Anda di halaman 1dari 16

BIOSINTESIS KURKUMIN GLIKOSIDA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Biosintesis

AMALIA SITTI KHAYYIRA

1806269562

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEFARMASIAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan rahmat-
Nya, makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Prof. Dr. Abdul Mun'im M.Si. Apt. sebagai dosen pengajar mata kuliah Biosintesis atas
bimbingannya sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Makalah yang berjudul “Biosintesis Kurkumin Glikosida” ini membahas mengenai


biotransformasi kurkumin menjadi bentuk kurkumin glikosida oleh berbagai organisme.
Makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Biosintesis. Besar harapan
penulis bahwa makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi mahasiswa farmasi dalam
menuntut ilmu dalam mata kuliah Biosintesis.

Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, adanya saran dan kritik dari pembaca sangat dibutuhkan unuk perbaikan makalah ini. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih dan berharap agar karya makalah ini juga dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Depok, Mei 2019

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

BAB I ......................................................................................................................................... 4

3.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 4

BAB II ........................................................................................................................................ 6

3.2 Sintesis Kurkumin Glikosida dengan Metode Glikosilasi One Pot Multienzyme ....... 6

3.3 Glikosilasi Kurkumin pada Catharanthus roseus ....................................................... 8

3.4 Biotransformasi Kurkumin Glikosida pada Jamur Rhizopus chinensis .................... 11

3.5 Kloning Glukosiltransferase Pengkatalisis Kurkumin Glikosida dari Catharanthus


roseus pada Escherichia coli ................................................................................................ 12

BAB III .................................................................................................................................... 15

3.6 Kesimpulan................................................................................................................ 15

3
BAB I
PENDAHULUAN

3.1 Latar Belakang

Kurkumin merupakan konstituen kimia utama dari akar kunyit (Curcuma longa).
Kurkumin telah ratusan tahun digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk berbagai
masalah kesehatan seperti gangguan pernapasan, anoreksia, batuk, sinusitis, dan gangguan
hepatik (Prasad, Tyagi, & Aggarwal, 2014). Dalam beberapa dekade terakhir, kurkumin
semakin menarik perhatian untuk dikembangkan sebagai terapi farmakologi, karena mulai
meluasnya penelitian mengenai aktivitas kurkumin secara in vivo dan in vitro.

Gambar 1. Struktur kimia kurkumin


Pengujian dengan in vitro dan hewan coba menunjukkan beberapa aktivitas
farmakologi yang penting, seperti antiinflamasi, antioksidan, antikanker, antivirus, serta
neurotropik. Beberapa pengujian lain juga menunjukkan kurkumin dapat memberikan
manfaat pada kesehatan kulit, gangguan gastrointestinal, gangguan metabolik, gangguan
kardiovaskuler, penyakit autoimun, serta gangguan psikiatrik. Sayangnya, potensi-potensi
kesehatan tersebut belum seluruhnya didukung dengan hasil pengujian klinis pada manusia.
Hasil penelitian meta-analysis yang telah dilakukan pada terapi dengan kurkumin
diantaranya pada arthritis, nyeri, dan gangguan depresi. Diperlukan penelitian pendukung
yang lebih banyak lagi agar dapat memastikan manfaat kurkumin dalam terapi (Lopresti,
2018).
Walaupun memiliki banyak aktivitas yang menjanjikan, masalah utama dari kurkumin
adalah bioavailabilitas yang buruk. Bahkan, beberapa peneliti mengemukakan bahwa
kurkumin sulit untuk dilanjutkan pada pengujian klinis karena sifatnya yang tidak stabil,
reaktif, dan bioavailabilitas yang buruk. Hal ini diduga disebabkan oleh absorpsi yang
buruk, metabolisme yang cepat, instabilitas kimia, dan eliminasi sistemuk yang cepat.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa metode telah diuji coba, seperti penggunaan
4
adjuvan seperti piperin, formulasi liposom kurkumin, nanopartikel kurkumin, kompleks
fosfolipid kurkumin, serta penggunaan analog kurkumin seperti minyak kunyit (Lopresti,
2018).
Salah satu strategi peningkatan bioavailabilitas dan aktivitas kurkumin adalah dengan
sintesis analog kurkumin glikosida. Meskipun analog kurkumin dapat disintesis secara
kimia, spesifikasi dari Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA)
hanya memperbolehkan kurkuminoid untuk diperoleh dari sumber alami untuk digunakan
sebagai bahan tambahan makanan (Nguyen et al., 2016). Pada makalah ini, akan dibahas
mengenai strategi perolehan kurkumin glikosida dengan memanfaatkan metode enzimatik,
biotransformasi pada kultur tumbuhan, dan biotransformasi pada organisme rekombinan.

