gastrointestinal terjadi diare dan jamur
pada mulut yang memunculkan masalah diare, dan perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan. Pada neuro terjadi penurunan fungsi transmitter
sehingga timbul masalah perubahan proses pikir. Di kulit terjadi lesi yang
dapat memunculkan masalah nyeri dan kerusakan integritas kulit (Price &
Wilson, 2008).
6. Manifestasi Klinis
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor.
Seseorang yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa di
diagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain.
Berikut ini adalah tanda dan gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV
berdasarkan klasifikasi WHO.
1) Gejala mayor:
a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
b) Diare kronis
c) Demam memanjang tanpa sebab
d) Tuberkulosis
2) Gejala minor:
a) Limfadenopati generalisata
b) Kandidiasis oral
c) Batuk menetap
d) Distres pernapasan/pneumonia
e) Infeksi berulang
f) Infeksi kulit generalisata (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
7. Pencegahan
Pencegahan HIV dianjurkan melalui pendekatan ABCD yaitu:
1) A atau Adstinence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan
kegiatan seksua sebelum menikah;
2) B atau Be faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah;
3) C atau Condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan
perilaku seks berisiko;
4) D atau Drugs yaitu tidak menggunakan napza suntik agar tidak
menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada
masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja.
Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut Level & Clark
yaitu:
1) Promosi Kesehatan (health promotion)
2) Perlindungan khusus (spesific protection)
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment)
4) Pemabatasan cacat (disability limitation)
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan kepada remaja maupun
para pengguna NAPZA, antara lain:
1) Pencegahan pada remaja
a. Merubaha perilaku dan sikap adalah lebih mudah jika dimulai
sebelum pola dibentuk;
b. Sumber kekuatan pencegahan berada didalam dirinya sendiri;
c. Dapat dilakukan KIE dalam bentuk kelompok-kelompok.
2) Pencegahan pada pengguna NAPZA suntik:
a. Program penjangkauan masyarakat berbasis komunitas sebaya
b. Meningkatkan akses untuk alat suntik yang steril dan kondom;
c. Meningkatkan akses untuk perawatan ketergantungan obat
(Brown, 2001).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi
terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.
a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody
yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. Metode ELISA dibagi 2
jenis tehnik yaitu tehnik kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non
kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek.. Antibody
biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke
12 setelah tubuh terpapar virus HIV,sehingga kita menganjurkan agar
pemeriksaan ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah
seseorang dicurigai terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya
aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang
terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena,
air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam
konsentrasi yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Pada
prinsip kompetitif bahan yang mengandung antigen yang berlabel dan
antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi label radio isotop
sehingga terjadi kompetisi antara antigen yang akan ditentukan kadarnya
dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan antibody spesifik
tersebut sampai terjadi keseimbangan.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
Metode ini biasanya dipakai untuk mengukur susbtrat vang besar
dan memiliki lebih dari satu epitop.. Reagen pelacak yaitu suatu
antibody diikatkan pada partikel lateks atau metal koloid (konyugat),
diendapkan (tetapi tetap, tidak terikat) pada bantalan konyugat
(conyugate pad). Bila sampel ditambahkan pada bantalan sampel,
maka sampel tersebut secara cepat akan membasahi dan melewati
bantalan konyugat serta melarutkan konyugat. Selanjutnya reagen
akan bergerak mengikuti aliran dari sampel sepanjang strip membran,
sampai mencapai daerah dimana reagen akan terikat.
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Sering dipakai untuk melacak molekul yang kecil dengan epitop
tunggal yang tak dapat mengikat dua antibody sekaligus.
Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1
d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif
ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif.
Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini
sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan
sedikit lebih mahal dari uji Western blot.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR
test.
a. Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi
dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas
reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus
b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada window periode dan pada anak usia kurang dari 18 bulan.
Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak
dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR,
menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1.
c. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibody p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi
RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat
dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24
dari antibody anti-p24.
d. PCR Test
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical, sel-
sel, dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain
Reaction (RT PCR) ini yang paling sensitive. PCR adalah suatu teknologi
yang menghasilkan turunan / kopi yang berlipat ganda dari sekuen nukleotida
dari organism target, yang dapat mendeteksi target organism dalam jumlah
yang sangat rendah dengan spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan
lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat
mahal dan memerlukan alat yang canggih.
b. Pemeriksaan lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan
paru-paru
f) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam
3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif..
9. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan yang
meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian
virologi. Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung
seumur hidupnya. Untuk ODHA yanng akan memulai terapi ARV dalam
keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjrkan untuk
memberikan Kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu
sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien
untuk minum obat, dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang
tindih antara Kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat
ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol (Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil, dan ko infeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
3. Limfosit total <1000 -1200/µ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (stadium 1 menurut
WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum adanya
petunjuk mengenai tingkatan penyakit.
4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut
termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada
mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan
CD4 dan limfosit total (Nursalam, 2007).
Tabel 5. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
b. Non Farmakologi
Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu didukung
pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).
