Anda di halaman 1dari 32

4.

4 Uraian Materi
4.4.1. Esensi dan Konsep Negara Hukum
Thomas Hobbes (1588-1679 M) dalam bukunya Leviathan pernah
mengatakan “Homo homini lupus”, artinya manusia adalah srigala bagi manusia
lainnya. Manusia memiliki keinginan dan nafsu yang berbeda-beda antara
manusia yang satu dan yang lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia ada yang baik,
ada nafsu yang tidak baik. Inilah salah satu alasan mendasar mengapa aturan
hukum sangat diperlukan dalam bermasyarakat dan bernegara. Pada kondisi yang
lain terlihat bahwa bukan tidak mungkin bila semua masyarakat tidak memerlukan
aturan-aturan hukum. Namun, Cicero (106-43 SM) pernah menyatakan, “Ubi
societas ibi ius”, artinya di mana ada masyarakat, disana ada hukum. Dengan kata
lain, sampai saat ini hukum tetap diperlukan bahkan kedudukan hukum sangat
esensial dalam memberikan perlindungan, jaminan keadilan dan kedamaian dalam
bermasyarakat dan bernegara.
M. Yahya Harahap dalam Maida Gultom, (2008:19-20), mengatakan bahwa,
peran hukum dalam masyarakat bangsa yang bebas (the role of law in free
society) adalah agar: 1). Masyarakat dan individu bebas dari penindasan, baik
penindasan dari luar tau bangsa lain maupun penindasan dari dalam oleh para
penguasa juga penindasan antara sesame angota masyarakat; 2). Masyarakat tidak
diperlakukan secara otoriter, penguasa tidak boleh menjadi alat kekuasaan
(instrument of power), penguasa tidak boleh menjelma atau mempersonifikasikan
diri sebagai hukum, kebebasan dan kemerdekaan individu tidak boleh ditentukan
oleh kehendak atau keinginan penguasa; 3). Keberadaan dan kedudukan penguasa
berdasar aturan hukum atau role of law, hukum menjadi pancang dan fundamen
kekuasaan dan kewenangan penguasa (under the authority of law), penguasa tidak
boleh melampaui batas kewenangan dan fungsi yang diberikan hukum kepadanya,
tindakan yang seperti itu bertentangan dengan hukum (against the law) dan dapat
dikualifikasi detoernement de pouvoir; 4). Karakteristik peran hukum yang paling
esensial dalam free society hukum harus menjamin keamanan dan
memperlindungi hak dan kepentingan anggota masyarakat (to safe quarded and to
protect their right) dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan kesejahteraan
spiritual dan material, sebaiknya setiap individu harus taat dan mematuhi hukum

74
dan tidak dibenarkan bertindak menurut sesuka hati (arbitrary wills).
Konsep negara hukum berakar dari paham kedaulatan hukum yang pada
berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum.
Sebagai konsekuensi dari paham kedaulatan hukum, maka seluruh alat-alat
perlengkapan negara maupun penduduk (warna negara dan orang asing) tunduk
pada hukum, (Zakaria Bangun, 2007:33). Hukum berfungsi sebagai perlindungan
untuk kepentingan manusia, agar kepentingan manusia dapat terlindungi, maka
hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai tetapi dapat juga karena pelanggaran hukum itu sendiri, c. Dalam hal ini
hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan agar terjaminnya perlindungan
hukum, keadilan dan kedamaian dalam bermasyarakat dan bernegara.
Cikal bakal terpenting dalam sistem pembentukan hukum nasional melalui
kemerdekaan Indonesia dengan pemberian bentuk hukum oleh para pendiri
negara, dimana landasan filsafat dan tujuan negara dituangkan dalam Pancasila.
Arief Sidharta dalam Yasmil Anwar dan Adang (2008: 167-169), Pancasila
sebagai landasan filsafat negara Indonesia, menegaskan bahwa tatanan politik
yang dikehendaki untuk mewujudkan negara ini adalah negara Pancasila, dengan
ciri-ciri sebagai berikut: 1). Negara pancasila adalah negara hukum; dalam
menjalankan kekuasaannya harus selalu dengan landasan hukumnya dan dalam
kerangka batas-batas yang sudah ditetapkan melalui hukum; 2). Negara Pancasila
adalah negara demokrasi, yang seluruh kegiatannya selalu terbuka bagi partisipasi
seluruh rakyat artinya penggunaan kekuasaan publik harus dipertanggung-
jawabkan kepada rakyat dan harus terbuka bagi pengkajian rasional oleh semua
pihak dalam kerangka tata nilai dan tata hukum yang berlaku; 3). Negara
Pancasila adalah organisasi seluruh rakyat yang menata diri secara rasional untuk
mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat, dengan selalu mengacu
pada nilai-nilai martabat manusia dan Ketuhanan Yang Maha Esa, melalui kaidah
hukum yang berlaku.
Keberadaan hukum di Indonesia bukan semata-mata untuk mengatur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, akan tetapi melainkan membangun dan
menciptakan perlindungan hukum melalui tata hukum nasional dan menjaga
fungsi-fungsi hukum serta terjaminnya keadilan dalam masyarakat sesuai dengan

75
tujuan hukum yang tercantum di dalam pembukaan UUD NRI 1945 Alinea
keempat dinyatakan:
“….Bahwa yang menjadi tujuan dari negara kita adalah yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.

Atas dasar tujuan pembukaan UUD NRI alinea keempat maka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum, sebagai mana
tercantum di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3, artinya negara yang bukan
didasarkan pada kekuasaan belaka (Machtsstaat), melainkan negara yang
berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), artinya agar suatu hukum dapat berjalan
dengan baik maka kekuasannya dibatasi oleh hukum. Dengan pengertian lain
bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik yang dilakukan oleh warga
negara harus berdasarkan atas hukum. Akan tetapi, dilain pihak justru seringkali
kekuasaan tersebut yang memprorakporandakan hukum, yakni apabila kekuasaan
tidak dibatasi ketat oleh hukum. Mochtar Kusumaatmadja, (2002:199)
Sudargo Gautama (1983:35), mengatakan, “dalam suatu negara hukum,
terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha
kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap
warganya dibatasi oleh hukum (role of law)”. Negara berhak mengatur restriksi
(pembatasan) dan limitasi kekuasaan untuk menjaga agar pengaturan tersebut
tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan negara,
kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi. (Maidin Gultom, 2008:11-12.)
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat
hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan,
dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan
politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan
membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, Jimly

