Anda di halaman 1dari 20

1.

PENDAHULUAN
Infeksi “Human Immunodeficiency Virus” atau HIV, saat ini merupakan
masalah dunia karena prevalensinya dengan cepat meningkat ke seluruh dunia.
Pada akhir tahun 2008, UNAIDS memperkirakan di seluruh dunia terdapat 33,4
juta orang yang hidup dengan HIV (ODHA), 15,7 juta diantaranya perempuan dan
2,1 juta anak di bawah usia 15 tahun. Selama tahun 2008 terdapat 2,7 juta kasus
baru dengan terdapat 280.000 kematian anak yang menderita HIV. Dari jumlah
tersebut diperkirakan orang yang hidup dengan HIV meningkat lebih dari 20%
dibandingkan dengan tahun 2000.1
Pengidap HIV dapat menularkan virus ini kepada orang lain tetapi belum
memunculkan gejala klinis kecuali sudah menjadi “Acquired Immuno Deficiency
Syndrome” atau AIDS, di mana pada tahap ini mortalitasnya tinggi. HIV adalah
virus yang mempunyai target organ sistim imun dalam tubuh sehingga infeksi ini
akan berdampak terhadap mudahnya tubuh terinfeksi oleh mikroorganisme
lainnya. Prevalensi HIV pada ibu hamil sudah tentu sangat tergantung berapa
besar prevalensi HIV di populasi, khususnya pada wanita.
Sampai saat ini belum didapatkan adanya pengaruh dari infeksi HIV
terhadap kehamilan. Tetapi jika sudah terjadi AIDS didapatkan pengaruh yang
besar dengan terjadinya prematuritas, kematian janin dalam kandungan. Diduga
kondisi bayi dalam kandungan dipengaruhi oleh makin memberatnya infeksi HIV.
Dilaporkan tidak ada hubungan antara infeksi HIV dengan makin meningkatnya
cacat bayi. Meskipun kehamilan dikatakan menambah beban terhadap sistim
tubuh yang sudah berat menghadapi HIV, tetapi sampai sekarang belum ada bukti
yang menunjukkan bahwa HIV. makin menjadi progresif setelah adanya
kehamilan.1
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan
tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV
akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.2

1
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome)

2.1.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA
yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan
sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai
infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.2
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/
tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena
penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena
imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang
biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan
oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai
organ, antara lain kulit, saluran cerna/ usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis
keganasan juga mungkin timbul.2
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila
tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari
infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus,
status gizi serta cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi
3 tipe, yaitu: i) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor,
berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow progressor, lebih dari 15 tahun.2

2.1.2 Sel limfosit, CD4 dan Viral Load


Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan
sel mast. Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam
darah dan jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B,
yang diproses di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar
thymus. Limfosit B adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun
humoral melalui aktivasi produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa
imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada

2
respons imun seluler, yaitu melalui kemampuannya mengenali kuman patogen
dan mengaktivasi imun seluler lainnya, seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel
pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T berfungsi menghancurkan sel yang
terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki kemampuan memori, evolusi,
aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik terhadap antigen guna
mempertahankan kekebalan tubuh.2
CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus
pada dinding limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4
atas bantuan koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat
CD4), merupakan petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh
karena pecah/rusaknya limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar
8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya menurun drastis, berarti kekebalan tubuh
sangat rendah, sehingga memungkinkan berkembangnya infeksi oportunistik.2
Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi
HIV, viral load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR
(polymerase chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita
HIV, semakin besar pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain.2

2.1.3 Etiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang dulu disebut LAV (Lymphadenopathy
Associated Virus)  HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III)  HIV
tipe I dan II. LAV yang ditemukan oleh Montagnier dkk. pada tahun 1983 di
Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada
tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemukan di Afrika
Tengah. HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1. Partikel HIV
terdiri atas dua untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi envelope lipid
asal sel hospes.6

2.1.4 Penularan HIV 2


Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut:
 Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan

3
penularan, terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan
seksual yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun
anal.
 Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma,
trombosit) dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui
penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak
aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan
tindik tidak steril.
 Perinatal: penularan dari ibu ke janin/ bayi – penularan ke janin terjadi
selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi
melalui darah atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada
masa laktasi. Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya
pencegahan atau intervensi berkisar antara 20-50%. Dengan pelayanan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan
dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta
melindungi janin dari infeksi HIV; namun bila terjadi peradangan, infeksi
atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga
terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih
sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.

Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut: 2
i) Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi
kadarnya, semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada
saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah
sel CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang
rendah karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak
selalu berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya

4
bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau
penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan
zat gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan
meningkatkan risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat
meningkatkan kadar HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko
penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV
pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin
besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada
payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian
ASI.

ii) Faktor bayi


a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi
dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ
dan kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila
tanpa pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi
ASI.

iii) Faktor tindakan obstetri


Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan
terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar
darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan
risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai
berikut:

5
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih
besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria
memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan
darah/ lendir ibu semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari empat jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.

2.1.5 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV 2


Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut:
i) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun
pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada
masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga
bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada
orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa
demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit,
nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya
yang akan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like
syndrome” ini terjadi akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus
terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV.
ii) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun
gejala penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat
menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung
selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung
selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe,
folikulitis yang hilang-timbul walaupun diobati.

6
iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya
berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya
infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak
ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan
diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat
awal.
Gambar 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat
tinggi sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat
viral load mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif
stabil, namun limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan
viral load makin tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala
berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit,
misalnya tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia
(OHL), oral candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP),
cytomegalovirus (CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan Mycobacterium
avium (MAC).

Gambar 1. Riwayat perjalanan alamiah infeksi HIV dan AIDS

2.1.6 Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO 2,12


World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang
dapat digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen
secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini

7
berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan.

Gambar 2. Stadium klinis infeksi HIV menurut WHO

2.2 Perencanaan kehamilan 2


Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya
anak, maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup
aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut:
 Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut.
i. Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka
kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.
ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3: kadar CD4 yang tinggi merupakan
tanda bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil.
Dengan kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu akan rentan

8
terhadap infeksi sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di
masa kehamilannya.
 Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.
i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.
ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran
pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang
menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar
bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang
tuanya.

Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut:


i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah
layak untuk hamil.
ii. Bila Viral Load tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3,
sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.
iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara
teratur dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan
kondom selama sanggama.

Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:


i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun
boleh sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan
layak untuk hamil.
ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral
load, untuk mengetahui risiko penularan.
iii. Apabila Viral Load tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat
dilakukan pada masa subur pasangan.
Apabila Viral Load masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3,
maka sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.

9
2.3 Faktor Resiko Penularan
Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk
menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu:5,11,12
1. Antepartum:
a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah
CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi,
sedang dalam terapi ketergantungan obat, perokok, korionik villus
sampling (CVS), amniosintesis, berat badan ibu.5
b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama
terjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka
penularan vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang
sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan
penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan jumlah
partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan imunitas ibu. Ibu
dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala
berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh >
1000/mL, dan jumlah limfosit < 200-350/mL dianggap menderita penyakit
AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.5,11,12
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai
risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang
menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain
(seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri
pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.4,8,9
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan hasil
penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan
HIV-1. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu pengguna obat
terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan hubungan seksual tanpa alat
pelindung, terutama dengan pasangan yang berganti-ganti, juga
mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.11,12

10
2. Intrapartum:
a. Kadar maternal HIV-1 cerviko-vaginal, proses persalinan, persalinan
prematur, penggunaan fetalscalp electrode, penyakit ulkus genitalia,
laserasi vagina, korioamnionitis, dan episiotomi.
b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan
vertikal. Bayi yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti
tindakan forsep, vakum, penggunaan elektrode pada kepala janin dan
episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular HIV-1.5
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai
risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang
menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain
(seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri
pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.12

3. Post partum melalui menyusui:


a. Telah diketahui air susu ibu dengan infeksi HIV mengandung proviral
HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibody
terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan
CD4+. Kebanyakan kasus penularan terjadi pada wanita yang diketahui
negatif terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi saat pemberian air susu
ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi HIV, pemberian air susu ibu
beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena terdapatnya antibodi
terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang, makanan
formula menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain,
air susu ibu merupakan pilihan terbaik. Pemilihan pemberian makanan
pada bayi dengan 2 strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu
kebayinya postnatal, dengan pemberian zidovudine sebagai profilaksis
selama 38 minggu. Ternyata didapatkan pemberian air susu ibu dengan
zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti pemberian susu
formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian pada 7
bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan postnatal dari

