Anda di halaman 1dari 32

Referat

TRAUMA LIMPA

Oleh:

Aditya Nur Firmansyah, S.Ked.

(712017036)

Pembimbing:

dr. Fahriza Utama, Sp.B., FINACS., FICS.


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat berjudul

TRAUMA LIMPA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

Aditya Nur Firmansyah, S.Ked

(712017036)

Pembimbing:

dr. Fahriza Utama, Sp.B., FINACS., FICS

Telah diterima dan disetuji sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang periode 28 Mei 2018 - 5 Agustus 2018.

Palembang, Juni 2018

Dosen Pembimbing
dr. Fahriza Utama, Sp.B. FINACS., FICS
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Trauma
Limpa” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan
salam selalu tercurah kepada Rasullullah Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan


arahan, maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. dr. Fahriza Utama, Sp.B, selaku dosen pembimbing.

2. Orang tua yang telah banyak membantu dengan doa yang tulus dan
memberikan bantuan moral maupun spiritual.

3. Rekan Tim sejawat seperjuangan.

4. Perawat dan semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan


laporan kasus ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.
Aamiin.

Palembang, Juni 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................

Halaman Pengesahan .................................................................................. i

Kata Pengantar ........................................................................................... ii

Daftar Isi ...................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................

2.1. Definisi ............................................................................................ 3

2.2. Anatomi dan Fisiologi Limpa .......................................................... 3

2.2.1. Anatomi Limpa ......................................................................... 3

2.2.2. Fisiologi Limpa ......................................................................... 5

2.3. Patogenesis ...................................................................................... 6

2.4. Manifestasi Klinik ........................................................................... 8

2.5. Pemeriksaan Laboratorium.............................................................. 9

2.6. Pemeriksaan Radiologi .................................................................... 9

iii
2.6.1. USG (Ultrasonography) ............................................................ 10

2.6.2. CT Scan (Computed Tomography) ........................................... 11

2.6.3. Angiography.............................................................................. 13

2.7. Diagnosis Banding .......................................................................... 14

2.8. Penatalaksanaan ............................................................................... 18

2.9. Prognosis ......................................................................................... 19

BAB III. RESUME ....................................................................................... 20

Daftar Pustaka ............................................................................................... 21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma adalah salah satu penyebab utama kematian pada semua kelompok
usia. Hampir 5 juta kematian terjadi akibat trauma di tahun 1990. Pada kelompok
tertentu mortalitasnya hanya bisa diimbangi oleh kanker dan penyakit
atherosklerosis. Evaluasi dan penatalaksanaan adalah komponen terpenting pada
penanganan penderita dengan trauma yang berat. Sekurangnya 25% dari seluruh
korban trauma memerlukan tindakan laparotomi eksplorasi. Cedera
intra-abdominal yang tidak terdeteksi adalah penyebab tersering kematian yang
dapat dicegah akibat trauma, sangat dianjurkan bagi kita untuk memiliki tingkat
kecurigaan yang lebih tinggi terhadap penderita-penderita trauma tersebut.1

Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul
abdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Keadaan ini mungkin disertai
kerusakan usus halus, hati dan pankreas. Limpa mendapat vaskularisasi yang
banyak, yaitu dilewati kurang lebih 350 liter darah per harinya yang hampir sama
dengan satu kantung unit darah sekali pemberian. Karena alasan ini, trauma pada
limpa mengancam kelangsungan hidup seseorang.1,2

Limpa kadang terkena ketika trauma pada torakoabdominal dan trauma


tembus abdomen. Penyebab utamanya adalah cedera langsung karena kecelakaan
lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur atau olahraga kontak,
seperti yudo, karate, dan silat. Trauma limpa terjadi pada 25% dari semua trauma
tumpul abdomen. Perbandingan laki-laki dan perempuan yaitu 3 : 2, ini mungkin
berhubungan dengan tingginya kegiatan dalam olahraga, berkendaraan dan
bekerja kasar pada laki-laki. Angka kejadian tertinggi pada umur 15-35 tahun.1,2

Diagnosis untuk trauma tembus limpa mudah ditegakkan karena biasanya


pasien datang dirujuk untuk tindakan operasi. Pada banyak kasus, foto thoraks dan
abdomen menjadi langkah awal untuk menilai pasien dengan trauma tumpul
abdomen. Namun efek dari trauma tumpul abdomen kadang tertutupi oleh trauma