76
Asshiddiqie, mengatakan bahwa sistem hukum itu perlu dibangun (law making)
dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi
sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1).
Adanya perlindungan hak asasi manusia; 2) Adanya pembagian kekuasaan; 3).
Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4) Adanya Peradilan tata usaha
Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam
setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1). Supremasi hukum (Supremacy of Law); 2). Persamaan di hadapan hukum
(Equality before the law); 3). Asas legalitas (Due Process of Law).
Keempat elemen ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl
tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of
Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara
Hukum modern di zaman sekarang. Selain yang disampaikan oleh Julius Stall
dan A.V. Dicey mengenai ciri-ciri negara hukum, oleh “The International
Commission of Jurist”, bahwa prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi
dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi, (Jimly Asshiddiqie, 3).
Melihat perkembangan negara hukum sekarang ini, bahwa penerapan
konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Julius Stahl dan A.V. Dicey
terdapat di dalam UUD NRI 1945 sebagai ciri-ciri negara hukum Indonesia, yaitu:
bahwa:
a) Supremasi hukum (Supremacy of Law) dalam arti bahwa negara tidak
dapat bertindak kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh
dihukum jika melanggar hukum, Lihat, Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI 1945;
b) Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun
bagi pejabat (Equality Before the Law), (Lihat, Pasal 27 Ayat 1 UUD NRI
1945);
c) Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-
keputusan pengadilan (Constitution Based on Individual Right), (Lihat,

77
Pasal 28 A s/d 28 J UUD NRI 1945);
d) Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal (Lihat, Pasal 2 s/d Pasal 24 c UUD NRI
1945);
e) Adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat
‘independent’. (Lihat, Pasal 4 Ayat 1 dan Pasal 9 Ayat 1 UUD NRI 1945);
f) Prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (Independence and
Impartiality of Judiciary). (Lihat, Pasal 24 ayat 2 UUD NRI 1945).
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum Indonesia pasca Perubahan Keempat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat penting
untuk merealisasikan perwujudan cita-cita Negara Hukum indonesia itu
sendiri, dimulai dengan mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum yang
tertinggi (the supreme law of the land).
Dengan demikian, penegakan hukum sangat penting dalam rangka
bekerjanya sistem hukum dan ketatanegaraan Republik Indonesia guna
menegakkan perlindungan hukum, terjaminnya keadilan dan kedamaian untuk
mendukung upaya membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
semakin demokratis, damai, sejahtera, mandiri, dan bermartabat sebagaimana
yang tertuang dalam sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab”.
Lihat Url. https://media.neliti.com/media/publications/220458-konsep-rechtsstaat-dalam-
negara-hukum-in.pdf (Diakses tgl. 17 April 2018 jam. 14.20 WIB).
Lihat Url. https://media.neliti.com/media/publications/84235-ID-demokrasi-dan-negara-
hukum.pdf (Diakses tgl. 17 April 2018 jam. 15.35 WIB).
Lihat Url. http://dodiharyono.staff.unri.ac.id/files/2012/06/IDENTITAS-DAN-
ELASTISITAS.pdf (Diakses tgl. 17 April 2018 jam. 16.00 WIB).

4.4.2. Penegakan Hukum dalam Mewujudkan Keadilan di Indonesia


Upaya penegakan hukum (law enforcement) merupakan salah satu persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat, (Ishaq, 2008:244). Persoalan tersebut tidak
terlepas dari peran dari negara. Terkait dengan peran negara dalam penegakan
hukum (law enforcement) sangat erat dengan tujuan negara, dimana tujuan negara
Republik Indonesia adalah “untuk melindungi warga negara atau menjaga
ketertiban” selain berupaya mensejahterakan masyarakat. Dalam tujuan negara

78
sebagaimana dinyatakan diatas tercantum pada pembukaan UUD NRI alinea IV,
yang berbunyi, “…. negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia,
perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”
Untuk dapat melaksanakan tugas dalam bidang ketertiban dan perlindungan
hukum terhadap warga negara, maka diperlukan peraturan-peraturan dalam
penegakan hukum. Peraturan hukum yang diciptakan agar dapat mengatur
hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, di samping
mengatur hubungan anatara manusia atau warga negara dengan negara, serta
mengatur organ-organ/struktur ketatanegaran dalam menjalankan sistem
pemerintahan negara.
Hukum berfungsi dan bertujuan untuk melindungi, mengatur kepentingan
kehidupan dan ketertiban masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat dalam
mengatur kepentingan kehidupannya, maka hukum harus dilaksanakan atau
ditegakkan secara konsekuen. Apa yang tercantum dalam penegakan peraturan
hukum seyogianya dapat terwujud dalam pelaksanaannya di masyarakat. Dalam
hal ini, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban
dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa memperoleh
perlindungan hukum atas hak-haknya.
Soerjono Soekanto, (2005:5), menyatakan secara konseptual, bahwa
penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantahkan dan
sikap tindak sebagai rankaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipisahkan
dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Saat hukum yang
dilaksanakan sarat dengan nilai-nilai yang hendak diwujudkan, maka hukum
sangat terkait erat dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari
lingkungan maupun struktur sosial masyarakat dimana hukum tersebut di
berlakukan. (Satjipto Rahardjo, 2009: vii)
Soerjono Soekanto, (2005:8), mengatakan bahwa ada beberapa faktor-faktor

79
yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:
a) Faktor hukum itu sendiri, yang dalam tulisan ini dibatasi pada undang-
undang saja;
b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
c) Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan;
e) Faktor kebudayaan, yakni sabagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sudikno Mertokusumo, (1993:1), menyatakan bahwa untuk menegakkan
hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu: 1). Unsur kepastian
hukum (rechtssicherheit); 2) Unsur kemanfaatan (Zeckmaessigkeit); dan 3). Unsur
keadilan (Gerechtigheit).
1) Unsur Kepastian Hukum
Kepastian hukum, artinya penegakan hukum pada hakikatnya adalah
perlindungan hukum terhadap tindakan kesewenang-wenang. Adanya
kepastian hukum memungkinkan seseorang akan dapat memperoleh
perlindungan hukum yang diharapkan. Misalnya, seseorang yang melanggar
hukum akan dituntut pertanggungjawaban atas perbuatannya itu melalui
proses pengadilan, dan apabila terbukti bersalah akan dihukum.
2) Unsur Kemanfaatan
Selain unsur kepastian hukum, para aparatur penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya harus mempertimbangkan agar proses penegakan
hukum dan pengambilan keputusan memiliki manfaat bagi masyarakat, agar
terjaminnya perlindungan hukum terhadap masyarakat.
3) Unsur keadilan
Keadilan merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam menegakkan
hukum. Artinya bahwa dalam pelaksanaan hukum para aparat penegak
hukum harus bersikap adil. Pelaksanaan hukum yang tidak adil akan
mengakibatkan keresahan pada masyarakat, sehingga wibawa hukum dan
aparat dalam penegakan hukum menjadi lemah dimata masyarakat. Apabila

80
masyarakat tidak peduli terhadap hukum, maka ketertiban dan ketentraman
masyarakat akan terancam yang pada akhirnya akan mengganggu ketertiban
dalam masyarakat secara nasional.
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo, (1993:2-3) mengatakan bahwa, dalam
menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga
unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam
praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional
seimbang antara ketiga unsur tersebut. Sebagai contoh dalam penegakan hukum
perdata mengenai sewa menyewa rumah:
“Seorang pemilik rumah menggugat penyewa rumah ke pengadilan, karena setelah
waktu sewa satu tahun lewat, penyewa tidak mau mengosongkan rumah yang
disewanya. Ditinjau dari kepastian hukum penyewa harus mengosongkan rumah,
karena waktu sewanya telah lewat. Apakah itu dirasakan adil kalau penyewa belum
ada rumah lain untuk menampungnya? Hakim dapat memutuskan: memberi
kelonggaran misalnya enam bulan kepada penyewa untuk mengosongkannya. Ini
merupakan kompromi antara keadilan dan kepastian hukum, tetapi kemanfaatannya
terasa juga bagi si penyewa yang harus mengosongkan rumah”.

Untuk mencapai penegakan hukum yang berkeadilan dan menjamin


perlindungan hukum, perlu adanya proses penegakan hukum yang merupakan satu
kesatuan hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman, melalui:
a) Aturan hukum (Legal Substance) adalah materi, norma atau aturan hukum
yang merupakan panduan dalam berperilaku. Wujud dari legal substance
tersebut adalah berupa aturan perundang-undangan;
b) Struktur hukum (Legal Structure) adalah organisasi atau insitusi yang
merupakan rangka dari sistem hukum tersebut;
c) Budaya hukum (Legal Culture), yaitu nilai-nilai, sikap, prilaku, atau cara
pandang masyarakat terhadap hukum.
Dalam rangka menegakkan hukum, aparatur penegak hukum harus
menjalankan sesuai atuaran-aturan yang berlaku menurut peraturan perundang-
undangan, oleh karena itu agar masyarakat patuh dan menghormati hukum, maka
aparat hukum harus menegakkan keadilan berdasarkan hukum dengan jujur tanpa
pilih kasih, demi tercapainya keadilan Berdasarkan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Banyaknya kasus perilaku warga negara sebagai subyek hukum baik yang
bersifat perorangan maupun kelompok masyarakat yang belum baik dan terpuji

81
atau melakukan pelanggaran hukum menunjukkan bahwa hukum masih perlu
ditegakkan. Persoalannya, penegakan hukum di Indonesia dipandang masih
lemah. Dalam beberapa kasus, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian
hukum. Rasa keadilan masyarakat pun belum sesuai dengan harapan. Sebagian
masyarakat bahkan merasakan bahwa aparat penegak hukum sering
memberlakukan hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke
atas. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini
adalah menghadapi persoalan penegakan hukum di tengah maraknya pelanggaran
hukum di segala strata kehidupan masyarakat.
Berkenaan dengan peraturan hukum yang meliputi norma, sanksi dan delik
(tindak pidana). Norma hukum memuat larangan untuk melakukan sesuatu
perbuatan, sebagai contoh dalam tindak pidana dilarang melakukan kejahatan
pencurian seperti yang tercantum di dalam Pasal 362 KUHP, “Barang siapa
mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lai,
dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum karena
salah telah melakukan pencurian, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima tahun atau dengan hukuman denda setinggi-tinginya Sembilan ratus
rupiah”. Dalam hukum perdata dapat dilihat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang berbunyi: “Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang kerena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”.
Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang akan mendapatkan sanksi sesuai
dengan perbuatannya berdasarkan peraturan hukum. Pada hukum pidana dikenal
dengan sanksi pidana dan pada hukum perdata disebut dengan sanksi perdata,
yang merupakan suatu eksekusi perdata berupa pencabutan hak atas harta benda
yang dapat dipaksakan dengan maksud untuk memberikan ganti rugi, yakni
kompensasi atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum,
(Udin S. Winataputra, 2008:6.21)
Berdasarkan Pasal 10 KUHP, dinyatakan bahwa hukuman pidana, terdapat
dua jenis hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. 1). Hukuman
pokok, yaitu; a. hukaman mati; b. Hukuman penjara; c. Hukuman kurungan; dan

82
d. Hukuman denda. 2) Hukuman tambahan, yaitu a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan/penyitaan barang-barang tertentu; c. Pengumuman dari putusan
hakim.
Selain norma dan sanksi dalam peraturan hukum, maka ada aturan hukum
lainnya, yaitu delik (strafbaar feit) dalam hukum pidana atau tindak pidana, yaitu
suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum. Istilah dalam hukum perdata
disebut dengan wanprestasi atau kelalaian, yaitu tidak melaksanakan apa yang
diperjanjikan, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana
mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Lamintang dalam Udin S. Winataputra, (2008:6.23), beberapa macam jenis
delik, antara lain:
1. Delik formal: delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan
dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang. Lihat Pasal 209, 210, 242, 362 KUHP.
2. Delik material: delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan
ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Lihat Pasal 149, 187, 338, 378 KUHP.
3. Delik komisi: delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan menurut
undang-undang yang terjadi karena melakukan susuatu. Lihat Pasal 212,
263, 285, 362 KUHP.
4. Delik omisi: delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan menurut
undang-undang, yang terjadi karena dilalaikannya suatu perbuatan yang
diharuskan. Lihat Pasal 217, 218, 224, 397 angka 4 KUHP.
5. Delik kesengajaan: delik yang mengandung unsur kesengajaan. Lihat 338
KUHP.
6. Delik kelalaian: delik yang mengandung unsur kelalaian. Lihat Pasal 359
KUHP.
7. Delik aduan: delik yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari
orang yang dirugukan. Lihat Pasal 72-75, 284 ayat (2), 287 ayat (2).
8. Delik biasa: delik yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya sesuatu
pengaduan. Lihat Pasal 362, 338 KUHP.

83
9. Delik Umum: delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
10. Delik khusus: delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu
saja.
Dalam upaya mewujudkan masyarakat taat akan hukum dan menjunjung
tinggi atas hukum, maka peran pemerintah harus aktif dalam memberikan
penyuluhan terhadap masyarakat agar masyarakat sadar akan hak dan
kewajibannya termasuk tanggungjawabnya dalam setiap proses penegakan hukum
dan pemahaman tentang hukum. Selain itu, adanya pembinaan kepada aparatur
negara dan pembaharuan hukum sebagai pelaksana dan penegak hukum agar
penegak hukum dituntut keahliannya secara maksimal, keberhasilan dalam proses
penegakan hukum akan menjadi tercapai landasan legitimasi hukum sesuai
dengan sistem hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD NRI
1945.
Lihat Url.
http://rechtsvinding.bphn.go.id/artikel/ART%205%20JRV%20VOL%206%20NO
%201.PDF (Diakses tgl. 18 April 2018 jam. 16.05 WIB).
Lihat rl.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/1034/2.%20ZUDAN.pdf;s
equence=1 (Diakses tgl. 18 April 2018 jam. 16.30 WIB).

