Anda di halaman 1dari 48

Modul Demam

Mahasiswa Kedokteraan tropis

Oleh : Kelompok X

1. Moh. Fachrul Ramadhan


2. Andi Khairul Anam
3. Erik Sam
4. Kawika Dwi Saputri
5. Wd. Milhaerunissa Putri H
6. Fatimah Yuningsih
7. Sandhi Wirya Andrayuga
8. Masra Linda Sari
9. Muhammad Zulfikarrahim
10. Widiyah Darmawan
11. Fathuhr Rahman
12. Shindy Natalia

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018
MODUL 1 DEMAM

SKENARIO

Seorang anak perempuan berumur 10 tahun datang ke poliklinik umum dengan


keluhan demam tinggi dan mendadak selama 3 hari. Pasien mengeluh nyeri ulu
hati dan sakit kepala hebat. Sebelum datang ke poliklinik pasien sudah muntah 3
kali dirumah

A. KALIMAT KUCI

1. Anak perepmuan 10 tahun

2. Demam tinggi dan mendadak 3 hari

3. Nyeri ulu hati dan sakit kepala hebat

4. Sudah muntah 3 kali di rumah

B. PERTANYAAN

1. Jelaskan defenisi demam

2. Jelaskan klasifikasi demam

3. Jelaskan faktor pencetus terjadinya demam

4. Sebutkan penyakit yang menyebabkan demam dan etiologinya

5. Jelaskan tatalaksana demam menurut etiologinya

6.. Jelaskan pencegahan demam

7. Jelaskan patomekanisme tiap gejala

8.. Jelaskan langkah-langkah diagnosis

9. Jelaskan DD dan DS
C. JAWABAN

1. Defenisi demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat perubahan
dari pusat termoregulasi yang terletak di hipotalamus. Suhu tubuh biasanya
diukur dengan thermometer air raksa dan tempat pengukurannya dapat
dilakukan di aksila, oral atau rectum. Suhu tubuh normal berkisar antara
36,5o-37,2oC. Suhu subnormal di bawah 36oC, dengan demam pada
umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,2oC (Sherwood, 2014).

2. Klasifikasi demam

a. Demam septik

Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang lebih
tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal
pada pagi hari. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang
normal dinamakan juga demam hektik.

b. Demam remiten

Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal.

c. Demam Intermiten

Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas
demam di antara dua serangan demam disebut kuartana.

d. Demam kontinyu

Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda
lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia
e. Demam siklik

Pada tipe demam siklik terjadi kenaikansuhu badan selama beberapa hari
yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula. (Sherwood, 2014)

3. Faktor pencetus terjadinya demam

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non


infeksi.Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus,
jamur, ataupun parasit.Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan
demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis,
appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan
lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara
lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam
chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,
criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara
lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi,
keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma
non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik,
difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat
mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi
selama ±1-10 hari. Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi
penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan
otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan.(Setiati
dkk, 2014).
4. Penyakit yang menyebabkan demam dan etiologinya

a. Demam Berdarah Dengue


etiloginya virus dengue
b. Malaria
etiologinya plasmodim falcifarum, vivax, ovale, malariae dan knowlesi
c. Tifoid
etiologinya bakteri salmonela thypi
d. Chikungunya
etiologinya infeksi virus melalui gigitan nyamuk
e. Leptospirosis
etiologinya bakteri leptospira interrogans
(Setiati dkk, 2014).

5. Tatalaksana demam menurut etiologinya

a. Demam Tifoid

1) Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah


komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar
akan membantu mempercepat masa penyembuhan.

2) Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan


penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun
dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
3) Pemberian antimikroba

- Sefalosporin generasi ketiga

Ceftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½


jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.

- Fluorokuinolon

Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

Ciprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama enam hari

Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

Levofloksasin 1 x 500 mg selama 5 hari

- Azitromisin

Dosis 2 x 500 mg

- Kotrimoksazol

Dosis dewasa : 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung


sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan
selama 2 minggu.

- Kloramfenikol

Dosis yang diberikan : 4 x 500 mg/hari dapat diberikan oral atau


intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas panas.

- Tiamfenikol

Dosisnya 4 x 50 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5.

- Ampisilin dan amoksisilin

Dosis : 50-150 mg/kgbb digunakan selama 2 minggu (Setiati dkk,


2015).
b. Demam kuning (yellow fever)

Tidak ada pengobatan yang spesifik. Terapi supportif ditujukan langsung


untuk mengoreksi kehilangan cairan dan mempertahankan stabilitas
hemodinamik. Penangana dan pencegahan hipoglikemi diberikan
antagonis H2 atau inhibitor pompa proton (PPI) bisa dilakukan.
Pemberian vitamin K dan Fresh Frozen Plasma (FFP) disarankan untuk
menangani gangguan koagulasi (Setiati dkk, 2015).

c. Malaria
Pengobatan malaria tanpa komplikasi memakai obat ACT (Artemisinin
base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) sebagai obat
utama dengan dosis 20 mg/kg dibagi 2 dosis. Hari 1 : 10 mg/kg untuk
enam hari (Setiati dkk, 2015).
1) Malaria falciparum
Lini pertama : dihidroartemisinin (2-4 mg/kgBB) + piperakuin
(16 -32 mg/kgBB) + primakuin 0,75 mg/kgBB)
Lini kedua : kina (tablet 200 mg kina fosfat/sulfat) +
doksisiklin/tetrasiklin + primakuin
2) Malaria vivax dan ovale
Lini pertama : artesunate + amodiakuin atau DHP
Lini kedua (malaria vivax) kina + primakuin
3) Malaria malariae
ACT 1 x 1 hari selama 3 hari dengan dosis sama dengan pengobatan
lain.