1
yang lebih nyata. Pada beberapa pasien, kadang tanpa gejala, Hal ini membuat
tingginya mortalitas trauma tumpul abdomen dibanding trauma tembus. Oleh
karena itu, radiologis harus mempunyai indeks kecurigaan lebih tinggi dan
menyarankan pemeriksaan pencitraan bentuk lain lebih lanjut untuk mengevalusi
ulang.2
Mengingat besarnya masalah serta tingginya angka kematian dan kesakitan
trauma limpa serta sulitnya mendiagnosis segera, maka penulis membuat referat
yang membahas trauma limpa.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Trauma limpa terjadi ketika suatu dampak penting kepada limpa dari
beberapa sumber menyebabkan kerusakan atau ruptur limpa. Dapat berupa trauma
tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu operasi.1

2.2. Anatomi dan Fisiologi Limpa

2.2.1. Anatomi Limpa

Limpa berwama kemerahan dan merupakan sebuah masa lymphoid terbesar


di dalam tubuh. Berbentuk lonjong dan mempunyai incisura di pinggir anteriornya.
Limpa berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal. Berat
rata-rata pada manusia dewasa berkisar 75-100 gram, biasanya sedikit mengecil
setelah berumur 60 tahun sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya ,

3
ukuran dan bentuk bervariasi, panjang ± 10-11cm, lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4
cm.1,3

Limpa terletak di kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah
diafragma, terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Limpa diselubungi oleh
peritoneum, yang berjalan dari hilus lienalis sebagai omentum (ligamentum)
gastrolienale ke curvatura gastrica major (membawa vasa gastrica brevis dan vasa
gastroepiploica sinistra). Peritoneum juga berjalan menuju ginjal kiri sebagai
ligamentum lienorenale (membawa vasa lienalis dan cauda pancreas). Limpa
terpancang ditempatnya oleh lipatan peritoneum yang diperkuat oleh beberapa
ligamentum suspensorium yaitu1,2,3 :

1. Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secara tumpul).

2. Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis

3. Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus

4. Ligamentum splenorenal.

Limpa merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari
dan berisi kira-kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi
arteri lienalis, variasi cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa
Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya
menjadi 5-6 cabang pada hilus sebelum memasuki limpa. Pada 85 % kasus, arteri
lienalis bercabang menjadi 2 yaitu ke superior dan inferior sebelum memasuki
hilus. Sehingga hemi splenektomi bisa dilakukan pada keadaan tersebut.Vena
lienalis bergabung dengan vena mesenterika superior membentuk vena porta.1,2

4
Gambar 2.1. Limpa dengan incisura pada pinggir posterior

(Sumber: Snell, 2012)3

Gambar 2.2. Limpa dengan hubungan struktur-struktur disekitarnya

(Sumber: Snell, 2012)3

Secara fisik, limpa banyak berhubungan dengan organ vital abdomen yaitu,
diafragma kiri di superior, kaudal pankreas di medial, lambung di anteromedial,
ginjal kiri dan kelenjar adrenal di posteromedial, dan fleksura splenikus di
inferior.2

2.2.1. Fisiologi Limpa

Fungsi limpa dibagi menjadi 5 kategori 1,4 :

1. Filter sel darah merah

5
2. Produksi opsonin-tufsin dan properdin

3. Produksi Imunoglobulin lg M

4. Produksi hematopoesis in utero

5. Regulasi T dan B limfosit

Pada janin usia 5-8 bulan limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel
darah merah dan putih, dan tidak berfungsi pada saat dewasa. Selain itu, limpa
berfungsi menyaring darah, artinya sel yang tidak normal, diantaranya eritrosit,
leukosit, dan trombosit tua ditahan dan dirusak oleh sistem retikuloendotelium.1

Limpa juga merupakan organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh
bakteri melalui darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki antibodi.
Kemampuan ini akibat adanya mikrosirkulasi yang unik pada limpa. Sirkulasi ini
memungkinkan aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu untuk
memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat
dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini merangsang
respon anti bodi lg M di centrum germinale. Sel darah merah juga dieliminasi
dengan cara yang sama saat melewati limpa.1,4.

Limpa dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah merah,


dapat membersihkan sisa sel darah merah normal. Sel darah merah tua akan
kehilangan aktifitas enzimnya dan limpa mengenali kondisi ini akan menangkap
dan menghancurkannya. Pada asplenia kadar tufsin ada dibawah normal. Tufsin
adalah sebuah tetra peptida yang melingkupi sel – sel darah putih dan merangsang
fagositosis dari bakteri dan sel-sel darah tua. Properdin adalah komponen penting
dari jalur alternatif aktivasi komplemen, bila kadarnya dibawah normal akan
mengganggu proses opsonisasi bakteri yang berkapsul seperti meningokokkus,
dan pneumokokkus.1,3

6
2.3. Patogenesis

Berdasarkan penyebab, trauma limpa dibagi atas1 :

1. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau
benda tajam lainnya. Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka
tergantung arah trauma. Yang sering dicederai adalah paru, lambung,
lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat
menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi
selama jumlah trombosit > 70.000 dan waktu protrombin 20 % di atas
normal.
2. Trauma Tumpul
Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma
tumpul abdomen atau trauma thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin
disertai kerusakan usus halus, hati, dan pankreas. Penyebab utamanya
adalah cedera langsung atau langsung karena kecelakaan lalu lintas,
terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga kontak
seperti judo, karate dan silat. Ruptur limpa yang lambat dapat terjadi
dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
trauma. Pada separuh masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena
adanya tamponade sementara pada laserasi kecil, atau adanya hematom
subkapsuler yang membesar secara lambat dan kemudian pecah.
3. Trauma Iatrogenik
Ruptur limpa sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen
bagian atas, umpamanya karena retractor yang dapat menyebabkan
limpa terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga hilus atau pembuluh
darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat terjadi pada punksi
limpa (splenoportografi).1

Kelainan patologi dikelompokkan menjadi 1,3 :

7
1. Cedera kapsul

2. Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas

3. Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial

4. Avulsi limpa dilakukan splenektomi total

5. Hematoma subkapsuler

Gambar 2.3. Laserasi kedalam parenkim limpa

(Sumber: Sabiston, 2011)5

Gambar 2.4. Laserasi kedalam parenkim tetapi tidak melewati hilus renalis

(Sumber: Sabiston, 2011)5

8
Gambar 2.5. Laserasi melalui hilus dan pembuluh darah hilus renalis

(Sumber: Sabiston, 2011)5

Gambar 2.6. Fraktur limpa berat

(Sumber: Sabiston, 2011)5

Gambar 2.7. Hematom subkapsuler

(Sumber: Sabiston, 2011)5

Gambar 2.8. Laserasi Vertikal

(Sumber: Sabiston, 2011)5

2.4. Manifestasi Klinik

9
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur limpa bergantung pada adanya organ
lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi
rongga peritoneum. Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehingga
mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik hebat yang fatal. Dapat pula terjadi
perdarahan yang berlangsung sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada
pemeriksaan.1

Pada setiap kasus trauma limpa harus dilakukan pemeriksaaan abdomen


secara berulang-ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting
adalah mengamati perubahan gejala umum (syok, anemia) dan lokal di perut
(cairan bebas, rangsangan peritoneum). Pada ruptur yang lambat, biasanya
penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan intrabdomen, atau seperti
ada tumor intraabdomen pada bagian kiri atas yang nyeri tekan disertai anemia
sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang terjadi sebelumnya
sangat penting dalam menghadapi kasus ini.1

Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi dengan


atau tanpa (belum) takikardi dan penurunan tekanan darah. Penderita mengeluh
nyeri perut bagian atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri
atas atau punggung kiri. Nyeri di daerah perut kiri disebut tanda Kehr, terdapat
pada kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul
pada posisi tredenlenberg.1

Gambar 2.9. Posisi dorsal recumben pada pemeriksaan tanda kehr

(Sumber: Darliana, 2014)6

10
Gambar 2.10. Posisi tredenlenberg

(Sumber: Darliana, 2014)6

2.5. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya


didapat leukositosis. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan urinalisis.
Bila terjadi perdarahan akan menurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi
leukositosis. sedangkan bila terdapat eritrosit dalam urine akan menunjang akan
adanya trauma saluran kencing.1,4

