Anda di halaman 1dari 11

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Evaporasi
Evaporasi secara umum dapat didefinisikan dalam dua kondisi, yaitu
evaporasi yang berarti proses penguapan yang terjadi secara alami, dan evaporasi
yang dimaknai dengan proses penguapan yang timbul akibat diberikan uap panas
(steam) dalam suatu peralatan. Evaporasi dapat diartikan sebagai proses penguapan
dari pada cairan (liquid) dengan penambahan panas (Robert B. Long, 1995).
Sedangkan menurut Manan dan Suhardianto (1999), evaporasi (penguapan)
adalah perubahan air menjadi uap air. Air yang ada di bumi bila terjadi proses
evaporasi akan hilang ke atmosfer menjadi uap air. Evaporasi dapat terjadi dari
permukaan air bebas seperti bejana berisi air, kolam, waduk, sungai ataupun laut.
Proses evaporasi dapat terjadi pada benda yang mengandung air, lahan yang gundul
atau pasir yang basah. Pada lahan yang basah, evaporasi mengakibatkan tanah
menjadi kering dan dapat memengaruhi tanaman yang berada di tanah itu.
Mengetahui banyaknya air yang dievaporasi dari tanah adalah penting dalam usaha
mencegah tanaman mengalami kekeringan dengan mengembalikan sejumlah air
yang hilang karena evaporasi.
Evaporasi adalah proses pengentalan larutan dengan cara mendidihkan atau
menguapkan pelarut (Praptiningsih,1999). Di dalam pengolahan hasil pertanian
proses evaporasi bertujuan untuk, meningkatkan larutan sebelum proses lebih
lanjut, memperkecil volume larutan, menurunkan aktivitas air Aw.
Proses pengurangan kadar air dalam bahan dapat meliputi evaporasi dan
pengeringan. Evaporasi ditujukan untuk mendapatkan massa yang lebih pekat
dengan jalan menguapkan sebagian air yang yang ada pada massa air
(Wirakartakusumah, 1989).
2.2 Prinsip Evaporasi
Proses evaporasi dengn skala komersial di dalam industri kimia dilakukan
dengan peralatan yang nananya evaporator. Evaporator adalah alat untuk
mengevaporasi larutan sehingga prinsip kerjanya merupakan prinsip kerja atau cara
kerja dari evaporasi itu sendiri. Prinsip kerjanya dengan penambahan kalor atau
panas untuk memekatkan suatu larutan yang terdiri dari zat terlarut yang memiliki
titik didih tinggi dan zat pelarut yang memiliki titik didih lebih rendah sehingga
dihasilkan larutan yang lebih pekat serta memiliki konsentrasi yang tinggi.
Prinsip kerja pemekatan larutan dengan evaporasi didasarkan pada
perbedaan titik didih yang sangat besar antara zat-zat yang terlarut dengan
perlarutnya. Pada industri pengolahan bahan pangan, titik diidh normal air (sebagai
pelarut suatu bahan pangan) 100℃, seedangkan padatan bahan pangan praktis tidak
bisa menguap. Jadi, dengan menguapnya air dan tidak menguapnya padatan, akan
diperoleh larutan yang makin pekat. Perlu diperhatikan bahwa titik didih cairan
murni dipengaruhi oleh tekanan. Makin tinggi tekanan, maka titik didih juga
semakin tinggi. Titik didih larutan yang megandung zat yang sulit menguap akan
tergantung pada tekanan dan kadar zat tersebut. Pada tekanan yang sama, makin
tinggi kadar zat, makin tinggi titik didih larutannya. Neda antara titik didih larutan
dengan titik didih pelarut murninya disebut kenaikan titik didih (boiling point rise).