4.4.3. Lembaga-Lembaga Penegakan Hukum di Indonesia


Untuk menjalankan hukum sebagaimana mestinya, maka penegakan hukum
dibentuk beberapa lembaga penegak hukum, yaitu: lembaga kepolisian yang
berfungsi utama sebagai lembaga penyidik, lembaga kejaksaan yang fungsi
utamanya sebagai lembaga penuntut, Lembaga Kehakiman yang berfungsi
sebagai lembaga pemutus/pengadilan, dan penyelidikan, lembaga advokat yang
berfungsi sebagai lembaga penasehat atau memberi bantuan hukum.
1. Lembaga Kepolisian
Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan
merebaknya globalisasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, demokratisasi,
desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai
paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung
jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

84
1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan
MPR RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format
tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan
dalam tugas pokok kepolisian yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 2
tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu a). Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat; b). Menegakkan hukum; dan c)
Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk melaksanakan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertugas: a). Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b).
Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan; c). Membina masyarakat untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga
masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d). Turut serta
dalam pembinaan hukum nasional; e). Memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum; f). Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa; g). Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya; h). Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran
kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian; i). Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat,
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia; j). Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k). Memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas
kepolisian; serta l). Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Kemudian dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2002

85
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam rangka menyelenggarakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana,
kepolisian negara republik indonesia berwenang untuk: a). Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b). Melarang setiap
orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan; c). Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan; d). Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri; e). Melakukan pemeriksaan dan penyitaan
surat; f). Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi; g). Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan hukum, khususnya Hukum Acara
Pidana, Kepolisian negara bertindak sebagai penyelidik dan penyidik.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara RI.
1) Adapun yang menjadi kewenangan kepolisian dalam penyelidik, antara lain:
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
Pidana;
b) Mencari keterangan dan barang bukti;
c) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
d) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeladahan dan
penyitaan;
b) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
c) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Setelah itu, penyelidik berwewenang membuat dan menyampaikan laporan
hasil pelaksanaan tindakan tersebut di atas kepada penyidik. Selain selaku
penyelidik, polisi bertindak pula sebagai penyidik. Menurut Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang

86
bertindak sebagai penyidik yaitu:
a) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
b) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Sebagai pelindung, pengayom dan pelayan bagi masyarakat tidak terlepas
dengan Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, bahwa
perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, tindakan
pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas
kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi
dan terutama hak asasi manusia.

2. Lembaga Kejaksaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya
jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the
law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih
berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,
penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Lembaga kejaksaan mempunyai tugas pokok yakni untuk menyaring
kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas-berkas yang
diperlukan misalnya membuat surat dakwaan, melakukan pembuktian dimuka
siding dan melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan. (H. Edi
Setiadi dan Kristian, 2017:114)
Dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia Pasal 1 dinyatakan bahwa: “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan

87
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan. Sedangkan yang dimaksud penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri (PN)
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara
Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
Pengadilan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Jaksa (penuntut umum)
berwewenang antara lain untuk: a) menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan; b) membuat surat dakwaan; c) melimpahkan perkara ke Pengadilan
Negeri sesuai dengan peraturan yang berlaku; d) menuntut pelaku perbuatan
melanggar hukum (tersangka) dengan hukuman tertentu; e) melaksanakan
penetapan hakim, dan lain-lain. Yang dimaksud penetapan hakim adalah hal-hal
yang telah ditetapkan baik oleh hakim tunggal maupun tidak tunggal (majelis
hakim) dalam suatu putusan pengadilan. Putusan tersebut dapat berbentuk
penjatuhan pidana, pembebasan dari segala tuntutan, atau pembebasan bersyarat.
Selanjutnya dalam Pasal 30 bagian pertama umum, Undang-Undang No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa tugas dan wewenang:
1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a)
melaukan penuntutan; b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c). Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d). Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e). Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut

88
menyelenggarakan kegiatan: a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b). Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c). Pengawasan peredaran
barang cetakan; d). Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan Masyarakat dan negara; e). Pencegahan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama; f). Penelitian dan pengembangan hukum serta
statistik kriminal.
Kemudian dalam Pasal 35 bagian pertama khusus, Undang-Undang No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa tugas dan wewenang:
a). menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan
dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b). mengefektifkan proses
penegakan hukum yang diberikan oleh undangundang; c). mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum; d). mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
e). dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung
dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f). mencegah atau menangkal orang
tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses
pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan
mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan
menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan
masyarakat.
3. Lembaga Kehakiman
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebagaimana diketahui, bahwa unsur-unsur pokok Negara Hukum yang telah
menjadi komitmen politik, secara umum memiliki 4 (empat) unsur dan bersifar
universal, yaitu: a). Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berdasar hukum atau perundang-undangan; b). Adanya Jaminan terhadap

89
Hak Asasi Manusia; c) Adanya Pembagian kekuasaan dalam negara; dan d).
Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai slah satu pilar bagi negara yang
berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum. Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya
diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari
gangguan dalam melaksanakan tugasnya. Kekuasaan kehakiman merupakan
instrumen penting untuk menjamin perlidungan hukum, hak-hak asasi dan
mempertahankan terjaminnya keadilan bagi masyarakat yang merupakan salah
satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi.
Sebagai negara berdasarkan hukum maka penempatan badan-badan
peradilan (rechterlijke controle) dilakukan di dalam rumusan UUD 1945 yakni
dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 UUD 1945 menyatakan: 1)
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; 2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; 3) Badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-
undang.
Pengaturan penjabaran mengenai kekuasan kehakiman terdapat di dalam
Pasal 1 Angka (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Selanjutnya dalam ayat (2). “Kekuasan kehakiman

90
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.
Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing mempunyai
lingkungan wewenang mengadili perkara tertentu dan meliputi badan peradilan
secara bertingkat. Peradilan militer, peradilan Agama, dan peradilan Tata Usaha
Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu
atau mengadili golongan/kelompok rakyat tertentu. Sedangkan peradilan umum
merupakan peradilan bagi rakyat pada umumnya baik mengenai perkara Perdata
maupun perkara Pidana.
1. Peradilan Agama
Peradilan agama terbaru diatur dalam Undang-undang Nomor 50 tahun 2009
sebagai perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989. Berdasar undang-undang
tersebut, Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a) perkawinan; b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam; c) wakaf dan shadaqah.
2. Peradilan Militer
Wewenang Peradilan Militer menurut Undang-Undang Darurat No. 16/1950
yang telah diperbaharui menjadi Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer adalah memeriksa dan memutuskan perkara Pidana terhadap
kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh:
a) seorang yang pada waktu itu adalah anggota Angkatan Perang RI;
b) seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan Angkatan Perang RI;
c) seorang yang pada waktu itu ialah anggota suatu golongan yang
dipersamakan atau dianggap sebagai Angkatan Perang RI oleh atau
berdasarkan Undang-undang;
d) orang yang tidak termasuk golongan tersebut di atas (1,2,3) tetapi atas
keterangan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan Militer.

91
3. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara diatur Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
yang telah diperbaharui dengan perubahan pertama UU Nomor 9 tahun 2004
dan perubahan kedua menjadi UU No. 51 tahun 2009. Dalam Pasal 1 ayat (7)
disebutkan bahwa Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah. Peradilan Tata Usaha Negara bertugas untuk
mengadili perkara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pegawai tata usaha negara. Dalam peradilan Tata Usaha Negara ini yang
menjadi tergugat bukan orang atau pribadi, tetapi badan atau pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau dilimpahkan kepadanya. Sedangkan pihak penggugat dapat
dilakukan oleh orang atau badan hukum perdata.
4. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya. Rakyat (pada umumnya) apabila
melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan yang menurut peraturan dapat
dihukum, akan diadili dalam lingkungan Peradilan Umum. Untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang termasuk wewenang Peradilan umum,
digunakan beberapa tingkat atau badan pengadilan yaitu:
a. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri dikenal pula dengan istilah pengadilan tingkat pertama
yang wewenangnya meliputi satu daerah Tingkat II. Misalnya: Pengadilan
Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Pengadilan Negeri Bogor,
dan sebagainya. Dikatakan pengadilan tingkat pertama karena pengadilan
negeri merupakan badan pengadilan yang pertama (permulaan) dalam
menyelesaikan perkara-perkara hukum. Oleh karena itu, pada dasarnya
setiap perkara hukum harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pengadilan
negeri.
Adapun Fungsi Pengadilan Negeri adalah memeriksa dan memutuskan serta
menyelesaikan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata
dan perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk. sebelum

92
menempuh pengadilan tingkat Banding. Untuk memperlancar proses
pengadilan, di pengadilan negeri terdapat beberapa unsur yaitu: Pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, sekretaris, dan juru sita.
b. Pengadilan Tinggi
Putusan hakim Pengadilan Negeri yang dianggap oleh salah satu pihak
belum memenuhi rasa keadilan dan kebenaran dapat diajukan Banding.
Proses Banding tersebut ditangani oleh Pengadilan Tinggi yang
berkedudukan di setiap ibukota Propinsi. Dengan demikian, pengadilan
Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili lagi pada tingkat kedua
(tingkat banding) suatu perkara perdata atau perkara Pidana, yang telah
diadili/diputuskan oleh pengadilan negeri. Pengadilan Tinggi hanya
memeriksa atas dasar pemeriksaan berkas perkara saja, kecuali bila
Pengadilan Tinggi merasa perlu untuk langsung mendengarkan para pihak
yang berperkara.
Daerah hukum pengadilan tinggi pada asasnya adalah meliputi satu
daerah tingkat I. Menurut Undang-undang No. 2 tahun 1986, tugas dan
wewenang Pengadilan Tinggi adalah:
1) memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Pidana dan Perdata di
tingkat banding;
2) mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi mempunyai susunan sebagai berikut: Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Sedangkan pembentukan Pengadilan
Tinggi dilakukan melalui Undang-Undang.
c. Pengadilan Tingkat Kasasi
Apabila putusan hakim Pengadilan Tinggi dianggap belum memenuhi
rasa keadilan dan kebenaran oleh salah satu pihak, maka pihak yang
bersangkutan dapat meminta kasasi kepada Mahkamah Agung. Pengadilan
tingkat Kasasi dikenal pula dengan sebutan pengadilan Mahkamah Agung. Di
negara kita, Mahkamah Agung merupakan Badan Pengadilan yang tertinggi,
dengan berkedudukan di Ibu kota negara RI. Oleh karena itu, daerah hukumnya
meliputi seluruh Indonesia.

93
Pemeriksaan tingkat kasasi hanya dapat diajukan jika permohonan
terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang. Sedangkan permohonan kasasi itu
sendiri hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
Kewajiban pengadilan Mahkamah Agung terutama adalah melakukan
pengawasan tertinggi atas tindakan-tindakan segala pengadilan lainnya di
seluruh Indonesia, dan menjaga agar hukum dilaksanakan dan ditegakkan
dengan sepatutnya. Dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Untuk mengatur lebih lanjut pasal tentang kekuasaan keakiman,
sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi UU No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kaitannya dengan masalah
pengadilan, dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah
Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan:
1) permohonan kasasi;
2) sengketa tentang kewenangan mengadili;
3) permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim berkewajiban untuk
memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan. Oleh karena itu, hakim
atau pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara
yang diajukan dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas. Untuk itu, hakim
diperbolehkan untuk menemukan atau membentuk hukum melalui penafsiran
hukum dengan tetap memperhatikan perasaan keadilan dan kebenaran.
Bagir Manan (2007:30), berpendapat bahwa kehadiran kekuasaan
kehakiman yang merdeka mengandung beberapa pengertian, yaitu:

94
1) Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kebebasan dalam urusan
peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi
yustisial). Kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara;
2) Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung makna larangan bagi
kekuasaan ekstra yudisial mencampuri proses penyelenggaraan peradilan.
3) Kekuasaan kehakiman yang merdeka diadakan dalam rangka
terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de rechtstaat). Dengan
penegasan ini, maka kekuasaan kehakiman dimungkinkan untuk melakukan
pengawasan yustisial (rechtelijke control) terhadap tindakan badan
penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan lainnya.
4) Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin
kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu
putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.
5) Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak
objektif, jujur dan tidak berpihak.
6) Pengawasan Kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata
melalui upaya hukum – biasa atau luar biasa – oleh dan dalam lingkungan
kekuasaan kehakiman sendiri.
7) Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-
undang.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam UUD NRI membentuk satu
lembaga penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut lembaga Komisi
Yudisial (KY)yang diatur di dalam Pasal 24B yang berbunyi:
1) KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
2) Anggota KY harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
3) Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat;
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur dengan undang-undang.

