A. Pengertian Epidemiologi
Epidemiologi berasal dari kata Epi, demos dan logos. Epi berarti atas, demos berarti
masyarakat, logos berarti ilmu, sehingga epidemiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang kejadian di masyarakat.
Epidemiologi penyakit Dengue adalah ilmu yang mempelajari tentang kejadian dan distribusi
dan frekuensi penyakit Dengue (DD/DBD/SSD) menurut variabel epidemiologi (orang,
tempat dan waktu) dan berupaya menentukan faktor resiko terjadinya kejadian itu di
kelompok populasi. Distribusi yang dimaksud diatas adalah distribusi orang, tempat dan
waktu; sedangkan frekwensi dalam hal ini adalah Insidens, CFR, dll. Determinan faktor
risiko berarti faktor yang mempengaruhi atau faktor yang memberi risiko atas terjadinya
penyakit DD/DBD/SSD.
B. Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit Dengue adalah Arthrophod borne virus, famili Flaviviridae, genus
flavivirus. Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single standard RNA. Virion-nya
terdiri dari nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris dan terbungkus dalam amplop
lipoprotein.Genome (rangkaian kromosom) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000
dan terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C),
membrane-associated protein (M) dan suatu protein envelope (E) serta gen protein non
struktural (NS).
Terdapat empat serotipe virus yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN4. Ke empat
serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan
merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan
Dengue -4.
Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan menyebabkan
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun keempat
serotipe virus tersebut mempunyai daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam
menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari
mereka
3. Masa inkubasi
Infeksi Dengue mempunyai masa inkubasi antara 2 sampai 14 hari, biasanya 4-7 hari.
4. Host
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari primata rendah. Tubuh
manusia adalah reservoir utama bagi virus tersebut, meskipun studi yang dilakukan di
Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa monyet dapat terinfeksi oleh virus dengue
sehingga dapat berfungsi sebagai host reservoir.
Semua orang rentan terhadap penyakit ini, pada anak-anak biasanya menunjukkan
gejala lebih ringan dibandingkan dengan orang dewasa. Penderita yang sembuh dari
infeksi dengan satu jenis serotipe akan memberikan imunitas homolog seumur hidup
tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap terhadap infeksi serotipe lain dan
dapat terjadi infeksi lagi oleh serotipe lainnya.
D. Faktor Risiko Penularan Infeksi Dengue
Beberapa faktor yang berisiko terjadinya penularan dan semakin berkembangnya
penyakit DBD adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak memiliki pola tertentu,
faktor urbanisasi yang tidak berencana dan terkontrol dengan baik, semakin majunya
sistem transportasi sehingga mobilisasi penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan
limbah dan penyediaan air bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan
kepadatan nyamuk, kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang efektif, serta
melemahnya struktur kesehatan masyarakat. Selain faktor-faktor lingkungan tersebut
diatas status imunologi seseorang, strain virus/serotipe virus yang menginfeksi, usia dan
riwayat genetik juga berpengaruh terhadap penularan penyakit.
Perubahan iklim (climate change) global yang menyebabkan kenaikan ratarata
temperatur, perubahan pola musim hujan dan kemarau juga disinyalir menyebabkan
risiko terhadap penularan DBD bahkan berisiko terhadap munculnya
E. Ukuran Epidemiologi
Ukuran (parameter) frekuensi penyakit yang paling sederhana adalah ukuran yang
sekedar menghitung jumlah individu yang sakit pada suatu populasi, ukuran frekuensi
tersebut bermanfaat bagi petugas kesehatan di daerah dalam mengalokasikan dana atau
kegiatan.Ukuran-ukuran epidemiologi yang sering digunakan dalam kegiatan
pengendalian DBD adalah Insidence Rate (IR), Case Fatality Rate (CFR), Attack Rate
(AR).
a. Angka Kesakitan/Insiden Rate (IR)
IR adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan kejadian (baru) penyakit
populasi. IR merupakan proporsi antara jumlah orang yang menderita penyakit
dan jumlah orang dalam risiko x lamanya ia dalam risiko.
c. Attack Rate
Ukuran epidemiologi pada waktu terjadi KLB, untuk menghitung kasus pada
populasi berisiko di wilayah dan waktu tertentu.