1. Pemberian Nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur
vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang
biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
(New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation, 2004). Kondisi
tersebut sangat berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi vitamin
dan mineral. Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan tubuh dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh
(Yayasan Kerti Praja, 2002 & William, 2004). HIV menyebabkan hilangnya
nafsu makan dan gangguan penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan
dengan menurunnya atau habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam
tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak masih
stadium dini. Walaupun jumlah makanan ODHA sudah cukup dan
berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin
dan mineral (Anya, 2002).
2. Aktivitas dan Olahraga
Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan akut.
Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh
yang berefek menyehatkan. Olah raga yang dilakukan secara teratur
menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.
B. Clinical Pathway
(Terlampir)
C. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Data Demografi
Nama, umur tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status perkawinan,
alamat, pekerjaan, status imigrasi, perilaku berisiko. Nama anggota
keluarga yang dapat dihubungi.
2) Riwayat sosial
a. Orientasi sexual pria,wanita, dan gay
b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa
pengaman
c. Riwayat pekerjaan
d. Riwayat travelling
e. Gangguan mental
3) Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )
Terapiradiasi,defisiensinutrisi,penuaan,aplasiatimik,limpoma,kortikost
eroid,globulin anti limfosit,disfungsitimikcongenital.
b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositikleukemiakronis,mieloma,hipogamaglobulemiacongenital,pr
oteinlisingenteropati (peradangan usus).
4) Pola Kesehatan
a. Persepsi tentang kesehatan dan penanganan kesehatan
Persepsi terhadap penyakit, penggunaan alkohol dan obat-obatan
b. Nutrisi dan metabolisme
Kehilangan BB, anorexia, mual, muntah, lesi pada mulut, ulser pada
rongga mulut, sulit menelan, kram abdomen
c. Eliminasi
Diare persisten, nyeri saat BAK
d. Aktifitas dan olah raga
Kelelahan kronik, kelemahan otot, kesulitan berjalan, batuk, sesak
nafas, kemampuan melakukan ADL.
e. Tidur dan istirahat
Insomnia
f. Gangguan kognitif dan persepsi
Sakit kepala, nyeri dada, kehilangan memori, demensia, parestesis
g. Seksualitas
Riwayat berperilaku seks berisiko tinggi menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan, dan hepers genetalia.
h. Peran dan tanggung jawab
Peran serta keluarga dalam menjaga kesehatan pasien
i. Pola tata nilai dan kepercayaan
Kebiasaan keluaraga dan pasien beribadah
5) Pemeriksaan Fisik
a. B1 Breathing
Inspeksi
a) Sekret di lubang hidung yang mengganggu pernafasan
b) Sesak nafas (dispneu, takipneu), pernafasan cuping hidung
c) Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80%
(PCP)
d) Retraksi interkostalis
Palpasi
Terdapat pembesaran kelenjar limfe
Perkusi
Terdengar hipersonor
Auskultasi
Terdapat suara nafas tambahan atau ronchi
b. B2 Blood
Inspeksi
a) Anemis
b) Perdarahan yang lama
c) Terdapat luka yang sulit kering dan ruang pada kulit
Palpasi
a) Takikardi/bradikardi
b) CRT mungkin akan > 2 detik atau bisa dalam kondisi normal
Auskultasi
Suara jantung biasanya terdengar normal namun biasa terdengar suara
jantung S3 dan S4 bila sudah terjadi kardiomiopati.
c. B3 Bowel
a) Lesi pada mulut: kapossi sarcoma
b) Candida mulut: plag putih yang melapisi
c) Rongga mulut dan lidah: kandidiasis
d) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia)
e) Ginggivitis
f) Muntah
g) Diare
h) Inkontinen alvi
i) Hepatosplenomegali
d. B4 Brain
Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC),
kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan
memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan
kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis, dan koma
e. B5 Bone
Muscle Wasting
f. B6 Bladder
Inspeksi
Perubahan warna dan karakteristik urin
Palpasi
Nyeri tekan daerah suprapubik
Tabel 6. Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS
(Menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah
Ketergantungan
1. Sistem 1. Integritas Perasaan Perasaan
Pernapasan : Ego: minder dan tak membutuhkan
Dyspnea, TBC, Perasaan tak berguna di pertolongan orang
Pneumonia berdaya atau masyarakat lain
2. Sistem putus asa Interaksi sosial:
Pencernaan:Nau 2. Faktor stress: perasaan
sea-Vomiting, baru/lama terisolasi atau
Diare, 3. Respon ditolak
Dysphagia, BB psikologis:
turun 10% denial,
selama 3 bulan marah,
3. Sistem cemas,
Persarafan: iritable
letargi,nyeri
sendi,
encelopathy.