Untuk produk makanan yang sensitif terhadap suhu tinggi, titik didih cairan
atau pelarut harus diturunkan lebih rendah dari titik didih pada kondisi normal
(tekanan atmosfer). Menurunkan titik didih pelarut atau cairan dilakukan dengan
cara menurunkan tekanan di atas permukaan cairan menjadi lebih rendah dari
tekanan atmosfer atau disebut vakum (Wirakartakusumah, 1989). Karena menurut
Heldman D.R(2003), memperlama bahan pangan yang sensitif terhadap panas pada
temperatur tinggi selama proses evaporasi terbuka menyebabkan hilangnya rasa dan
menurunnya kualitas produk. Maka, dikembangkanlah evaporator yang
dioperasikan pada temperatur rendah yang dilakukan pada ruang vakum. Perlu
diperhatikan bahwa titik didih cairan murni dipengaruhi oleh tekanan. Makin tinggi
tekanan, maka titik didih juga semakin tinggi.
2.3 Tujuan Evaporasi
Menurut Wirakartakusumah (1989), di dalam pengolahan hasil pertanian
proses evaporasi bertujuan untuk:
1. Meningkatkan konsentrasi atau viskositas larutan sebelum diproses lebih
lanjut.Sebagai contoh pada pengolahan gula diperlukan proses pengentalan
nira tebusebelum proses kristalisasi, spray drying, drum drying dan lainnya.
2. Memperkecil volume larutan sehingga dapat menghemat biaya
pengepakan, penyimpanan dan transportasi.
3. Menurunkan aktivitas air dengan cara meningkatkan konsentrasi solid
terlarutsehingga bahan menjadi awet misalnya pada pembuatan susu kental
manis.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Evaporasi
Proses evaporasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Konsentrasi zat terlarut dalam larutan
Pada umumnya, larutan yang masuk ke dalam evaporator berkonsentrasi
rendah, memiliki viskositas yang rendah (hampir sama dengan air) dan memiliki
nilai koefisien pindah panas yang cukup tinggi. Setelah mengalami proses
evaporasi, konsentrasi dan viskositas larutan akan meningkat. Hal ini menyebabkan
nilai koefisien pindah panas turun drastis.
b. Kelarutan
Ketika larutan dipanaskan dan konsentrasi zat terlarut meningkat, batas nilai
kelarutan suatu zat akan tercapai sebelum terbentuk kristal/padatan. Kondisi ini
adalah batas maksimum konsentrasi zat terlarut dalam larutan yang bisa dicapai
melalui proses evaporasi. Pada batas kelarutan ini, jika larutan panas didinginkan
kembali ke suhu ruang maka akan terbentuk kristal.
c. Temperatur sensitif dari suatu zat
Banyak produk, terutama produk pangan dan produk biologi lainnya sangat
sensitif terhadap temperatur dan mudah terdegradasi pada suhu tinggi.
d. Foaming
Beberapa zat yang membentuk larutan kaustik, larutan pangan seperti susu
skim, dan beberapa lautan asam lemak akan membentuk busa (foam) selama proses
pemanasan. Busa akan mengikuti uap keluar dari evaporator sehingga
menyebabkan ada massa yang hilang.
e. Tekanan dan Temperatur
Titik didih suatu larutan bergantung pada tekanan dari sistem. Semakin tinggi
tekanan dalam sistem, maka titik didih suatu larutan akan semakin tinggi. Dalam
proses evaporasi, semakin tinggi konsentrasi larutan maka temperatur akan semakin
tinggi pula. Oleh karena itu, jika ingin menjaga agar suhu tidak terlalu tinggi
digunakan tekanan di bawah 1 atm (keadaan vakum).
Sedangkan menurut Earle (1969), faktor-faktor yang menyebabkan dan
mempengaruhi kecepatan pada proses evaporasi adalah :

a. Kecepatan hantaran panas yang diuapkan ke bahan


b. Jumlah panas yang tersedia dalam penguapan
c. Suhu maksimum yang dapat dicapai
d. Tekanan yang terdapat dalam alat yang digunakan

2.5 Bahan yang Digunakan


2.5.1 Air
Air merupakan bagian dari ekosistem secara keseluruhan. Keberadaan air di
suatau tempat yang berbeda membuat air bisa berlebih dan bisa berkurang sehingga
dapat menimbulkan berbagai persoalan. Untuk itu, air harus dikelola dengan bijak
dengan pendekatan terpadu secara menyeluruh. Terpadu berarti keterikatan dengan
berbagai aspek. Untuk sumber daya air yang terpadu membutuhkan keterlibatan
dari berbagai pihak (Robert J. Kodoatie, 2008).