AR = Jumlah kasus
------------------
Jumlah populasi berisiko pada waktu tertentu
BAB 2. SURVEILANS KASUS DBD
Surveilans kasus DBD meliputi proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data kasus serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program, instansi
dan pihak terkait secara sistematis dan terus menerus. Materi ini juga menjelaskan tentang
surveilans kasus DBD dari tingkat Puskesmas sampai dengan tingkat Provinsi
Surveilans Vektor DBD meliputi proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data vektor serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak
instansi terkait secara sistematis dan terusmenerus. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans
vektor terlebih dahulu harus memahami tentang pengertian dan tujuan surveilans vektor
DBD, metode surveilans vektor DBD (Penentuan lokasi surveilans, Waktu pengamatan, cara
pengamatan/ pengukuran vektor DBD dan Peralatan surveilans) serta Morfologi, Identifikasi
dan Bio-ekologi vektor DBD (perilaku, distribusi dan hubungannya dengan iklim, sosial
budaya dan bersifat lokal spesifik, yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit DBD.
Pengendalian DBD yang tepat adalah pemutusan rantai penularan yaitu dengan pengendalian
vektornya, karena vaksin dan obat masih dalam proses penelitian. Vektor DBD sudah
menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, hal ini disebabkan oleh adanya perubahan iklim
global, kemajuan teknologi transportasi, mobilitas penduduk, urbanisasi, dan infrastruktur
penyediaan air bersih yang kondusif untuk perkembangbiakan vektor DBD, serta perilaku
masyarakat yang belum mendukung upaya pengendalian.
DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, oleh karena itu pengendalian
vektornya tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa melibatkan peran serta masyarakat
termasuk lintas sektor, lintas program, LSM, tokoh masyarakat dan penyandang dana.
Pengendalian vektor DBD harus berdasarkan pada data dan informasi tentang bioekologi
vektor, situasi daerah termasuk sosial budayanya.
Beberapa metode pengendalian vektor antara lain dengan: a) Kimiawi dengan insektisida dan
larvasida, b) Biologi dengan menggunakan musuh alami seperti predator, bakteri dll, c)
Managemen lingkungan seperti mengelola atau meniadakan habitat perkembangbiakan
nyamuk yang terkenal dengan 3 M plus atau gerakan PSN (pengendalian sarang nyamuk), d)
penerapan peraturan perundangan, e) meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengendalian vektor.
Pengendalian vektor terpadu atau dikenal sebagai Integrated Vector Management (IVM)
adalah pengendalian vektor yang dilakukan dengan menggunakan kombinasi beberapa
metode pengendalian vektor, berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas dan
efektivitas pelaksanaannya serta kesinambungannya.
Keunggulan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) adalah (a) dapat meningkatkan efektifitas
serta efisiensi berbagai metode/cara pengendalian, (b) dapat meningkatkan program
pengendalian terhadap lebih dari satu penyakit tular vektor, (c) melalui kerjasama lintas
sektor hasil yang dicapai lebih optimal dan saling menguntungkan.
