Anda di halaman 1dari 43

Paper dan Soal Pretest

“Pelaksanaan Surveilans Penyakit Menular”

Dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Surveilans Kesehatan Masyakarat yang
diampu oleh :

Nur Siyam, S.KM., M.P.H.


Disusun oleh :
1. Zahrotun Nisak (6411417033)
2. Tri Sofiyani (6411417039)
3. Naila Rizqi Haqiyah (6411417044)
4. Okta Mega Gres Endika (6411417049)
5. Ajeng Fitria Utami (6411417055)
6. Florentina Dian Rosela (6411417060)

Rombel 2

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
PELAKSANAAN SURVEILANS PENYAKIT MENULAR

HIV

1. LATAR BELAKANG PELAKSANAAN SURVEILANS SENTINEL


HIV
Surveilans Sentinel HIV (SSH) adalah suatu cara pengamatan
terhadap epidemi HIV melalui pengumpulan data HIV dan pemeriksaan
serum darah. Surveilans Sentinel HIV merupakan salah satu komponen
utama surveilans HIV generasi kedua di Indonesia. Surveilans generasi
kedua merupakan suatu cara pengamatan melalui proses pengumpulan dan
analisis data untuk melacak perjalanan epidemi HIV dengan
mengidentifikasi dimana (pada populasi apa) infeksi baru kemungkinan
besar akan muncul dan dengan menilai beban masalah kesehatan akibat
epidemi pada saat ini. Metode surveilans generasi kedua mencakup survei
untuk memperkirakan besarnya populasi kunci yang memiliki risiko
biologis dan perilaku yang tinggi, surveilans berbasis fasilitas kesehatan,
dan pelaporan dan monitoring data yang rutin.
Pelaksanaan surveilans epidemiologi termasuk Surveilans Sentinel
HIV tingkat pusat, berada dibawah tangung jawab Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL).
Meskipun kegiatan surveilans HIV berada dalam koordinasi kewenangan
pemerintah pusat, akan tetapi upaya kegiatan penanggulangan HIV dan
pemanfaatan data surveilans dapat dilakukan secara bersama dengan
pemerintah daerah serta pihak terkait lainnya.
Sentinel berarti gardu jaga, sementara surveilans sentinel berarti
pengamatan pada populasi sentinel untuk memantau prevalensi beberapa
penyakit tertentu, termasuk HIV dan Sifilis. Hal ini biasanya lebih mudah
dan efektif dibandingkan memantau prevalensi pada masyarakat umum.
Populasi sentinel merupakan populasi yang memiliki perilaku berisiko
tinggi terhadap penularan HIV. Populasi ini dipilih berdasarkan sub-
populasi sasaran dan lokasi tertentu, serta sudah ditentukan jumlah sampel
yang akan diperiksa. Selain pemeriksaan darah HIV, pelaksanaan surveilans
sentinel HIV ini juga mengumpulkan data tentang karakteristik demografi
dan beberapa data tentang perilaku berisiko.
Pendekatan dan pelaksanaan surveilans HIV ditentukan oleh
perkembangan dan tingkat epidemi HIV. Secara fase epidemiologis,
perkembangan dan tingkat epidemi HIV di seluruh dunia dapat dibagi
menjadi 3 fase, dimana setiap fasenya memiliki fokus kegiatan surveilans.
Ketiga fase epidemi dan kebutuhan surveilansnya dapat dijelaskan sebagai
berikut

2. TUJUAN SURVEILANS SENTINEL HIV (SSH)


Tujuan Surveilans Sentinel HIV adalah:
a. Memperkirakan laju epidemi dan kecenderungan infeksi HIV disuatu
wilayah.
b. Memantau seroprevalensi HIV pada sub-populasi tertentu.
c. Memantau kecenderungan prevalensi infeksi HIV berdasarkan tempat
dan waktu.
d. Menyediakan data untuk estimasi dan proyeksi kasus HIV dan AIDS di
Indonesia.
3. PRINSIP PELAKSANAAN SURVEILANS SENTINEL HIV (SSH)
Pelaksanaan surveilans sentinel harus dilakukan dengan mengacu
kepada beberapa prinsip (yang sangat terkait dengan beberapa
pertimbangan metodologis dan etika) sebagai berikut:
1) Tes Secara Sukarela dan Rahasia
Individu yang ditawarkan untuk berpartisipasi harus
memberikan informed consent dan diyakinkan bahwa tidak ada
konsekuensi negatif yang akan terjadi jika mereka menolak untuk
berpartisipasi. Hasil tes harus diberikan dengan cara sedemikian
rupa, sehingga peserta tidak perlu mengungkapkan status mereka
kepada orang lain, kecuali mereka memilih untuk membuka
statusnya. Terkait dengan kerahasiaan status infeksi (yang akan juga
berpengaruh kepada tingkat partisipasi populasi target surveilans
dan validitas data surveilans), pelaksanaan surveilans sentinel dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan yang bersifat anonymous,
yaitu tanpa disertai identitas subyek sama sekali (anonim) atau yang
bersifat confidential, yaitu dapat disertai identitas namun sangat
dijaga kerahasiaannya.
Secara rinci, berikut ini merupakan beberapa pendekatan
pemeriksaan HIV:
1. Unlinked anonymous tanpa informed consent
 Sampel darah dikumpulkan secara teratur untuk tujuan
pemeriksaan lain (biasanya Sifilis di klinik KIA).
 Spesimen untuk pemeriksaan HIV diberikan kode unik
(tanpa identitas atau nama), sehingga tidak bisa
dihubungkan/ditelusuri ke pemilik spesimen.
 Informed consent tidak diperlukan.
 Tidak ada konseling karena hasil tes tidak bisa
dihubungkan dengan pemilik spesimen.
 Algoritma pemeriksaan menggunakan strategi-2 (artinya
menggunakan 2 jenis reagen yang berbeda; dengan
syarat reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%
dan reagen kedua harus memiliki spesivitas >98%).
2. Unlinked anonymous dengan informed consent
 Sampel darah dikumpulkan dan pemeriksaan dilakukan
untuk tujuan surveilans.
 Spesimen untuk pemeriksaan HIV diberikan kode unik
(tanpa identitas atau nama), sehingga tidak bisa
dihubungkan/ditelusuri ke pemilik spesimen.
 Informed consent diperlukan.
 Tidak ada konseling karena hasil tes tidak bisa
dihubungkan dengan pemilik spesimen.
 Algoritma pemeriksaan menggunakan strategi-2.
3. Linked anonymous dengan informed consent tanpa
pemberitahuan hasil
 Hasil pemeriksaan darah tidak diberitahukan kepada
pemilik spesimen, tetapi dapat dihubungkan dengan
karakteristik lain pemilik sampel, seperti: karakteristik
demografis, perilaku, status IMS, dsb.
 Informed consent diperlukan.
 Spesimen diberikan kode unik (tanpa identitas atau
nama).
 Tidak ada konseling karena hasil tes tidak dikembalikan
ke pemilik spesimen.
 Algoritma pemeriksaan menggunakan strategi-2.
 Hasil tes yang reaktif atau indeterminate akan dirujuk ke
layanan KT (Konseling dan Tes). Oleh karena itu, harus
disiapkan rujukan ke layanan KT atau fasilitas tes
independent lainnya.
4. Linked anonymous dengan informed consent dan dengan
pemberitahuan hasil
 Hasil pemeriksaan darah dapat dihubungkan dengan
karakteristik lain pemilik sampel, seperti: karakteristik
demografis, perilaku, status IMS, dsb.
 Informed consent diperlukan.
 Spesimen diberikan kode unik (tanpa identitas atau
nama).
 Hasil pemeriksaan darah dapat diberitahukan kepada
pemilik spesimen dengan menggunakan kode unik,
sehingga hanya pemilik spesimen yang dapat mengambil
hasil tesnya.
 Konseling pra dan pasca tes harus dilakukan karena hasil
tes dikembalikan ke pemilik spesimen.
 Algoritma pemeriksaan menggunakan strategi-3 (artinya
menggunakan 3 jenis reagen yang berbeda; dengan
syarat reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%,
reagen kedua harus memiliki spesivitas >98%, dan
reagen ketiga harus memiliki spesivitas >99%).
5. Linked confidential dengan informed consent
 Pengumpulan darah dan pemeriksaan spesimen biasanya
ditujukan khusus untuk pemeriksaan HIV pada sub-
populasi yang sulit diakses melalui fasilitas kesehatan
klinik, seperti: WPS, waria, LSL, penasun, dan populasi
umum yang umumnya dijangkau melalui survei.
 Ada data identifikasi personal atau nama.
 Kode spesimen dapat dihubungkan dengan
identitas/informasi personal pemilik spesimen.
 Informed consent harus digunakan.
 Konseling pra dan pasca tes harus dilakukan.
 Algoritma pemeriksaan menggunakan strategi-3.
Pemeriksaan HIV akan menggunakan pendekatan linked
anonymous pada hampir semua kelompok populasi sentinel sebagai
berikut:
- WPS L (Wanita Pekerja Seks Langsung)
- WPS TL (Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung)
- LSL (Laki-Laki Seks dengan Laki-Laki)
- Waria
- Penasun (Pengguna Napza Suntik)
- WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) Khusus Narkotika g.
Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM)
- Anak Buah Kapal (ABK)/Pelaut/Nelayan
Namun, terdapat 2 populasi yang menggunakan pendekatan
unlinked anonymous:
- Laki-Laki Pengunjung Klinik IMS (Infeksi Menular Seksual)
- Ibu Hamil Pengunjung Klinik KIA (Kesehatan Ibu dan Anak)
2) Pengembalian Hasil Tes
Karena pentingnya manfaat untuk mengetahui status HIV
seseorang, maka responden harus diberi kesempatan untuk
mengakses hasil tes mereka tepat waktu, sehingga mereka dapat
mengakses perawatan dini, pengobatan, dan pencegahan terkait
morbiditas AIDS dan yang berpotensi kematian. Pengembalian hasil
tes HIV menjadi pilihan responden, namun untuk konseling pra-tes
dilakukan dengan cara memberikan KIE (Komunikasi, Informasi,
dan Edukasi) secara berkelompok agar responden menyadari
manfaat mengetahui status HIV mereka.
3) Akses ke Perawatan dan Pengobatan Jika Didiagnosis sebagai HIV
Positif
Individu yang didiagnosis sebagai HIV atau Sifilis positif
harus diberikan informasi dan rujukan ke layanan untuk perawatan
dan/atau pengobatan. Konseling pasca-tes harus mencakup
informasi spesifik dan bantuan tentang cara mengakses perawatan
dan pengobatan, seperti halnya standar perawatan bagi masyarakat
umum.
4) Ketersediaan Tes Rutin HIV dan Sifilis di Layanan Rujukan untuk
Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan bagi Ibu Hamil
Pengunjung Klinik KIA Dimasukkan sebagai Lokasi Surveilans
Sentinel
4. METODOLOGI PELAKSANAAN SURVEILANS SENTINEL HIV
(SSH)
1) Populasi Sentinel
Populasi sentinel adalah sub-populasi khusus yang menjadi target
pengamatan terus- menerus pada lokasi tertentu untuk memantau
pekembangan epidemi, baik pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi, maupun berperilaku risiko rendah, atau yang ada diantara
keduanya (bridging population).
2) Kriteria Inklusi
Calon responden belum pernah terpilih sebagai responden dalam
periode SSH tahun berjalan dan/atau survei sejenis dalam 3 bulan
terakhir, serta berada di lokasi sentinel.
 WPS Langsung (WPS L)
WPS yang berumur 15 tahun atau lebih yang telah menjual
seks paling tidak dengan seorang pelanggan dalam satu bulan
terakhir.
 WPS Tidak Langsung (WPS TL)
WPS yang berumur 15 tahun atau lebih yang merupakan
pekerja dari tempat usaha terpilih (bar/panti pijat, dsb), dan
menjual seks dalam satu bulan terakhir paling tidak dengan
seorang pelanggan.
 Waria
Waria berumur 15 tahun atau lebih yang berhubungan seks
anal dengan laki-laki dalam setahun terakhir.
 Laki-Laki Seks dengan Laki-Laki (LSL)
LSL yang berumur 15 tahun atau lebih yang berhubungan
seks anal dengan laki-laki dan/ atau waria dalam setahun
terakhir.
 Pengguna Napza Suntik (Penasun)
Penasun pria dan wanita berumur 15 tahun atau lebih yang
menyuntikkan napza dalam satu tahun terakhir.
 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas Narkotika
WBP pria dan wanita berumur 15 tahun atau lebih yang
sudah divonis menjalani hukuman dan berada di lapas khusus
narkotika yang terpilih sebagai lokasi sentinel.
 Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM)
TKBM berusia 15 tahun atau lebih yang ada di pelabuhan
laut yang terdapat Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
 Anak Buah Kapal (ABK)/Pelaut/Nelayan
ABK berusia 15 tahun atau lebih yang ada di pelabuhan laut
yang terdapat Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
 Laki-Laki Pengunjung Klinik IMS
Laki-laki berumur 15 tahun atau lebih yang berkunjung ke
klinik atau poliklinik fasilitas layanan kesehatan (seperti: rumah
sakit dan puskesmas) pemerintah dan/atau swasta yang terpilih
sebagai lokasi sentinel, untuk mendapatkan pengobatan karena
keluhan atau gangguan pada organ kelaminnya.
 Ibu Hamil Pengunjung Klinik KIA
Wanita hamil yang berkunjung pertama kali ke klinik
KIA/KB yang terpilih sebagai lokasi sentinel di wilayah
perkotaan selama periode SSH dan belum pernah diambil
darahnya untuk keperluan SSH.
3) Pemilihan Lokasi Surveilans Sentinel HIV (SSH)
Di Indonesia, lokasi surveilans sentinel HIV inti untuk setiap
populasi sentinel telah ditentukan bersama antara Kementerian
Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan wilayah geografis dalam batas administrasi
kabupaten/kota. Lokasi sentinel dapat berubah dari waktu ke waktu,
namun batas geografis dan definisi lokasi sentinel, termasuk kerangka
sampling harus konsisten dalam setiap putaran. Sebagai contoh,
misalnya perubahan lokasi sentinel WPS dari lokalisasi ke rumah kos
atau perluasan lokasi sentinel LSL, bukan hanya cafe/pub, tetapi juga
apartemen atau rumah kos.
4) Besar Sampel Populasi Sentinel
Perkiraan ukuran sampel untuk SSH tergantung dari rancangan
sampling dan prevalensi HIV yang diperkirakan pada populasi target
yang akan dipilih.

5) Rancangan Sampling
Rancangan atau metode sampling yang digunakan dapat berbeda-
beda untuk setiap populasi sentinel, sebagaimana dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
a. Simple Random Sampling (SRS)
Simple Random Sampling (SRS) atau sampling acak sederhana
merupakan bentuk probability sampling yang paling sederhana,
namun paling representatif/mewakili.
b. Systematic Sampling (SS)
Subyek dipilih berdasarkan interval yang teratur dari kerangka
sampel. Metode ini terkadang digabung dengan metode lain.
c. Stratified Sampling (Srat-S)
Grup populasi dengan karakteristik tertentu yang relatif homogen
(misal penduduk urban dan rural, beberapa kelompok umur yang
berbeda, beberapa kelompok populasi berisiko, dll) diupayakan
terwakili dalam sampel, dengan cara membagi kerangka sampel
dalam beberapa grup dari karateristik tertentu atau strata dan
kemudian memilih sampel (secara acak atau sistematik) pada setiap
stratum.
d. Multistage Cluster Sampling (MCS)
Metode ini dipakai untuk memilih secara acak, unit studi yang
berupa kelompok yang disebut cluster. Cluster bisa berupa
kelompok individu yang terbentuk berdasarkan batasan
wilayah/geografis (seperti desa, kelurahan, kabupaten, dll) atau
kelompok organisasi atau institusi (seperti: klinik, RS, puskesmas,
bar/klub, wisma lokalisasi, dll). Pada metode ini, sampling
dilakukan dalam 2 atau lebih tahapan, dan biasanya menggunakan
lebih dari satu macam metode sampling.
e. Time-Location Sampling (TLS)
TLS adalah sebuah metode yang telah digunakan secara luas untuk
mengambil sampel dari suatu populasi yang bersifat mengambang
“floating”, artinya kecil kemungkinannya untuk dapat ditemukan
oleh pencacah di tempat yang tetap. Selain itu, TLS juga diterapkan
untuk jenis populasi yang sering bergerak (mobile). Di dalam TLS,
Primary Sampling Unit (PSU)-nya adalah kombinasi antara lokasi
dan waktu. Kombinasi antara lokasi dan waktu inilah yang dianggap
sebagai cluster. Lokasi yang sama bisa dimasukkan ke dalam
kerangka sampel lebih dari sekali, tetapi dengan slot waktu yang
berbeda.
f. Respondent Driven Sampling (RDS)
Metode RDS ini merupakan bagian dari rancangan sampling
rujukan berantai (Chain Referral Sampling/CRS), seperti halnya
Snowball Sampling dan Network Sampling. RDS adalah sebuah
rancangan sampling secara jemput bola berdasarkan pada kuota
perekrutan (yang menghindari perekrutan keseluruhan sampel dari
sejumlah individu yang terbatas) dan insentif rangkap untuk
memotivasi perekrut dan yang direkrut.
g. Covenience Sampling
Covenience Sampling adalah proses memilih sampel dengan cara
yang dirasakan mudah untuk mendapatkan/menjangkau sampel
terebut atau dengan cara yang nyaman bagi peneliti.
6) Alur Penyusunan Kerangka Sampel

5. ORGANISASI DAN PENGUMPULAN DATA


1) Pengorganisasian, Tugas, dan Tanggung Jawab Sumber Daya Manusia
(SDM)
Di setiap kabupaten/kota pelaksana SSH, petugas yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan sampai
putaran SSH berakhir perlu ditentukan dan ditunjuk oleh Kepala Dinas
Kesehatan. Sebaiknya, petugas tersebut merupakan pejabat struktural
yang menangani program HIV-AIDS. Oleh karena itu, sangat penting
untuk dapat mengidentifikasi SDM yang ada, menentukan peran dan
tanggung jawab, serta memberikan pelatihan yang baku agar kualitas
pelaksanaan SSH dapat terjaga dengan baik. Komposisi petugas dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.

2) Manajemen Spesimen
Spesimen darah diambil dari masing-masing populasi sentinel
sesuai dengan reagen yang digunakan untuk pemeriksaan HIV. Cara
pengambilan spesimen harus memperhatikan prinsip-prinsip
kewaspadaan universal. Secara umum, spesimen bisa diambil dengan 2
(dua) cara, yaitu: 1. Spesimen yang berasal dari spesimen untuk
pemeriksaan lain: pisahkan satu aliquot (bagian kecil) dari spesimen
tersebut kedalam botol serum tersendiri. 2. Spesimen yang berasal dari
spesimen yang khusus diambil untuk pemeriksaan HIV: tidak perlu
dipisahkan, tetapi langsung diperiksa.
3) Manajemen Pajanan dan Kecelakaan Kerja
Kewaspadaan standar harus diikuti oleh seluruh petugas kesehatan
karena kita tidak bisa menghindari prosedur yang dapat menimbulkan
risiko infeksi kepada petugas dan responden, namun kita dapat
mencegah penularannya dalam berbagai kegiatan.
4) Kegiatan Pengumpulan Data Perilaku
Pada SSH, salah satu pengumpulan data yang dilakukan adalah
pengumpulan data primer yang menggunakan metode wawancara
berkaitan dengan perilaku responden, yang disebut Survei Cepat
Perilaku (SCP). Oleh karena itu, perlu dipahami secara baik dan benar
tentang metode wawancara pada pengumpulan data perilaku, agar
memperoleh hasil berupa data dan/atau informasi yang diharapkan
sesuai dengan tujuan SSH.
Wawancara adalah tanya jawab antara pewawancara dan yang
diwawancara dengan maksud memperoleh data untuk keperluan
tertentu. Pada pengumpulan data perilaku SSH, yang diwawancara
adalah responden yang telah ditentukan berdasarkan metodologi
sampling. Wawancara digunakan sebagai metode pengumpulan data
untuk mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari responden, dengan
jumlah responden yang sedikit. Pada SSH, karena jumlah responden
cukup banyak, maka diperlukan beberapa pewawancara yang akan
melakukan wawancara secara tatap muka (face to face). Oleh karena
itu, diperlukan pelatihan yang standar agar setiap pewawancara
memiliki persepsi yang sama, serta ketrampilan mewawancarai
responden. Metode wawancara yang digunakan adalah dengan
menggunakan kuesioner yang terstruktur dan formal yang telah
dibakukan secara nasional. Dengan wawancara terstruktur ini setiap
responden diberikan pertanyaan yang sama, sementara pewawancara
mencatat jawabannya
6. MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA
1) Alur Pelaporan Data
Pelaporan data SSH, baik data perilaku maupun biologis perlu diatur
dalam sebuah alur yang memadai. Penentuan alur pelaporan
dimaksudkan agar dapat menjamin kualitas data dan informasi yang
dihasilkan sehingga tujuan dilaksanakannya survei dapat terpenuhi
dengan baik. Alur pelaporan data SSH harus dikelola dengan, baik mulai
dari tahap pengumpulan data, pengolahan dan analisa data, hingga
tersedianya informasi yang siap untuk dimanfaatkan oleh seluruh pihak
yang berkepentingan.
Gambar berikut ini menunjukkan skema alur pelaporan data
surveilans sentinel HIV dan sifilis mulai dari data dikumpulkan sampai
dengan dihasilkannya informasi yang siap untuk dimanfaatkan.

2) Manajemen Data Biologis (Memasukkan Data Biologis pada SIHA


Online)
Data biologis dalam SSH adalah seluruh data yang diperoleh dari
hasil pemeriksaan laboratorium pada spesimen biologis yang telah
dikumpulkan. Data hasil pemeriksaan dicatat oleh petugas laboratorium
pada formulir yang telah disediakan.
Formulir data biologis/hasil pemeriksaan SSH dapat dilihat di lampiran
4. Formulir dan Petunjuk Pengisian Pencatatan Bbiologis SSH
(Formulir SENTINEL01 dan Formulir SENTINEL02).
Setelah formulir terisi, maka data sudah siap untuk diinput kedalam
SIHA online dengan alamat web: www.siha.depkes.go.id
3) Manajemen Data Perilaku
Manajemen data adalah suatu proses kegiatan mengubah data yang
telah terkumpul menjadi suatu bentuk yang siap untuk dianalisis. Data
perilaku dalam SSH ini adalah data hasil wawancara terstruktur
terhadap responden dengan alat bantu kuesioner.
4) Analisis Data
Setelah kita selesai melakukan pengolahan data, maka langkah
selanjutnya adalah menganalisis data. Data mentah (raw data) yang
sudah dikumpulkan, tidak akan ada artinya jika tidak dianalisis. Analisis
data merupakan kegiatan yang sangat penting, karena melalui proses
analisis, maka suatu data dapat dicari arti/makna dari fenomena yang
diamati, sehingga dapat menjawab tujuan kegiatan.
Bentuk atau jenis analisis data biasanya disesuaikan dengan tujuan
analisis dan sifat dari variabel data yang akan dianalisis. Analisis data
bertujuan untuk melihat atau mengukur variabel-variabel yang dapat
menggambarkan suatu masalah kesehatan dan jika diperlukan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta
bagaimana data yang ada dapat menghasilkan informasi yang
dibutuhkan.
5) Penyajian, Interpretasi, dan Pemanfaatan Data
Penyajian data adalah proses membuat penampilan data yang sudah
dianalisis kedalam bentuk-bentuk tertentu, agar mudah dibaca atau
dimengerti oleh para pengguna data dan/ atau pengambil keputusan.
Bentuk-bentuk penyajian data antara lain: tabel data, Grafik atau
Diagram, Grafik Garis atau Kurva, Diagram Lingkaran (Pie Diagram),
Diagram Tebar (Scatter Diagram/Plot),

7. LAPORAN SURVEILANS SENTINEL HIV


Umpan balik dan diseminasi informasi hasil SSH dikemas dalam bentuk
Laporan Surveilans Sentinel HIV.
1) Tujuan dan Manfaat Laporan
Tujuan penyusunan laporan kegiatan surveilans sentinel HIV,
diantaranya adalah :
• Diperolehnya dokumentasi kegiatan yang telah dilaksanakan.
• Disediakannya bukti kinerja program dalam pelaksanaan kegiatan
Surveilans Sentinel HIV.
Sedangkan manfaat dari pelaporan diantaranya adalah dapat digunakan
sebagai :
• Pertanggungjawaban.
• Dasar pengambilan kebijakan.
• Bahan studi bagi orang lain.
2) Sistematika
Sistematika penulisan laporan sebaiknya disusun secara teratur,
sehingga dapat dengan mudah untuk dipahami. Urutan/sistematika
laporan, antara lain sebagai berikut:
Ringkasan Eksekutif
I. Pendahuluan
II. Gambaran umum
III. Hasil kegiatan
IV. Kesimpulan

Ringkasan Eksekutif Berisikan uraian singkat tentang :

1. Kegiatan surveilans sentinel HIV dan Sifilis.


2. Tujuan dari kegiatan surveilans sentinel HIV dan Sifilis.
3. Sasaran kegiatan surveilans sentinel HIV dan Sifilis.
4. Hasil kegiatan surveilans sentinel HIV dan Sifilis.
5. Interpretasi hasil kegiatan dan tindak lanjut yang diperlukan
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
• Peraturan perundang-undangan yang relevan dengan HIV dan
Sifilis. • Besaran masalah yang berkaitan dengan HIV dan Sifilis.
2. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari kegiatan surveilans sentinel HIV
dan Sifilis.
II. Gambaran Umum
1. Deskripsi kegiatan surveilans sentinel HIV dan Sifilis
• Sumber dana
• Lokasi kegiatan, dsb
3. Sasaran kegiatan Sasaran yang hendak dicapai melalui kegiatan
surveilans sentinel HIV dan Sifilis.
4. Pelaksanaan kegiatan • Proses • Penyerapan anggaran • Dan
sebagainya (gunakan tabel jika perlu)
III. Hasil Kegiatan
1. Survei Cepat Perilaku
Menyajikan hasil analisis data perilaku, yang dapat berupa
distribusi frekuensi dari masing-masing variabel dalam survei
yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dsb.
2. Survei Biologis (HIV dan Sifilis)
Menyajikan hasil analisis data biologis.
3. Keterkaitan antara data perilaku dengan data biologis (jika
diperlukan) Menyajikan hasil analisis data, misalkan tabel hubungan
antara variabel perilaku dengan variabel biologis.
IV. Kesimpulan
Proses penarikan kesimpulan merupakan suatu hasil transformasi
berdasarkan hasil analisis dan bahasan yang telah dilakukan.
Kesimpulan dimaksudkan untuk menjawab tujuan dilaksanakannya
kegiatan surveilans sentinel HIV dan Sifilis.

8. MONITORING DAN EVALUASI


1) Monitoring
Monitoring merupakan pengawasan rutin terhadap informasi
penting dari kegiatan SSH yang sedang dilaksanakan dan hasil-hasil
program yang harus dicapai. Pada pelaksanaan SSH, monitoring
dilakukan melalui sistem pencatatan dan pelaporan. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Dinas Kesehatan Provinsi, Laboratorium (BLK/BBLK/Labkesda/
laboratorium lain yang ditunjuk), Subdit AIDS & PMS, dan instansi
lain yang terlibat. Bila terdapat kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan
pencatatan dan pelaporan, maka dapat dilakukan pemantauan dan
pembinan teknis secara berjenjang. Direktorat P2ML Subdit AIDS&
PMS akan melakukan pembinaan teknis terhahap Dinkes Provinsi, dan
Dinkes Provinsi akan melakukan hal yang sama terhadap Dinkes
Kabupaten/Kota. Sementara, Direktorat Laboratorium Kesehatan
bertanggung jawab memantau kegiatan pemeriksaan spesimen yang
dilakukan oleh BLK/BBLK/ Labkesda/laboratorium lain yang ditunjuk.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kegiatan SSH adalah:
1. Indikator Proses:
Semua kegiatan yang tercantum pada petunjuk teknis harus
dimasukkan kedalam daftar tilik pada saat supervisi, dan menjadi
indikator proses.
2. Indikator Output:
• Pencapaian populasi sentinel sesuai rencana berdasarkan sasaran
dan lokasi.
• Ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan.
• Ketepatan waktu pelaporan hasil kegiatan.
2) Evaluasi
Biasanya evaluasi program dilakukan pada akhir suatu kegiatan, akan
tetapi karena SSH merupakan kegiatan yang berkesinambungan, maka
evaluasi diadakan pada setiap akhir tahun anggaran, bersamaan dengan
penyusunan rencana aksi tahun berikutnya. Evaluasi kegiatan SSH
dilakukan pada tahap input, proses pelaksanaan, dan output.
1. Tahap Input
Pemegang program HIV dari semua tingkat admisnistratif perlu
mengevaluasi berbagai kebutuhan. Petugas tersebut perlu
melaksanakan kerangka sampel yang benar dan pelaksanaan
pemetaan lokasi sentinel. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
jumlah petugas kesehatan yang bermutu, materi dan peralatan, serta
biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan lapangan. Selain itu,
perlu diantisipasi masalah-masalah yang mungkin timbul dalam
pelaksanaan di lapangan.
2. Tahap Proses
Evaluasi proses pelaksanaan perlu dilakukan untuk mengetahui
efektivitas pelaksanaan kegiatan. Pada tahap ini, evaluasi dilakukan
terhadap “siapa melakukan apa dan bagaimana caranya”. Evaluasi
ini dilakukan untuk semua petugas yang dilibatkan, seperti: petugas
pencatatan dan pelaporan, petugas laboratorium, dsb. Contoh:
Apakah petugas pengambil spesimen darah telah menggunakan
prosedur yang benar dan telah melakukan pengkodean pada setiap
tabung vacuntainer yang berisi spesimen darah.
3. Tahap Output
Evaluasi output mencerminkan evaluasi terhadap kegunaan data,
kualitas data, dan cakupan SSH. Evaluasi terhadap kegunaan hasil
surveilans dilakukan dengan mengintrepretasikan
tren/kecenderungan prevelans HIV pada populasi sentinel yang
diamati oleh setiap tingkat administrasi. Sementara, evaluasi
terhadap kualitas data SSH dilakukan untuk mengetahui seberapa
valid data yang dihasilkan dari kegiatan SSH tersebut, namun
evaluasi tahap ini lebih dititikberatkan pada proses pelaksanaan
kegiatan.
PELAKSANAAN SURVEILANS PENYAKIT MENULAR

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

A. Demam Berdarah Dengue (DBD)


1. Definisi DBD
Penyakit DBD adalah suatu penyakit menular yang penyakit menular
yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti,
yang dapat menyerang semua umur, terutama anak-anak. (Ditjen PPM & PL
Depkes RI, 2003).
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever
(DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family
Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat
serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini
secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda tergantung dari
serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara
tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi
klinik yang berbeda. (Suharti, 2002)

2. Tanda dan Gejala DBD


Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba,
disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia)
dan ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang, petekial
dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia
menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut
bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah
atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu
disikapi dengan pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga dan
harus segera konsultasi ke Dokter apabila pasien atau penderita mengalami
demam tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak penderita atau keluarga penderita
mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan gejala-gejala tersebut.
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari
dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Secara
klinis, jumlah platelet akan jatuh hingga pasien dianggap afebril.
Sesudah masa tunas/inkubasi selama 3-15 hari orang yang tertular
dapat mengalami/menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut
ini :
1. Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.

2. Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari,


nyeri- nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau
bercak- bercak perdarahan di bawah kulit.
3. Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD)
gejalanya sama dengan dengue klasik ditambah dengan perdarahan
dari hidung (epistaksis/mimisan), mulut, dubur dsb.
4. Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah
dengan syok/pre-syok. Bentuk ini sering berujung pada kematian.
Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini
angka kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap penderita yang diduga
menderita penyakit Demam Berdarah dalam tingkat yang manapun harus
segera dibawa ke dokter atau Rumah Sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat
mengalami syok/kematian.
Penyebab demam berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi,
pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kasus kecil bisa
menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian
tinggi. (Suharti, 2002)
3. Derajat DBD

1) Derajat I

Demam diikuti gejala spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan


adalah test Terniquet yang positif atau mudah memar.
2) Derajat II

Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan pendarahan


spontan, pendarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
3) Derajat III

Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan


lemah, hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab, dan penderita
gelisah.

4) Derajat IV

Syok berat dengan nadi yang tidak teraba, dan tekanan darah tidak
dapat di periksa, fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa
demam.
Setelah demam 2-7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan
tanda- tanda gangguan sirkulasi darah, penderita berkeringat, gelisah, tangan
dan kakinya dingin dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut
nadi. Pada kasus yang tidak terlalu berat gejala-gejala ini hampir tidak
terlihat, menandakan kebocoran plasma yang ringan. (Suharti, 2002)
4. Definisi Kasus DBD
Penegakan kasus DBD dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu:

1. Secara Laboratoris

a. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue)

Apabila ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis
berikut; nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam,
manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI > 1.280 dan atau IgM anti
dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama
ditemukan kasus confirmed dengue infection.
b. Corfirmed DBD (Pasti DBD)

Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen


dengue, peningkatan titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut
dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
2) Secara Minis
Kasus DBD
a. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
b. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa

1) Uji tourniquet positif

2) Petekia, ekimosis, atau purpura

3) Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan

4) Hematemesis atau melena

c. Trombositopenia < 100.00/pl

d. Kebocoran plasma yang ditandai dengan

1. Peningkatan nilai hematrokrit > 20 % dari nilai baku sesuai umur dan
jenis kelamin.
2. Penurunan nilai hematokrit > 20 % setelah pemberian cairan yang
adekuat Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian
cairan.
3. Efusi pleura, asites, hipoproteinemi
SSD

Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan:

1. Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, perfusi perifer menurun
2. Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah. (Ditjen PPM
& PL Depkes RI, 2005)
5. Klasifikasi Daerah (Kelurahan) Endemis DBD

1) Desa Rawan I (endemis) yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada
kasus DBD.
2) Desa Rawan II (sporadic) yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus
DBD.
3) Desa Rawan III (potensial) yaitu dalam 3 tahun tidak ada kasus, tetapi
berpenduduk padat, transportasi rawan dan ditemukan jentik > 5%.
4) Desa bebas yaitu desa yang tidak pernah ada kasus. (Ditjen PPM & PL
Depkes RI, 2003)
B. Surveilans DBD
1. Pengertian Surveilans DBD
Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah proses
pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data, serta penyebarluasan
informasi ke penyelenggara program dan pihak.instansi terkait secara
sistematis dan terus menerus tentang situasi DBD dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan secara efektif dan efisien. (Ditjen PPM
& PL Depkes RI, 2003)

2. Pelaksanaan Surveilans DBD


Justifikasi
Surveilans DBD terutama ditujukan untuk deteksi Kejadian Luar Biasa
(KLB) dan monitoring program penanggulangan. Setiap letusan KLB
dilakukan penyelidikan epidemiologi dan pemeriksaan spesimen. (Ditjen PPM
& PL Depkes RI, 2003)

3. Sumber Data Surveilans DBD

a. Rumah Sakit
Laporan morbiditas dan mortalitas bulanan penderita rawat inap dan rawat
jalan rumah sakit. Laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KD-RS) setiap
ada kasus, merupakan indeks kasus yang perlu penelusuran lapangan.

b. Puskesmas
Laporan morbiditas puskesmas melalui laporan SP2TP atau SP3 atau
SIMPUS yang datanya dirangkum dalam data Sistem Surveilans Terpadu
penyakit (SSTP) Kabupaten/Kota atau Propinsi, atau laporan Puskesmas
Sentinel bagi Kabupaten/Kota yang memiliki. Laporan mingguan (W2)
Puskesmas bagi surveilans Kabupaten/Kota dan Surveilans Propinsi, serta
laporan W1 (24 jam) bila ada indikasi KLB. Laporan bulanan program
dengan Form K. DBD di Puskesmas dan tingkat kabupaten.Kota.
c. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Belum semua Balai Laboratorium Kesehatan pusat/daerah dapat melakukan
pemeriksaan, tetapi hasil data pemeriksaan laboratorium perlu
dimanfaatkan dalam analisa surveilans.
d. Hasil Penyelidikan Kasus Di Lapangan oleh Petugas
Penyelidikan kasus DBD di lapangan sangat penting dan bermanfaat, karena
kemungkinan akan ditemukan faktor risiko terjadi penularan serta
didapatkan kasus.
e. Data Kegiatan Program
Laporan Pelaksanaan Fogging dari form K. DBD dan Angka Bebas Jentik
Berkala (AJB) serta hasil kegiatan PJB yang dilakukan surveilans
Kabupaten/Kota. (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2003)

4. Presentasi dan Analisis Data


Presentasi dan analisis data surveilans DBD dapat disajikan dalam
bentuk grafik, tabel dan peta untuk memperlihatkan tren kasus menurut umut,
waktu dan klasifikasi diagnosa DBD, junlah kasus dan kematian yang
ditimbulkan dan klasifikasi daerah rawan DBD. (Ditjen PPM & PL Depkes RI,
2003)

5. Kegunaan Data Surveilans untuk Manajemen


Kegunaan informasi epidemiologi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai
berikut:
1. Monitoring Case Fatality Rate (CFR) untuk meningkatkan
manajemen kasus.
2. Monitor insiden rate (IR) untukmenilai dampak program

3. Dapat mendeteksi KLB agar dapat segera melakukan tindakan


penanggulangan. (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2003)

6. Surveilans Epidemiologi DBD di Puskesmas

Surveilans Epidemiologi DBD di puskesmas meliputi kegiatan


pengumpulan dan pencarian data tersangkat DD, DBD, SSD; pengolahan dan
penyajian data penderita DBD untuk pemantauan KLB; KD/RS-DBD untuk
pelaporan tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah
diagnosis ditegakkan; laporan KLB (W1); laporan mingguan KLB (W2-
DBD); data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD (DP-DBD), penentuan
stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per RW/dusun,
penentuan musim penularan, dan kecenderungan DBD. (Ditjen PPM & PL
Depkes RI, 2005)
7. Pengumpulan dan Pencatatan Data
Pengumpulan data dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada
laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD
dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal dari
rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau
puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan
kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain-
lain), dan hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada
konformasi dari rumah sakit/unit pelayanan kesehatan lainnya).
Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD
menggunakan ‘Buku Catatan Harian Penderita DBD’ yang memuat catatan
(kolom) tersangka DBD. (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005)
8. Pengolahan dan Penyajian Data
Data pada ‘Buku Catatan Harian Penderita DBD’ diolah dan disajikan
dalam bentuk pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut
desa/kelurahan. Dari hasil penjumlahan penderita DBD dan SSD dari data
mingguan tersebut dapat dideteksi secara dini adanya KLB DBD atau keadaan
yang menjurus pada KLB DBD.
Bila terjadi KLB DBD, maka lakukan tindakan sesuai dengan pedoman
penanggulangan KLB DBD dan laporkan segera ke dinas kesehatan
kabupaten/kota menggunakan formulir W1.
Penyampaian laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD
selambat-lambatnya dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan
formulir KD/RS-DBD.
Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
Laporan mingguan adalah hasil penjumlahan penderita DBD dan SSD
setiap minggu menurut desa/kelurahan dan dilaporkan ke dinas kesehatan
kabupaten/kota menggunakan formulir W2-DBD.
Laporan bulanan adalah hasil penjumlahan penderita/kematian DD,
DBD, SSD termasuk data kegiatan pokok pemberantasan/penanggulangannya
setiap bulan dan dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota menggunakan
formulir K-DBD.
Penentuan stratifikasi desa/kelurahan DBD ditentukan menurut
stratifikasi desa/kelurahan yang ada di wilayah cakupan puskesmas.
Distribusi penderita DBD per RW/dusun dibuat setiap tahun dengan
menjumlahkan penderita DBD dan SSD per RW/dusun.
Penentuan musim penularan dilakukan dengan menjumlahkan
penderita DBD dan SSD per bulan semala 5 tahun terakhir.
Mengetahui kecenderungan situasi penyakit dilakukan dengan
menjumlahkan penderita DBD dan SSD per tahun sejak kasus ditemukan.
(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005)

9. Alur Pelaporan Surveilans DBD


a. Pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Alur pelaporan data DBD dari puskesmas ke dinas kesehatan
kabupaten/kota adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD
dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan.
2. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD
yang dilaporkan per bulan.
3. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan.

4. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan.

5. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB. (Ditjen PPM & PL Depkes


RI, 2005)

b. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan


Propinsi

Alur pelaporan data DBD dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke


dinas kesehatan propinsi adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD
yang dilaporkan per bulan.
2) Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan.

3) Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan.

4) Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB. (Ditjen PPM & PL


Depkes RI, 2005)
c. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit
Arbovirosis, Ditjen P2M & PL)
Alur pelaporan data DBD dinas kesehatan propinsi ke pusat (Subdit
Arbovirosis, Ditjen P2M & PL) adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD
yang dilaporkan per bulan.
2) Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan.

3) Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan.

4) Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB. (Ditjen PPM & PL Depkes


RI, 2005)
d. Pelaporan dalam Situasi kejadian luar biasa (KLB)
Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten/kota:

1) Menggunakan form W1-DBD

2) Pelaporan dengan form KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD


dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan
3) Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB DBD
Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke dinas kesehatan propinsi:
1. Menggunakan form W1-DBD
2. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasusu DBD
dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan.
3. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB DBD
Pelaporan dari dinas kesehatan propinsi ke Ditjen P2M & PL:

1. Menggunakan form W1-DBD

2. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB DBD


(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005)
e. Umpan balik
Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas
dan memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan
waktu pelaporan serta analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan balik oleh
masing- masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap bulan, minimal dua
kali dalam setahun. (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005)
Gambar 2.2
Alur Pelaporan Data DBD

(Sumber: Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005


PELAKSANAAN SURVEILANS PENYAKIT MENULAR
TETANUS NEONATORUM
1. Tetanus Neonatorum
Tetanus adalah penyakit kekakuan otot (spasme) yang disebabkan
oleh eksotoksin (tetanospasmin) dari organisme penyebab penyakit tetanus.
Tetanus Neonatorum adalah salah satu penyakit yang terjadi pada
bayi baru lahir melalui praktik persalinan yang tidak higienis atau peralatan
persalinan yang tidak steril.Insidensi tetanus diperkotaan sebesar 6-7/1000
kelahiran hidup. Sedangkan didaerah pedesaan sebesar 11-23/1000
kelahiran hidup, dengan jumlah kematian sekitar 60.000 bayi/tahun.
Berdasarkan SKRT (1995), AKB di Indonesia masih cukup tinggi yaitu
58/1000 kelahiran hidup yang merupakan urutan terbesar ke-5 penyebab
kematian bayi di Indonesia. Menurut Ismoedijanto yang telah mensurvei 5
RS pada tahun 1991-1996 menyatakan bahwa rata-rata kasus TN sebesar
10-25 kasus /tahun per RS dengan angka kematian 7-23%, dimana penderita
golongan usia bayi 26%, balita 15%, usia 5-9 tahun 19%, dan >10 tahun
12%.
Penyebab utama tetanus adalah bakteri Clostridium tetani (bentuk
bateri batang, gram positif dengan spora diujungnya, mirip drumstick), yang
merupakan bakteri penghasil racun neurotoxin dan menyerang sistem saraf
pusat (otak, saraf otonom, saraf spinal, dan neuromuscular junction).
Bakteri ini dapat ditemukan di tanah, debu, dan kotoran hewan sehingga
dapat masuk ke tubuh melalui luka goresan, sobekan, atau luka tusukan
yang disebabkan oleh benda-benda yang telah terkontaminasi. Kuman yang
telah ada dilingkungan akan berubah bentuk menjadi spora. Spora tetanus
tidak dapat diberantas, akan tetapi toksin yang dihasilkan oleh kuman
vegetatif sebagai hasil pertumbuhan anaerob dari spora dilingkungan dapat
dinetralisasi toksin oleh igG yang dapat dilakukan melalui imunisasi.
Risiko bayi menderita tetanus neonatarum meningkat karena ibu
tidak terlindungi oleh vaksin Tetanus Toxoid (TT) pada masa kehamilan.
Faktor risiko lain pada tetanus neonatarum, diantaranya:
a. Proses persalinan dirumah dengan alat yang tidak steril
b. Adanya paparan bahan yang berpotensi menularkan bakteri tetani
pada lokasi atau alat yang digunakan untuk persalinan maupun
merwata tali pusat sepert tanah atau lumpur
c. Riwayat tetanus neonatarum yang terjadi pada anak.
Masa Inkubasi 6 hari (5-14 hari). Gejala yang ditimbulkan pada bayi
yang terinfeksi tetanus neonatarum adalah sebagai berikut:
a. Rahang dan otot wajah bayi menegang atau mengencang pada hari
ke 2-3 hari pasca melahirkan (rhesus sardonicus).
b. Mulut bayi seakan terkunci dan terasa kaku serta bayi tidak dapat
menyusu (trismus).
c. Spasme atau kaku otot tubuh menyeluruh yang menyebabkan tubuh
bayi menegang atau tampak melengkung kebelakang berkisar antara
(seperti busur).
d. Kejang yang dicetuskan oleh suara, cahaya, atau sentuhan (kejang
tonik) dapat berlangsung 3-4 minggu.
e. Pencegahan dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu:
f. Imunisasi aktif dengan toxoid pada WUS dengan mendapatkan 5x
TT sebelum hamil (status tetanus toxoid 5 dosis yang memberi
perlindungan 25 tahun)
g. Perawatan luka dengan H2O2
h. Persalinan yang bersih dengan alat, tempat, dan tangan penolong
persalian yang steril dan higienis.
2. Program ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum) Di Indonesia
Pada tahun 1989 WHO, menyepakati untuk mengeliminasi TN,
Akan tetapi di Indonesia baru mulai melaksanakan program ETN pada
tahun 1991. Eliminasi merupakan kasus tetanus neonatarum (TN) < 1 per
1000 lahir hidup per tahun kabupaten/kota. Catatan program ETN dianggap
berhasil jika:
1. Cakupan TT2 > 80%
2. Persalinan Nakes > 70%
3. Laporan Pusk dan RS > 80%
Catatan program Eliminasi tetanus untuk daerah risiko tinggi dan
rendah adalah:
a. Daereah Risiko Tinggi
a. Cakupan TT2 < 80%
b. Pelayanan Nakes < 70%
b. Daerah Risiko Rendah
a. Cakupan TT2 atau T-5 > 80%
b. Persalinan Nakes > 70%
c. Laporan Zero/ nihil Puskesmas dan RS >80%
Pelaksanaan ETN terpadu ini terdiri dari 3 program yaitu:
1. Program KIA dalam bentuk Pertolongan persalinan dan perawatan tali
pusat (KN).
2. Program Imunisasi dalam bentuk TT Bumil/ WUS (5 Dosis TT atau
Td), Anak <1 Thn (3 dosis TT)
3. Program Surveilans dalam bentuk Pelacakan, identifikasi Faktor
Risiko

Kebijaksanaan dalam ETN adalah “status ETN dapat ditetapkan di


kabupaten/ kota dengan satu kasus/ kematian sama dengan KLB” yang dapat
dilakukan sebagai upaya penyelidikan Epidemiologi ke lapangan untuk
ditemukannya semua kasus/ kematian bayi di Masyarakat dengan pendekatan
kualitas surveilans melalui Zero Report.

3. Surveilans Penyakit Tetanus Neonatarum


Surveilans tetanus secara umum menyediakan informasi
epidemiologi mengenai tetanus neonatorum yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi status ETN. Sedangkan secara khusus memberikan informasi
mengenai data penemuan kasus dan kematian TN di RS dan Puskesmas
(termasuk di masyarakat) dengan tujuan agar dapat dengan mudah
mengidentifikasi faktor risiko TN dan menseminasikan kepada program
terkait (imunisasi dan KIA) untuk mencapai dan mempertahankan status
ETN.
Defini Operasional kasus dalam Tetanus Neonatarum dibagi
menjadi 2 yaitu Neonatus pada bayi usia 0-28 hari dan kasus/ kematian TN
yang dapat diidentikasi melalui cara sebagai berikut:
1. Konfirm/ Pasti
 Melihat kelahiran normal dengan ciri-ciri dapat menangis dan
menyusu selama 2 hari, kemudian timbul gejala sulit
menyusudisertai kejang rangsang usia 3-28 hari, atau
 Didiagnosa dokter sebagai TN
2. Tersangka/ Suspek TN
 Kematian bayi terjadi pada usia 3-28 hari tanpa penyebab yang
jelas/ tidak diketahui penyebabnya
 TN yang dilaporkan bukan oleh dokter/ petugas terlatih

 Kegiatan Surveilans
Kegiatan Surveilans dapat dilakukan dengan penemuan kasus di
wilayah Puskesmas (termasuk masyarakat) dan RS (termasuk klinik
bersalin). Dengan data penemuan tersebut dimaksudkan agar penanganan
dapat terlaksana dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi
mencegah kematian TN.
Kegiatan surveilans TN dilakukan dengan investigasi kasus dengan
tujuan yaitu sebagai berikut:
1. Menetapkan diagnose
 Melalui confirm TN
 Tersangka/ Suspek TN
2. Mencari kasus tambahan
 Penolong persalinan sebagai “center point”
 Budaya perawatan tali pusat
3. Mengetahui faktor risiko
4. Mengetahui gambaran epidemiologi
 Penyelidikan menggunakan form
Investigasi kasus dapat diidentifikasi berdasarkan daerah risiko yang
dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Daerah risiko tinggi dimana setiap kematian dibawah usia 1 bulan
dan tersangka TN
2. Daerah risiko rendah dimana kasus dan kematian TN yang
dilaporkan oleh RS dan Puskesmas
Laporan hasil investigasi TN meliputi:
1. jumlah Konfirm TN, Jumlah tersangka TN, dan jumlah kematian
2. Faktor Risiko Utama
 Status imunisasi TT ibu
 Riwayat ANC (Antenatal Care)
 Riwayat persalinan
 Riwayat perawatan tali pusat : bahan yang digunakan
3. Faktor Risiko Pendukung
 Analisa data hasil investigasi TN, berupa :
- Faktor risiko utama yang erat hubungannya dengan
kejadian TN
- Faktor risiko pendukung yang memperkuat kejadian TN
 Analisa data surveilans TN secara Periodik (tahunan), berupa :
- Jumlah lahir hidup, jumlah kasus dan kematian
- Sebaran kasus
- Faktor risiko yang dominan
- Cakupan imunisasi TT dan cakupan persalinan nakes
4. Integrasi TN dengan Surveilans dan Pelaporan Surveilans TN
AFP dan PD31 memiliki strategi dalam mengeliminasi TN yaitu:
1. Memanfaatkan sistem surveilans AFP sebagai sarana integrasi
surveilans campak dan tetanus neonatarum
2. Integrasi dalam advokasi dan sosialisasi
3. Intensifikasi feed back dan diseminasi informasi terintegrasi
surveilans AFP, campak, dan tetanus neonatarum. Melalui
kegiatan:
 Penemuan kasus
 Pelacakan kasus
 Pelaporan
 Pengolahan data
 Umpan balik
 Manajemen Surveilans berupa advokasi, sosialisasi,
pendanaan, ketenagaan, asistensi teknik
Pelaporan surveilans TN dilakukan 2 kali yaitu laporan mingguan dan
laporan bulanan yang berisi:
1. Laporan Mingguan
 Berisi data laporan konfirm TN dan tersangka/ suspek TN
yang diambil dari wilayah :
- Puskesmas, dengan menggunakan form W2/PWS KLB
bersama dengan laporan mingguan penyakit potensial
KLB lainnya.
- Rumah sakit, dengan menggunakan form FPPD pada saat
melakukan surveilans mingguan RS untuk AFP, Campak,
Difteria, dan TN
 Berlaku untuk laporan nihil, artinya laporan dibuat
meskipun tidak ada kasus.
2. Laporan Bulanan
 Puskesmas dan RS menggunakan format laporan STP
 Kabupaten/ kota dan provinsi menggunakan:
- Laporan data : form Integrasi AFP, Campak, Difteria, dan
TN
- Laporan Absensi : kelengkapan dan ketepatan Laporan
Mingguan.
Alur pelaporan Surveilans TN Ditjen PPM & PL, Dinkes Prov, Dinkes
Kab/kota. Melaui:

1. Form integrasi F1-2 oleh Dinkes Prov


2. Form Integrasi F1-1 oleh Dinkes Kab/kota
3. KDRS/FPPD oleh Rumah Sakit
4. W2, W1, T2 oleh Puskesmas
5. Secara lisan oleh bidan/ dukun bayi dan masyarakat

Gambar 1. Alur pelaporan Surveilans TN


SOAL

1. Surveilans Sentinel HIV (SSH) adalah suatu cara pengamatan terhadap


epidemi HIV melalui pengumpulan data HIV dan pemeriksaan serum
darah. Tujuan Surveilans Sentinel HIV adalah:
A. Memperkirakan laju epidemi dan kecenderungan infeksi HIV
disuatu wilayah.
B. Memantau seroprevalensi HIV pada sub-populasi tertentu.
C. Memantau kecenderungan prevalensi infeksi HIV berdasarkan
tempat dan waktu.
D. Menyediakan data untuk estimasi dan proyeksi kasus HIV dan AIDS
di Indonesia.
E. Benar Semua
(Jawaban E)

2. Yang bukan termasuk dalam metodologi pelaksanaan surveilans


sentinel HIV (SSH) yaitu :
A. Populasi Sentinel, Kriteria Inklusi, Pemilihan Lokasi Surveilans
Sentinel HIV (SSH),
B. Besar Sampel Populasi Sentinel , Rancangan Sampling , dan Alur
Penyusunan Kerangka Sampel.
C. Populasi Sentinel, Kriteria Inklusi, Rancangan Sampling
D. Rancangan Sampling , penyusunan instrumen, dan Alur Penyusunan
Kerangka Sampel
E. Pemilihan Lokasi Surveilans Sentinel HIV (SSH), Besar Sampel
Populasi Sentinel , Rancangan Sampling
(Jawaban D)
3. Pemeriksaan HIV akan menggunakan pendekatan linked anonymous
pada kelompok populasi sentinel kecuali...
A. Wanita Pekerja Seks dan LSL (Laki-Laki Seks dengan Laki-Laki)
B. Waria dan WPS pengunjung klinik IMS
C. Pengguna Napza Suntik dan LSL
D. Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) dan Anak Buah Kapal (ABK)
E. Laki-Laki Pengunjung Klinik IMS dan Ibu Hamil Pengunjung
Klinik KIA
(Jawaban E)
4. Apabila terjadi kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan pencatatan dan
pelaporan, maka yang harus dilakukan . . .
A. Pelatihan dan pembinaan petugas
B. Pemantauan dan pembinan teknis secara berjenjang
C. Pemeriksaan ulang di setiap jenjang
D. Pemberian sanksi terhadap jenjang yang salah
E. Pemantauan laboratorium atas tes spesimen
(Jawaban B)
5. Yang bukan termasuk sumber data surveilans DBD adalah?
A. Rumah Sakit
B. Puskesmas
C. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
D. Ditjen PPM & PL
E. Data kegiatan program
(Jawaban C)
6. Dalam alur pelaporan data DBD dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke
dinas kesehatan propinsi menggunakan formulir W2-DBD sebagai
laporan...
A. Harian
B. Mingguan
C. Bulanan
D. Tahunan
E. Triwulan
(Jawaban B)
7. Data kegiatan poko pemberantasan DBD setiap bulan dan dilaporkan ke
dinas kesehatan kabupaten/kota menggunakan formulir K-DBD adalah
A. DD
B. W2 DBD
C. SSD
D. A dan C benar
E. B dan C benar
(Jawaban D)
8. Wilayah Kegiatan Surveilans dapat dilakukan dengan penemuan kasus
di wilayah Puskesmas (termasuk masyarakat) dan RS (termasuk klinik
bersalin). Dengan data penemuan tersebut dimaksudkan agar
penanganan dapat terlaksana dengan ?
A. Cepat dan tepat
B. Cepat dan mengulur waktu
C. Tepat sasaran dan terjadwal
D. Tepat dan aman
E. Semua benar
(Jawaban A)
9. Kegiatan surveilans TN dilakukan dengan investigasi kasus dengan
tujuan yaitu menetapkan diagnosa. Apa sajakah isi dari penetapan
diagnosa?
A. confirm TN sdan tersangka/ Suspek TN
B. long persalinan sebagai “center point” TN
C. Budaya perawatan tali pusat mengurangi TN
D. A dan C salah
E. B dan C benar
(Jawaban A)
10. Berapakah jumlah dosis program imunisasi tetanus untuk ibu hamil
atau wanita usia subur ?
A. 5 dosis TT
B. 5 dosis TD
C. 3 dosis TT
D. B dan C benar
E. A dan B benar
(Jawaban E)
11. Yang menjadi laporan investigasi untuk Tetanus Neonatorum dalam
risiko utama TN adalah....
A. Status imunisasi TT ibu
B. Jumlah lahir hidup
C. Jumlah kasus
D. Cakupan imunisasi TT
E. Jumlah kematian
( Jawaban A)
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.2015.


Petunjuk Teknis Surveilans Sentinel HIV. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI.
Erdiati, Leviana. 2009. Pengembangan sistem surveilens epidemiologi. Jakarta:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, tersedia di
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125435-S-5643-
Pengembangan%20sistem-Literatur.pdf

D, Arwati. 2017. Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi di Puskesmas Se-Kota


Kendari tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.
Vol. 1, No. 3.
Kemenkes RI. 2013. Surveilans Kesehatan Anak (Seri Balita). Direktorat Bina
Kesehatan Anak dan Kementrian Kesehatan RI : Jakarta.
Tanpa nama. 2019. Surveilans Tetanus Neonatorum. Diakses melalui link :
https://slideplayer.info/slide/2310470/ pada tanggal 1 Mei 2019, Pukul
15.27 WIB.

Anda mungkin juga menyukai