Menurut ilmu kimia, air adalah substansi kimia yang memiliki rumus H2O
yang merupakan satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen (H) dan oksigen
(O). Pada kondisi standar, air memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
berasa. Zat kimia di dalam air merupakan suatu pelarut, memiliki kemampuan
melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam, gula, asam, beberapa jenis gas
dan banyak macam molekul organik.
Air bersih dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk
melakukan segala kegiatan sehingga perlu diketahui bagaimana air dikatakan bersih
dari segi kualitas dan bisa digunakan dalam jumlah yang memadai dalam kegiatan
sehari-hari manusia. Ditinjau dari segi kualitas, ada bebarapa persyaratan yang
harus dipenuhi, diantaranya kualitas fisik yang terdiri atas bau, warna dan rasa,
kualitas kimia yang terdiri atas pH, kesadahan dan sebagainya serta kualitas biologi
dimana air terbebas dari mikroorganisme penyebab penyakit. Agar kelangsungan
hidup manusia dapat berjalan lancar, air bersih juga harus tersedia dalam jumlah
yang memadai sesuai dengan aktifitas manusia pada tempat tertentu dan kurun
waktu tertentu (Gabriel, 2001).
2.5.2 Gula
Gula merupakan salah satu bahan pemanis yang dapat dihasilkan dari
berbagai jenis bahan seperti tebu, bit, jagung, kelapa, dan bahan lainnya. Gula pasir
merupakan jenis yang paling banyak diproduksi di Indonesia yang diperoleh dari
hasil ekstraksi dan pemurnian dari tanaman tebu (Moerdokusumo 1993). Gula
termasuk golongan karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi aktivitas
manusia, ada dua jenis gula yaitu monosakarida dan disakarida. Monosakarida
adalah bentuk paling sederhana dari karbohidrat, contohnya glukosa dan fruktosa,
sedangkan disakarida tersusun dari dua atau lebih monosakarida, contohnya
sukrosa.
Sukrosa merupakan disakarida yang tersusun dari monomer-monomer
berupa unit glukosa dan fruktosa dengan rumus molekul C12H22O11. Sukrosa adalah
senyawa yang mudah larut dalam air, faktor yang mempengaruhi daya larutnya
antara lain: suhu, zat lain yang terlarut, serta sifat zat tersebut. Semakin tinggi suhu
dalam air, maka semakin tinggi pula sukrosa tersebut. Kelarutan sukrosa dalam nira
tebu tidak hanya dipengaruhi oleh suhu, namun dipengaruhi pula oleh kemurnian
dan sifat bahan bukan sukrosa (Paryanto et al. 1999).
Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk dari sebuah molekul α-D-
glukosa dan molekul βD-fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4-glikosidik.
Ketika ikatan α-1,4-glikosidik terputus oleh reaksi hidrolisis, maka akan terbentuk
campuran glukosa dan fruktosa. Sukrosa dapat dihidrolisis dengan bantuan enzim
invertase.
Proses produksi gula dari tebu adalah proses pemisahan sukrosa yang
terdapat dalam batang tebu dari zat-zat lain seperti air, zat organik, dan sabut. Proses
pemisahan dilakukan dengan cara menggiling tebu pada mesin penggiling sehingga
diperoleh cairan yang disebut nira. Nira yang diperoleh dari mesin penggiling
dibersihkan dari zat-zat bukan gula dengan pemanasan dan penambahan zat kimia.
Secara umum proses produksi gula dilakukan dengan proses berikut ini :
Ekstraksi Nira
Nira tebu yang mengandung sukrosa diperoleh dari tebu yang diperah dalam mesin
penggiling setelah melalui proses pra-pengolahan dalam crusher atau unit pencacah
tebu yang berfungsi untuk mempermudah proses ekstraksi berikutnya. Semua zat
yang larut dalam air tebu akan terperah keluar dan yang tersisa adalah ampas
(Moerdokusumo 1993).