3) Prinsip pengobatan malaria :

- Penderita tergolong malaria tanpa komplikasi diobati dengan


ACT (Artemisinin base Combination Therapy)
- Penderita malaria berat diobati dengan Artesunate iv
- Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil
pemeriksaan darah mikroskopik positif atau RDT yang positif
- Pengobatan harus radikal dengan penambahan primakuin
d. Leptospirosis
Leptospirosis dapat diterapi dengan beberapa jenis antibiotik yang
masih sensitif, seperti doxycycline, tetracycline, penicillin, dan
erytromycin atau azithromycin (Setiati dkk, 2015).
1) Doxycycline 2 x 100 mg selama 7 hari
2) Ampicillin 750 mg/ enam jam selama 7 hari
3) Amoksisilin 4 x 500 mg selama 7 hari
4) Dialisis atau ventilator jika perlu
e. Chikungunya
kini masih tiada pengobatan spesifik untuk penyakit ini dan vaksin yang
berguna sebagai tindakan preventif juga belum ditemukan.
Pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan suppo rtif seperti
pemberian analgesik, antipiretik, anti inflamasi. Pemberian aspirin
kepada penderita demam chikungunya ini tidak dianjurkan karena
dikuatiri efek aspirin terhadap platelet. Pemberian chloroquine phosphate
sangat efektif untuk arthritis chikungunya kronis (Setiati dkk, 2015).

f. Demam Berdarah Dengue


Tata laksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas
3 fase. Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik
dan suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan
dosis 10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >380C. Pemberian aspirin
dan ibuprofen merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang
membantu apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres.
Pemberian antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat
memperpendek durasi demam. Pengobatan suportif lain yang dapat
diberikan antara lain larutan oralit, larutan gula-garam, jus buah, susu,
dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah
hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu
diberikan, maka pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai rumatan.

Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasma


yang ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau
makan dan minum melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan
kristaloid (ringer laktat dan ringer asetat). Selama fase kritis pasien harus
menerima cairan rumatan ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi
sedang. Pada pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg, total cairan
intravena setara dewasa, yaitu 3000 ml/24 jam. Pada pasien obesitas,
perhitungkan cairan intravena berdasarkan berat badan idéal. Pada kasus
non syok, untuk pasien dengan berat badan (BB) <15 kg, pemberian
cairan diawali dengan tetesan 6-7 ml/kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5
ml/kg/jam, dan pada anak dengan BB >40 kg, cairan cukup diberikan
dengan tetesan 3-4 ml/kg/jam.

Tatalaksana DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20% :

1) Meningkatnya hematokrit >20% menunjukkan bahwa tubuh


mengalami defisit cairan 5%. Pada keadaan ini terapi awal
pemberian cairan kristaloid 6-7 ml/kg/jam (dipantau 3-4 jam).
2) Bila terjadi perbaikan (hematokrit turun, frekuensi nadi turun,
tekanan darah stabil, produksi urin meningkat) maka jumlah
cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dipantau 2 jam,
jika menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 3 ml/kgBB/jam. Jika dalam pemantauan menjadi baik
maka pemberian cairan dihentikan 24-48 jam kemudian.
3) Jika setelah pemberian cairan awal keadaan belum membaik (Ht
dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg,
produksi urin menurun) maka menaikkan jumlah cairan menjadi
10 ml/kgBB/jam, 2 jam kemudian dipantau.
4) Jika menunjukkan perbaikan, maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam, tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dinaiikan menjadi
15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi buruk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien
ditangani sesuai protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada
dewasa.
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok

1) Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4


L/menit secarra nasal.
2) Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat
secepatnya dan dievaluasi setelah 15-30 menit.
3) Jika renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik
100 mmHg dan tekanan nadi >20 mmHg, frekuensi nadi
<100kali/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat,
dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah
cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-
120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan
tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48
jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan infus
harus dihentikan.
4) Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian
kristaloid 20-30 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau
pertimbangkan pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal
30 ml/kgBB/24 jam.
5) Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin
menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi;
berikan transfusi darah/komponen.
6) Jika nilai hematokrit meningkat maka pemberian cairan koloid
merupakan pilihan.
7) Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi
perifer mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan
dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara
bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan
laboratorium.
8) Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah
36-48 jam. Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian
cairan yang terlalu banyak daripada pemberian yang terlalu
sedikit. (Setiati dkk, 2015).

g. Mumps
Tatalaksana parotitis mumps adalah simptomatik dan suportif. Diberikan
analgesik-antipiretik untuk mengurangi nyeri karena pembengkakan
parotis dan menurunkan demam. (Setiati dkk, 2015)

6. Pencegahan Demam

Secara umum, demam dapat dicegah dengan menerapkan pola hidup bersih
dalam keseharian. Hal tersebut dilakukan agar dapat mengurangi pajanan
terhadap penyakit menular yang seringkali menyebabkan demam. Biasakan
untuk selalu mencuci tangan apabila merasa terpapar dengan benda atau
lingkungan yang tidak steril. Tangan juga dapat diseka menggunakan tisu
basah atau pun cairan pembersih tangan ketika sedang bepergian.
Menjauhkan tangan dari hidung, mulut, dan mata. Ketiga bagian ini mampu
menjadi pintu utama bagi bakteri maupun virus untuk memasuki tubuh
manusia. Usahakan untuk menutup mulut saat batuk atau hidung saat bersin,
hindari juga berbagi penggunaan gelas, botol air minum, dan peralatan
makan dengan orang lain (WHO, 2012).
7. Patomekanisme tiap gejala
a. Demam
Mekanisme Demam Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik,
maka monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat
kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen IL-1(interleukin 1), TNFα
(Tumor Necrosis Factor α), IL-6 (interleukin6), dan INF (interferon)
yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk
meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu
di titik patokan yang baru dan bukan di suhu normal. Sebagai contoh,
pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9° C,
hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37° C
terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon
dingin untuk meningkatkan suhu tubuh (Ganong, 2002).
b. Mual dan muntah
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,
memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus
tractus solitarius dan area postrema.Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
berlokasi di area postrema.Rangsangan perifer dan sentral dapat
merangsang kedua pusat muntah dan CTZ.Afferent dari faring, GI tract,
mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat
muntah.Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat
batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem Vestibular di
telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah.
Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau
zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang
CTZ.9Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah
yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan
perasaaan takut yang tidak nyaman.12 Nukleus traktus solitaries dapat
juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan
parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran
cerna dan saluran kemih.35Sistem vestibular dapat dirangsang melalui
pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular
telinga tengah.14Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid
dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus
solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin,
histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik.Reseptor-reseptor ini
mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang.Sebenarnya
reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah.Pusat muntah
mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan
dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah(Sanusi, 2011).
c. Nyeri ulu hati
Dapat disebabkan oleh trauma, infeksi, inflamasi, gangguan
gastroinestina, toksisitas, sekresi empedu dan lain- lain. Berawal karena
refluks dari asam lambung atau sekret empedu ke oesophagus,
oesophagus teriritasi dan paparan asam lambung pada
oesophagusmenyebabkan inflamasi dan over stimulant (Sanusi, 2011).