2.6. Pemeriksaan Radiologi

Setelah trauma tumpul, organ intraabdominal yang sering terkena yaitu limpa,
dan limpa akan cedera dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya
mencoba untuk mengatasi trauma ini dengan konservatif, ruptur limpa mungkin
baru disadari setelah seminggu atau sepuluh hari setelah trauma pertama. Ada
beberapa pemeriksaan yang dapat dilaukan, diantaranya USG, CT scan dan
Angiography. Jika ada kecurigaan trauma limpa, CT Scan merupakan
pemeriksaan pilihan utama. Pendarahan dan hematom akan tampak sebagai
daerah yang kurang densitasnya dibanding limpa. Daerah hitam melingkar atau
ireguler dalam limpa menunjukkan hematom atau laserasi, dan area seperti bulan
sabit abnormal pada tepi limpa menunjukkan subkapular hematom. Kadang,
dengan penanganan konservatif, abses mungkin akan terbentuk kemudian dan
dapat diidentifikasi pada CT Scan karena mengandung gas. Sensitivitas pada CT
Scan tinggi, namun spesifikasinya rendah, dan kadang riwayat dan gejala penting
untuk menentukkan diagnosis banding.2

11
Gambar 2.11. Gambaran Trauma Limpa

(Sumber: Lisle, 2011)7

Keterangan : Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada


kuadran kiri atas dibawah diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi hematom
limpa7

Gambar 2.11. Gambaran Cedera Limpa

(Sumber: Lisle, 2011)7

2.6.1. USG (Ultrasonography)

Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi abdomen,
luka-luka, memakai WSD. USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas
intraperitoneal. Darah dalam peritoneum tampak sebagai gambaran cairan
anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian usus dengan organ solid
disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk mendiagnosis trauma
organ solid atau trauma intestinal. Tujuan utama pemeriksaan USG limpa pada
trauma tumpul abdomen yaitu untuk menentukan apakah ada darah di kuadran kiri
atas. Perdarahan akut tampak hipoechoic (gelombang echo lebih redup) dan dapat
juga hampir anechoic (hitam).7

12
A B

Gambar 2.12. (A) USG abdomen tampak area anechoic pada daerah trauma (B)
Hematom subkapsular

(Sumber: Lisle, 2011)7

2.6.2. CT Scan (Computed Tomography)

CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul tidak hanya


sebagai awal, tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien ditangani secara
non-bedah. CT juga semakin banyak digunakan untuk trauma tembus yang secara
tradisional ditangani dengan operasi.2

CT pada trauma abdomen:

1. Evaluasi awal dari:

a. Trauma tumpul

b. Trauma tembus

2. Follow up dari pengelolaan non-operatif

3. Menyingkirkan adanya cedera

13
Gambar 2.13. Grading untuk trauma limpa menurut gambaran CT

(Sumber: Ledbetter, 2007)8

Kelemahan grading ini adalah:

1. Sering meremehkan tingkat cedera.

2. kemungkinan variasi antar pembaca

3. Tidak memasukkan:

a. Adanya perdarahan aktif

b. Kontusio

4. Post-traumatik infark

5. Yang paling penting: tidak ada nilai prediktif untuk manajemen


non-operasi (NOM)8

14
Gambar 2.14. Gambaran trauma limpa dengan laserasi. Tampak hemoperitoneum,
dan kemungkinan pasien memerlukan tindakan operatif.

(Sumber: Ledbetter, 2007)8

Gambar 2.15. Menunjukkan laserasi hilar kecil. Ini adalah cedera derajat III-IV

(Sumber: Klepac, 2010)8

Gambar 2.15. Menunjukkan laserasi kompleks yang meluas ke hilus. Ini adalah
cedera kelas IV.

(Sumber: Klepac, 2010)8

The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the
Surgery of Trauma juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi pada
tahun 1994, sebagai berikut:8

Grade I
 Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan

15
 Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.
Grade II
 Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
 Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
 Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan pembuluh
darah trabecular.
Grade III
 Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau
meluas dan terdapat ruptur hematoma subcapsular atau parenkim
 Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
 Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan
pembuluh darah trabecular.
Grade IV
Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan devascularisasi
lebih dari 25% dari limpa.
Grade V
Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.

2.6.3. Angiography

Trauma limpa dapat menghasilkan berbagai temuan angiografik, baik secara


langsung maupun tidak langsung. Tanda-tanda tidak langsung termasuk
perpindahan limpa dari dinding perut dan daerah parenkim avaskular dari
hematoma. Ketidakteraturan parenkim atau bintik-bintik pada limpa mungkin
akibat dari edema lokal dari memar tanpa kelainan yang jelas. Fragmentasi limpa
atau cedera arteri utama menandakan komplikasi yang mengancam nyawa pada
kebanyakan pasien, dan mereka memerlukan intervensi bedah segera.2

16
Gambar 2.16. Arteriogram yang diperoleh dengan injeksi kateter arteri utama limpa
menunjukkan beberapa daerah ekstravasasi agen kontras parenkim

(Sumber: Klepac, 2010)2

Gambar 2.16. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lien superselektif di


kutub atas, menegaskan zona kedua dari gangguan vaskular dengan ekstravasasi
agen kontras.