Pedoman PVT diharapkan menjadi kerangka kerja dan pedoman bagi penentu kebijakan serta
pengelola program pengendalian penyakit tular vektor di Indonesia. Pedoman ini disusun
sebagai acuan dalam pelaksanaan PVT bagi para pengambil keputusan tingkat Pusat
,Propinsi, Kabupaten/kota dan sektor terkait
Dalam metode Surveilans Vektor DBD yang ingin kita peroleh antara lain adalah data-
data kepadatan vektor. Untuk memperoleh data-data tersebut tentulah diperlukan
kegiatan survei, ada beberapa metode survei yang kita ketahui, meliputi metode survei
terhadap nyamuk, jentik dan survei perangkap telur (ovitrap). Sebelum melakukan survei
vektor DBD diperlukan penentuan lokasi surveilans/ pengamatan, waktu pengamatan,
cara pengamatan/ pengukuran vektor DBD, persiapan peralatan dan bahan surveilans
vektor DBD, pengumpulan, pencatatan dan analisa data hasil surveilans/pengamatan.
b. Survei jentik
Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat
menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di dalam dan
di luar rumah untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
2) Jika pada penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-
kira 1/2 -1 menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada
jentik.
3) Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau air
keruh.
1) Single larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat
genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.
2) Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di
setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Biasanya dalam
program DBD mengunakan cara visual.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes
aegypti :
1) Angka Bebas Jentik (ABJ):
Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik
---------------------------------------------------------------------- x 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
Bila hasil survei entomologi suatu wilayah, parity ratenya rendah berarti
populasi nyamuk-nyamuk di wilayah tersebut sebagian besar masih
muda. Sedangkan bila parity ratenya tinggi menunjukkan bahwa keadaan
dari populasi nyamuk di wilayah itu sebagian besar sudah tua. Untuk
menghitung rata-rata umur suatu populasi nyamuk secara lebih tepat
dilakukan pembedahan ovarium dari nyamuk-nyamuk parous, untuk
menghitung jumlah dilatasi pada saluran telur (pedikulus).
Umur populasi nyamuk = rata-rata jumlah dilatasi x satu siklus
gonotropik. Contoh: Bila jumlah dilatasi nyamuk rata-rata 3 dan siklus
gonotropiknya 4 hari, maka umur rata-rata nyamuk tersebut adalah:
3x4=12 hari. Semakin tua rata-rata umur nyamuk semakin besar potensi
terjadinya penularan di suatu wilayah.
4. Alat dan Bahan Survei
Alat dan bahan yang minimal harus tersedia untuk melaksanakan survei kepadatan
populasi vektor DBD adalah :
a. Peralatan
1) Peralatan umum
Compound microskop, untuk memeriksa jentik dan ovarium
Senter, untuk menerangi sasaran survei (jentik/nyamuk)
Petridish, untuk tempat jentik atau nyamuk yang akaan
diperiksa
Tas ransel, untuk membawa peralatan serta bahan survei
2) Peralatan survei telur
Perangkap telur (ovitrap)
Padel untuk tempat peletakan telur
3) Peralatan survei jentik
Gayung, untuk mengambil jentik
Pipet, untuk mengambil jentik
Botol kecil (vial larva), untuk tempat larva
Susceptibility test kit larva (1 set peralatan uji kerentanan
larva), untuk mengetahui tingkat kerentanan jentik terhadap
insektisida
4) Peralatan survei nyamuk
Stereo mikroskop, untuk identifikasi dan membedah nyamuk
Loupe/kaca pembesar 10 x atau 20 x, untuk identifikasi
nyamuk dan kondisi perut nyamuk
Aspirator, untuk menangkap nyamuk
Kotak nyamuk, untuk membawa nyamuk hidup
Kurungan nyamuk, untuk memelihara nyamuk
Pinset ujung runcing, untuk memegang nyamuk
Jarum seksi untuk membedah nyamuk
Gunting kecil, untuk memotong kain kasa dan kertas
Susceptibility test kit untuk mengukur tingkat kerentanan
nyamuk terhadap insektisida
Bio Assay test kit, untuk mengukur tingkat efikasi
insektisida
b. Bahan survei
1) Bahan survei umum
Objek glass (slide glass), untuk pemeriksaan jentik dan
pembedahan ovarium
Kaca penutup (cover glass), untuk menutup persediaan
Kertas label, untuk pemberian etiket
Formulir-formulir entomologi DBD, untuk pencatatan hasil
survei
Alat-alat tulis untuk menulis hasil survei
Kertas tissu untuk membersihkan kaca benda
2) Bahan survei telur
Kantong plastik, untuk tempat padel
Kantong plastik besar, untuk membawa padel
3) Bahan survei nyamuk
Paper cup, untuk wadah nyamuk
Kain kasa, untuk menutup paper cup
Karet gelang, untuk mengikat kain kasa di paper cup
Kapas untuk menutup lobang di kain kasa dan pemaakaian
kloroform
Kloroform, untuk mematikan nyamuk
Jarum serangga no. 3, untuk pinning nyamuk
Jarum seksi untuk membedah abdomen nyamuk.
5. Laporan hasil survey
Pencatatan hasil pemeriksaan jentik dilakukan oleh petugas jumantik/kader dan
pelaporannya dilakukan secara berjenjang sebagai berikut :
a. Laporan hasil survei oleh Kader / PKK / Jumantik
Hasil pemeriksaan jentik dicatat pada KARTU JENTIK RUMAH /
BANGUNAN yang ditinggalkan di rumah/bangunan.
FORMULIR JPJ-1 digunakan untuk pelaporan ke puskesmas dan
instansi terkait.(Lampiran 11)
b. Laporan hasil survei oleh Puskesmas
Pemeriksaan jentik yang dilakukan oleh kader/PKK/Jumantik harus dilakukan
monitoring dan evaluasi oleh petugas Puskesmas secara berkala minimal 3
bulan sekali. Rekapitulasi hasil PJB dilaksanakan oleh puskesmas setiap 3
bulan dengan melakukan pencatatan hasil pemeriksaan jentik di pemukiman
(rumah) dan tempat-tempat umum pada FORMULIR PJB-1 dan dilaporkan
ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Laporan hasil survei oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Laporan PJB yang dilakukan oleh Puskesmas kemudian dilakukan
rekapitulasi oleh Pengelola Program DBD di Dinkes Kab/Kota menggunakan
FORMULIR PJB-2 dan dilaporkan kepada Dinkes Provinsi.
d. Laporan hasil survei oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Hasil pemeriksaan jentik dari Dinkes Kab/Kota dilakukan rekapitulasi oleh
Pengelola Program DBD di Dinkes Provinsi menggunakan FORMULIR PJB3
dan dilaporkan ke Pusat (Ditjen PP dan PL, Subdit Pengendalian Arbovirosis)
c. Pupa
Pupa berbentuk seperti ‘koma’. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding larva (jentik)nya. Pupa Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain
Aktivitas menggigit nyamuk Aedes aegypti biasanya mulai pagi dan petang
hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00 dan 16.00 17.00.
Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali dalam satu
siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan
demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap dan
lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan habitat
perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses
pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan
meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi dan
melekat pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada umumnya
telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Setiap kali
bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak ±100 butir. Telur
itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6 bulan, jika tempat-
tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur
dapat menetas lebih cepat.
d. Penyebaran
Kemampuan terbang nyamuk Aedes sp. betina rata-rata 40 meter, namun
secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah
lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di
Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat umum.
Nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian
daerah ± 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ± 1.000 m dpl, suhu udara terlalu
rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak.
e. Variasi Musiman
Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena telur-telur
yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika habitat
perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai
terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk
sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Dengue.
C. METODE PENGENDALIAN VEKTOR
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor
dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan
umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai
penularan penyakit.
Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan mempertimbangkan
faktor-faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman, habitat perkembangbiakan);
lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan Perilaku) dan aspek vektor.
Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan
melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian
vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai
penularan.
Berbagai metode PengendalianVektor (PV) DBD, yaitu:
Kimiawi
Biologi
Manajemen lingkungan
Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN
Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vector Management/IVM)
1. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah
satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara
pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena
insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak
terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu
penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting
untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang
berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga
sasaran.
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah :
Sasaran dewasa (nyamuk) adalah : Organophospat (Malathion, methyl
pirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine,
Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang
diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan
dingin/ULV •
Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).
2. Biologi
Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa,
parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD. Jenis predator
yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll),
sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai
predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.
Jenis pengendalian vektor biologi :
Parasit : Romanomermes iyengeri
Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis
3. Manajemen lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air, vegetasi
dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan
pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti sebagai nyamuk pemukiman
mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman.
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif
sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M
plus (menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot,
memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan
vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap
dan lembab di lingkungan rumah dll)
Contoh :
Untuk daerah sulit air PSNnya tidak menguras, tetapi larvasidasi,
ikanisasi, dll).
Untuk daerah tandus tidak mengubur namun diamankan agar tidak
menjadi tempat penampungan air.
Untuk daerah mudah mendapatkan air menguras dengan sikat dan
sabun
PLUS: membakar obat nyamuk, menggunakan repelen, kelambu,
menanam pohon sereh, zodia, lavender, geranium, obat nyamuk
semprot, pasang kasa dll.
c. Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas
puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota Lokasi : Meliputi seluruh wilayah
terjangkit
Sasaran : Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan tempattempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis. Disesuaikan dengan sirkulasi pemakaian
insektisida instruksi Dirjen PP dan PL (terlampir surat intruksi)
Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB (petunjuk larvasidasi
terlampir).
3. Kegiatan pengendalian vektor pada KLB DBD
Pada saat KLB, maka pengendalian vektor harus dilakukan secara cepat, tepat dan
sesuai sasaran untuk mencegah peningkatan kasus dan meluasnya penularan.
Langkah yang dilakukan harus direncanakan berdasarkan data KLB, dengan tiga
intervensi utama secara terpadu yaitu pengabutan dengan fogging/ULV, PSN
dengan 3 M plus, larvasidasi dan penyuluhan penggerakan masyarakat untuk
meningkatkan peran serta.
Infeksi Dengue memiliki gambaran klini yang luas. Perjalanan klinis mulai dari asimtomatik
yang akan sembuh dengan sendirinya sampai dengan infeksi Dengue yang berat yang
ditandai dengan kebocoran plasma dengan atau tanpa perdarahan.
Catatan : DD ditegakkan setelah melewati masa kritis (saat demam turun) dengan
dasar nilai hematokrit normal atau tidak ditemukan adanya kebocoran plasma
sistematik. Pasien dapat dipulangkan setelah diobservasi dalam waktu 24 jam setelah
melewati masa kritis.
2. Demam Dengue (DD) ialah demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta seperti sakit
kepala, nyeri dibelakang bola mata, pegal, nyeri sendi ( athralgia ), rash, mual,
muntah dan manifestasi perdarahan. Dengan hasil laboratorium leukopenia ( lekosit <
5000 /mm3 ), jumlah trombosit cenderung menurun < 150.000/mm3 dan didukung
oleh pemeriksaan serologis.
3. Demam Berdarah Dengue (DBD) ialah demam 2 - 7 hari disertai dengan manifestasi
perdarahan, Jumlah trombosit < 100.000 /mm3, adanya tanda tanda kebocoran
plasma (peningkatan hematokrit 20 % dari nilai normal, dan/atau efusi pleura,
dan/atau ascites, dan/atau hypoproteinemia/ albuminemia) dan atau hasil
pemeriksaan serologis pada penderita tersangka DBD menunjukkan hasil positif atau
terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue
rapid test (diagnosis laboratoris).
4. Sindrom Syok Dengue (SSD) ialah kasus DBD yang masuk dalam derajat III dan IV
dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan
lemah, menyempitnya tekanan nadi ( 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai dengan
kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi syok berat (tidak
terabanya denyut nadi maupun tekanan darah).