8. Langkah-langkah diagnosis
a. Anamnesis
1) Identitas pasien
- nama
- umur
- alamat
2) riwayat pnyakit sekarang
- keluhan utama (demam)
- onset demam dan durasi demam (timbul mendadak, kapan
terjadi? Sudah berapa Berapa lama?)
- sifat demam ( subferis, febris, terus menerus, intermiten, lebih
tinggi pada pagi, siang, sore atau malam hari)
- keluhan yang menyertai

3) riwayat penyakit dahulu


4) riwayat kesehatan keluarga ( apakah dikeluarga atau lingkungan
sekitar ada riwayat penyakit yang sama)
5) tanyakan tentang riwayat imunisasi ( terutama pada paien anak)
6) tanyakan tentang ada atau tidak riwayat berpergian ke luar daerah
endemik penyakit tertentu
7) tanyakan adanya riwayat kontak dengan hewan atau penderita
penyakit dengan gejala demam
8) tanyakan riwayat pengobatan yang pernah diterima
b. Pemeriksaan fisik
1) Tanda vital
- Suhu tubuh meningkat >37,5ºC pada penyakit DBD, difteri,
leptospirosis, influenza dll.
- Pernapasan
Takipneu bisa terjadi pada penderita difteri.
- Nadi
Takikardi bisa terjadi pada penderita DBD
- Tekanan darah
2) Inspeksi
- Terdapat ruam atau bintik merah pada kulit, petekie, ekimosis ataupun
purpura biasa ditemukan pada penderita DBD.
- Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi
tenggorokan dan amandel biasanya pada penderita difteri
- Pendarahan conjuctiva biasa terlihat pada penderita
leptospirosis
- Mata merah, kulit merah (terutama wajah), serta kemerahan
pada mulut, tenggorok, dan hidung bisa ditemukan pada
penyakit influenza

3) Palpasi
- Teraba hepatomegali pada pemeriksaan penderita demam tifoid
- Teraba Splenomegali pada penderita malaria, ini merupakan
gejala khas.
- Pembengkakan kelenjar limfe pada leher pada pemeriksaan
penderita difteri
- Noda limfa atau kelenjar getah bening membengkak pada
bagian leher dan pangkal paha bisa ditemukan pada penderita
HIV.
4) Perkusi
- Terdengar suara pekak pada hepar penderita demam tifoid.
- Terdengar suara pekak pada lien pada penderita malaria.
5) Auskultasi
- Menilai gerak peristaltik usus (Sudoyo, 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis pada pasien demam antara lain :

1) Hematologi rutin, Dapat mendeteksi adanyainfeksi dan


penyakitdarah termasuk leukemia. Pemeriksaan hematologi rutin
mencakup:
- Hemoglobin (Hb)
Hb rendah (<10 gram/dL) biasanya dikaitkan dengan
anemia defisiensi besi. Sebab lainnya dari rendahnya Hb
antara lain pendarahan berat, hemolisis, leukemia leukemik,
lupus eritematosussistemik, dan diet vegetarian ketat
(vegan). Dari obat-obatan: obat antikanker, asam
asetilsalisilat, rifampisin, primakuin, dan sulfonamid.
Ambang bahaya adalah Hb < 5 gram/dL.

Hb tinggi (>18 gram/dL) berkaitan dengan luka bakar, gagal


jantung, COPD (bronkitis kronik dengan cor pulmonale),
dehidrasi / diare, eritrositosis, polisitemia vera, dan pada
penduduk pegunungan tinggi yang normal. Dari obat-
obatan: metildopa dan gentamisin.

- Hematokrit
Ht tinggi (> 55 %) dapat ditemukan pada berbagai kasus
yang menyebabkan kenaikan Hb; antara lain penyakit DBD,
penyakit Addison, luka bakar, dehidrasi / diare, diabetes
melitus, dan polisitemia. Ambang bahaya adalah Ht>60%.

Ht rendah (< 30 %) dapat ditemukan pada anemia, sirosis


hati, gagal jantung, perlemakan hati, hemolisis, pneumonia,
dan overhidrasi. Ambang bahaya adalah Ht<15%.

- Leukosit (Hitung total)


Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik
infeksi bakteri, virus, parasit, dan sebagainya. Kondisi lain
yang dapat menyebabkan leukositosis yaitu:

 Anemia hemolitik
 Sirosis hati dengan nekrosis
 Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan
habis berolahraga)
 Keracunan berbagai macam zat
 Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat,
eritromisin.
Leukosit rendah (disebut juga leukopenia) dapat disebabkan
oleh agranulositosis, anemia aplastik, AIDS, infeksi atau
sepsis hebat, infeksi virus (misalnya dengue), keracunan
kimiawi, dan postkemoterapi. Penyebab dari segi obat
antara lain antiepilepsi, sulfonamid, kina, kloramfenikol,
diuretik, arsenik (terapi leishmaniasis), dan beberapa
antibiotik lainnya.
- Leukosit (hitung jenis)
Merupakan pemeriksaan terpenting untuk mendeteksi
infeksi.Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai
diagnostik, kecuali untuk penyakit alergi di mana eosinofil
sering ditemukan meningkat.