5
BAB II
ISI

3.2 Sintesis Kurkumin Glikosida dengan Metode Glikosilasi One Pot Multienzyme

1.1.1. Latar Belakang


2. Penelitian ini melakukan percobaan glikosilasi kurkumin dengan metode enzimatik.
Metode One Pot Multienzyme (OPME) adalah salah satu metode yang sering digunakan untuk
sintesis konjugat glikosida (Gurung et al, 2017). Sebelumnya, peneliti telah berhasil
mengembangkan metode OPME untuk sintesis glikosida -mangostin, nargenicin A, dan
resvera-A. Metode OPME lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan metode kimia,
yang membutuhkan tahap proteksi/deproteksi sebelum dapat memperoleh produk akhir.
Dengan OPME, produk target dapat diperoleh tanpa tahap isolasi atau purifikasi dari senyawa
intermediet.
3.
3.1.1. Metode dan Bahan
Bahan yang digunakan adalah 2-deoksi-glukosa, glukosa 1-fosfat, asetil fosfat, uridin
monofosfat (UMP), adenin trifosfat (ATP), dan isopropil-- D-thiogalactopyranoside (IPTG).
Sebagai standar, digunakan kurkumin kemurnian 98%. Reaksi dilakukan dalam bentuk
campuran dalam satu wadah (200 L) dan inkubasi pada 37C selama waktu 5 jam. Reaksi
dihentikan dengan menambahkan metanol pada campuran, lalu dilakukan sentrifugasi pada
12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dikonsentrasikan dengan evaporasi dan dilarutkan
dalam 3 m metanol sebelum purifikasi dan identifikasi dengan KCKT. Skema reaksi yang
terjadi pada proses sintesis digambarkan pada gambar 2.

6
Gambar 2. Skema reaksi dalam proses sintesis kurkumin glikosida metode OPME

Selain identifikasi dan purifikasi dengan KCKT, dilakukan pengujian kelarutan dalam
larutan phosphate-buffered saline (PBS). Aktivitas antibakteri kurkumin dan derivat glikosida
dilakukan terhadap Staphylococcus auerus, Bacillus subtilis, Pseudomonas aeruginosa, dan
Enterobacter cloaceae dengan metode mikrodilusi berdasarkan Clinical and Laboratory
Standards Institute (CLSI). Aktivitas antikanker diujikan pada cell line AGS (karsinoma
gastrik) dan HCT (karsinoma kolon). Viabilitas sel setelah perlakuan dengan kurkumin dan
derivat glikosida dilakukan dengan reaksi kolorimetrik 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-
diphenyltetrazolium bromide (MTT).