95
Untuk menjalankan landasan hukum melalui Pasal 24B di atas, maka
diundangkanlah UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. KY mempunyai
wewenang dan tugas, yaitu mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada
DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim. Oleh karena itu KY mempunyai peranan penting dalam usaha
mewujudkan kekuasaaan kehakiman yang merdeka yang dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh lain.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan atau pengaruh orang
lain dan tidak memihak hanya akan dapat terwujud apabila hanya tunduk pada
aturan-aturan hukum yang berlaku dan penegakannya. Apabila kekuasaan
kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang
ada dalam sebuah negara, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya
dalam suatu negara menjadi tidak bermakna. Satu hal yang patut dicatat di sini
adalah bahwa adanya jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman akan membuat
para hakim merasa lebih nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya. (RUU
Mahkamah Agung, 2014: v)
Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat
bekerja dengan baik atas tugas-tugas yang diembannya, agar apa yang dihasilkan
dalam putusan-putusan tidak memihak dan senantiasa menjunjung tinggi hukum
dan keadilan sehingga bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.

4. Lembaga advokat atau pengacara


Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan
bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu,
dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 juga menentukan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam sistem hukum berlaku asas
fictie hukum, artinya setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang.
Konsep role of law yang memberikan status tertinggi kepada hukum, mendalilkan
tak seorangpun, boleh mengingkari berlakunya hukum, setinggi apapun
kedudukan dan kekuasaaanya. Setiap orang dalam hubungannya dengan orang
lain, negara, dan masyarakat, hampir dipastikan akan mengalami persoalan
hukum. Dalam hal ini, setiap orang berhak membela diri atau mendapatkan

96
bantuan. (Viswandro, maria Matilda dan Bayu Saputra, 2008:33).
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang
bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping
lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi
tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari
keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak
fundamental mereka di depan hukum.
Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu
pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam
proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan.
Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang
semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum
masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam
pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun
dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi
sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum
nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Jika dilihat dari elemen penegakan hukum, bahwa advokat memiliki
kewenangan dan tugas dalam semua tingkatan dalam sistem peradilan. Hal
tersebut dapat terlihat dari tujuan advokat yang memberikan bantuan hukum
kepada tersangka maupun terdakwa. (H. Edi Setiadi dan Kristian, 2017:118).
Hal ini diatur di dalam Pasal 69 (Kitab Undang-Undang Acara Pidana),
yang berbunyi: “penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat
ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini”. Selain itu, kewenangan advokat untuk
melakukan pembelaan dan menjaga hak-hak tersangka atau terdakwa dalam setiap
tingkatan pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana sebagaimana tercantum di
dalam Pasal 20 ayat (1) KUHAP. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 angka (2)
Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tentang Advokat, yang berbunyi: “Jasa

97
Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Prinsip dasar negara hukum adalah, supremasi hukum, persamaan di muka
hukum dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan
hukum. Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara (Pasal 34 ayat (1)
UUD NRI 1945), dengan demikian, negara mengakui adanya hak ekonomi, sosial,
budaya, sipil dan politik, para fakir miskin. Oleh karena itulah fakir miskin pun
berhak untuk mendapatkan bantuan hukum atau melalui advokat, baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Bantuan hukum merupakan tugas dan tanggung jawab
negara dan merupakan hak konstitusional setiap warga negara. (Viswandro, maria
Matilda dan Bayu Saputra, 2008:34).
Jaminan mendapatkan bantuan hukum tercantum dalam UUD NRI 1945,
Undang-undang, serta peraturan pelaksanaannya. Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Pasal 27 ayat (1) UUD
NRI 1945. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Selanjutnya negara menjamin Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945.
Aturan yang lebih khusus tentang bantuan hukum terdapat dalam Pasal 17, 18, 19,
dan 34 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal
56 dan 57 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui aturan
tersebut, setiap orang yang tersangkut dalam perkara berhak memperoleh bantuan
hukum, baik bantuan hukum untuk perkara perdata maupun pidana.
Hak atas batuan hukum tidak terlepas dari sistem penegakan hukum untuk
melindungi hak-hak individu dari kesewenang-wenangan atau perampasan dasar
dan kebebasan lainnya. Oleh karena itu diperlukan hak atas bantuan hukum

98
melalui: a). Hak untuk membela diri secara pribadi atau dibantu oleh penasehat
hukum menurut pilihannya sendiri; b.) Hak untuk mendapatkan bantuan cuma-
cuma dalam hal orang tidak mampu membayar jasa advokat demi kepentingan
hukum dan keadilan; c). Hak untuk berkomunikasi dengan advokad; d). Hak
untuk dieritahukan mengenai haknya untuk mendapatkan bantuan hukum.
(Panduan Bantuan Hukum di Indonesia YLBHI, 2008:33).
Terkait dengan kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum
terdapat dalam ketentuan Pasal 1 Hak advokat Undang-Undang No. 35 tahun
1999 tentang Advokat, yang berbunyi, bahwa advokat adalah “Advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
ini”. Lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1), dinyatakan bahwa, “Advokat berstatus
sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan Kode Etik Advokat Indonesia dan UU Advokat, dalam
melakukan pekerjaannya, advokat mempunyai kewajiban baik terhadap sesama
advokat, masyarakat maupun klien. Kewajiban ini seyogianya dilaksanakan
advokat agar kehormatan advokat tetap terjaga dalam masyarakat. Adapun kode
Etik Advokat Indonesia dalam menjalankan advokatnya yaitu: a. memelihara rasa
solidaritas di antara teman sejawat (Pasal 3 huruf d kode etik advokat Indonesia);
b. memberikan bantuan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau di dakwa
suatu perkara pidana baik permintaan sendiri maupun karena penunjukan
organisasi profesi (Pasal 3 huruf e kode etik advokat Indonesia). c. bersikap sopan
terhadap semua teman sejawat dan mempertahankan martabat advokat (Pasal 4
huruf d kode etik advokat Indonesia); d. dalam menentukan besarnya honorarium,
wajib mempertimbangkan kemampuan klien (Pasal 4 huruf e kode etik advokat
Indonesia). e. memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh
klien secara kepercayaan dan tetap menjaga kerahasiaan tersebut setelah sampai
berakhir hubungannya denga klien (Pasal 4 huruf h kode etik advokat Indonesia);
f. memberikan surat dan keterangan apabila perkara akan diurus advokad baru
dengan mempertimbangkan hak retensi (Pasal 5 huruf f kode etik advokat
Indonesia); g. wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada

99
oaring yang tidak mampu (Pasal 7 huruf h kode etik advokat Indonesia); dan h.
menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang
ditangani kepada klien (Pasal 7 huruf I kode etik advokat Indonesia).
Adapun yang menjadi larangan bagi soerang advokat berdasarkan Kode Etik
Advokat Indonesia dan UU Advokat, adalah sebagai beriku: a. dilarang berpraktik
selama menduduki jabatan negara dan namanya dicantumkan dalam kantor
manapun selama ia berada dalam jabatan tersebut; b. memberikan keterangan
yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya; c.
menjamin kepada kliennya perkaranya akan menang; d. membebani klien akan
biaya-biaya yang tidak perlu; e. mengajari dan/tau memengaruhi saksi-saksi yang
diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum
dalam perkara pidana; f. memasang iklan yang berlebihan melalui media massa
pencari publisitas bagi dirinya/atau untuk menarik perharian masyarakat dalam
perkara yang sedang berjalan.
Profesi advokat mengemban tugas yang mulia (officium nobile) dalam
mekanisme penegakan hukum dan penegakan keadilan. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan perannya sebagai salah satu komponen penegak hukum, advokat
harus senantiasa memegah teguh etika profesinya, dengan disertai tanggung jawab
dan kesadaran bahwa segala bentuk tindakannya akan membawa dampak kepada
rasa keadilan bagi setiap orang atau masyarakat. (Wiswandro, Maria Matilda dan
Bayu Saputra, 2015:130).
Dengan demikian, advokat selain terikat dengan aturan-aturan hukum
dalam menjalankan profesinya sebagai penegak hukum, juga terikat dengan
aturan-aturan yang tercantum di dalam kode etik profesinya melalui organisasi
advokat yang telah dibentuk.
Lihat Url.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=266715&val=6177&title=PEN
EGAKAN%20HUKUM%20DAN%20PEMBANGUNAN%20HUKUM%20DI%20I
NDONESIA (Diakses tgl. 19 April 2018 jam. 13.35 WIB).
Lihat Url.
http://rechtsvinding.bphn.go.id/artikel/ART%205%20JRV%20VOL%206%20NO
%201.PDF (Diakses tgl. 19 April 2018 jam. 14.10 WIB).

4.4.4. Kasus yang Berkaitan dengan Penegakan Hukum


Kasus Pencurian Rp 41 Ribu, Pelaku dibui dan Jaksa Abaikan Perma

100
Detik.com Jaksa banding terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Stabat,
Sumatera Utara, terkait kasus pencurian ringan dengan terdakwa Ismail Sitepu
(30), Lian Sempurna (28) dan Awang Setiawan. Mereka didakwa mencuri
beberapa biji sawit, Awang senilai Rp 41 ribu dan lainnya senilai Rp 500 ribu.
Kasus bermula saat keduanya mengendap-endap ke kebun sawit pada 7
Maret 2015 dan mencuri 34 tandan sawit. Setelah itu mereka membawa tandan
sawit itu ke sebuah pekarangan rumah dan menutupi daun-daunan. Tiga hari
setelahnya, mereka mendatangi lokasi dan membawa tandan sawit itu dengan
dicicil. Pada tahap dua, keduanya ditangkap satpam kebun sawit. Ismail dan Lian
pun dibawa ke kantor polisi dan dihadirkan ke persidangan karena dinilai
merugikan pemilik sawit sebesar Rp 500 ribu.
Nah, di depan pengadilan inilah terjadi selisih paham. Jaksa ngotot
mendakwa keduanya dengan Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP dengan ancaman
maksimal 9 tahun penjara. Tapi Pengadilan Negeri (PN) Stabat menyatakan
sebaliknya. Sebab berdasarkan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda Dalam KUHP, kasus ini masuk dalam Pasal 364 KUHP.
Perma tersebut berbunyi: Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan
Pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir
5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang
ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 2.500.000
diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan.
Atas pertimbangan tersebut, hakim tunggal Sunoto lalu menjatuhkan
hukuman sesuai Pasal 364 KUHP jo Perma Nomor 2/2012. "Menjatuhkan pidana
kepada para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing
selama 3 bulan," putus Sunoto sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung
(MA), Rabu (13/5/2015).
Atas putusan ini, jaksa bukannya tunduk pada Perma tetapi mengajukan
banding. Jaksa bersikukuh jika keduanya telah melakukan Pasal 363 ayat (1) ke-4
KUHP. Kasus ini juga dialami oleh teman keduanya Awang Setiawan yang
dilakukan dalam waktu berdekatan. Ia mencuri sawit seharga Rp 41 ribu. PN
Stabat menjatuhkan hukuman 3 bulan penjara. Serupa dengan kasus Ismail dan

101
Lian, jaksa juga menyatakan banding terhadap putusan Awang.
Sebagaimana diketahui, Perma Nomor 2/2012 terbit didasari banyaknya
kasus-kasus pencurian ringan yang masuk ke pengadilan. Seperti kasus nenek
Minah, kasus sandal jepit hingga kasus segenggam merica. Ketua MA Harifin
Tumpa lalu mengeluarkan langkah revolusioner dengan mengeluarkan Perma
Nomor 2/2012 sehingga kasus serupa bisa disidang tanpa terdakwa harus ditahan.
Sayang, jaksa belum mempunyai semangat yang sama dengan MA.
Para terdakwa hingga kini masih menghuni bui.
Lihat Url. https://news.detik.com/berita/2914348/kasus-pencurian-rp-41-ribu-pelaku-
dibui-dan-jaksa-abaikan-perma (Diakses tgl. 19 April 2018 jam. 17.05 WIB).
s

Analisis: “Kasus Pencurian Rp 41 Ribu, Pelaku dibui dan Jaksa Abaikan Perma”.
Kasus Posisi:
Kasus pencurian ringan dengan terdakwa Ismail Sitepu (30), Lian Sempurna
(28). Kasus bermula saat keduanya mengendap-endap ke kebun sawit pada 7
Maret 2015 dan mencuri 34 tandan sawit. Setelah itu mereka membawa tandan
sawit itu ke sebuah pekarangan rumah dan menutupi daun-daunan. Tiga hari
setelahnya, mereka mendatangi lokasi dan membawa tandan sawit itu dengan
dicicil. Pada tahap dua, keduanya ditangkap satpam kebun sawit. Ismail dan Lian
pun dibawa ke kantor polisi dan dihadirkan ke persidangan karena dinilai
merugikan pemilik sawit sebesar Rp 500 ribu.
Pasal 363 ayat (1) ke-4 merupakan pasal pencurian dengan pemberatan yang
ancaman hukumanya dinaikkan menjadi maksimum 7 tahun. Pasal ini tidak bisa
dilepaskan dari pasal genus-nya yaitu Pasal 362 yang berbunyi: “Barang siapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling
banyak enam puluh rupiah”, dan ayat (1-4e), pencurian yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih dengan bersekutu”.
Jika kedua Pasal 362 dan Pasal 363 tersebut diuraikan unsur-unsurnya akan
menjadi sebagai berikut: 1). Barang siapa; 2). Mengambil; 3). Barang sebagian
atau seluruhnya; 4). Dengan maksud untuk dimiliki secara malawan hukum. 4).
Tambahan unsur dari pasal 363 ayat (1) ke 4 adalah dilakukan dengan orang-