 Neutrofil berfungsi melawan infeksi bakteri. Biasa


jumlahnya adalah 55-70% dari leukosit. Jika
neutrofil kita rendah (disebut neutropenia), kita lebih
mudah terkena infeksi bakteri. Penyakit HIV lanjut
dapat menyebabkan neutropenia. Begitu juga,
beberapa jenis obat yang dipakai oleh Odha
(misalnya gansiklovir untuk mengatasi
virussitomegalo) dan AZT (semacam ARV).
 Ada dua jenis utama limfosit: sel-T yang menyerang
dan membunuh kuman, serta membantu mengatur
sistem kekebalan tubuh; dan sel-B yang membuat
antibodi, protein khusus yang menyerang kuman.
Jumlah limfosit umumnya 20-40% dari leukosit.
Salah satu jenis sel-T adalah sel CD4, yang tertular
dan dibunuh oleh HIV. Hitung darah lengkap tidak
termasuk tes CD4. Tes CD4 ini harus diminta
sebagai tambahan. Hasil hitung darah lengkap tetap
dibutuhkan untuk menghitung jumlah CD4,
sehingga dua tes ini umumnya dilakukan sekaligus.
 Monosit atau makrofag mencakup 2-8% dari
leukosit. Sel ini melawan infeksi dengan ‘memakan’
kuman dan memberi tahu sistem kekebalan tubuh
mengenai kuman apa yang ditemukan. Monosit
beredar dalam darah. Monosit yang berada di
berbagai jaringan tubuh disebut makrofag. Jumlah
monosit yang tinggi umumnya menunjukkan adanya
infeksi bakteri.
 Eosinofil biasanya 1-3% dari leukosit. Sel ini terlibat
dengan alergi dan tanggapan terhadap parasit.
Kadang kala penyakit HIV dapat menyebabkan
jumlah eosinofil yang tinggi. Jumlah yang tinggi,
terutama jika kita diare, kentut, atau perut kembung,
mungkin menandai keberadaan parasit.
 Fungsi basofil tidak jelas dipahami, namun sel ini
terlibat dalam reaksi alergi jangka panjang, misalnya
asma atau alergi kulit. Sel ini jumlahnya kurang dari
1% leukosit.
 Persentase limfosit mengukur lima jenis sel darah
putih: neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan
basofil, dalam bentuk persentase leukosit. Untuk
memperoleh limfosit total, nilai ini dikalikan dengan
leukosit. Misalnya, bila limfosit 30,2% dan leukosit
8.770, limfosit totalnya adalah 0,302 x 8.770 =
2.648.
 shifttotheleft. Peningkatan jumlah netrofil (baik
batang maupun segmen) relatif dibanding limfosit
dan monosit dikenal juga dengan sebutan
shifttotheleft. Infeksi yang disertai shifttotheleft
biasanya merupakan infeksi bakteri dan malaria.
Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan
shifttotheleft antara lain asma dan penyakit-penyakit
alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa,
keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera.
 Shifttotheright. Sedangkan peningkatan jumlah
limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil
disebut shifttotheright. Infeksi yang disertai
shifttotheright biasanya merupakan infeksi virus.
Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan
shifttotheright antara lain keracunan timbal, fenitoin,
dan aspirin.
- Trombosit
 Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat
ditemukan pada demamberdarah dengue, anemia,
luka bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang
bahaya pada <30.000 sel/mm3.
 Peningkatan trombosit (trombositosis) dapat
ditemukan pada penyakit keganasan, sirosis,
polisitemia, ibu hamil, habis berolahraga, penyakit
imunologis, pemakaian kontrasepsi oral, dan
penyakit jantung. Biasanya trombositosis tidak
berbahaya, kecuali jika >1.000.000 sel/mm3.
- Laju endap darah
 LED yang meningkat menandakan adanya infeksi
atau inflamasi, penyakit imunologis, gangguan
nyeri, anemia hemolitik, dan penyakit keganasan.
 LED yang sangat rendah menandakan gagal jantung
dan poikilositosis.
- Hitung eritrosit
 Peningkatan jumlah eritrosit ditemukan pada
dehidrasi berat, diare, luka bakar, perdarahan berat,
setelah beraktivitas berat, polisitemia, anemia
sicklecell.
 Penurunan jumlah eritrosit ditemukan pada berbagai
jenis anemia, kehamilan, penurunan fungsi sumsum
tulang, malaria, mieloma multipel, lupus, konsumsi
obat kloramfenikol, parasetamol, metildopa,
tetrasiklin, INH, asam mefenamat (Sudoyo, 2009).
2) Pemeriksaan Sero-Imunologi
Pemeriksaan serologis dapat bermanfaat pada seorang
pasien “demam belum terdiagnosis”.Biasanya diperlukan
dua spesimen darah untuk pemeriksaan ini.Hal ini berguna
untuk interpretasi titer serologik.Suatu kenaikan titer
sebesar 4 kali atau lebih mempunyai arti yang sangat besar
untuk dapat menentukan kemungkinan penyebab
penyakit.Untuk mengatasi frustasi dalam mencari penyebab
demam yang tidak mau turun, pengujian ini sangat
bermanfaat(Sudoyo, 2009).

Daftar Uji Virologis


No. Virus Penyebab Jenis Uji Penyakit
1. Dengue NS-1, (IHA, untuk Demam dengue atau
penelitian) demam berdarah D
2. Cytomegalovirus Anti-CMV IgM Infeksi
(CMV) Elisa, aviditas CMV Cytomegalovirus
Anti-CMV IgG
Elisa
3. Epstein – Barr Paul Bunner Mononukleosis
Virus Anti EBV infeksiosa
(EBV)
4. Hepatitis A-E Anti Virus A-E Hepatitis akut
5. Coxiella burnetti IFA Demam Q
6. HIV Anti HIV-Elisa HIV/AIDS
Viral load HIV
Daftar Uji Bakterio-parasitologis
No. Penyakit Infeksi Jenis Uji Penyakit
1. Salmonella typhi Widal, Typhidot Demam tifoid
PCR
2. S.paratyphi Widal Demam paratiroid
A/B/C
3. Streptokokus ASTO Demam reumatik
4. Mikrobakteria Myco Dot TB PAP TBC Pulmonal dan
Anti TB TBC ekstrapulmonal
5. Leptospira spp M A T, IgM lepto Leptospirosis
6. Brucella spp Aglutinasi Brusellosis
7. Rickettsia spp Well Felix Ricketsiosis
8. Mycoplasma IF Mycoplasmosis
pneum
9. Legionella IF Legionellosis
10. Toxoplasma Elisa IgG/IgM, Toksoplasmosis
Gondhi aviditas
11. E. histolitica IDT Amubiasis
12. Filaria spp IFAT Filariasis
13. Candida spp Mikrosop cahaya Candidiasis
KOH/NACL,
Chromagar
14. Histoplasma IDT Histoplasmosis
capsulatum