3.1.2. Hasil dan Pembahasan


Sintesis derivat glukosida kurkumin dengan metode OPME berhasil menghasilkan
kurkumin 4’-O--glukosida, kurkumin 4’,4’’-di-O--glukosida, kurkumin 4’-O--2-
deoksiglukosida, dan kurkumin 4’,4’’-di-O--deoksiglukosida yang dikarakterisasi dengan
ultra-fast performance liquid chromatography (UPLC) dengan detektor TOF ionization mass
spectrometry, dan analisis NMR.
Dari hasil analisis kelarutan, ditemukan bahwa jumlah gugus gula berkorelasi langsung
dengan kelarutan senyawa.derivat gula deoksi dengan pengurangan satu gugus hidroksil
hampir sesuai dengan derivat oksi.
Hasil aktivitas antibakteri menunjukkan aktivitas yang baik pada bakteri Gram positif,
dimana aktivitas terhadap Bacillus subtilis lebih baik dibandingkan Staphylococcus aureus.

7
Diketahui bahwa kurkumin menekan sitokinesis pada B. subtilis melalui induksi pembentukan
filamen dan penurunan pembentukan cincin Z. Kurkumin juga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Gram negatif E. coli dan P. aeruginosa. Derivat kurkumin terglikosilasi
monoglukosida menunjukkan aktivitas antimikroba yang lebih baik dibanding bentuk
aglikonnya. Namun, terjadi penurunan potensi antimikroba pada bentuk diglukosida, diduga
karena adanya pelekatan dua gugus gula. Meskipun begitu, dapat disimpulkan bahwa glikosida
kurkumin dapat menunjukkan potensi yang baik sebagai agen antibakteri.
Kurkumin telah diketahui dapat memberikan efek antiproliferasi pada berbagai kanker,
dengan mekanisme inhibisi faktor transkripsi NF- B dan produk genetik di bawahnya. Hasil
pengujian pada derivat kurkumin menunjukkan glikosida kurkumin secara efektif menghambat
pertumbuhan sel kanker dengan bergantung dosis dan waktu. Hasil inhibisi terbaik diamati
pada kurkumin monoglikosida dibandingkan dengan diglikosida. Secara umum, glikosilasi
memang diketahui dapat meningkatkan sitotoksisitas senyawa terhadap targetnya.

3.3 Glikosilasi Kurkumin pada Catharanthus roseus

3.1.3. Latar Belakang


Kurkumin bersifat praktis tidak larut dalam air pada pH asam dan pH netral. Walaupun
kurkumin larut dalam kondisi basa, kurkumin dapat terdegradasi secara hidrolisis dengan cepat
pada pH di atas netral.
Tumbuhan tingkat tinggi mengakumulasikan berbagai jenis molekul glikosida, beberapa
diduga memiliki aktivitas farmakologis yang poten. Keragaman jenis glikosida ditentukan dari
variasi strukur baik aglikon maupun gugus gula, serta bergantung pada jenis gen
glikosiltransferase yang dimiliki oleh tumbuhan. Glikosilasi dikatalisis oleh enzim UDP-
glukosiltransferase, sehingga banyak diteliti glikosilasi molekul organik oleh kultur sel
tumbuhan untuk pemanfaatan bioteknologi pada sistem kultur sel tumbuhan.
Pada penelitian ini, dilakukan percobaan mengenai kemampuan kultur sel Catharanthus
roseus dalam glikosilasi kurkumin eksogen untuk menghasilkan derivat glukosida dengan
peningkatan kelarutan (Kaminaga et al, 2003).

3.1.4. Metode dan Bahan


Catharanthus roseus ditumbuhkan pada medium LS yang ditambahkan dengan 3%
sukrosa, 1 M 2,4-dichlorophenoxyacetic acid dan 1 M kinetin. Sel dikultur pada suhu 25C
dalam kondisi gelap dan dilakukan subkultur setiap 2 minggu. Methyl jasmonate (MJ) dan

8
asam salisilat (SA) dilarutkan dalam DMSO dan air, lalu ditambahkan ke dalam kultur secara
aseptik melalui filter membran.
Kurkumin dipurifikasi dengan kromatografi kolom gel silika sebelum digunakan.
Kurkumin dilarutkan dalam DMSO pada konsentrasi 10 mM dan 0,1 mL larutan ditambahkan
ke dalam kultur secara aseptis untuk memperoleh konsentrasi akhir 0,5 mM. Pada konsentrasi
ini, kurkumin langsung mengendap dalam medium, namun setelah inkubasi selama 1 hari,
endapan menghilang. Sel diambil dengan filtrasi, dibekukan dalam nitrogen cair, dan disimpan
pada -80C hingga akan digunakan.
Untuk melakukan isolasi produk glikosilasi, sel segar (sekitar 1 gram) diekstraksi dengan
5 mL metanol dengan sonikasi. Setelah pelarut diuapkan, residu diresuspensikan dalam air dan
diekstraksi bertahap dengan isooktan, toluen, etil asetat, dan butanol tersaturasi air. Ekstrak etil
asetat dan butanol dipisahkan dengan KCKT. Dengan fase gerak metanol 63% untuk
pemisahan dari ekstrak butanol, serta metanol 70% untuk pemisahan dari ekstrak etil asetat,
dengan laju alir 5 mL/menit.
Fraksi diperlakukan dengan -glukosidase lalu dilakukan analisis dengan KCKT untuk
mengetahui kuantitas glukosida. Selain itu, dilakukan juga uji kelarutan senyawa dengan
melarutkan dalam air dengan pengadukan selama 24 jam pada suhu ruang. Campuran
disentrifugasi pada 12.000 x g selama 15 menit pada suhu ruang. Konsentrasi senyawa dalam
supernatan diukur dengan KCKT untuk menentukan jumlah glikosida kurkumin terlarut.

3.1.5. Hasil dan Pembahasan


Diperoleh lima produk glikosida kurkumin yang potensial. Seluruh senyawa menghasilkan
kurkumin saat didigesti dengan -glukosidase. Struktur kimia dielusidasi berdasarkan
spektrum MS dan NMR (gambar 3).

9
Gambar 3. Struktur kurkumin dan produk glikosilasi yang diisolasi dari C. roseus. Tanda
panah menunjukkan korelasi HMBC

C, roseus dalam bentuk kultur sel dapat mengkonversi kurkumin menjadi berbagai varian
glukosida, tidak hanya dengan menambahkan residu glukosa individual pada dua gugus
hidroksil fenolik, namun juga membentuk ikatan -1,6-glikosida. Konjugasi glikosil terlihat
terjadi secara bertahap, dengan terbentuknya CG5 langsung setelah penambahan kurkumin,
sedangkan CG3 dan CG1 mulai terakumulasi setelah lag period sekitar 8 jam setelah
penambahan kurkumin. Kandungan kurkumin glikosida menurun secara bertahap setelah 24-
48 jam. Belum diketahui apakah penurunan ini terjadi karena hidrolisis oleh -glukosidase atau
konversi menjadi metabolit lain.
Beberapa percobaan terdahulu menunjukkan bahwa ekspresi gen glukosiltransferase dapat
ditingkatkan dengan introduksi stres, seperti melukai tanaman, infeksi, atau perlakuan dengan
senyawa MJ dan SA. Ditemukan bahwa penambahan/Pretreatment dengan MJ atau SA
meningkatkan efisiensi glikosilasi, namun pemberian secara bersamaan tidak menunjukkan
perbedaan aktivitas glikosilasi. Efek positif pada pemberian 100 M hanya ditemukan pada

10
MJ, sehingga diindikasikan bahwa glukosiltransferase yang terinduksi MJ merupakan
glukosiltransferase yang berperan dalam glikosilasi kurkumin.
Disimpulkan bahwa penambahan kurkumin eksogen pada suspensi kultur C. roseus dapat
secara efisien mengubah kurkumin menjadi turunan glukosida dengan kelarutan yang
meningkat. Efisiensi glukosilasi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan sukrosa pada
medium hingga 85%, dan pretreatment dengan penambahan MJ atau SA pada suspensi sel 24-
48 jam sebelum penambahan kurkumin.

3.4 Biotransformasi Kurkumin Glikosida pada Jamur Rhizopus chinensis

3.1.6. Latar Belakang


Pada penelitian ini, dilakukan glukosilasi kurkumin oleh fungi berfilamen. Saat kurkumin
diinkubasi dengan Rhizopus chinensis selama 8 jam, sekitar 60% substrat dapat dikonversi
menjadi kurkumin 4’-O--D glukosida (Zhang, Ye, Li, Yin, & Guo, 2010).

3.1.7. Metode dan Bahan


R. chinensis difermentasi pada medium kentang mengandung 100 g ekstrak kentang, 20 g
glukosa, dan 1000 mL akuades. Medium disterilisasi terlebih dahulu dengan autoklaf. Fungi
berumur 3 hari pada medium agar diinkubasikan pada 100 mL medium pada 25C dengan
rotary shaker 120 rpm. Kultur ditumbuhkan selama 24 jam hingga mencapai fase
eksponensial, lalu ditambahkan larutan kurkumin dalam aseton 2 mg/mL. Setelah inkubasi
selama 5 hari, kultur diambil, disaring, dan diekstraksi dengan etil asetat. Ekstrak diuapkan
hingga kering pada rotary evaporator dan residu dilarutkan dalam 1 mL metanol untuk
analisis KLT.
Pada produksi skala preparatif, skala kultur diperbesar menjadi 350 mL. Dilakukan
ekstraksi dengan etil asetat, lalu fraksinasi dengan kromatografi kolom silika fase gerak
kloroform-metanol, lalu elusi pada kromatografi cair dengan eluen metanol-air.

3.1.8. Hasil dan Pembahasan


R. chinensis berhasil mengubah substrat kurkumin menjadi kurkumin 4’-O--D glukosida
secara cepat hanya setelah inkubasi 8 jam (gambar 4). Dalam percobaan ini, -siklodekstrin
tidak dapat meningkatkan efisiensi biotransformasi, justru menurunkan produktivitas. Jumlah
substrat kurkumin yang lebih besar menghasilkan produktivitas yang lebih rendah, diduga
karena rendahnya kelarutan kurkumin dalam air, sehingga kurkumin konsentrasi tinggi
11
tertinggal dalam bentuk presipitat. Perolehan akhir glikosida kurkumin setelah inkubasi 8 jam
adalah sebesar 57%. Selain itu, terdapat beberapa produk kurkumin minor lain yang diamati
oleh LC/MS. Dengan produktivitas dan spesifisitas yang tinggi dan biaya yang cukup rendah,
biotransformasi kurkumin menjadi kurkumin glikosida larut air patut dipertimbangkan untuk
diaplikasikan pada skala industri.

Gambar 4. Jalur biotransformasi kurkumin oleh Rhizopus chinensis

3.5 Kloning Glukosiltransferase Pengkatalisis Kurkumin Glikosida dari Catharanthus


roseus pada Escherichia coli

3.1.9. Latar Belakang


Dari penelitian sebelumnya mengenai kemampuan Catharanthus roseus dalam
mengkonversi kurkumin menjadi produk derivat glikosida, pada penelitian ini diisolasi dua
cDNA yang mengkode glukosiltransferase baru, yang disebut CaUGT1 dan CaUGT2 dari
kultur sel C. roseus. Ekspresi heterolog gen tersebut pada Escherichia coli menunjukkan
konversi kurkumin menjadi kurkumin monoglikosida dan diglikosida oleh CaUGT2
(Kaminaga, Sahin, & Mizukami, 2004).

3.1.10. Metode dan Bahan


Pertama-tama, dilakukan isolasi Poly(A)+RNA dari sel C. roseus yang dipanen setelah
ditumbuhkan 24 jam dengan penambahan MJ menggunakan Quick Prep mRNA Purification
Kit. Dibuat cDNA library dengan ZAPcDNA Synthesis Kit.
Suatu primer degenerate disusun berdasarkan sekuens asam amino pada plant secondary
product glycosyltransferase box (PSPG-box) yang bersifat conserved/ tetap pada berbagai
strain dan spesies. Dilakukan PCR dengan template cDNA dan pasangan primer degenerate
dan primer T7. Produk amplifikasi PCR sepanjang sekitar 500 bp dipurifikasi dari gel agarosa

12
dan dikloning pada plasmid pCR2.1-TOPO. Dipilih 9 hasil kloning secara acak, yang
ditemukan memiliki kemiripan signifikan dengan glukosiltransferase tumbuhan. Dengan
melakukan PCR kembali dengan primer universal T3 dan primer reverse yang spesifik
terhadap sekuens 3’, diperoleh amplifikasi penuh klon cDNA.
Daerah open reading frame (ORF) dari CaUGT1 dan CaUGT2 diamplifikasi dengan PCR
untuk mendapatkan insert untuk ekspresi pada vektor plasmid pMAL. Hasil amplifikasi
sepanjang 1,5 kb dikloning pada vektor pMAL-c2 dan disekuensing untuk memastikan tidak
terjadi mutasi. Vektor ekspresi pMAL-CaUGT1 dan pMAL-CaUGT2 kemudian
ditransformasikan pada E. coli JM109. Bakteri yang telah ditransformasi ditumbuhkan pada
medium Luria Bertani mengandung 100 ppm carbenicillin pada suhu 37C hingga OD600
mencapai nilai 1,0, lalu diinduksi dengan IPTG dengan konsentrasi akhir 1 mM. Kultur
diinkubasi kembali pada 30C selama semalaman kemudian dipanen dengan sentrifugasi.
Enzim dipurifikasi dengan sonikasi pelet bakteri dalam 20 mM dapat Tris-HCl (pH 7,6)
mengandung 200 mM NaCl dan 5 mM EDTA, kemudian disentrifugasi pada 12.000 x g selama
15 menit pada 4C. Fraksi terlarut diperlakukan pada kolom resin amilosa dengan eluen 20
mM maltosa dalam buffer kolom. Konsentrasi protein ditetapkan dengan metode Bradford.
Aktivitas enzimatik diujikan secara in vitro dan dikonfirmasi dengan KCKT detektor UV.

3.1.11. Hasil dan Pembahasan


Glukosiltransferase pada tumbuhan termasuk dalam famili gen tumbuhan yang mirip
dengan O-metiltransferase dan sitokrom P450. Berdasarkan multiple sequence alignment dari
sekuens terduga glycosyltransferase dari Cassava dan beberapa glycosyltransferase lain yang
terlibat dalam metabolisme flavonoid, dapat disimpulkan sekuens konsensus sepanjang 40
asam amino yang ditentukan sebagai domain conserved. Dari daerah ini, dapat didesain suatu
primer degenerate untuk mentarget sekuens peptida ini. Berdasarkan hasil PCR pada library
cDNA C. roseus, diperoleh dua isolat cDNA, yaitu CaUGT1 dan CaUGT2.
Berdasarkan pohon filogenetik, CaUGT1 memiliki kemiripan dengan glikosiltransferase
pada tembakau dan arbutin sintase dari Rauwolfia serpentina, sedangkan CaUGT2 memiliki
kedekatan dengan glikosiltransferase Scutellaria baicalensis, Dorotheanthus bellidiformis, dan
Gentiana triflora.
Hasil eksperimen ekspresi heterolog menunjukkan bahwa hanya CaUGT2 yang dapat
melakukan glikosilasi kurkumin. CaUGT memiliki spesifisitas yang luas pada berbagai

13
substrat fenolik, dengan kurkumin sebagai afinitas terbaik. CaUGT2 juga diregulasi secara
meningkat oleh MJ.
Walaupun menghasilkan karakteristik enzim glikosiltransferase dengan aktivitas yang
menjanjikan, percobaan glikosilasi in vivo pada E. coli rekombinan menghasilkan yield produk
hanya sebesar 4% pada kemampuan maksimum, dan hanya menghasilkan kurkumin
monoglukosida. Sehingga dapat disimpulkan bahwa CaUGT2 berpotensi untuk metode
produksi kurkumin glikosida yang aktif secara farmakologis, namun penelitian mengenai
integrasi dan ekspresi gen CaUGT2 masih harus dilanjutkan untuk mencapai efisiensi
biotransformasi kurkumin dan berbagai produk lain melalui mikroorganisme rekombinan.