(Sumber: Klepac, 2010)2

2.7. Diagnosis Banding

Pada kebanyakan kasus, diagnosis ruptur limpa tidaklah sulit. Bagaimanapun


juga, ahli radiologi harus waspada terhadap proses trauma yang memungkinkan
terjadinya trauma limpa.
1. Hematom
Pada derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma
limpa, kecuali jika bagian subkapsular intak. Walaupun begitu, tidak
semua cairan intra abdomen merupakan hematom. Ahli radiologi harus
berhati-hati dalam mengasumsikan bahwa trauma limpa adalah penyebab
adanya cairan dalam abdomen atau di sekitar limpa. Kebanyakan trauma
tumpul limpa terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan

17
bermotor, kejadian yang berhubungan dengan jatuh, atau pengendara
kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan. Kemungkinan terbesar
terjadinya positif palsu pada kecelakaan kendaraan bermotor adalah karena
pasien cenderung tua dan telah memiliki penyakit sebelumnya.2
2. Akumulasi cairan
Penyakit hati, pankreas, ginjal, dan kolon bagian kiri dapat menuju pada
akumulasi cairan pada bagian bawah limpa. Penyebab lain yang dapat
menyebabkan akumulasi cairan tidak boleh dilupakan, termasuk adanya
keganasan abdomen yang tidak terdiagnosis dengan asites dan dialisis
peritoneal. Walau banyak keadaan ini tidak mungkin terjadi, kesempatan
untuk memperoleh informasi dari pasien mungkin tidak ada. Pada
kebanyakan kecelakaan kendaraan bermotor, ada beberapa orang yang
terluka. Orang tua tidak dapat mentoleransi bahkan trauma kecil sekalipun,
dan keadaan hemodinamik mereka biasanya tidak sesuai dengan trauma
yang terlihat. Sebagai tambahan, banyak pasien trauma yang mengalami
kecelakaan tiba di rumah sakit setelah penggunaan alcohol dan
obat-obatan. Akibatnya pasien dibawa ke bagian radiologi dalam keadaan
disedasi atau diintubasi.2
3. Kista
Banyak hal yang dapat mempengaruhi limpa dan menimbulkan gambaran
laserasi atau hematom lien. Ada banyak etiologi kista limpa yang telah
dilaporkan dalam literatur. Salah satu etiologi ini dapat menyebabkan
kesalahan diagnosis sebagai trauma limpa, tapi biasanya tidak
menimbulkan hemoperitonium. Abses limpa yang disebabkan oleh
endokarditis bakterial, infark limpa, dan prosedur invasif dapat
menyebabkan trauma limpa, dan ini dapat dihubungkan dengan cairan
perilien. Lesi kistik yang menyerupai trauma dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :

- Kongenital : Epidermoid.
- Vaskular : Hematom, kista post trauma (80%), infark kistik, dan
peliosis.