3) Kimiadarah
Pemeriksanelektrolit, kadarglukosa, blood urea nitrogen dan
kreatininharusdilakukan. Tes
faalheparbiasanyadikerjakanpenyebabdemamtidakmenunju
kkankemungkinan organ lain. Pemeriksaankimiatambahan
(kreatin fosfokinase
dll).Dapatditambahkandenganberlanjutnyapenelitianpadapa
sien(Sudoyo, 2009).
4) Mikrobiologi
Sediaanapus dan kultur dari tenggorok, uretra, anus, serviks
dan vagina harusdibuatdalamsituasi yang tepat.
Pemeriksaansputum (pengecatan Gram, BTA, Kultur)
diperlukanuntuksetiappasien yang menderitademam dan
batuk-batuk. Pemeriksaan kultur darah dan kultur cairanan
normalsertaurinediperlukankalaukeadaandemamtersebutlebi
h dari penyakit virus yang terjaditanpakomplikasi. Cairan
cerebrospinal harusdiperiksa dan dikultur bila
terdapatmeningismus, nyerikepalaberatatauperubahan status
mental(Sudoyo, 2009).
5) Radiologi
Pembuatan foto thoraksbiasanyamerupakanbagian dari
pemeriksaanuntuksetiappenyakitdemam yang signifikan.
Padasebagianbesarpasien yang menderitademam, anamnesis
riwayatmedis, pemeriksaanfisik dan pemeriksaan
laboratorium untukskreningpendahuluan akan
menghasilkandiagnosisataupasiensembuh spontan pada
kasus yang terakhir ini, penyakit virus
biasanyadipertimbangkansebagaisumberinfeksi yang
menyebabkandemam.Kalaudemamberlanjutselama 2-3
minggusementarapemeriksaanfisik dan penunjang yang
diulangselamawaktu itu tidakmemberikanhasilapapun,
pasiendapatdidiagnosissementarasebagai kasus
observasidemam yang penyebabnyatidakdiketahui (Sudoyo,
2009).
9. DD dan DS
a. Demam Berdarah Dengue
1) Defenisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) dengue
haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksiyang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik.Pada DBD terjadi
pembesaranplasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh.Sindrom ranjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok(Setiati
dkk, 2015).
2) Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga
Flaviviridae.Falvivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue.Keempat serotipe ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.Dalam laboratorium
virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar dan primata.Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada
hewan kuda, sapi, dan babi.Penelitian pada arthropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus
Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites. (Setiati dkk, 2015).
3) Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan,
demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai
renjatan Atau dengue shock syndrome (DSS)ditularkan nyamuk
Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD
adalah manusia, agentnya adalah virus Dengue yang termasuk ke
dalam famili Flaviridae Dan genus Flavivirus, Terdiri dari 4
serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4. Dalam 50 tahun
terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan
ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini,
dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.Virus dengue
dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di
daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di
Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara,
dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50
sampai 100 jutaorang, setengahnya dirawat di rumah sakitdan
mengakibatkan 22.000 kematian setiaptahun; diperkirakan 2,5
miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di
daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue
melalui gigitan nyamuk setempat. Jumlah kasus DBD tidak pernah
menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan
cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian
pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.
Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa
provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah
penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih.
Pada tahun-tahun berikutnya Jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004.
Misalnya jumlahkasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan
kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta
kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384
orang atau CFR 0,89%.Indonesia adalah salah satu daerah endemis
DBD. Dari data tahun 1968-2007 diperoleh kecenderungan
peningkatan insiden DBD . sejak tahun 2004, indonesia merupakan
negara dengan laporan kasus infeksi virus dengue terbanyak.
Peningkatan jumlah ini diiringi dengan penurunan mortalitas DBD
dari 3,4% (1985) menjadi 1% (2006). Berdasarkan riset kesehatan
dasar 2007, prevalensi kasus DBD tersebar diindonesia dengan
nilai 0,6% prevalensi tertinggi diperoleh pada kelompok umur
dewasa muda (25-34 tahun0 sebanyak 0,7% dan terendah pada
bayi (0,2%).(Setiati dkk, 2015).
4) Patogenesis
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap
infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu
yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah. Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ
sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus
limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian
menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada
infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus
ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentukkomponen
perantara dan komponenstruktur virus.Setelah komponen struktur
dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan
reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi
tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya. Secara
invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi
biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody
dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE.

Gambar1. Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue


Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan
DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary
heterologus infection) dan antibody dependent enhancement
(ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan,
bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe
virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi
serotipe virus denguetersebut untuk jangka waktu yang lama.
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh
serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat.
Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi
primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue
serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat
oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan
memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan
platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan
kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma
ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh
darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan
jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk
akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan
pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan
perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu
yangterinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak,
dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies
akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi
infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung
terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofagmudah
terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF
alpha juga PAF. Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi
spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah
penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya
apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin
spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan
DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.Selain kedua teori
tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada
perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan
DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal
tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada
teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau
kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang
ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada
4872% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG
dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B
dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas
komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator
yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue
akan melepasberbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-
12, TNF dan lain-lain, yang bersama Endotoksin
bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Pada infeksi virus dengue,
viremia ter- jadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat
terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan
(tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi
lebih disebabkan oleh gangguan metabolic (Setiati dkk, 2015).
5) Faktor Resiko
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena
membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau
melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin
terjadinya KLB.Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang
mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan
pembuangan sampah yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga
bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa
bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah
pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah,
keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan
pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah
dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko. Faktor risiko
yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue
yangmerupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian
di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki,
kemiskinan, Dan migrasi.Sedangkan Faktor risiko terjadinya
infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin
lakilaki, riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya
serta migrasi ke daerah perkotaan (Setiati dkk, 2015).

6) Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik,
atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam
berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD) dan sindrom
dengue diperluas.Pada umumnya pasien mengalami fase demam
selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada
waktu fase ini pasien sudaj tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi ranjatan jika tidak mendapat pengobatan
adekuat. Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dari ringan pada
DD hingga berat pada DBD. Gejala yang timbul antara lain:
- Demam bifasik yang muncul tiba-tiba
- Mual muntah
- Ruam kulit
- Nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat
menyeluruh atau terpusat pada supraorbital.nyeri otot
terutama pada tendon dan otot perut apabila ditekan.
- Gangguan pada mata: pembengkakan, injeksi konjungtiva,
lakrimasi, dan fotofobia
Tanda bahaya: nyeri perut, muntah persisten, akumulasi cairan
yang dapat terlihat pada pemeriksaan fisis, pendarahan mukosa,
letargi, pembesaran hepar 2cm, dan peningkatan hematokrik
bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit.(Setiati dkk, 2014).
7) Diagnosis
a) Klinis
Gejala klinis berikut yang harus ada, yaitu:
- Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
 uji bendung positif
 petekie, ekimosis, purpura
 perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
 hematemesis dan atau melena
- Pembesaran hati
- Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak
teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20 mmHg),
hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin,
kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik)
dan pasien tampak gelisah.
b) Laboratorium
- Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)
- Adanya kebocoran plasma karena peningkatan
permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar
 Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi
cairan
 Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium


(atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan
Diagnosis Kerja DBD.

c) Derajat Penyakit
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada
setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi)
- Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-
satunya manifestasi perdarahan ialah uji
bendung.
- Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di
kulit dan atau perdarahan lain.
- Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20
mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak
tampak gelisah.
- Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat
diraba dan tekanan darah tidak terukur. (Soedaro,
2007).
8) Penatalaksanaan
Tatalaksana DD atau DBD secara umum adalah tirah baring,
pemberian cairan, medikamentosa, simptomatik, dan antibiotik
hanya apabila terdapat infeksi sekunder.
a) Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok
Anak dirawat di rumah sakit

- Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air
tajin, air sirup, susu, untuk mengganti cairan yang hilang
akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare.
- Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal
atau ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang
terjadinya perdarahan.
- Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
 Berikan hanya larutan isotonik seperti Ringer laktat/asetat
 Kebutuhan cairan parenteral
o Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
o Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
o Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
 Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa
laboratorium (hematokrit, trombosit, leukosit dan
hemoglobin) tiap 6 jam
 Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis
membaik, turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai
keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya
memerlukan waktu 24–48 jam sejak kebocoran pembuluh
kapiler spontan setelah pemberian cairan.
- Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana sesuai
dengan tata laksana syok terkompensasi (compensated
shock).

b) Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok


- Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen
2-4 L/menit secarra nasal.
- Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer
laktat/asetat secepatnya.
- Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian
kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit)
atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam
maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
- Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan
hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya perdarahan
tersembunyi; berikan transfusi darah/komponen.
- Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi
perifer mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah
cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam
dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi
klinis dan laboratorium.
- Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan
setelah 36-48 jam. Ingatlah banyak kematian terjadi karena
pemberian cairan yang terlalu banyak daripada pemberian
yang terlalu sedikit. ( Soedarto, 2007).
-
9) Prognosis
mortalitas demam dengue relatif rendah. Namun, pada DBD/DSS
mortalitas cukup tinggi. Pada usia dewasa, prognosis dan
perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dibanding anak-anak
(Setiati dkk, 2015).

b. Demam Typhoid
1) Definisi:
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serovar typhi (S typhi).Salmonella enterica
serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi
yang disebut demam paratifoid.Demam tifoid dan paratifoid
termasuk ke dalam demam enterik.Pada daerah endemik, sekitar
90% dari demam enterik adalah demam tifoid.Demam tifoid juga
masih menjadi topik yang sering diperbincangkan. (Soedarto,
2007).
2) Epidemiologi:
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA
dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan
yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar
negara berkembang.1 Secara keseluruhan, demam tifoid
diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500
kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100
kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan
Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang
tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di
Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali
Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (< 10
kasus per tahun per 100.000 populasi) di bagian dunia lainnya
(Setiati dkk, 2015).
3) Etiologi:
Manusia adalah satu-satunya penjamu yangalamiah dan merupakan
reservoir untuk salmonellatyphi. Bakteri tersebut dapat
bertahanhidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam,atau air
laut dan selama berbulan-bulandalam telur yang sudah
terkontaminasi atautiram yang dibekukan. Pada daerah
endemik,infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarauatau
permulaan musim hujan.Dosisyang infeksius adalah 103-106
organisme yangtertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkanmelalui
makanan atau air yang terkontaminasioleh feses. Di indonesia,
insidens demamtifoid banyak dijumpai pada populasiyang berusia
3-19 tahun. Selain itu, demamtifoid di indonesia juga berkaitan
dengan rumahtangga, yaitu adanya anggota keluargadengan
riwayat terkena demam tifoid, tidakadanya sabun untuk mencuci
tangan, menggunakanpiring yang sama untuk makan, dantidak
tersedianya tempat buang air besar dalam rumah (Soedarto, 2007)
4) Patogenesis:
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang
melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi
tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung
dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum
terminalis.Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian
melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane
ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola
intraseluler.Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem
limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui
sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan
biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih
memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama
7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke
seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman
juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode
replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem
peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus
menandai berakhirnya periode inkubasi.Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri
abdomen.Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila
tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar
luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s
patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches
dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan
nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus
dapat menyusul ulserasi.Kekambuhan dapat terjadi bila kuman
masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan
berkesempatan untuk berproliferasi kembali.Menetapnya
Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa
kuman atau carrier (Setiati dkk, 2015).
5) Manifestasi Klinis:
Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan
atau gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam
yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala
yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap
harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan
lainnya. Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari
dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia,
nyeri abdomen, dan obstipasi.Dapat disertai dengan lidah kotor,
nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut
dari hati atau limpa atau kedua-duanya.Pada anak, diare sering
dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan
konstipasi.Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang
dewasa.Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat
demam tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar
25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots)
mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit
putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari
ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari (Soedarto, 2007).
6) Diagnosis:
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat
bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal
sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.Pengetahuan
mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk
membantu mendeteksi dini penyakit ini.Pada kasus-kasus tertentu,
dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis.Gambaran darah tepi pada
permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada
keadaan penyakit yang lanjut.Pada permulaan penyakit, dapat
dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan
pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan
(limfositosis relatif). Ciri lain yang sering ditemukan pada
gambaran darah tepi adalah aneosinofilia (menghilangnya
eosinofil). Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan
laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu: Isolasi bakteri;
deteksi antigen mikroba; titrasi antibodi terhadap organisme
penyebab. Kultur darah merupakan gold standard metode
diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien, bila darah
yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien
dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan
antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-
20% kuman saja yang terdeteksi). Peran pemeriksaan Widal (untuk
mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih
kontroversial.Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8
dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah
sakit.Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat
dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12
bulan.Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer
sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari
atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-
rata titer orang sehat setempat.Pemeriksaan Tubex dapat
mendeteksi antibodi IgM.Hasil pemeriksaan yang positif
menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang
dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada
Salmonella serogroup D. Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot
yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM
menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG
dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase
pertengahan.Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah
infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara
kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.Yang lebih baru
lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi
IgM saja.Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih tinggi dibandingkan Typhidot.Pemeriksaan ini dapat
menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis
sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya (Setiati dkk, 2015).
7) Terapi:
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas
demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari
kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total
bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat
Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi
yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat
mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2
kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik
kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim-
sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone.Nalidixic acid resistant Salmonella typhi
(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap
fluoroquinolone. Antibiotik golongan fluoroquinolone
(ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang
efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar
98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan
fecal carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi
ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler
di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi
dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.Berbagai
studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan
salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki
efektivitas yang baik adalah levofloxacin.Studi komparatif, acak,
dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap
obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa
komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali
sehari dan ciprofl oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali
sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat
dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam,
hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.Selain itu, pernah
juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi
dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa
komplikasi.Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali
sehari selama 7 hari.Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini
adalah 100% dengan efek samping yang minimal.Dari studi ini
juga terdapat perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di
antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di
mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2-4
hari.Sebuah metaanalisis yang dipublikasikan pada tahun 2009
menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa,
fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk
mencegah kekambuhan.Namun, fluoroquinolone tidak diberikan
pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan kerusakan sendi. (Setiati dkk, 2015).
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi
standar pada demam tifoid namun kekurangan dari
chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%),
angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum
tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan
klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari,
durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta
fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah
yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran
menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis
tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat.
(Soedarto, 2007)
Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO tahun 2003 tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid
sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan
keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain
pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi
suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi
yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang
lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan. (Setiati
dkk, 2015).
8) Komplikasi
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama
pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi
yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan
gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan
pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah
secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis
akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu. (Soedarto,
2007).

c. Chikungunya
1) Defenisi

Demam chikungunya adalahsuatupenyakitakut yang disebabkan


oleh golongan arbovirus yakni virus chikungunya. Virus
iniditularkanterutamadalam sylvatic cycle melibatkannyamuk
Aedes.Virus Chikungunya menyebabkansuatu spectrum penyakit
yang luasyaknidemam, rash yang karakteristik,
ketidakberdayaansendi, yang dapatbertahanselamabeberapabulan
(Suriptiastuti, 2007).

2) Epidemiologi

Virus CHIK telahbanyakdilaporkan di hamper semuabagianbenua


Afrika seperti yang diperlihatkan oleh derajatprevalensiantibodi
IgM terhadap virus ini dan isolasi virus darinyamuk di negara-
negara seperti Pantai Gading, Republik Afrika Tengah, dan
Senegal.Di Asia, wabah CHIK dilaporkanterjadi di daerah urban di
mana Ae. aegypti dan Ae. albopictus menjadivektornya.Daerah-
daerahendemik CHIK di Asia dan Asia Tenggara meliputi India,
Pakistan, Myanmar, Sri Langka, Philippines,Indonesia dan
Malaysia. Bertambahnya rasa
keprihatinanmengenaipenyakitiniadalahkarenakecepatan dan
luaspenyebarannya. Sejumlahkejadianwabahbanyakdilaporkan di
beberapa negara. Di India, epidemi yang pertamaterjadi pada tahun
1963 di Calcutta, kemudianmenyusulwabahkeduatahun 1973.
Tetapikemunculannyakembali (re-emergensi) terjadi di India
Selatan tahun2005,sejakituwabah CHIKberkembangluas,
mengenaibanyak orang dan
hinggasaatinijumlahkasusmencapaisekitar 180.000.
Penyebaranpenyakit virus inidilaporkankebanyakan di bagian India
Selatan dekatSamuderaHindia dan Teluk Bengal, sedangkan di
bagianutaratidakdijumpaiadanyakasus CHIK. Meskipun Infeksi
tidaksampaimenyebabkankematian, bertambahnyajumlahkasus
yang luarbiasabanyaknyasejaktahun 2005
itutelahmenimbulkankepanikan.Pada 2006, diperkirakansekitar
1,38 juta orang di sepanjangbagianselatan dan tengah India
menunjukangejala-gejala
CHIK.Insidenspenyakitmungkinlebihtinggidari pada yang
dilaporkankarenafaktor-
faktorsepertikesalahandalampengelompokan dan
ketidaktepatanpenggolonganpenyakit. Wabah yang terjadi di India
pada 1963 dan 1973 disebabkan oleh virus jenis (genotipe) Asia,
tetapiepidemi CHIK tahun 2005 yang terjadi di pulau-
pulauSamuderaHindia (pulau-pulau Reunion, Mayotte, Mauritius,
Seychelles) dan yang terjadi di India 2006, disebabkan oleh virus
genotipe Afrika Timur.Ada anggapanbahwaterjadinyamutasi virus,
rendahnyaderajatimunitasdaripenduduksetempat,
pengendalianvektor yang kurangmemadai, dan
globalisasidalammasalahperdagangan dan perjalanan (travel),
merupakanfaktor yang
menyebabkanterjadinyaresurgensiinfeksi.Antara bulan maret dan
april 2006, wabah CHIK dilaporkanterjadi di BaganPancor, Perak,
Malaysia, mengenailebihdari 200 orangdan merupakanwabahkedua
yang dilaporkan di Malaysia (Suriptiastuti, 2007).