14
BAB III
KESIMPULAN

3.6 Kesimpulan

Kurkumin glikosida masih banyak terus dikembangkan karena dapat meningkatkan


bioavailabilitas dan aktivitas farmakologis dari kurkumin. Berbagai metode telah diteliti untuk
memproduksi kurkumin glikosida, seperti metode sintesis kimia, kultur sel tumbuhan dengan
substrat kurkumin eksogen, hingga mikroorganisme rekombinan yang mengekspresikan enzim
glikosiltransferase. Dari penelitian tersebut, diperoleh hasil-hasil yang cukup menjanjikan
untuk dikembangkan pada skala produksi yang lebih besar. Akan tetapi, perlu dilakukan
analisis dan perencanaan yang lebih matang lagi mengenai cost-effectiveness dari produksi
kurkumin glikosida dari masing-masing metode. Ke depannya, diharapkan kurkumin glikosida
dapat diproduksi dengan lebih masif untuk mendukung pengujian klinis mengenai aktivitas
kurkumin pada kesehatan manusia dan pengembangan produk farmasi yang efektif.

15
DAFTAR ACUAN

Gurung, R. B., Gong, S. Y., Dhakal, D., Le, T. T., Jung, N. R., Jung, H. J., ... & Sohng, J. K.
(2017). Synthesis of curcumin glycosides with enhanced anticancer properties using
one-pot multienzyme glycosylation technique. J. Microbiol. Biotechnol, 27(9), 1639-
1648.
Kaminaga, Y., Nagatsu, A., Akiyama, T., Sugimoto, N., Yamazaki, T., Maitani, T., &
Mizukami, H. (2003). Production of unnatural glucosides of curcumin with drastically
enhanced water solubility by cell suspension cultures of Catharanthus roseus. FEBS
letters, 555(2), 311-316.
Kaminaga, Y., Sahin, F. P., & Mizukami, H. (2004). Molecular cloning and characterization
of a glucosyltransferase catalyzing glucosylation of curcumin in cultured Catharanthus
roseus cells. FEBS letters, 567(2-3), 197-202.
Le, T. T., Pandey, R. P., Gurung, R. B., Dhakal, D., & Sohng, J. K. (2014). Efficient enzymatic
systems for synthesis of novel α-mangostin glycosides exhibiting antibacterial activity
against Gram-positive bacteria. Applied microbiology and biotechnology, 98(20),
8527-8538.
Lopresti, A. L. (2018). The problem of curcumin and its bioavailability: could its
gastrointestinal influence contribute to its overall health-enhancing effects?. Advances
in Nutrition, 9(1), 41-50.
Nguyen, T. T. H., Si, J., Kang, C., Chung, B., Chung, D., & Kim, D. (2017). Facile preparation
of water soluble curcuminoids extracted from turmeric (Curcuma longa L.) powder by
using steviol glucosides. Food chemistry, 214, 366-373.
Prasad, S., Tyagi, A. K., & Aggarwal, B. B. (2014). Recent developments in delivery,
bioavailability, absorption and metabolism of curcumin: the golden pigment from
golden spice. Cancer research and treatment: official journal of Korean Cancer
Association, 46(1), 2.
Zhang, X., Ye, M., Li, R., Yin, J., & Guo, D. A. (2010). Microbial transformation of curcumin
by Rhizopus chinensis. Biocatalysis and Biotransformation, 28(5-6), 380-386.

16

Anda mungkin juga menyukai