4. Sistem
Integumen:
Edema yang
disebabkan
Kapsosis
Sacroma, Lesi
di kulit atau
mukosa, dan
alergi
5. Lain-lain :
Demam, resiko
menularkan
2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
napas
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
seperti kelemahan otot
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan,
peningkatan kebutuhan metabolisme
4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen
usus atau infeksi HIV
5. Hipertemia berhubungan dengan proses penyakit ( infeksi), peningkatan
laju metabolisme tubuh
6. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan imunitas
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
8. Risiko infeksi
9. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
neuropati perifer
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Perencanaan
No
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Bersihan jalan Setelah diberikan asuhan Manajemen Jalan Napas
napas tidak efektif keperawatan selama 1 x 24 1. Monitor pola napas
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. mengi,whezing, ronkhi kering)
berhubungan jam diharapkan bersihan jalan
3. Posisikan semi fowler atau fowler
dengan nafas pasien efektif 4. Beri minum hangat
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
hipersekresi jalan Dengan kriteria hasil:
6. Beri oksigen, jika perlu
napas 1. Produksi sputum menurun 7. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Frekuensi pernapasan 8. Ajarkan batuk efektif
9. Kolaborasi pemberian bronkodilator dan tidakan nebulizer bila perlu.
membaik (RR : 16-20
kali Latihan Batuk Efektif
/menit)
3. Tidak ada sesak napas 1. Identifikasi kemampuan batuk
4. Tidak ada suara napas 2. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
3. Monitor intake dan output cairan
tambahan
4. Buang sekret pada tempat sputum
5. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
6. Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik,tahan selama
2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu selama 8
detik
7. Anjurkan tarik nafas dalam hingga 3 kali
8. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran
Pemantauan Respirasi
1. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, hyperventilasi, napas
kusmaul)
2. Monitor kemampuan batuk efektif
3. Monitor adanya sumbatan jalan napas
4. Monitor saturasi oksigen, nilai AGD, hasil x-ray torak
2 Pola napas tidak NOC: Management jalan napas
Setelah diberikan askep selama
efektif 1. Monitor jalan napas
2 x 24 jam diharapkan pola
berhubungan 2. Momitor bunyi nafas (mis: mengi,wheezing)
nafas kembali efektif
dengan hambatan 3. Beri minum hangat
Dengan kriteria hasil:
upaya nafas seperti 4. Posisikan semi fowler atau fowler
1. Secara verbal tidak ada
kelemahan otot 5. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
keluhan sesak
6. Beri oksigen, jika perlu
2. Suara napas normal
7. Ajarkan tehnik batuk efektif
(vesikular)
8. Kolaborasi pemberian brionchodilator, ekpectoran,mukolitik, bila perlu
3. Frekuensi pernapasan
Pemantauan Respirasi
dalam batas normal sesuai 1. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea, hyperventilasi, napas
usia (16-24x/mnt) kusmaul)
2. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Irama nafas teratur.
3. Monitor adanya sumbatan jalan napas
4. Monitor saturasi oksigen, nilai AGD, hasil x-ray torak
Terapi aktivitas
1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas
2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
3. Monitor respon emosional,fisik,sosiala dan spiritual terhadap aktifitas
4. Fasilitasi aktifitas rutin,sesuai kebutuhan
5. Fasilitasi aktifitas motorik untuk merelaksasi otot
6. Libatkan keluarga dalam aktifitas
7. Beri penguatan positifatas partisipasi dalam aktifitas
8. Anjurkan melakukan aktifitas fisik untuk menjaga fungsi dan kesehatan
9. Anjurkan keluarga memberikan penguatan positif
7. Nyeri kronis Setelah diberikan tindakan Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan selama.. x 24 jam 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
dengan ganguan diharapkan nyeri yang 2. Identifikasi skala nyeri
imunitas dirasakan berkurang
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
Dengan kriteria
1. Mampu mengontrol nyeri 4. Identifikasi faktor yang memperberat/meringankan nyeri
(tahu penyebab nyeri,
5. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
mampu menggunakan
6. Monitor efek samping penggunaan analgetik
teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri, 7. Berikan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
mencari bantuan) 8. Fasilitasi istirahat dan tidur
2. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan 9. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri 10. Jelaskan strategi meredakan nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
11. Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman 12. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
setelah nyeri berkurang 13. Kolaborasi pemberian analgesik
Perawatan kenyamanan
1. Beri posisis yang nyaman
2. Ciptakan lingkungan yang nyaman
3. Dukung keluarga terlibat dalam pengobatan
4. Jelaskan mengenai kondisi dan pilihan pengobatan
5. Ajarkan terapi relaksasi dan tehnik distraksi
6. Ajarkan latihan pernapasan
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi
keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
Evaluasi yang dilakukan pada diagnosa keperawatan pasien dengan
HIV/AIDS adalah berdasarkan kriteria evaluasi dari diagnosa keperawatan
tersebut. Adapun evaluasinya adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan nafas efektif
2. Pola nafas pasien efektif
3. Nutrisi pasien adekuat
4. Diare teratasi
5. Suhu tubuh pasien dalam batas normal
6. Aktivitas pasien meningkat
7. Nyeri berkurang
8. Tidak terjadi infeksi
9. Gangguan integritas kulit teratasi
6. Discharge Planning
Discharge planning pada pasien dengan HIV/AIDS adalah:
1. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk segera menghubungi tim
kesehatan atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi
tanda – tanda dan gejala infeksi.
2. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengamati respon
terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek
samping.
3. Memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang penjadwalan
pemeriksaan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi I Cetakan III (Revisi). Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Edisi I Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI