Anda di halaman 1dari 24

Pengaruh Mikronutrien pada Fungsi Plasenta: Bukti dari Penelitian

Klinis pada Model Hewan


Bernadette C Baker, Dexter JL Hayes, Rebecca L Jones

Abstrak
Defisiensi mikronutrien sering terjadi pada wanita hamil karena asupan makanan yang
rendah dan peningkatan kebutuhan untuk perkembangan janin. Status mikronutrien ibu
yang rendah dikaitkan dengan berbagai patologi kehamilan yang melibatkan disfungsi
plasenta, seperti restriksi pertumbuhan janin (fetal growth restriction/FGR), kecil untuk
usia kehamilan (small-for-gestational age/SGA), pre-eklampsia, dan kelahiran
prematur. Namun, uji klinis umumnya gagal menunjukkan efek menguntungkan dari
suplementasi mikronutrien, yang dikaitkan dengan heterogenitas dan power penelitian
yang kurang, interaksi potensial, dan kurangnya pengetahuan mekanis mengenai
pengaruhnya pada plasenta. Kami bertujuan untuk memberikan bukti terkini mengenai
hubungan antara mikronutrien tertentu (vitamin D, vitamin A, zat besi, folat, vitamin
B12) dan luaran buruk kehamilan, disertai dengan pemahaman mengenai dampaknya
pada plasenta. Setelah pencarian literatur yang sistematis, kami mengkaji data dari
penelitian klinis, in vitro dan in vivo mengenai defisiensi dan suplementasi
mikronutrien. Temuan kunci adalah efek potensial dari defisiensi mikronutrien pada
perkembangan dan fungsi plasenta, yang menyebabkan gangguan pertumbuhan janin.
Penelitian sel trofoblas manusia dan model tikus memberikan wawasan mengenai
mekanisme yang mendasarinya. Menariknya, terdapat bukti bahwa defisiensi pada
semua mikronutrien yang diteliti menyebabkan kondisi pro-inflamasi dalam plasenta,
yang serupa dengan inflamasi yang ditemukan pada FGR, pre-eklampsia, lahir mati dan
kelahiran prematur. Efek menguntungkan dari suplementasi terlihat pada in vitro dan
pada model hewan dan untuk mikronutrien kombinasi dalam penelitian klinis. Namun,
pemahaman lanjut mengenai peran mikronutrien ini, dan wawasan mengenai
keterlibatan mereka dalam disfungsi plasenta, serta dengan penelitian klinis yang lebih
kuat, diperlukan untuk sepenuhnya memastikan manfaat potensial dari suplementasi
dalam kehamilan.
Pendahuluan
Status gizi ibu yang adekuat dalam kehamilan penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin dan untuk kesehatan jangka panjang sang anak. Di negara-negara
berpenghasilan tinggi, ketidakseimbangan makronutrien relatif jarang ditemukan,
namun defisiensi mikronutrien (vitamin dan mineral) lebih sering terjadi. Di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah, defisiensi mikronutrien lebih umum
terjadi; tinjauan sistematis dari asupan mikronutrien pada wanita di negara berkembang
menemukan bahwa asupan mikronutrien, paling sering folat, berada di bawah estimasi
kebutuhan rata-rata di lebih dari setengah dari penelitian (Torheim dkk. 2010).
Defisiensi mikronutrien umum terjadi pada wanita hamil karena asupan makanan yang
tidak mencukupi dan meningkatnya kebutuhan terkait kehamilan (Darnton-Hill &
Mkparu 2015) Mikronutrien sangat penting untuk fungsi tubuh yang baik dan memiliki
peran luas dalam metabolisme seluler, proliferasi, diferensiasi dan pensinyalan, dan
dengan demikian, tingkatnya yang tidak adekuat dapat memiliki dampak yang luas.
Perkembangan dan fungsi normal plasenta merupakan hal mendasar bagi janin yang
sehat, tumbuh normal, dan disfungsi plasenta merupakan kontributor utama terhadap
luaran buruk kehamilan, terutama restriksi pertumbuhan janin (fetal growth
restriction/FGR), kecil untuk usia kehamilan (small-for-gestational age/SGA), berat
badan lahir rendah (BBLR), pre-eklampsia (PE) dan lahir mati. Abnormalitas dalam
pertumbuhan plasenta, kelangsungan hidup sel, angiogenesis, fungsi vaskular dan
transportasi nutrisi berperan penting dalam patogenesis kondisi ini (Worton dkk. 2014).
Plasenta juga memediasi partisi mikronutrien antara ibu dan janin dan dengan demikian
merupakan penentu penting ketersediaan mikronutrien janin. Ulasan ini akan berfokus
pada mikronutrien utama (zat besi, vitamin D, vitamin A, folat), yang dipilih
berdasarkan hubungannya dengan luaran buruk terkait dengan disfungsi plasenta. Kami
memberikan pemahaman terkini mengenai efek mereka dalam plasenta dengan
melakukan strategi pencarian literatur sistematis dari penelitian klinis, in vivo dan in
vitro.

Zat Besi
Zat besi sangat penting untuk produksi hemoglobin, metabolisme sel dan fungsi
sistem imun. Zat besi diperoleh dalam makanan sebagai bentuk heme (daging, ikan,
telur) atau non-heme (biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran), serta
produk sereal fortifikasi. Homeostasis zat besi diregulasi ketat. Pada kondisi defisiensi,
terjadi peningkatan absorbsi usus dan ambilan seluler dimediasi oleh peningkatan
divalent metal transporter 1 (DMT1) dan reseptor transferin (Fisher & Nemeth 2017).
Terdapat mekanisme adaptif plasenta yang melindungi janin dari defisiensi maternal
(Gambling dkk. 2009, Cetin dkk. 2011, Best dkk. 2016). Ambilan DMT1 dari besi yang
terikat transferrin adalah rute utama ambilan besi plasenta (McArdle dkk. 2014),
meskipun ditemukan mekanisme tambahan ditunjukkan dengan viabilitias dari janin
tikus Dmt1/- (Gunshin dkk. 2005, Cao & O'Brien 2013). Deplesi zat besi menyebabkan
anemia defisiensi besi (ADB), yang diperkirakan mempengaruhi 15-20% wanita hamil
di seluruh dunia (Gernand dkk. 2016), dengan tingkat lebih tinggi hingga 55% dari
wanita hamil di negara berpenghasilan rendah (Casanueva & Viteri 2003). ADB
dikaitkan dengan berat badan lahir rendah (RR 1.29, 95% CI 1.09-1.53) dan kelahiran
prematur (RR 1.21, 95% CI 1.13-1.30) (Haider dkk. 2013), dan penelitian kohort
menunjukkan hubungannya dengan PE (Scholl 2005).