Pemurnian Nira
Pelaksanaan pemurnian dalam pembuatan gula dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
a. Proses Defekasi
Pemurnian cara defekasi adalah cara pemurnian yang paling sederhana, bahan
pembantu yang digunakan hanya berupa kapur tohor. Kapur tohor digunakan
untuk menetralkan asam-asam yang terdapat dalam nira. Nira yang telah
diperoleh dari mesin penggiling diberi kapur hingga diperoleh nilai pH sedikit
alkalis (pH 7,2). Nira yang telah diberi kapur kemudian dipanaskan sampai
mendidih, kemudian endapan yang terjadi dipisahkan.
b. Proses Sulfitasi
Proses pemurnian dengan cara sulfitasi dilakukan dengan pemberian kapur
secara berlebihan. Kelebihan kapur ini dinetralkan kembali dengan gas sulfit
(SO2). Penambahan gas SO2 menyebabkan SO2 bergabung dengan CaO
membentuk CaSO3 yang mengendap. Gas SO2 dapat memperlambat reaksi
antara asam amino dan gula reduksi yang dapat mengakibatkan terbentuknya
zat warna gelap pada nira. Gas SO2 dalam larutan asam dapat mereduksi ion
ferri sehingga menurunkan efek oksidasi.
Pelaksanaan proses sulfitasi adalah sebagai berikut:
- Sulfitasi dingin
Nira mentah disulfitasi sampai pH 3,8 kemudian diberi kapur sampai pH 7.
Setelah itu dipanaskan sampai mendidih dan kotorannya diendapkan.
- Sulfitasi panas
Pada proses sulfitasi terbentuk garam CaSO3 yang lebih mudah larut dalam
keadaan dingin sehingga ketika dipanaskan akan terjadi endapan pada pipa
pemanas. Untuk mencegah hal ini, pelaksanaan proses sulfitasi dimodifikasi
dengan cara nira mentah dipanaskan sampai 70°– 80°C, disulfitasi,
ditambahkan kapur, dipanaskan hingga mendidih kemudian diendapkan.
- Pengapuran sebagian dan sulfitasi
Apabila pada proses sulfitasi panas tidak dapat memberikan hasil yang baik
maka dilakukan modifikasi, yaitu dengan cara pengapuran pertama sampai pH
8,0 dan pemanasan sampai 50 - 70°C, sulfitasi sampai pH 5,1 - 5,3 dan
pengapuran kedua sampai pH 7,0 - 7,2 kemudian dilanjutkan dengan
pemanasan sampai mendidih sampai terjadi pengendapan (Hugot 1960).
Pelaksanaan sulfitasi dipandang dari sudut kimia dibagi menjadi 3 yaitu :
- Sulfitasi Asam
Nira mentah disulfitasi dengan SO2 sehingga dicapai pH nira 3,2 kemudian
ditambahkan larutan kapur hingga pH 7,0 – 7,3.
- Sulfitasi Alkalis
Pemberian larutan kapur hingga pH nira 10,5 kemudian ditambahkan SO2
hingga pH nira menjadi 7,0 – 7,3. 6
- Sulfitasi Netral
Pemberian larutan kapur hingga pH nira 8,5 kemudian ditambahkan gas SO2
sehingga pH nira menjadi 7,0 – 7,3 (Halim 1973).
c. Proses Karbonatasi
Proses karbonatasi merupakan metode yang paling baik dibandingkan dengan
proses defekasi dan sulfitasi. Bahan pembantu yang digunakan pada proses
pemurnian nira dengan karbonatasi adalah susu kapur dan gas CO2. Setelah
ditambahkan susu kapur secara berlebihan, kemudian ditambahkan gas CO2
yang berfungsi untuk menetralkan kelebihan susu kapur sehingga kotoran-
kotoran yang terdapat dalam nira akan diikat, reaksinya adalah sebagai berikut
:
Ca(OH)2 + CO2 CaCO3 + H2O
Terbentuknya endapan CaCO3 yang banyak, mengakibatkan endapan dapat
dengan mudah dipisahkan (Hugot 1960).