102
orang atau lebih dengan bersekutu.
Unsur-unsur pasal yang dikemukakan di atas lalu dikaitkan dengan
peristiwa kongkrit sebagaimana didalilkan dalam surat dakwaan maka yang perlu
mendapatkan tafsiran adalah (1) perbuatan mengambil (2) barang sebagian atau
seluruhnya (3) dengan maksud memiliki (4) bersekutu.
Dalam doktrin, yang dikatakan “mengambil” adalah memindahkan suatu
barang dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam konteks ini barang telah berpindah
kepekarangan dan di tutup dengan daun-daunan. “Mengambil” baru dianggap
selesai setelah adanya perpindahan barang tersebut. Perpindahan dalam konteks
ini adalah perpindahan fisik barang yang telah diambil.
Unsur “mengambil”, dalam kasus di atas barang tersebut (tandan sawit) sudah
berada dalam kekuasaan “terdakwa.
Tafsiran terhadap, “barang” menurut R. Sugandhi (1980:376) semua benda
baik yang berwujud (uang, ternak, dan lain-lain) maupun tidak berwujud seperti
aliran listrik. Selain itu, barang juga dapat dikategorikan sebagai benda-benda
yang bernilai uang dan yang tidak bernilai uang. Tafsiran terhadap barang, tidak
harus utuh, sebagian juga dikaterikan barang, termasuk bagian tertentu dari benda,
misalnya roda dari sebuah sepeda, atau kaki kursi.
Dalam kasus ini, perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa penuntut Umum
(JPU): “Terdakwa memindahkan tandan sawit ke sebuah pekarangan rumah dan
menutupi daun-daunan, tiga hari setelahnya, mereka mendatangi lokasi dan
membawa tandan sawit itu dengan dicicil. Dalam konteks ini, pemilik kebun sawit
telah mengalami kerugian, karena tandan sawit sudah berada di tempat lain, yaitu
di sebuah pekarangan rumah dan menutupi daun-daunan.
Unsur “dengan maksud memiliki. Dengan maksud memiliki dapat diartikan
sebagai sebuah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sadar penuh
keinsyafan. Dalam konteks ini terdakwa telah memindahkan tandan sawit maka
unsur memiliki telah terpenuhi.
Unsur pencurian bersekutu diartikan sebagai perbuatan dilakukan secara
bersama-sama, dengan niat yang sama sebagaimana diatur dalam pasal 55 KUHP
yaitu turut serta melakukan. Turut serta melakukan diartikan sebagai, “melakukan
bersama-sama”. Dalam konteks ini, tentu saja pelaku harus minimal 2 orang yang

103
melakukan tindak pidana dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Perbuatan
bersekutu, dimulai dari persiapan yang dilakukan bersama-sama dan mewujudkan
tindak pidana juga bersama-sama.
JPU mendakwa terdakwa dengan pencurian bersekutu sesuai dengan Pasal;
363 ayat (1) ke-4. Dalam konteks ini, “kebersamaan” dalam melakukan tindak
pidana memenuhi unsur karena dilakukan oleh dua orang yaitu Ismail Sitepu (30),
Lian Sempurna (28), sehingga dakwaan tepat ketika mendakwakan dengan pasal
363 ayat (1) ke-4.
Penutup
Dengan uraian di atas menunjukkan bahwa penggunaan Pasal 363 ayat (1)
ke-4 yang dilakukan oleh JPU sudah tepat dalam mendakwa terdakwa, karena
unsur-unsur pasal tersebut telah terpenuhi. Delik pencurian diatur dalam Pasal 362
KUHP sudah sesuai.
Hakim dalam memutus perkara pencurian ini dengan pertimbangan dengan
melalui Pasal 364 KUHP dengan pertimbangan melalui Pasal 363 dan memakai
Pasal 364, Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4,
begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila tidak
dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak dua ratus lima puluh rupiah. Kemudian melalui Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Lihat Url: https://mjodisantoso.files.wordpress.com/2012/05/perma-no-2-tahun-2012-
tentang-penyesuaian-batasan-tindak-pidana-ringan-dan-jumlah-denda-dalam-kuhp.pdf
(diakses terakhir, tanggal 19 April 2018 Jam. 18.03 Wib)

4.5 Rangkuman
1. Konsep negara hukum berakar dari paham kedaulatan hukum, pada
hakekatnya berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara
adalah hukum, maka segala tindakan dalam penyelenggaraan pemerintah atau
aparatur negara dalam menjalankan tugasnya didasarkan atas hukum yang
berlaku. Hukum berfungsi dan bertujuan untuk melindungi, mengatur

104
kepentingan kehidupan dan ketertiban masyarakat. Untuk mewujudkan
masyarakat dalam mengatur kepentingan kehidupannya, maka hukum harus
dilaksanakan atau ditegakkan secara konsekuen.
2. Unsur-unsur negara hukum memiliki 4 (empat) unsur dan bersifar universal,
yaitu: a). Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar hukum atau perundang-undangan; b). Adanya Jaminan terhadap Hak
Asasi Manusia; c) Adanya Pembagian kekuasaan dalam negara; dan d).
Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
3. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu:
1). Unsur kepastian hukum (rechtssicherheit); 2) Unsur kemanfaatan
(Zeckmaessigkeit); dan 3). Unsur keadilan (Gerechtigheit). Ke tiga unsur
tersebut dalam menjalankan penegakan hukum menjadi satu kesatuan dalam
pelaksanaanya melalui: 1). Aturan hukum (Legal Substance) adalah materi,
norma atau aturan hukum yang merupakan panduan dalam berperilaku.
Wujud dari legal substance tersebut adalah berupa aturan perundang-
undangan; 2). Struktur hukum (Legal Structure) adalah organisasi atau
insitusi yang merupakan rangka dari sistem hukum tersebut; dan 3). Budaya
hukum (Legal Culture), yaitu nilai-nilai, sikap, prilaku, atau cara pandang
masyarakat terhadap hukum.
4. Pelaksanakan penegakan hukum terdapat beberapa lembaga penegakan
hukum, melalui, lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga
kehakiman, dan lembaga advokat.
5. Dalam upaya mewujudkan masyarakat taat hukum dan menjunjung tinggi
atas hukum, maka peran pemerintah harus aktif dalam memberikan
penyuluhan terhadap masyarakat agar masyarakat sadar akan hak dan
kewajibannya termasuk tanggungjawabnya dalam setiap proses penegakan
hukum dan pemahaman tentang hukum. Selain itu, adanya pembinaan kepada
aparatur negara dan pembaharuan hukum sebagai pelaksana dan penegak
hukum agar penegak hukum dituntut keahliannya secara maksimal,
keberhasilan dalam proses penegakan hukum tercapai sebagai landasan
legitimasi hukum sesuai dengan sistem hukum nasional yang bersumber dari
Pancasila dan UUD NRI 1945.

105

Anda mungkin juga menyukai