Penelitian klinis
Sebuah kajian sistematis uji terkontrol acak (randomised controlled trial/RCT)
mengenai suplementasi zat besi pada kehamilan melaporkan efek positif dependen dosis
pada berat lahir (15.1 g untuk setiap 10 mg peningkatan dosis/hari, P = 0.005) dan
penurunan insiden BBLR (OR 0.81, 95% CI 0.71-0.93), tanpa pengaruh signifikan
terhadap lama kehamilan (Haider dkk. 2013). Dalam kajian ini, sebagian besar
penelitian dilakukan pada populasi iron-replete; tidak dilakukan analisis subkelompok
untuk memeriksa luaran neonatus berdasarkan status anemia. Suplementasi zat besi
dianjurkan untuk wanita hamil yang berisiko anemia, umumnya dari trimester kedua
hingga kelahiran, dilanjutkan hingga postpartum pada populasi dengan prevalensi ADB
yang tinggi (Casanueva & Viteri 2003). Namun, terdapat kontroversi mengenai
suplementasi zat besi profilaksis pada populasi berisiko rendah karena efek samping
potensial dari kelebihan zat besi, terkait dengan peningkatan stres oksidatif dan
toksisitas seluler (Friedrisch & Friedrisch 2017) (lihat bagian selanjutnya).
Penelitian hewan
Efek defisiensi zat besi pada luaran kehamilan telah diuji dalam model tikus, yang
disebabkan oleh deplesi makanan. Walau dilaporkan efek negatif pada berat janin,
perbedaan dalam luaran telah dihubungkan dengan lama defisiensi, dengan penurunan
ukuran kotoran hanya terlihat pada defisiensi lama (8 vs 0.5 minggu prakonsepsi)
(Tojyo 1983, Sherman & Moran 1984, Gambling dkk. 2002, Toblli dkk. 2012).
Penurunan berat plasenta terjadi pada model yang parah, sedangkan peningkatan
kompensasi dalam berat plasenta dan volume labirin diamati dengan defisiensi yang
lebih ringan, yang menyebabkan terganggunya rasio berat janin: plasenta (Lewis dkk.
2001, Gambling dkk. 2009). Gangguan vaskularisasi plasenta juga telah dilaporkan,
yang dapat mengganggu transfer nutrisi ibu-janin (Lewis dkk. 2001). Secara khusus,
defek plasenta ini disertai dengan perubahan dalam penanganan lipid plasenta (seperti
Fabp1) dan metabolisme lipid ibu, dapat berkontribusi pada penurunan asam amino
plasma janin dan konsentrasi asam lemak seperti pada defisiensi besi maternal (Hay
dkk. 2016). Terganggunya perkembangan pembuluh darah plasenta juga dapat
berdampak pada aliran darah feto-plasenta, seperti yang diamati oleh peningkatan
resistensi arteri umbilikalis dan pulsatilitas pada model tikus dengan defisiensi besi
berat (Woodman dkk. 2017). Suatu pendekatan sistem biologi yang melibatkan seluruh
pemeriksaan mikro embrio dan analisis proteomik menemukan jalur utama yang
dipengaruhi oleh defisiensi zat besi maternal. Jalur ini meliputi jalur yang meregulasi
proses perkembangan, seperti remodeling sitosketelal, adhesi sel, dan regulasi siklus sel.
Penelitian validasi berfokus pada gatekeeper potensial dari programming
perkembangan; banyak di antaranya adalah faktor transkripsi (contoh Sp1, C-myc,
Tp53, Hnf4) dan regulator checkpoint siklus sel (Ccnb1 dan komponen kompleks
proteasome). Perubahan transkriptomik dalam gen regulator berhubungan dengan
peningkatan ekspresi gen pro-apoptosis (Casp3 dan Ppmd1), yang dapat berkontribusi
pada perkembangan abnormal dari banyak organ dan berkurangnya ekspresi protein
sitoskeletal actin dan tubulin. Apakah jalur dan gen regulator yang serupa terganggu
dalam plasenta masih belum dijelajahi (Swali dkk. 2011).
Seperti di organ lain, anemia memicu stres oksidatif dan inflamasi pada plasenta
tikus, dengan peningkatan Tnfa, Tnfr, Il6 dan Lep proinflamasi, dan cedera oksidatif
(peroksidasi lemak) dan penurunan status antioksidan (Gambling dkk. 2009, Toblli dkk.
2012) . Hipoksia janin juga terlihat, tetapi terdapat berbagai bukti mengenai hipoksia
plasenta (Lewis dkk. 2001, Toblli dkk. 2012, Woodman dkk. 2017). Stres oksidatif
plasenta dan inflamasi memiliki efek merugikan pada fungsi plasenta pada manusia dan
tikus (Girard dkk. 2014, Burton & Jauniaux 2018), yang mana memberikan wawasan
mekanis potensial mengenai hubungan antara ADB dan penurunan pertumbuhan janin
dan PE.
Pengaruh anemia pada luaran buruk janin dan plasenta dapat dipulihkan dengan
suplementasi zat besi, tetapi hanya dengan bentuk IPC (kompleks besi (III)-hidroksida
polimaltosa dengan asam folat). Suplementasi IPC menormalkan stres oksidatif yang
diinduksi anemia pada janin dan plasenta dan mengurangi ekspresi berlebih dari protein
IL6 dan TNFA di daerah labirin plasenta (Toblli dkk. 2012). Sebaliknya, preparat besi
oral yang dapat mem-bypass mekanisme ambilan zat besi fisiologis yang menyebabkan
peningkatan zat besi non-transferrin dapat mengeksaserasi inflamasi dan stres oksidatif
(Toblli dkk. 2013). Zat besi bebas sangat reaktif dan dapat menyebabkan cedera radikal
bebas; hal ini terlihat pada mukosa usus, hati dan plasenta dengan suplementasi besi
berlebih, dengan peningkatan peroksidasi lipid dan disfungsi mitokondria (Srigiridhar
dkk. 2001, Walter dkk. 2002). Terdapat beberapa bukti bahwa ko-terapi tikus non-hamil
dengan antioksidan, seperti vitamin E dan C, protektif terhadap cedera oksidatif, yang
menunjukkan diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pendekatan multi-terapi
(Srigiridhar & Nair 2000). Lingkungan inflamasi dapat mempengaruhi homeostasis zat
besi, yang memberikan bukti loop umpan balik yang dapat memperburuk status besi
seluler (Ross 2017). Hal ini mungkin relevan untuk PE, di mana terdapat bukti
mengenai disregulasi besi dan komponen patogen inflamasi (Kell & Kenny 2016).

Penelitian in vitro
Sangat sedikit/tidak ada analisis plasenta dari kehamilan manusia dengan ADB
maternal. Sebuah penelitian perfusi plasenta ex vivo menunjukkan efek menguntungkan
potensial dari karboksimaltosa besi pada integritas kapiler plasenta dan penurunan
apoptosis (Malek 2010). Namun, terapi in vitro dari eksplan plasenta dengan zat besi
(FeCl2) meningkatkan apoptosis trofoblas pada kehamilan PE (Shaker & Sadik 2013).
Diperllukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan relevansi penelitian hewan pada
plasenta manusia, khususnya risiko/manfaat potensial dari berbagai formulasi zat besi.
Vitamin D
Vitamin D adalah hormon yang larut dalam lemak dengan efek yang luas, seperti
homeostasis kalsium dan metabolisme tulang, proliferasi sel, diferensiasi dan efek
imunomodulator (Anderson dkk. 2003). Vitamin D3 disintesis di kulit setelah terpapar
sinar matahari dan diperoleh melalui makanan dari ikan berminyak, hati, kuning telur
dan beberapa tanaman (dalam bentuk vitamin D2). Susu formula bayi, margarin, dan
beberapa sereal sarapan diperkaya dengan vitamin D. Vitamin D dimetabolisme di hati
oleh sitokrom P450 27A1 (juga dikenal sebagai CYP27A1) menjadi 25(OH)D, yang
merupakan bentuk sirkulasi stabil utama (terikat pada vitamin D-binding protein, DBP).
Kerjanya diregulasi ketat pada tingkat parakrin, dengan metabolisme lokal menjadi
bentuk aktif secara biologis (1,25(OH)2D) oleh CYP27B1 dan inaktivasi oleh
CYP24A1. 1,25(OH)2D bekerja melalui reseptor vitamin D, VDR, suatu anggota famili
reseptor hormon steroid, yang bertindak sebagai faktor transkripsi dalam heterodimer
dengan reseptor X retinoid (RXR) (Ryan dkk. 2015).
Masih terdapat ketidakkonsistenan dalam definisi defisiensi vitamin D, mulai dari
konsentrasi serum 25(OH)D 25-75 nmol/L, yang didasari hanya pada kalsium
homeostatik/kerja skeletal. Namun, status vitamin D yang rendah lazim pada wanita
hamil (laporan bervariasi antara 20-60%), dengan pengaruh geografis, musiman, dan
etnis (Looker dkk. 2008, Bodnar & Simhan 2010). Kajian sistematis menemukan
peningkatan signifikan dari risiko PE (dua kali lipat), diabetes mellitus gestasional
(GDM; 1.4 kali lipat), kelahiran prematur (preterm birth/PTB; 1.6 kali lipat) dan SGA
(1.5 kali lipat) dengan status vitamin D suboptimal (didefinisikan sebagai <50 nmol/L)
(Wei dkk. 2013).
Jaringan janin sangat mengekspresikan VDR, dan terdapat bukti bahwa kadar
kalsium janin dan mineralisasi tulang dilindungi dengan defisiensi vitamin D maternal
(Kovacs dkk. 2005). Plasenta juga merupakan target untuk vitamin D, dengan ekspresi
VDR yang kuat dalam synsitiotrofoblast dan trofoblas extravillus(EVT). CYP27B1
banyak diekspresikan oleh trofoblas dan desidua, sementara CYP24A1 dinetralkan,
yang menunjukkan vitamin D bioaktif lokal yang tinggi pada interface ibu-janin (Evans
dkk. 2008). Penurunan ekspresi VDR plasenta dan terganggunya metabolisme telah
dilaporkan pada kehamilan patologis, seperti PE (Tamblyn dkk. 2017), FGR (Nguyen
dkk. 2015) dan keguguran berulang (Wang dkk. 2016). Stimuli yang terkait dengan
disfungsi plasenta, seperti stres oksidatif dan inflamasi, dapat mengubah ekspresi VDR
dan CYP27B1, yang menyebabkan vitamin D plasenta bioaktif yang lebih rendah (Shin
dkk. 2010, Barrera dkk. 2015, Tamblyn dkk. 2015).

Penelitian klinis
Kajian sistematis dan meta-analisis tahun 2017 mengenai suplementasi vitamin D
pada kehamilan menunjukkan efek menguntungkan sederhana pada berat lahir
(peningkatan rerata rata 58.33 g, 95% CI 18.88-97.78 g) dan penurunan risiko SGA
(rRR 0.60, 95% CI 0.40–0.90) (Roth dkk. 2017); dalam sepuluh percobaan, rerata status
vitamin D awal partisipan rendah (didefinisikan sebagai 25(OH)D <30 nmol/L), tetapi
penelitian ini tidak dianalisis secara terpisah. Tidak ditemukan adanya efek protektif
terhadap PE, kecuali dalam analisis dari tiga percobaan di mana wanita diberikan ko-
suplementasi dengan vitamin D dan kalsium; para wanita ini memiliki penurunan risiko
PE (RR 0.51, 95% CI 0.32-0.80) (De-Regil dkk. 2016). Tinjauan ini juga menemukan
peningkatan risiko kelahiran prematur (RR 1.57, 95% CI 1.02-2.43) dalam analisis
subkelompok.

Penelitian hewan
Mencit betina Vdr-knockout mengalami penurunan fertilitasi dan ukuran kotoran
(Kovacs dkk. 2005). Telah dilaporkan efek yang berbeda pada berat janin, dengan berat
lebih rendah (Kovacs dkk. 2005) atau tidak berubah dari mencit WT (Wilson dkk.
2015). Suplemen kalsium meningkatkan fertilitas, tetapi tidak berdampak pada luaran
janin. Selain itu, kadar mineral janin dan mineralisasi skeletal normal pada KO tanpa
suplementasi, yang mana konsisten dengan bukti untuk peningkatan adaptif transpor
kalsium plasenta (Kovacs dkk. 2005).
Restriksi diet pada mencit prekonsepsi dan selama kehamilan mengubah sistem
renin-angiotensin ginjal ibu dan peningkatan tekanan darah (Liu dkk. 2013). Perubahan
morfologis plasenta juga terlihat, terutama penurunan vaskularisasi labirin. Berat janin
lebih tinggi dari individu dengan defisiensi vitamin D pada akhir kehamilan, tetapi efek
ini kembali pada 14 hari postpartum, yang menunjukkan perjalanan pertumbuhan janin
dan neonatus mengalami perubahan. Suplemen vitamin D melindungi fenotip ibu dan
janin. Model serupa menunjukkan penurunan berat plasenta dan vaskularisasi, disertai
dengan berkurangnya ekspresi Vegfa angiogenik (Tesic dkk. 2015). Ekspresi plasenta
dari 11β-hidroksisteroid dehidrogenase-2 (11bhsd2) juga berkurang, yang menunjukkan
efek buruk defisiensi melalui terganggunya proteksi dari glukokortikoid.
Vitamin D telah diketahui memiliki sifat antiinflamasi dan imunomodulator pada
organ lain, dan hal ini diperkuat oleh penelitian plasenta. Pengobatan mencit dengan
stimulus inflamasi LPS memicu plasenta mRNA Vdr dan Cyp27b1, yang menunjukkan
suatu respons antiinflamasi endogen (Liu dkk. 2011). Knockout Vdr atau Cyp27b1
menghasilkan bias proinflamasi pada plasenta dan peningkatan respons terhadap
challenge LPS ex vivo, dengan peningkatan ekspresi Tlr2 dan sitokin proinflamasi
(seperti Ifng, Tnfa dan Il6) dan kemokin (seperti Ccl2, Cxcl10, Cxcl6) (Liu dkk. 2011,
2017). Menariknya, fenotip yang lebih berat diamati pada plasenta dari anak anjing
betina, yang menunjukkan tingkat dimorfisme seksual. Terapi ex vivo dari plasenta WT
dengan vitamin D memiliki efek antiinflamasi, yang menurunkan ekspresi sitokin dan
kemokin.
Peran utama untuk vitamin D dalam meregulasi jalur inflamasi plasenta diperkuat
dalam model tikus FGR dan kematian janin yang diinduksi LPS (Chen dkk. 2015a).
Dalam model ini, terapi LPS tidak mempengaruhi ekspresi VDR, tetapi mencegah
aktivasi dan ekspresi gen target. Pra-terapi dari mencit dengan vitamin D secara efektif
melindungi pertumbuhan janin dan plasenta dan meningkatkan viabilitas janin. Hal ini
dihubungkan dengan pelemahan sitokin proinflamasi yang diinduksi LPS (Tnfa, Il1b
dan Il6) dan kemokin (Ccl2, Cxcl1, Cxcl2) di kompartemen ibu dan plasenta. Efek
antiinflamasi ini dikaitkan dengan blokade aktivasi NFkB oleh vitamin D. Hal ini
mewakili jalur mekanistik yang berbeda dengan sel imun, di mana vitamin D
memberikan efek antiinflamasi melalui jalur pensinyalan PI3K/Akt. Terapi LPS juga
mengurangi transporter folat plasenta pada mencit, dengan peningkatan yang sama
dalam insiden defek tabung neural pada keturunannya (Chen dkk. 2015b). Suplementasi
dengan vitamin D melindungi transportasi folat dan mencegah defek tabung neural,
yang menandakan hubungan antara efek antiinflamasi vitamin D dan biologi folat (lihat
bagian selanjutnya). Jalur mekanistik tambahan yang diubah oleh vitamin D dalam
plasenta tikus telah diidentifikasi melalui studi susunan gen, seperti mereka yang
mengatur autofagi, pensinyalan sel, dan jalur mTOR (Wilson dkk. 2015).
Potensi terapeutik dari vitamin D juga telah dieksplorasi dalam model tikus
iskemia plasenta, yang diinduksi oleh ligasi arteri uterin (Tian dkk. 2016). Vitamin D
mencegah gejala tipe preeklampsia pada individu hamil, yang mengurangi mortalitas
janin dan mencegah efek iskemia pada morfologi plasenta dan kelangsungan hidup sel,
terkait dengan penurunan oksidatif plasenta dan tekanan retikulum endoplasma.
Analisis in vitro menunjukkan normalisasi pelepasan sFLT1 plasenta sebagai
mekanisme utama yang mendukung pencegahan aktivasi endotel ibu (Ma dkk. 2017).
Penelitian pada tahun 1960-an dan 70-an menimbulkan kekhawatiran mengenai
suplementasi antenatal yang berlebihan dengan vitamin D2. Suplementasi dosis tinggi
(hingga 40.000 IU/hari) pada tikus hamil menyebabkan penurunan ukuran plasenta,
ditambah dengan fitur histologis perkembangan plasenta abnormal (seperti perlambatan
diferensiasi trofoblas dan vaskularisasi), kalsifikasi dan inflamasi plasenta (Potvliege
1962). Suplementasi lama pada akhir kehamilan memiliki efek buruk tambahan pada
janin, dengan penurunan berat janin dan tingginya tingkat kematian janin saat aterm
(Ornoy dkk. 1968, Nebel & Ornoy 1971, 1972). Tidak ada bukti saat ini untuk efek
serupa pada manusia; Namun, vitamin D3 lebih efektif dalam meningkatkan konsentrasi
vitamin D serum dan karenanya sekarang menjadi jenis yang dianjurkan (Houghton &
Vieth 2006).

Penelitian in vitro
Penelitian in vitro dari garis sel plasenta manusia dan trofoblas primer telah
mengkonfirmasi dan memperluas pemahaman kita mengenai peran potensial vitamin D
dalam plasenta. Seperti pada tikus, vitamin D memberikan efek antiinflamasi melalui
VDR dalam sel JEG3, melemahkan translokasi nuklir yang diinduksi LPS untuk subunit
NFkB p65 dan ekspresi sitokin proinflamasi (IL6 dan TNFA) (Chen dkk. 2015a).
Demikian pula, vitamin D yang bekerja melalui dosis VDR secara dependen
menurunkan efek proinflamasi TNFA dalam sel trofoblas, mencegah ekspresi IL6,
IFNG dan TNFA (Noyola-Martinez dkk. 2013). Efek ini mungkin relevan dengan PE;
ketiga sitokin diekspresikan pada tingkat yang lebih tinggi oleh sel-sel plasenta dari
wanita preeklampsia dan menurun dengan pengobatan vitamin D in vitro. Efek
antiinflamasi vitamin D juga diamati dalam model in vitro dari sindrom antifosfolipid
(APS) – suatu gangguan kehamilan imunologis lain - termasuk supresi IL1B dan IL8,
disertai dengan penurunan pelepasan partikel mikro (Barrera dkk. 2015, Gysler dkk.
2015). Vitamin D juga telah dilaporkan memiliki efek antimikroba dengan menstimulasi
ekspresi β-defensin dan cathelicidin dalam sel trofoblas (Olmos-Ortiz dkk. 2015).
Vitamin D mungkin bermanfaat selama masa kehamilan, dengan memicu
lingkungan yang toleran secara imunologis dalam desidua dan meregulasi sejumlah gen
yang penting untuk implantasi, seperti CABP9K dan HOXA10 (dibahas dalam Evans
dkk. 2004, Ganguly dkk. 2018). Vitamin D juga memicu invasi EVT in vitro (Chan dkk.
2015) dan dapat memodulasi efek inhibitor dari metabolisme lipid aktif sphingosine-1-
fosfat (S1P) pada migrasi EVT (Hay dkk. 2016). Temuan ini memberikan wawasan
mengenai signifikansi biologis dari kadar vitamin D lokal yang tinggi di desidua dan
meningkatnya kerentanan wanita dengan defisiensi vitamin D terhadap PE, di mana
plasentasi awal mengalami defek. Kerja potensial lain pada PE meliputi efek pada sel
endotel ibu, seperti yang ditemukan dalam penelitian rodensia, seperti regulasi negatif
sFLT-1 antiangiogenik, stimulasi VEGF dan e-NOS, dan peningkatan pertahanan
antioksidan (dibahas secara rinci dalam Barrera dkk. 2015).
Vitamin D dapat memengaruhi proliferasi dan kelangsungan hidup sel dan dalam
sel trofoblas meregulasi gen regulator siklus sel (TP53, inhibitor kinase dependen
siklin), menghambat caspase 3 proapoptotik dan mengubah ekspresi faktor
pertumbuhan, seperti TGFB, yang penting untuk proliferasi dan diferensiasi trofoblas
(Nguyen dkk. 2015, Xu dkk. 2017). Selain mengatur transportasi kalsium plasenta
(Tuan 1991), vitamin D dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi janin secara umum,
contohnya, hubungan positif telah dilaporkan antara status vitamin D ibu dan
transportasi asam amino plasenta melalui sistem A (Cleal dkk. 2015). Vitamin D juga
dapat menstimulasi hCG plasenta, hPL dan steroidogenesis dan dengan demikian dapat
memiliki efek mendalam pada metabolisme ibu dan pemeliharaan kehamilan
(Stephanou dkk. 1994, Barrera dkk. 2007, 2008). Status vitamin D ibu yang rendah
karena itu dapat mempengaruhi FGR dan PE melalui beberapa kerja pada fisiologi ibu
dan plasenta.

Vitamin A
Vitamin A terdiri dari sekelompok senyawa larut lemak alami yang diperoleh dari
makanan. Retinol dan retinyl ester ditemukan dalam sumber hewani dan beta-karoten
atau provitamin A karotenoid lain pada tanaman, dengan kandungan total vitamin A
dari makanan diekspresikan sebagai ekivalen aktivitas retinol (retinol activity
equivalent/RAE). Bentuk aktif vitamin A secara biologis (retinol, retinal dan asam
retinoat) memiliki peran penting dalam penglihatan normal, fungsi imun, diferensiasi
sel dan reproduksi, dengan kerjanya melalui reseptor nuklir (RARα, β dan γ) yang
seperti VDR, berheterodimer dengan RXR dan mengubah transkripsi gen. Kajian
terbaru menggambarkan ambilan vitamin A, transportasi, dan penyimpanannya secara
umum (Chelstowska dkk. 2016) dan oleh plasenta (Spiegler dkk. 2012).
Defisiensi vitamin A dinilai dengan pengukuran biokimia serum retinol, indikasi
klinis penyakit mata dan indikator fungsional seperti rabun senja. Konsentrasi serum
retinol dewasa <0.7 μmol/L mendefinisikan defisiensi biokimia dan pada
kehamilan/laktasi, konsentrasi <1.05 μmol/L dianggap defisien (Wiseman dkk. 2017).
Defisiensi vitamin A umum di negara-negara berpenghasilan rendah, dengan ~15%
wanita hamil secara global mengalami defisiensi biokimia (World Health Organization
2009). Namun, bahkan di Inggris dan Amerika Serikat, subpopulasi tertentu berisiko
mengalami defisiensi, seperti remaja perempuan, Afrika-Amerika, dan mereka yang
berada dalam kelompok sosial ekonomi rendah (Hanson dkk. 2016). Defisiensi vitamin
A dikaitkan dengan peningkatan insiden kelahiran prematur (OR 1.99, 95% CI 1.12-
3.53) (Radhika dkk. 2002). Namun, pedoman saat ini adalah untuk menghindari asupan
vitamin A yang berlebihan pada kehamilan dari bentuk suplemen dan makanan (tidak
lebih dari 800 μg RAE/hari) (FAO/WHO 2005) karena potensi efek teratogenik.
Suplemen hanya direkomendasikan untuk populasi yang mana defisiensi vitamin A
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berat.

Penelitian klinis
Kajian Cochrane terbaru yang mengevaluasi RCT suplementasi vitamin A di
daerah endemik defisiensi (17 dari 19 penelitian yang dilakukan pada populasi yang
defisiensi) menemukan penurunan risiko rabun senja ibu (tanda okular untuk defisiensi
vitamin A), anemia dan klinis infeksi pada wanita, tetapi tidak ada efek menguntungkan
pada luaran janin/neonatus (McCauley dkk. 2015). Vitamin A memiliki efek regulator
imun yang kuat dan dapat mengubah keseimbangan antara respons Th1/Th2, dengan
kecenderungan untuk menekan respons proinflamasi (Villamor & Fawzi 2005).
Kehamilan dikaitkan dengan perubahan respons imun; bias terhadap respons Th2 oleh
vitamin A dianggap baik untuk luaran kehamilan; Namun, kekhawatiran mengenai
kerentanan terhadap infeksi ibu dan janin masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut,
terutama mengingat prevalensi defisiensi vitamin A pada populasi berisiko tinggi
terhadap infeksi malaria dan HIV (Cox dkk. 2006, Cañete dkk. 2017).

Penelitian hewan
Peran vitamin A pada perkembangan plasenta dan janin telah dibahas dalam
model hewan mengenai defisiensi dan kelebihan vitamin A, yang menggambarkan
peran berbeda untuk asam retinoat dan retinol selama kehamilan. Diet defisit total
vitamin A menyebabkan resorpsi embrionik ekstensif pada pertengahan kehamilan pada
tikus (Takahashi dkk. 1975); hal ini dapat diatasi dengan suplementasi retinol, tetapi
bukan asam retinoat, yang menunjukkan perannya dalam perkembangan embrionik
(Wellik & DeLuca 1995). Suplementasi tikus defisiensi vitamin A dengan asam all-
trans-retinoic (ligan afinitas tertinggi untuk RAR) membantu kelangsungan hidup
keturunannya hingga melahirkan (White dkk. 1998).
Model defisiensi yang lebih moderat telah mengidentifikasi efek pada plasenta.
Asupan diet terbatas untuk retinil asetat (bentuk asetilasi dari retinol) menyebabkan
penurunan ukuran kotoran dan viabilitas anak anjing. Tingkat pertumbuhan janin
terganggu dan defek dalam pertumbuhan plasenta dan gambaran histologis ditemukan
sejak pertengahan kehamilan (Takahashi dkk. 1975). Sebuah fenotipe yang serupa
diamati pada tikus yang diberi diet bebas retinol 8 minggu sebelum dan selama
kehamilan, dengan jumlah janin viabel lebih rendah, dan peningkatan berat plasenta dan
rasio berat plasenta/janin untuk anak anjing yang masih hidup (Antipatis dkk. 2002).
Plasenta mengalami peningkatan infiltrasi neutrofil dan ekspresi LEPTIN, TNFA, dan
TNFR yang lebih tinggi, disertai dengan peningkatan apoptosis dan perubahan rasio
BCL2 / BAX dalam sel-sel trofoblas yang berdekatan.
Mencit dengan mutasi pada lebih dari satu subtipe Rar atau Rxr menunjukkan
banyak defek embrionik yang sama seperti individu dengan asupan vitamin A marginal
(dikaji dalam Mark dkk. 2009). Sebagai catatan, kematian embrionik pada mencit Rxra-
dan Rxrb-null dikaitkan dengan perkembangan defektif dari zona labirin plasenta
(Wendling dkk. 1999).
Hipervitaminosis A menyebabkan malformasi kongenital, karena aksi
perkembangan yang luas, seperti polarisasi aksial dan morfogenesis sel (Clagett-Dame
& Knutson 2011). Dosis tunggal asam retinoat ekuivalen dengan 240 mg/kg (800.000
IU/kg) pada awal kehamilan tikus menyebabkan hampir semua embrio mati dengan
defek sistem kardiovaskular dan saraf dan hidraemia 24 jam setelah terapi (Love &
Vickers 1976). Terdapat supresi allantois yang menyebabkan agenesis plasenta. Dosis
tunggal asam retinoat all-trans (120 mg/kg) dosis rendah pada hari ke-10 menginduksi
deformitas mirip clubfoot dan mengubah morfologi plasenta, dengan peningkatan
apoptosis dan perubahan rasio BCL2: BAX (Jiang dkk. 2014). Tidak diamati adanya
efek pada berat plasenta atau janin.

Penelitian in vitro
Dalam sel trofoblas manusia dan tikus, vitamin A meregulasi sekresi hormon yang
penting untuk diferensiasi trofoblas, ketersediaan nutrisi janin, dan pengeluaran energi
ibu. Asam retinoat meningkatkan sekresi hCG oleh sel-sel koriokarsinoma manusia
dengan pola dependen dosis, dengan efek yang serupa pada progesteron walaupun hal
ini bervariasi antar garis sel (Chou 1982, Kato & Braunstein 1991). Eksperimen serupa
dengan sel spongiotrofoblast primer tikus terdiferensiasi menunjukkan efek pada
morfologi dengan inti yang lebih jelas dan proyeksi sitoplasma yang lebih tipis dan
lebih sedikit dalam sel yang diberikan asam retinoat dan penurunana kadar prolaktin
plasenta (Lu dkk. 1994). Produksi hormon leptin juga distimulasi oleh asam retinoat
dalam trofoblas manusia primer yang dimediasi oleh reseptor RXRα (Guibourdenche
dkk. 2000). Reseptor ini juga memediasi transkripsi pregnancy-specific glycoprotein 5
(PSG5) dalam sel JEG-3 sebagai respons terhadap asam retinoat (Lopez-Diaz dkk.
2007). PSG dianggap penting dalam memediasi perlindungan janin dari sistem imun ibu
dan mengurangi sekresi PSG dalam model defisiensi vitamin A yang dapat sebagian
menjelaskan respons inflamasi plasenta yang diamati.
Efek lebih lanjut pada perkembangan dan fungsi plasenta telah diajukan dari
analisis in vitro dari plasenta manusia. Antagonisme RXR menstimulasi invasi EVT
manusia primer melalui transwell berlapis ECM (Tarrade dkk. 2001). Penelitian perfusi
plasenta manusia ex vivo menunjukkan efek menguntungkan dari beta-karoten pada
tonus vaskular plasenta, dengan pelemahan vasokonstriksi yang diinduksi peroksida dan
penurunan peroksida lipid dan produksi TXB2 (Cueto dkk. 1997).

Folat dan Vitamin B12


Folat dan vitamin B12 (cobalamin) adalah vitamin alami yang larut dalam air
yang terdapat dalam jaringan biologis dan bahan makanan. Keduanya memainkan peran
penting dalam satu metabolisme karbon, yang menghasilkan purin dan timidilat untuk
sintesis/perbaikan DNA dan S-adenosylmethionine (SAM), donor untuk reaksi metilasi
seluler dan remetilasi homosistein sitotoksik menjadi metionin (Molloy 2012).
Defisiensi folat ditandai dengan peningkatan homosistein dan secara klinis terlihat
sebagai anemia megaloblastik. Baru-baru ini terdapat bukti untuk peran penting folat
dalam perlindungan terhadap stres oksidatif, melalui generasi NADPH (Fan dkk. 2014).
Vitamin B12 juga penting untuk mielinogenesis dan produksi sel darah merah, sehingga
defisiensinya menyebabkan cedera neurologis dan anemia.
Absorpsi, transportasi, dan penyimpanan folat intraseluler pada orang dewasa
yang tidak hamil dikontrol dengan ketat dan baik folat maupun vitamin B12 ditemukan
pada konsentrasi yang lebih tinggi dalam sirkulasi janin daripada ibu (Suh dkk. 2001).
Vitamin B12 sebagian besar diangkut melintasi plasenta oleh transkobalamin (Fisher &
Nemeth 2017), dan penelitian terbaru mengusulkan transpor folat transplasenta melalui
reseptor folat α (FRα), proton-coupled folate transporter (PCFT) dan reduced folate
carrier (RFC) (Solanky dkk. 2010, Rosario dkk. 2017a). Kebutuhan folat meningkat
pada kehamilan untuk memenuhi kebutuhan janin yang sedang berkembang dan dengan
demikian wanita hamil berisiko mengalami defisiensi folat. Status folat ibu rendah
dikaitkan dengan defek tabung neurall dan kelainan kongenital lainnya (de Benoist
2008), dengan bukti dari penelitian observasional mengenai hubungan dengan PE,
FGR/SGA dan kelahiran prematur (Ek 1982, Scholl & Johnson 2000, Rao dkk. 2001 ,
Baker dkk. 2009, Bukowski dkk. 2009). Pedoman saat ini untuk suplementasi asam
folat untuk wanita sehat adalah 400-800 ug/hari sebelum kehamilan dan sepanjang
trimester pertama. Karena banyak kehamilan yang tidak direncanakan, banyak negara
merekomendasikan suplementasi harian oleh semua wanita usia reproduksi. Namun,
tingkat suplementasi rendah pada banyak kelompok wanita di Inggris dan Amerika
Serikat (misalnya remaja), dan tingkat defisiensi yang lebih tinggi (hingga 26% wanita
hamil) dilaporkan di negara berpenghasilan rendah (Gernand dkk. 2016). Defisiensi
folat saat ini didefinisikan sebagai serum folat <10 nmol/L dan folat RBC <340 nmol/L,
berdasarkan peningkatan homosistein plasma; Namun, pedoman terbaru menunjukkan
konsentrasi folat RBC > 906 nmol/L diperlukan untuk mencapai reduksi terbesar dalam
terjadinya defek tabung neural (Cordero dkk. 2015). Proporsi yang semakin meningkat
dari wanita hamil yang berisiko lebih tinggi mengalami defek tabung neural
direkomendasikan untuk mendapat suplementasi dengan asam folat dosis tinggi (4-5
mg/hari), jauh melebihi batas atas 1 mg/ hari yang dapat ditoleransi untuk orang dewasa
yang tidak hamil.
Defisiensi B12 (konsentrasi serum < 150 pmol/L) umum di negara-negara denga
diet vegan. Kajian sistematis terbaru memperkirakan prevalensi di seluruh dunia sebesar
19-29% (Sukumar dkk. 2016); namun, tingkat defisiensi di Inggris dan AS rendah. Di
Inggris, asupan vitamin B12 yang dianjurkan dalam kehamilan adalah 2.6 μg/hari.
Selain peningkatan risiko defek tabung neural, defisiensi B12 ibu berhubungan dengan
peningkatan risiko BBLR (RR 1.15, 95% CI 1.01-1.31) dan kelahiran prematur (RR
1.21, 95% CI 0.99-1.49) (Rogne dkk. 2017).

Uji klinis
Suplementasi asam folat efektif dalam mengurangi defek tabung neural (De-Regil
dkk. 2015). Sebuah meta-analisis terbaru mendeteksi pengaruh positif konsentrasi folat
RBC ibu pada berat lahir dan risiko SGA (van Uitert & Steegers-Theunissen 2012). Hal
ini diperkuat oleh kajian sistematis RCT suplementasi asam folat yang menemukan
peningkatan berat lahir (rerata 135.75 g, 95% CI 47.85-223.68) dengan suplementasi
asam folat, tetapi tidak berpengaruh pada luaran kehamilan lainnya. Perlu dicatat bahwa
banyak dari percobaan ini menguji asam folat dalam kombinasi dengan suplementasi zat
besi, dengan berbagai kelompok kontrol pembanding dan tidak menemukan efek
menguntungkan secara keseluruhan dari suplementasi pada status folat ibu (Lassi dkk.
2013). Kedua kajian ini memasukkan penelitian pada sebagian besar populasi replesi,
dan dalam beberapa kasus, penelitian ini mengeksklusi wanita dengan kadar folat
dan/atau besi yang rendah. Analisis yang lebih terfokus mengenai asam folat vs plasebo
juga menemukan peningkatan kecil tapi signifikan dalam berat lahir (peningkatan 2%, P
<0.0001) dengan peningkatan asupan folat dua kali lipat (Fekete dkk. 2012). Waktu
suplementasi mungkin berdampak dengan dua analisis terbaru yang menunjukkan
perlindungan terhadap SGA tergantung pada suplementasi prakonsepsi (Hodgetts dkk.
2014). Suplemen dengan asam folat dapat memiliki efek buruk pada individu dengan
status vitamin B12 rendah dan telah dikaitkan dengan peningkatan kejadian kelahiran
SGA (Dwarkanath dkk. 2013). Suplementasi vitamin B12 selama kehamilan telah
dievaluasi dalam RCT tunggal sampai saat ini (Duggan dkk. 2014), yang melaporkan
efek menguntungkan pada konsentrasi B12 plasma ibu dan bayi, tetapi tanpa perbedaan
dalam kejadian SGA.

Penelitian hewan
Pentingnya folat dalam perkembangan embrio pertama kali disadari dalam
penelitian pada hewan di tahun 1950-an di mana tikus yang diberi diet kekurangan folat
selama kehamilan menghasilkan keturunan dengan berbagai kelainan kongenital
(Nelson dkk. 1952). Penelitian rodensia tikus terbaru telah mengidentifikasi efek
defisiensi folat pada satu metabolisme karbon pada janin, plasenta dan ibu. Hal ini
meliputi penurunan rasio S-adenosylmethionine:S-adenosylhomocysteine (SAM:SAH)
yang mengindikasikan rendahnya produksi donor metil, disertai dengan penurunan
global metilasi DNA plasenta (Kim dkk.2009) dan perubahan ekspresi gen spesifik
yang diprediksi akan mengacaukan banyak jalur metabolisme (McKay & Mathers
2016). Penurunan serupa dalam rasio SAM:SAH diukur dalam plasma ibu dan hati
mencit dengan defisiensi folat. Hal ini dikaitkan dengan hiper-homosisteinemia dan
inflamasi, dengan peningkatan ekspresi Ifng plasenta (Mikael dkk. 2013). Mencit yang
diberi diet rendah folat mengalami penurunan berat janin, dengan berat plasenta
berubah, ukuran kotoran, dan panjang crown rump yang tidak berubah (Rosario dkk.
2017b). defisiensi folat menyebabkan inhibisi pensinyalan mTORC plasenta dan
penurunan ekspresi dan aktivitas transporter asam amino.
Efek dari sejumlah polimorfisme dalam satu enzim siklus karbon (MTHFR dan
MTHFD) yang terjadi pada populasi manusia telah diselidiki pada mencit, karena
mereka dapat memodulasi luaran dari kelebihan atau kekurangan suplai folat pada
kehamilan. Tikus dengan defisiensi folat atau heterozigot Mthfr (suatu model untuk
polimorfisme 677TT) menderita tingkat kehilangan embrionik, kelainan kongenital,
keterlambatan perkembangan, dan FGR yang lebih tinggi (Pickell dkk. 2009).
Penurunan berat dan area plasenta juga diamati pada mencit dengan defisiensi folat
dengan penurunan yang sama di zona junctional dan labirin. Model tikus untuk varian
R653Q manusia (Mthfd1s +/−) yang diberi diet asam folat lima kali lebih tinggi
sebelum dan selama kehamilan juga menunjukkan peningkatan defek embrionik dan
plasenta pada E10.5, terutama di zona labirin (Christensen dkk. 2016) . Dalam kedua
penelitian tersebut, kombinasi defisiensi diet dan genotipe memperburuk defek tersebut.
Penelitian lain pada model hewan menunjukkan efek buruk suplementasi asam
folat yang tinggi terhadap pertumbuhan janin. Tikus yang diberi suplemen dengan 40
mg/kg vs 2 mg/kg selama kehamilan memiliki keturunan dengan berat lahir dan panjang
crown rump yang berkurang signifikan (Achon dkk. 2000). Demikian pula, embrio dari
mencit yang diberi diet asam folat tinggi telah menunjukkan keterlambatan embrionik
dan retardasi pertumbuhan dan defek jantung pada awal hingga pertengahan kehamilan
(Pickell dkk. 2011). Kelebihan asam folat yang diberikan pada tikus hamil (8 mg/kg vs
1 mg/kg) menghasilkan respons dimorfik seksual, dengan penurunan ekspresi 11β-
HSD2 (terkait dengan promotor hipermetilasi) pada plasenta pria hanya dari bayi jantan
(Penailillo dkk. 2015). Tidak ada perubahan yang terdeteksi pada anak anjing betina,
yang malah mengalami peningkatan berat lahir. Hal ini menunjukkan bahwa kelebihan
serta kekurangan asam folat dapat mempengaruhi respons keturunan dan program untuk
kesehatan ke depannya. Sulit menemukan bukti yang setara pada manusia, tetapi dua
penelitian menemukan hubungan yang kuat dengan suplementasi asam folat yang lebih
tinggi pada kehamilan dan gangguan kesehatan pernapasan pada anak-anak (Haberg
dkk. 2009, Whitrow dkk. 2009). Efek dari suplementasi donor metil yang tinggi selama
kehamilan pada penyakit jalan nafas alergi pada keturunan juga telah diamati pada
mencit (Hollingsworth dkk. 2008).
Efek negatif dari defisiensi vitamin B12 saja, dan dengan adanya kelebihan
suplementasi asam folat pada perkembangan plasenta dan janin telah diperiksa dalam
beberapa penelitian pada hewan. Defisiensi vitamin B12 ibu pada tikus mengubah rasio
fosfolipid plasenta, terutama fosfatidilkolin dan fosfoetanolamin (Khot dkk. 2014) dan
penurunan ekspresi plasenta dari ∆5 desaturase dan transporter asam lemak Fatp1 dan 4
(Wadhwani dkk. 2013). Kelebihan FA (8 mg/kg vs 2 mg/kg) dikombinasikan dengan
defisiensi B12 menurunkan metilasi DNA plasenta global pada tikus (Kulkarni dkk.
2011) dan perubahan ekspresi dari satu enzim metabolisme karbon seperti Mthfr dan
metionin sintase (Khot dkk. 2014 ). Sebaliknya, vitamin B12 melemahkan efek negatif
asam folat tinggi (5 mg/hari vs 400 ug) pada kelahiran dan berat plasenta pada tikus
(Shah dkk. 2017).
Beberapa efek plasenta mungkin berhubungan dengan modulasi mikroRNA
plasenta, dengan tingginya penurunan folat, dan vitamin B12 yang meningkatkan
ekspresi miR-16 dan miR-21.

Penelitian in vitro
Penelitian in vitro memberikan bukti efek samping dari defisiensi folat pada
fungsi plasenta. Kultur dalam kondisi folat rendah meningkatkan apoptosis pada
trofoblas primer dari plasenta aterm manusia (Steegers-Theunissen dkk. 2000), dan
mengurangi viabilitas, proliferasi, dan kapasitas invasif pada garis sel JEG-3 (Moussa
dkk. 2015) dan HTR-8/SVneo (Ahmed dkk. 2016). Terapi homosistein meningkatkan
apoptosis trofoblas dan menurunkan sekresi hCG (Di Simone dkk. 2004). Efek negatif
ini pada kelangsungan hidup dan fungsi trofoblas kembali dengan penambahan asam
folat dengan pola dependen dosis, dan terapi asam folat saja meningkatkan produksi
hCG. Efek metabolik juga telah dilaporkan dengan inhibisi pensinyalan mTOR dan
penurunan transpor asam amino melalui sistem A dan sistem L pada sitotrofoblas
manusia primer yang dikultur dalam media defisiensi folat (Rosario dkk. 2017a) yang
sesuai dengan bukti pada mencit (Rosario dkk. 2017b ).
Penelitian in vitro juga memberikan bukti yang mendukung efek merugikan dari
kelebihan asam folat pada plasenta, dengan penurunan viabilitas sel BeWo dan JEG3
(Ahmed dkk. 2016, Shah dkk. 2016). Hal ini dikaitkan dengan penurunan ekspresi
reseptor E dan peningkatan TNFA, mRNA, homosistein dan penanda peroksidasi lipid
malondialdehyde (MDA). Suplementasi dengan vitamin B12 mengembalikan viabilitas
sel dan secara signifikan mengurangi kadar homosistein dan MDA.
Gambar 1. Efek defisiensi mikronutrien dan suplementasi pada inflamasi plasenta.
Data dari rodensia dan kehamilan manusia menunjukkan efek proinflamasi dari
defisiensi vitamin D, vitamin A, zat besi dan folat pada plasenta, dengan keterlibatan
sitokin yang menonjol, terutama tumor necrosis factor (TNF) A, interleukin (IL)-6 dan
interferon (IFN)G. Efek serupa telah dijelaskan sebagai respons terhadap suplementasi
dengan asam folat dosis tinggi, disertai dengan peningkatan stres oksidatif.
Suplementasi vitamin D dapat menurunkan efek proinflamasi dari stimulasi inflamasi,
seperti lipopolisakarida (LPS), TNFA dan antibodi antifosfolipid (APS), sementara
bentuk suplementasi zat besi (ferous vs IPC (kompleks besi (III)-hidroksida
polymaltose dengan asam folat) menentukan apakah terdapat efek menguntungkan atau
merugikan pada inflamasi dan stres oksidatif yang disebabkan anemia.

Kesimpulan
Defisiensi mikronutrien lazim pada wanita hamil dan telah dikaitkan dengan
berbagai luaran buruk kehamilan. Meskipun demikian, RCT dari peneltian suplementasi
mikronutrien individu sering gagal menunjukkan perbaikan yang konsisten pada
sebagian besar luaran janin, dengan masalah umum mengenai power statistik yang tidak
adekuat, kualitas buruk, dan heterogenitas substansial yang diidentifikasi oleh kajian
sistematis. Sumber utama heterogenitas adalah karakteristik dasar populasi penelitian;
semua kajian sistematis memasukkan penelitian wanita hamil dengan defisiensi dan
non-defisiensi mikronutrien, dengan sangat sedikit melakukan subanalisis hanya pada
partisipan dengan defisiensi. Selain itu, banyak penelitian memasukkan partisipan
dengan komorbiditas, baik obstetri atau yang telah ada sebelumnya, yang menjadi efek
perancu lebih lanjut yang mempersulit analisis efek mikronutrien individu pada luaran
kehamilan.
Namun, bukti kuat untuk efek menguntungkan dari mikronutrien pada luaran
janin/neonatus berasal dari kajian sistematis suplementasi multi-mikronutrien (MMN),
yang menunjukkan penurunan insiden BBLR (RR 0.88 (0.85-0.91)) dan SGA (RR 0.92
(0.86-0.98)) (Haider dkk. 2013), yang menyebabkan rekomendasi untuk MMN untuk
mengganti suplementasi dengan mikronutrien individu (paling sering zat besi dan folat)
pada wanita hamil yang berisiko tinggi mengalami defisiensi. Efek menguntungkan dari
MMN mungkin karena interaksi antara mikronutrien dan fakta bahwa defisiensi
mikronutrien tunggal jarang terlihat secara terpisah (Haider dkk. 2013). Beberapa
interaksi telah dijelaskan dalam kajian ini, seperti antara folat dan mikronutrien mikro
lainnya, tetapi juga terdapat interaksi lain antara vitamin A, zat besi, dan zinc yang
berdampak pada bioavailabilitas nutrisi ini.
Terlepas dari masalah dengan penelitian klinis, penelitian mekanistik telah
mengidentifikasi efek signifikan defisiensi mikronutrien pada plasenta dan telah mulai
menguraikan jalur mekanistik yang dipengaruhi oleh mikronutrien. Model hewan in
vivo memberikan kesempatan untuk mencaritahu efek defisiensi maternal pada luaran
kehamilan di seluruh sistem tubuh, yang memungkinkan analisis efek pada
pertumbuhan dan kelangsungan hidup janin. Model-model ini lebih ekstrem daripada
skenario klinis dan memungkinkan manipulasi mikronutrien tunggal melalui deplesi
makanan atau gen KO dari komponen pensinyalan kunci, sembari mengendalikan faktor
perancu. Hal ini berguna untuk mengidentifikasi jalur aksi mekanistik, tetapi perlu
interpretasi yang cermat mengingat ko-eksistensi defisiensi mikronutrien yang
disebutkan sebelumnya, jalur pensinyalan umum (misalnya vitamin A dan D, vitamin
B) dan keterbatasan dalam perbandingan kehamilan rodensia dan manusia (termasuk
perbedaan dalam struktur plasenta, jumlah janin, dan lama kehamilan) (Bonney 2013).
Namun, ditambah dengan analisis in vitro dari plasenta manusia, penelitian ini
memungkinkan konstruksi hipotesis untuk diuji dalam penelitian klinis.
Mikronutrien yang dibahas memiliki aksi luas, dan hal ini tercermin dalam
berbagai efek pada plasenta. Namun, terdapat tema umum yaitu efeknya terhadap
inflamasi plasenta (Gambar 1), yang relevan dengan berbagai patologi kehamilan,
seperti FGR, PE dan lahir mati (Nadeau-Vallee dkk. 2016). Keempat mikronutrien yang
dipelajari dalam kajian ini memiliki efek imunomodulator, dan model in vitro/in vivo
untuk defisiensi telah menunjukkan efek proinflamasi dalam plasenta seperti upregulasi
sitokin proinflamasi (Antipatis dkk. 2002, Gambling dkk. 2009, Liu dkk. 2011, 2017,
Toblli dkk. 2012, Mikael dkk. 2013). Menariknya, suplementasi vitamin D dapat
memiliki efek antiinflamasi pada inflamasi plasenta yang diinduksi oleh stimulus lain,
seperti LPS, TNFA atau autoantibodi (Noyola-Martinez dkk. 2013, Barrera dkk. 2015,
Chen dkk. 2015b, Gysler dkk. 2015), yang menunjukkan penggunaan terapeutik pada
wanita non-defisiensi. Apakah vitamin A memiliki efek yang sama pada inflamasi
plasenta masih belum diteliti, tetapi kesamaan dalam jalur pensinyalan melalui RXR
memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Suplementasi zat besi dapat mengatasi efek
inflamasi dari anemia, tetapi hal ini tergantung pada bentuk yang digunakan (Toblli
dkk. 2012, 2013), dengan bentuk ferous memperburuk inflamasi dan stres oksidatif
pada model tikus. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya menjelaskan aksi
imunomodulator dan aksi lain dari mikronutrien pada plasenta, dan kontribusinya
terhadap disfungsi plasenta dan patologi kehamilan. penelitian klinis yang lebih kuat
dan kekuatan yang adekuat akan memungkinkan translasi pengetahuan dari hewan dan
penelitian eksperimental in vitro dan penargetan populasi obstetri yang lebih baik yang
paling mungkin mendapatkan manfaat dari suplementasi mikronutrien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achon M, Alonso-Aperte E, Reyes L, Ubeda N & Varela-Moreiras G 2000
High-dose folic acid supplementation in rats: effects on gestation and the
methionine cycle. British Journal of Nutrition 83 177–183. (https://doi.
org/10.1017/S0007114500000222)
2. Ahmed T, Fellus I, Gaudet J, MacFarlane AJ, Fontaine-Bisson B & Bainbridge
SA 2016 Effect of folic acid on human trophoblast health and function in vitro.
Placenta 37 7–15. (https://doi.org/10.1016/j. placenta.2015.11.012)
3. Anderson PH, May BK & Morris HA 2003 Vitamin D metabolism: new
concepts and clinical implications. Clinical Biochemist Reviews 24 13–26.
4. Antipatis C, Ashworth CJ, Riley SC, Hannah L, Hoggard N & Lea RG 2002
Vitamin A deficiency during rat pregnancy alters placental TNF‐α signalling and
apoptosis. American Journal of Reproductive Immunology 47 151–158.
(https://doi.org/10.1034/j.1600-0897.2002.1o049.x)
5. Baker PN, Wheeler SJ, Sanders TA, Thomas JE, Hutchinson CJ, Clarke K,
Berry JL, Jones RL, Seed PT & Poston L 2009 A prospective study of
micronutrient status in adolescent pregnancy. American Journal of Clinical
Nutrition 89 1114–1124. (https://doi.org/10.3945/ajcn.2008.27097)
6. Barrera D, Avila E, Hernández G, Halhali A, Biruete B, Larrea F & Díaz L 2007
Estradiol and progesterone synthesis in human placenta is stimulated by
calcitriol. Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology 103 529–532.
(https://doi.org/10.1016/j.jsbmb.2006.12.097)
7. Barrera D, Avila E, Hernández G, Méndez I, González L, Halhali A, Larrea F,
Morales A & Díaz L 2008 Calcitriol affects hCG gene transcription in cultured
human syncytiotrophoblasts. Reproductive Biology and Endocrinology 6 3.
(https://doi.org/10.1186/1477-7827-6-3)
8. Barrera D, Díaz L, Noyola-Martínez N & Halhali A 2015 Vitamin D and
inflammatory cytokines in healthy and preeclamptic pregnancies. Nutrients 7
6465–6490. (https://doi.org/10.3390/nu7085293)
9. Best CM, Pressman EK, Cao C, Cooper E, Guillet R, Yost OL, Galati J, Kent
TR & O’Brien KO 2016 Maternal iron status during pregnancy compared with
neonatal iron status better predicts placental iron transporter expression in
humans. FASEB Journal 30 3541–3550. (https://
doi.org/10.1096/fj.201600069R)
10. Bodnar LM & Simhan HN 2010 Vitamin D may be a link to black-white
disparities in adverse birth outcomes. Obstetrical and Gynecological Survey 65
273. (https://doi.org/10.1097/OGX.0b013e3181dbc55b)
11. Bonney EA 2013 Demystifying animal models of adverse pregnancy outcomes:
touching bench and bedside. American Journal of Reproductive Immunology 69
567–584. (https://doi.org/10.1111/ aji.12102)
12. Bukowski R, Malone FD, Porter FT, Nyberg DA, Comstock CH, Hankins GD,
Eddleman K, Gross SJ, Dugoff L & Craigo SD 2009 Preconceptional folate
supplementation and the risk of spontaneous preterm birth: a cohort study. PLoS
Medicine 6 e1000061. (https://doi. org/10.1371/journal.pmed.1000061)
13. Burton GJ & Jauniaux E 2018 Pathophysiology of placental-derived fetal
growth restriction. American Journal of Obstetrics and Gynecology 218 S745–
S761. (https://doi.org/10.1016/j.ajog.2017.11.577)
14. Cañete A, Cano E, Muñoz-Chápuli R & Carmona R 2017 Role of vitamin
A/retinoic acid in regulation of embryonic and adult hematopoiesis. Nutrients 9
159. (https://doi.org/10.3390/nu9020159)
15. Cao C & O’Brien KO 2013 Pregnancy and iron homeostasis: an update.
Nutrition Reviews 71 35–51. (https://doi.org/10.1111/j.1753-
4887.2012.00550.x)
16. Casanueva E & Viteri FE 2003 Iron and oxidative stress in pregnancy. Journal
of Nutrition 133 1700S–1708S. (https://doi.org/10.1093/jn/133.5.1700S)
17. Cetin I, Berti C, Mandò C & Parisi F 2011 Placental iron transport and maternal
absorption. Annals of Nutrition and Metabolism 59 55–58.
(https://doi.org/10.1159/000332133)
18. Chan SY, Susarla R, Canovas D, Vasilopoulou E, Ohizua O, McCabe CJ,
Hewison M & Kilby MD 2015 Vitamin D promotes human extravillous
trophoblast invasion in vitro. Placenta 36 403–409. (https://doi.
org/10.1016/j.placenta.2014.12.021)
19. Chelstowska S, Widjaja-Adhi MAK, Silvaroli JA & Golczak M 2016 Molecular
basis for vitamin A uptake and storage in vertebrates. Nutrients 8 676.
(https://doi.org/10.3390/nu8110676
20. Chen Y-H, Yu Z, Fu L, Wang H, Chen X, Zhang C, Lv Z-M & Xu D-X 2015a
Vitamin D3 inhibits lipopolysaccharide-induced placental inflammation through
reinforcing interaction between vitamin D receptor and nuclear factor kappa B
p65 subunit. Scientific Reports 5 10871. (https://doi. org/10.1038/srep10871)
21. Chen YH, Yu Z, Fu L, Xia MZ, Zhao M, Wang H, Zhang C, Hu YF, Tao FB &
Xu DX 2015b Supplementation with vitamin D3 during pregnancy protects
against lipopolysaccharide-induced neural tube defects through improving
placental folate transportation. Toxicological Sciences 145 90–97.
(https://doi.org/10.1093/toxsci/kfv036)
22. Chou JY 1982 Effects of retinoic acid on differentiation of choriocarcinoma
cells in vitro. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 54 1174–1180.
(https://doi.org/10.1210/jcem-54-6-1174)
23. Christensen KE, Hou W, Bahous RH, Deng L, Malysheva OV, Arning E,
Bottiglieri T, Caudill MA, Jerome-Majewska LA & Rozen R 2016 Moderate
folic acid supplementation and MTHFD1-synthetase deficiency in mice, a model
for the R653Q variant, result in embryonic defects and abnormal placental
development, 2. American Journal of Clinical Nutrition 104 1459–1469.
(https://doi.org/10.3945/ajcn.116.139519)
24. Clagett-Dame M & Knutson D 2011 Vitamin A in reproduction and
development. Nutrients 3 385–428. (https://doi.org/10.3390/nu3040385)
25. Cleal J, Day P, Simner C, Barton SJ, Mahon PA, Inskip H, Godfrey K, Hanson
M, Cooper C & Lewis RM 2015 Placental amino acid transport may be
regulated by maternal vitamin D and vitamin D-binding protein: results from the
Southampton Women’s Survey. British Journal of Nutrition 113 1903–1910.
(https://doi.org/10.1017/S0007114515001178)
26. Cordero AM, Crider KS, Rogers LM, Cannon MJ & Berry RJ 2015 Optimal
serum and red blood cell folate concentrations in women of reproductive age for
prevention of neural tube defects: World Health Organization guidelines.
Morbidity and Mortality Weekly Report 64 421–423.
27. Cox SE, Arthur P, Kirkwood BR, Yeboah-Antwi K & Riley EM 2006 Vitamin
A supplementation increases ratios of proinflammatory to anti-inflammatory
cytokine responses in pregnancy and lactation. Clinical and Experimental
Immunology 144 392–400. (https://doi.org/10.1111/ j.1365-2249.2006.03082.x)
28. Cueto SM, Romney AD, Wang Y & Walsh SW 1997 β-Carotene attenuates
peroxide-induced vasoconstriction in the human placenta. Journal of the Society
for Gynecologic Investigation 4 64–71. (https://doi.
org/10.1177/107155769700400203)
29. Darnton-Hill I & Mkparu UC 2015 Micronutrients in pregnancy in low-and
middle-income countries. Nutrients 7 1744–1768. (https://doi.
org/10.3390/nu7031744)
30. de Benoist B 2008 Conclusions of a WHO Technical Consultation on folate and
vitamin B12 deficiencies. Food and Nutrition Bulletin 29 S238– S244.
(https://doi.org/10.1177/15648265080292S129)
31. De-Regil LM, Peña‐Rosas JP, Fernández‐Gaxiola AC & Rayco‐Solon P 2015
Effects and safety of periconceptional oral folate supplementation for preventing
birth defects. Cochrane Database of Systematic Reviews CD007950.
(https://doi.org/10.1002/14651858.CD007950.pub3)
32. De-Regil LM, Palacios C, Lombardo LK & Pena-Rosas JP 2016 Vitamin D
supplementation for women during pregnancy. Cochrane Database of
Systematic Reviews CD008873. (https://doi.org/10.1002/14651858.
CD008873.pub2)
33. Di Simone N, Riccardi P, Maggiano N, Piacentani A, D’Asta M, Capelli A &
Caruso A 2004 Effect of folic acid on homocysteine-induced trophoblast
apoptosis. Molecular Human Reproduction 10 665–669. (https://doi.
org/10.1093/molehr/gah091)
34. Duggan C, Srinivasan K, Thomas T, Samuel T, Rajendran R, Muthayya S,
Finkelstein JL, Lukose A, Fawzi W & Allen LH 2014 Vitamin B-12
supplementation during pregnancy and early lactation increases maternal, breast
milk, and infant measures of vitamin B-12 status, 2. Journal of Nutrition 144
758–764. (https://doi.org/10.3945/ jn.113.187278)
35. Dwarkanath P, Barzilay JR, Thomas T, Thomas A, Bhat S & Kurpad AV 2013
High folate and low vitamin B-12 intakes during pregnancy are associated with
small-for-gestational age infants in South Indian women: a prospective
observational cohort study. American Journal of Clinical Nutrition 98 1450–
1458. (https://doi.org/10.3945/ajcn.112.056382)

Anda mungkin juga menyukai