11
infeksi virus HIV-1 lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan
intervensi pemberian ARV saat perinatal.5
b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi
yang diberi susu formula atau makanan campuran (mixed feeding). Risiko
akan lebih tinggi lagi bila payudara ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang
tampak secara klinis ataupun subklinis). Di negara berkembang penularan
melalui air susu ibu (ASI) cukup memegang peranan penting. Sebagian
besar masalah payudara dapat dicegah dengan teknik menyusui yang
baik.12

4. Kehamilan dan cara melahirkan.


a. Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit
menular seksual. Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada
plasenta dan kecenderungan lahir prematur, serta dapat meningkatkan viral
load pada organ genital. Disamping itu pemilihan cara melahirkan,
lamanya persalinan,kapan pecahnya ketuban, dan saat proses kelahiran
berjalan seorang bayi dapat terpapar darah ibu. Inflamasi pada daerah
serviks dan uretritis dapat meningkatkan deteksi sel yang terinfeksi HIV-
A.9
b. Beberapa studi telah mempelajari penularan secara vertikal dari ibu
kebayinya, penularan melalui plasenta juga telah dipublikasikan. Terdapat
beberapa faktor dari ibu, diantaranya, viral load, antibody neutralizing,
atau aktifitas sel T sitotoksik, peranan plasenta melalui ekpresi FasL atau
faktor tumor nekrosis berhubungan dengan kejadian apoptosis
menginduksi ligand atau ekspresi Apo2L dan faktor plasenta seperti
korioamnionitis, aktifitas supresi HIV, atau faktor fetus seperti antibodi
neutralizing atau HIV sel T spesifik sitotoksik.9

2.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV


Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi
HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal tanpa
harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena

12
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan
seumur hidup. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat
sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20%
dengan terapi antiretrovirus. 3,4,11,12
Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang dewasa
lainnya. Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester pertama,
belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik dibandingkan bayi yang
tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO mengeluarkan kebijakan
membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil. Pemberian ARV dapat segera
dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan. Ibu yang sudah
mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti.
ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga seterusnya.11,12
Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan – bukan sebagai
acuan untuk memulai terapi. Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan
hal-hal berikut:
i) Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi
pra-pemberian ARV;
ii) Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih
dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati
dan stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan).
iii) Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4
< 200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia,
diare) dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis;
iv) Pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai
dua bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas
hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada
kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan
potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek

13
penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.11
Stadium Klinik Tidak Tersedia Tes
Tersedia Tes CD4
WHO CD4
1 Tidak diobati
Diobati jika jumlah sel CD4 <200/mm3
2 Tidak diobati
3 Diobati Diobati jika jumlah sel CD4 <350/mm3
Diobati tanpa memandang jumlah sel
4 Diobati
CD4
Tabel 1. Syarat Pemberian ART

Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR,
yaitu sebagai berikut:
1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi
HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.

Tabel 2. Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil

14
Tabel 3. Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV

Gambar 3. Alur Pemberian ARV

15
2.5 Persalinan aman bagi ibu dengan HIV
Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong
(medis/non-medis) dan pasien lainnya.2,12,13
a. Persalinan pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diusahakan
selaput amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus
dihindari. Jika sebelumnya telah diberikan obat ART, maka obat ini harus
dilajutkan sampai partus. Jika direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus
diberikan pada saat persalinan dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Dosis
zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1 jam dan dilanjutkan
1mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis tunggal 200mg harus
diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi
harus dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena
alasan obstetrik, menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.3
Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat:2
1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal
2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan
3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama setidaknya enam bulan.

b. Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan
antibiotik profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio
sesaria dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat
itu dan diperiksa viral load-nya. Tali pusat harus diklem secepatnya pada saat
seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.3,13
Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat:
1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau
viral load tidak diketahui pada minggu ke-36 kehamilan
2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan
3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia
kehamilan 36 minggu

16
4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban).
Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin
pada wanita hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat
pada penderita untuk mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur.