18
- Inflamasi : Abses piogenik, mikroabses jamur akibat Candida,
Aspergilus, atau Cryptococcus. Tuberculosis akibat Mycobacterium
avium intracellular, Pneumocytis carinii, atau Echinococcus. Dan
pseudokista pancreas.
- Neoplasma : Hemangioma kavernosus, angiosarkoma, limpangioma,
dan metastasis (melanoma 50%).2
4. Tumor jinak
Tumor jinak yang paling sering pada limpa adalah hemangioma
kavernosus. Tumor ini dapat terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada USG
dan dapat menimbulkan gambaran hematom dan darah yang tidak
menggumpal. Hemangioma terlihat hipodens pada CT scan. Lesi jinak
dapat menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil jika
dekat perifer. Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah perbedaan pada
batas dan bentuk hemangioma dibandingkan dengan trauma. Kalsifikasi
seperti bentuk salju atau phlebolits jarang terjadi, tapi dapat dibedakan
dengan trauma. Hemangiomatosis lien difus adalah keadaan dimana limpa
membesar dan digantikan hampir seluruhnya oleh hemangioma.
Gambarannya terlihat seperti trauma saat pertama terlihat.2
5. Ruptur limpa nontraumatik
Ruptur limpa nontraumatik jarang terjadi, tapi telah dihubungkan dengan
beberapa proses penyakit. Ini dapat menimbulkan kebingungan, pertama
karena kelangkaannya dan kedua karena dugaan penyebab traumatik.
Pemeriksaan teliti terhadap gambar akan menuju kepada diagnosis yang
benar.2
6. Sarkoidosis
Sakoidosis adalah penyakit yang tidak diketahui etiologinya yang mana
granuloma muncul di jaringan dan organ terutama pada sistem limfatik.
Limpa terlibat dalam 24-59% dari pasien dengan sarkoid, tapi biasanya
asimptomatik. Dapat juga menunjukkan gejala abdominal. Kasus berat
dapat menuju kepada hipersplenisme dan ruptur spontan tanpa etiologi
yang jelas. Pada kebanyakan kasus, limpa terkena secara difus, dan
gambarannya dapat menyerupai limfoma. Splenomegali tampak pada

19
sekitar sepertiga kasus dan sering dihubungkan dengan limfadenopati.
Nodul hipodens yang terpisah tampak pada CT scan pada sekitar 15%
pasien.2
7. Amiloidosis
Limpa terlibat pada amiloidosis, penyakit dimana pada sel plasma terjadi
penumpukan amiloid, protein kompleks yang terbentuk terutama dari
rantai polipeptida, yang terjadi di berbagai jaringan dan organ.
Amiloidosis dapat terjadi secara primer ataupun sekunder, berhubungan
dengan inflamasi kronik (terutama arthritis reumatoid), dan terjadi
berhubungan dengan myeloma multiple. Limpa terkena dalam berbagai
bentuk amiloidosis dan muncul secara difus dan homogen pada
kebanyakan pasien. Ini dapat terlihat pada CT scan dengan kontras, tapi
abnormalitas focal yang dapat menyerupai laserasi juga dapat terjadi.
Ruptur limpa spontan, yang diyakini sebagai akibat kelemahan kapsul
akibat penumpukan amiloid, telah dilaporkan. Berkurangnya atenuasi pada
organ yang terlibat dapat membantu dalam membedakan amiloid dengan
trauma.2
8. Infeksi
Bartonella adalah organism gram negatif awalnya dianggap terutama
menginfeksi pasien dengan HIV. Tapi, penelitian terkini telah
menunjukkan spesies Bartonella yang dapat menyebabkan penyakit
catscratch. Dua proses primer dari infeksi Bartonella, yang melibatkan
hati dan limpa disebut bacillary peliosis hepatis. Secara patologis, basili
ini menyebabkan dilatasi kapiler, yang menyebabkan sejumlah kavitas
berdinding tipis yang berisi darah pada hati dan limpa. CT scan abdomen
menunjukkan adanya lesi multiple pada hati dan limpa dengan
limpadenopati dan kemunkinan asites. Lesi dapat bergabung membentuk
lesi multilokus atau berseptum. Ruptur limpa spontan telah dilaporkan
pada pasien dengan bacillary peliosis hepatis.2
9. Trauma sekunder
Proses-proses yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan ruptur
limpa, yang menyebabkan derajat trauma. Limpa yang membesar dengan

20
massa tumor atau anemia dapat terluka dengan trauma ringan seperti jatuh
saat berjalan. Hemangioma atau kista dapat ruptur dengan trauma ringan
akibat kelemahan pada kapsul. Kondisi-kondisi ini dihubungkan dengan
hemoperitonium atau perdarahan parenkim dan sulit dibedakan dengan
trauma limpa.2