3. Penguapan
Nira yang telah mengalami proses pemurnian masih mengandung air, air ini
harus dipisahkan dengan menggunakan alat penguap. Penguapan adalah suatu
proses menghilangkan zat pelarut dari dalam larutan dengan menggunakan
panas. Zat pelarut dalam proses penguapan nira adalah air, apabila nira
dipanaskan maka akan terjadi penguapan molekul air. Akibat penguapan ini,
nira akan menjadi kental. Sumber panas yang digunakan adalah uap panas
(Soejardi 1977).
4. Kristalisasi Proses kristalisasi adalah suatu proses dimana dilakukan
pengkristalan gula dari larutan yang mengandung gula. Dalam larutan encer,
jarak antara molekul satu dengan yang lain masih cukup besar, kemudian pada
proses penguapan jarak antara masing-masing molekul dalam larutan tersebut
saling mendekat, apabila jaraknya sudah cukup dekat maka masing-masing
molekul dapat saling tarik menarik. Apabila di sekitarnya terdapat sukrosa yang
menempel, keadaan ini disebut sebagai larutan jenuh. Pada tahap selanjutnya,
bila kepekatan naik maka molekul-molekul dalam larutan akan dapat saling
bergabung dan membentuk rantai-rantai molekul sukrosa, sedangkan pada
pemekatan lebih tinggi maka rantai-rantai sukrosa tersebut akan dapat saling
bergabung pula dan membentuk suatu kerangka atau pola kristal sukrosa.
5. Pengeringan Gula yang keluar dari proses kristalisasi akan masuk ke stasiun
putaran dengan menggunakan sentrifuge, selanjutnya gula yang keluar dari
sentrifuge ditampung dalam alat getar (talang goyang). Talang goyang ini selain
berfungsi sebagai alat pengangkut, juga sebagai alat pengering gula.
Pengeringan ini menggunakan udara yang dihembuskan dari bawah, hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi kadar air dalam gula. Setelah pengeringan,
gula dimasukkan dalam karung atau kemasan dan disimpan di gudang untuk
kemudian dipasarkan.

2.5.3 Garam
Garam adalah suatu kumpulan senyawa kimia dengan bagian terbesar
terdiri dari natrium klorida (NaCl) dengan pengotor terdiri dari kalsium sulfat
(gips) – CaSO4, Magnesium sulfat (MgSO4), Magnesium klorida (MgCl2), dan
lain-lain (Depperindag, 2006). Apabila air laut diuapkan maka akan dihasilkan
kristal garam, yang biasa disebut garam krosok. Oleh karena itu garam dapur
hasil penguapan air laut yang belum dimurnikan banyak mengandung zat-zat
pengotor seperti Ca2+ , Mg2 + , Al3 + , Fe3 + , SO4- , I- dan Br- (Depperindag, 2006).
Untuk meningkatkan mutu garam dapat dilakukan dengan cara kristalisasi
bertingkat, rekristalisasi, dan pencucian garam. Cara lain untuk meningkatkan
kualitas garam adalah pemurnian dengan penambahan bahan pengikat pengotor.
Tanpa adanya proses pemurnian, maka garam dapur yang dihasilkan melalui
penguapan air laut masih bercampur dengan senyawa lain yang terlarut, seperti
MgCl2, MgSO4, CaSO4, CaCO3, KBr dan KCl dalam jumlah kecil
(Burhanuddin, 2001).
Garam dihasilkan dengan cara menguapkan air laut dalam petak-petak
di pinggir pantai. Lahan pembuatan garam dibuat berpetak-petak secara
bertingkat, sehingga dengan gaya gravitasi air dapat mengalir ke hilir kapan saja
dikehendaki. Setiap liter air laut yang diuapkan sampai kering mengandung 7
mineral (CaSO4, KCl, MgSO4, MgCl2, NaBr, NaCl, dan air) dengan berat total
1.025,68 g. Setelah dikristalkan pada proses selanjutnya akan diperoleh garam
dengan kepekatan 16,7528,50 Be setara dengan 23,3576 g. Untuk
menghasilkan garam dapur hanya akan diperoleh 40,97% dari jumlah bahan
baku air laut semula (Burhanuddin, 2001).