3) Etiologi

Penyebabpenyakitiniadalah virus chikungunya , yang


dikenaldengannama Alphavirus dari family Togaviridae dan
ditularkanlewatnyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Masa
inkubasi virus adalah 2-4 hari, dan
gejalaklinisdapatberlangsungselama 3-10 hari. Gejalaini bias
hilangsendiri, namun rasa nyerimasihtertinggalselamaberhari-
harisampaiberbulan-bulan (Suriptiastuti, 2007).

4) Manifestasi Klinis

Penyakit Chikungunya pada dasarnyatidakmenyebabkankematian,


namunmenyebabkankeluhannyerisendiberlebihansehinggapenderita
tidakdapatmenjalankanaktivitassehari-
harimenyebabkankerugianmaterisecaratidaklangsung. Gejala yang
seringdijumpaiadalahdemamakutdisertainyeri pada sendi,
sakitkepala, sakitperut, mual/ muntah.biasanyasembuhsendiridalam
7-10 hari, kecualinyeri pada sendi yang bias berkepanjanganbahkan
sampai kronis. Diagnosis
berdasarkangejalaklinisyaitudemamdisertaidengansakitsendi dan
biasanyamengenaibanyak orang di daerah yang sama (attack rate
yang tinggi), ataupemeriksaanlaboratoriummenggunakan enzyme-
linked assay immunosorbent (ELISA) dan polymerase chain
reactions (PCR), karenaketerbatasanreagen dan
peralatanmakakeduajenispemeriksaaninijarangdilakukan.
Pengobatanbiasanyasuportif dan simptomatis;
vaksinuntukpencegahansampaisaatinibelumtersedia(Suriptiastuti,
2007).

5) Penatalaksanaan
Hinggakinimasihtiadapengobatanspesifikuntukpenyakitini dan
vaksin yang bergunasebagaitindakanpreventif juga
belumditemukan. Pengobatannyahanyabersifatsimptomatis dan
supportifsepertipemberiananalgesik, antipiretik, anti inflamasi.
Pemberian aspirin kepadapenderitademam chikungunya
initidakdianjurkankarenaefek aspirin terhadap platelet. Pemberian
chloroquine phosphate sangatefektifuntuk arthritis chikungunya
kronis. Penularanwabah chikungunya yang
semakinberkembangmembuat para
penelitiberminatmengembangkanagenantivirus baru,
RNAbertindakmencegahinfeksi yang ditimbulkanvirus
(Suriptiastuti, 2007).

6) Komplikasi

Penyebabmorbiditas yang tertinggiadalahdehidrasiberat,


ketidakseimbanganelektrolit dan hipoglikemia.
Beberapakomplikasi lain yang
dapatterjadimeskipunjarangberupagangguanperdarahan,
komplikasineurologis, pneumonia dan gagalnafas (Suriptiastuti,
2007).

7) Pencegahan

Melihatmasihtiadakematiankarena chikungunya yang dilaporkan


dan tiada Pengobatanspesifik dan vaksin yang sesuai,
makaupayapencegahansangat dititikberatkan.
Upayainilebihmenjuruskearahpemberantasansarangnyamuk
penularan dengancaramembasmijentiknyamuk. Individu yang
menderitademam chikungunya
inisebaiknyadiisolasisehinggadapatdicegahpenularannyake orang
lain. Tindakanpencegahangigitannyamuk bias
dilakukandenganmenggunakanobatnyamuk dan
repelantetapipencegahan yang
sebaiknyaberupapemberantasansarangnyamukpenular.
Pemberantasansarangnyamukseharusnyadilakukan pada
seluruhkawasanperumahanbukanhanya pada beberaparumah saja.
Untukituperluditerapkanpendekatanterpadupengendaliannyamukde
nganmenggunakanmetodeyang tepat (modifikasilingkungan,
biologi dan kimiawi) yang aman, murah dan ramahlingkungan
(Suriptiastuti, 2007).

8) Prognosis

Penyakitinibersifatself limiting diseases,


tidakpernahdilaporkanadanya
kematiansedangkankeluhansendimungkinberlangsung lama.
Penelitiansebelumnya pada 107 kasusinfeksi Chikungunya
menunjukkan 87,9% sembuhsempurna, 3,7%
mengalamikekakuansendiatau mild discomfort, 2,8%
mempunyaipersistent residual joint stiffness tapitidaknyeri dan
5,6% mempunyaikeluhansendiyang persistent, kaku dan
seringmengalamiefusisendi (Suriptiastuti, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Ganong W. F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC

Sanusi I.A. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi Edisi Pertama. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Setiati, S, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta:
InternalPublishing

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Jakarta. EGC.

Soedarto. 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya: Universitas Airlangga

Sudoyo W., Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 Edisi 5. Jakarta:
InternaPublishing.

Suriptiastuti. 2007. Re-emergensi Chikungunya: Epidemiologi Dan Peran Vektor


Pada Penyebaran Penyakit. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti

World Health Organization. 2012. An Information Booklet: Seasonal


Communicable Diseases and Prevention of Antibiotic Resistance. New
Delhi.
LAPORAN TUTORIAL
MODUL I DEMAM
BLOK KEDOKTERAN TROPIS

KELOMPOK 10 :
Moh. Fachrul Ramadhan K1A112089
Andi Khairul Anam K1A116002
Erik Sam K1A116003
Karwika Dwi Saputri N K1A116007
WD.Milhaerunnisa Putri H K1A116051
Fatimah Yuningsih K1A116052
Sandhi Wirya Andrayuga K1A116054
Masra Linda Sari K1A116055
Muhammad Zulfikarrahim K1A116985
Widiyah Darmawan K1A116088
Fathur Rahman K1A116124
Shindy Natalia K1A116116
Pembimbing :
dr. Irma Fatimah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

Anda mungkin juga menyukai