Tabel 4. Keuntungan dan kerugian jenis persalinan

2.6 Pasca Persalinan


Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu
HIV/AIDS tertular HIV pada 6 bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif memiliki
resiko transmisi HIV yang rendah daripada ASI yang dikombinasikan dengan
cairan atau makanan lainnya (ASI campuran). 1,4,9
Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan ASI
Ekslusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI sekaligus
makanan tambahan hingga usia 12 bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS
memutuskan untuk tidak memberikan ASI ekslusif, dapat mengganti dengan
makanan tambahan bila kriteria AFASS terpenuhi. Adapun kriteria AFASS dari
WHO yaitu: Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan,
Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe= aman
penggunaannya. Salah satu alternatif untuk menghindari penularan HIV yaitu
dengan menghangatkan ASI > 66 0C untuk membunuh virus HIV. Adapun bayi
yang telah dinyatakan terinfeksi HIV positif maka harus diberikan ASI ekslusif

17
selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI campuran hingga usia 24
bulan.1,3,9,10

2.7 Kontrasepsi pada Ibu dengan HIV

Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap


perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi
berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut:1,2
1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV ke
bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup,
dipertimbangkan kontrasepsi mantap.
2. Kontrasepsi jangka panjang:
a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko
IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan
dilakukan segera setelah plasenta lahir, walaupun tidak tertutup
kemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan
AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada
keluhan efek samping, seperti nyeri dan perdarahan.
b. Hormonal:
- Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV
yang tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat
meningkatkan enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB
kombinasi.
- Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang
tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil
progesteron.
- Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi
perempuan dengan HIV yang diberi ART tanpa kehilangan efektivitas
kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV
dan tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu.
- Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang
amat efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam
terapi obat ARV.

18
3. KESIMPULAN

Semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS pada ibu hamil di dunia maupun


di Indonesia hendaknya menjadi perhatian semua kalangan, karena ini dapat
merugikan semua pihak.
Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, terjadi secara horizontal
maupun vertikal (dari ibu ke anak). Transmisi horisontal dapat terjadi melalui
darah (diantaranya transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV,
penggunaan alat yang tidak steril disarana pelayanan kesehatan, penggunaan alat
yang tidak steril dilayanan kesehatan tradisional ) dan melalui hubungan seks
(misalnya pelecehan seksual pada anak, pelacuran anak ). Kurang lebih 10%
penularan HIV terjadi melalui transmisi horizontal. Dan yang cukup penting
(90%) adalah penularan secara vertikal dari ibu ke anak. Penularan vertikal dapat
terjadi selama intra uterine, intra partum maupun post partum.
Upaya pencegahan transmisi vertikal ini disebut dengan PMTCT
(Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). Diharapkan melalui
progran PMTCT ini, angka kasus HIV/AIDS pada ibu hamil dan anak dapat
diturunkan. Diperlukan juga dukungan semua pihak, terutama keluarga dan
lingkungan untuk bersama-sama memberi bantuan dalam program ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. National AIDS Commision Republic of Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan


HIV-AIDS pada Kehamilan.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelaksanaan
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi Tenaga
Kesehatan. 2014. Jakarta
3. Sarwono P. , Ilmu Kebidanan. 2011. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Pg
932-933
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Estimasi dan Proyeksi
HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011-2016. 2014. Jakarta
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penerapan Terapi HIV
pada Anak. 2014. Jakarta
6. Cohen S. Myron, Shaw M. George et all. Acute HIV-1 Infection. New England
Journal of Medicine. 2011
7. Nesheim Steven, Jamieson J. Denise et all. Primary Human
Immunodeficiency Virus Infection During Pregnancy Detected by Repeat
Testing. American Journal Obstetric and Gynecology. 2007
8. Tinkle B. Mindy, Amaya A. Maria et all. HIV Disease and Pregnancy.
JOGNN. 1992
9. Mclntyre James. Prevention of Mother to Child Transmission of HIV:
Treatment Options. Perinatal HIV Research Unit University of the
Witwatersrand. 2005
10. UNAIDS. Guidelines on HIV and Infant Feeding. WHO. 2010
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 87 tahun 2014
tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral
12. Consolidated Guidelines on The Use of Antiretroviral Drugs for Treating and
Preventing HIV Infection. WHO. 2016
13. Bull Lauren, Khan W. Abdul, Bartoon Simon. Management of HIV Infection
in Pregnancy. Obstetric, Gynaecology and Reproductive Medicine. 2015

20

Anda mungkin juga menyukai