Daerah potensial penghasil garam mempunyai persyaratan sebagai
berikut : (1) memiliki ketersediaan bahan baku garam (air laut) yang sangat
cukup, bersih dan tidak tercemar air tawar; (2) memiliki iklim kemarau yang
cukup panjang (minimal 45 bulan), dengan curah hujan relatif kecil
(1.0001.400 mm/tahun); (3) memiliki dataran rendah dengan tingkat
kemiringan kecil dan permeabilitas (kebocoran) tanah yang rendah; mempunyai
suhu udara tinggi dan penyinaran matahari yang cukup, tidak tertutup
mendung/berkabut (Bakosurtanal, 2010).
Pembuatan garam di Indonesia 70% dilakukan oleh rakyat dilahan
garam yang relatif sempit (0,53 Ha) dengan teknologi pengolahan dan
peralatan sederhana. Proses Pembuatan garam rakyat dimulai dari proses
penampungan air laut/bozeem yang berfungsi untuk tempat persediaan air laut
dan mengendapkan kotoran fisik air laut, setelah itu dilakukan proses
pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya (dengan
kristalisasi). Bila seluruh zat yang terkandung diendapkan/dikristalkan akan
terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya
Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak diinginkan
ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi dengan cara menguapkan seluruh
air garam yang dimasukkan meja kristal menjadi kering disebut kristalisasi total
(Rachman dan Imran, 2011). Sistem pembentukan kristal garam rakyat secara
tradisional dilakukan diatas tanah lahan, setelah 5-10 hari kristal garam diambil
dari atas tanah. Sistem ini dikenal dengan sistem “madurese”, karena dilakukan
oleh petambak garam rakyat di pulau Madura yang sejak jaman kolonial
Belanda 11 ditetapkan sebagai daerah penghasil Garam.
2.5.4 Susu Bubuk
Susu bubuk adalah susu bubuk berlemak, rendah lemak dan tanpa lemak
dengan penambahan vitamin, mineral, dan bahan tambahan makanan yang
diijinkan. Susu bubuk dibedakan ada tiga kelompok yaitu: a) susu bubuk berlemak
(full cream milk powder) adalah susu sapi yang telah diubah bentuknya menjadi
bubuk, b) susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder) adalah susu sapi
yang telah diambil sebagian lemaknya dan diubah bentuknya menjadi bubuk, dan
c) susu bubuk tanpa lemak (skim milk powder) adalah susu sapi yang telah diambil
lemaknya dan diubah menjadi bubuk (SNI 1992).
Gizi yang tersedia dalam susu berupa protein, glukosida, lipida, garam-
garam mineral dan vitamin sangat cocok untuk pertumbuhan dan pertambahan
jumlah sel anak-anak dan mamalia muda lainnya. Sehubungan dengan itu
mikroorganisme menggunakan susu sebagai bahan yang sangat ideal untuk
pertumbuhannya (Buckle et al. 1987).
Proses pembuatan susu bubuk umumnya dengan cara spray drying,yaitu
susu cair dimasukkan ke dalam celah yang sangat sempit, dari celah tersebut
memancarlah udara yang kering, dengan demikian hanya udara kering yang
mengenai susu cair tersebut. Dari proses spray drying ini susu cair berubah wujud
menjadi susu bubuk (Juergens et al. 2002)
Menurut Oliviera et al. (2000) proses pembuatan susu bubuk melalui
beberapa tahap yaitu:
1. Perlakuan pasteurisasi dengan suhu 90°C selama 8 detik atau 108°C selama
2 detik.
2. Penguapan air dengan perlakuan pemanasan akan menghasilkan 48%
padatan
3. Proses penyemprotan kering (spray drying), susu disemprot dengan udara
kering melalui lubang pada suhu 270°C

Anda mungkin juga menyukai