2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan tetapi,


splenektomi sedapat mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk
menghindari kerentanan permanen terhadap infeksi. Kebanyakan laserasi kecil
dan sedang pada pasien stabil, terutama anak-anak, ditatalaksana dengan observasi
dan transfusi. Kegagalan dalam penatalaksanaan obsevatif lebih sering terjadi
pada trauma grade III, IV, dan V daripada grade I dan II. Pada banyak penelitian,
embolisasi arteri lienalis telah dijelaskan menggunakan berbagai pendekatan. Satu
poin utama dalam pembahasan tentang perbedaan antara embolisasi arteri lienalis
utama, embolisasi arteri lienalis selektif atau superselektif, dan embolisasi arteri
lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini menghambat aliran pada pembuluh
yang mengalami perdarahan. Jika pembedahan diperlukan, limpa dapat diperbaiki
secara bedah.1
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan limpa yang
fungsional dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma
tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini terdiri atas membuang jaringan nonvital,
mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit kapsul limpa yang terluka.
Jika penjahitan laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan dengan
pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.1
Mengingat fungsi filtrasi limpa, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan
benar. Selain itu, splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap
ringan. Eksposisi limpa sering tidak tidak mudah karena splenomegali biasanya
disertai dengan perlekatan pada diafragma. Pengikatan a.lienalis sebagai tindakan
pertama sewaktu operasi sangat berguna.8
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan limpa yan gtidak dapat diatasi
dengan splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial

21
yang bisa terdiri dari eksisi satu segmen dilakukan jika ruptur limpa tidak
mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital. Tapi splenektomi tetap
merupakan terapi bedah utama dan memiliki tingkat kesuksesan paling tinggi.8

2.9. Prognosis

Hasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun nonoperatif dari ruptur


limpa penyembuhan 90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara
nonoperatif. Angka kematian yang berhubungan dengan trauma limpa berkisar
antara 10% hingga 25% dan biasanya akibat trauma pada organ lain dan
kehilangan darah yang banyak.2

22
BAB III
RESUME

Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul
abdomen atau trauma toraks bagian kiri bawah. Penyebab utamanya adalah
cedera langsung atau tidak langsung, yaitu kecelakaan atau kekerasan lain,
iatrogenik ataupun spontan pada penyakit limpa.

Tanda-tanda trauma limpa yaitu rudapaksa dalam anamnesis, tanda kekerasan


di pinggang kiri atau perut kiri atas, patah tulang iga kiri bawah, tanda umum
perdarahan (hipotensi, takikardi, anemia), tanda masa di perut kiri atas, tanda
cairan bebas di dalam rongga perut, dan tanda iritasi peritoneum lokal (kehr) atau
iritasi umum.

Pada foto abdomen, bayangan limpa yang membesar, dan adanya desakan
terhadap lambung ke arah garis tengah. Pemeriksaan CT Scan, payaran
radionukleotida, atau angiografi jarang berguna pada keadaan darurat. Namun CT
Scan masih merupakan pemeriksaan pilihan utama karena sensitivitas pada CT
Scan tinggi.

Pada pemeriksaan akan tampak sebagai daerah yang kurang densitasnya


dibanding limpa. Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam limpa menunjukkan
hematom atau laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi limpa
menunjukkan subkapular hematom. USG abdomen akan tampak hipoechoic

23
pada perdarahan akut, dan pada pemeriksaan angiografi akan tampak ekstravasasi
agen kontras ke parenkim limpa.

Setelah diagnosis ditegakkan, trauma limpa dapat ditatalaksana konservatif


ataupun dengan pembedahan. Pembedahan yang dapat dilakukan yaitu splenorafi
dan splenektomi. Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan limpa yang tidak
dapat diatasi dengan splenorafi.

DAFTAR PUSTAKA

1. R. Syamsuhidayat. Buku ajar ilmu bedah edisi ke-2. Jakarta : EGC ; 2004. Hal.
608-612.

2. Klepac Steven R. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,


Department Radiology. Available from http://www.mi-compendium.org
/journal/index.php/JMID/article/viewFile/31/29 . Accessed Juny 10, 2018.

3. Snell, Richard S. Anatomi klinis berdasarkan sistem. Jakarta : EGC ; 2012. Hal
742-744.

4. Brunicardy, Charless. Schwatz’s Principles of Surgery. Singapore : The Mc


Graw-Hill Companies; 2005.

5. Sabiston, David C. Atlas bedah umum. Pamulang : Binarupa Aksara Publisher ;


2011. Hal 629-630.

6. Darlina, Devi. Kebutuhan aktivitas dan mobilisasi. Banda Aceh : Fakultas


Keperawatan Universitas Syah Kuala; 2014.

24
7. Lisle, David. Imaging for the student, second edition . New York: Arnold;
2001.

8. Ledbetter, S, Smithuis. Abdominal trauma - Role of CT. Netherlands :


Departement of Radiology of the Brigham and Women's Hospital, Boston and the
Rijnland Hospital in Leiderdorp ; 2007.

25

Anda mungkin juga menyukai