B. Diagnosis DD dan DBD
1. Diagnosis Suspek Infeksi Dengue
Diagnosis Suspek Infeksi dengue ditegakkan bila terdapat 2 kriteria berikut:
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung selama 2-7 hari
Manifestasi perdarahan: sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede)
positif
2. Diagnosis Demam Dengue (DD)
a. Probable
1) Demam tinggi mendadak
2) Ditambah 2 atau lebih gejala/tanda penyerta:
Muka kemerahan
Konjungtiva kemerahan
Nyeri kepala
Nyeri belakang bola mata
Nyeri otot & tulang - Ruam kulit
Manifestasi perdarahan
Mual dan muntah
Leukopenia (Lekosit = 5000 /mm3)
Trombositopenia (Trombosit < 150.000 /mm3 )
Peningkatan hematokrit 5 - 10 %, sebagai akibat dehidrasi.
3) Dan terdapat sekurang-kurangnya satu dari kriteria berikut:
Pemeriksaan serologi Hemaglutination Inhibition (HI) test sampel
serum tunggal; titer 1280 atau tes antibodi IgM dan IgG positif, atau
antigen NS1 positif.
Kasus berlokasi di daerah dan waktu yang bersamaan dimana terdapat
kasus konfirm Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
b. Confirmed / diagnosis pasti
Kasus probable disertai sekurang-kurangnya satu kriteria berikut:
1) Isolasi virus Dengue dari serum
2) Pemeriksaan HI Test Peningkatan titer antibodi 4 kali pada pasangan
serum akut dan konvalesen atau peningkatan antibodi IgM spesifik untuk
virus dengue
3) Positif antigen virus Dengue pada serum atau cairan serebrospinal
(LCS=Liquor Cerebro Spinal) dengan metode immunohistochemistry,
immunofluoressence atau ELISA
4) Positif pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
3. Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)
a. Penegakan Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis DBD diperlukan sekurang-
kurangnya:
Terdapat kriteria klinis a dan b
Dua Kriteria laboratorium
1) Klinis
a) Demam tinggi mendadak berlangsung selama 2-7 hari.
b) Terdapat manifestasi/ tanda-tanda perdarahan ditandai dengan:
Uji Bendung (Tourniquet Test) positif
Petekie, ekimosis, purpura
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
Hematemesis dan/ atau melena
c) Pembesaran hati ( di jelaskan cara pemeriksaan pembesaran hati )
d) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi ( 20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien
tampak gelisah
2) Laboratorium
a) Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
b) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,
yang ditandai adanya: Hemokonsentrasi/ Peningkatan hematokrit 10%
dari data baseline saat pasien belum sakit atau sudah sembuh atau
adanya efusi pleura, asites atau hipoproteinemia (hipoalbuminemia).
d) Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran
pembuluh darah. Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator yang
peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan
trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsertrasi dengan
peningkatan hematokrit 20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi
42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan
plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi
oleh penggantian cairan atau perdarahan. Namun perhitungan selisih
nilai hematokrit tertinggi dan terendah baru dapat dihitung setelah
mendapatkan nilai Ht saat akut dan konvalescen (hari ke-7).
Pemeriksaan hematrokrit antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge
Nilai normal hematokrit:
Anak-anak : 33 - 38 vol%
Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol%
Dewasa perempuan : 37 - 43 vol%
Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
C. Tatalaksana
1. Pertolongan Pertama Penderita Demam Berdarah Dengue oleh Masyarakat
Pada awal perjalanan DBD gejala dan tanda tidak spesifik, oleh karena itu
masyarakat/keluarga diharapkan waspada jika terdapat gejala dan tanda yang
mungkin merupakan awal perjalanan penyakit tersebut. Gejala dan tanda awal DBD
dapat berupa panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul mendadak, sepanjang hari,
selama 2-7 hari, badan lemah/lesu, nyeri ulu hati, tampak bintik-bintik merah pada
kulit seperti bekas gigitan nyamuk disebabkan pecahnya pembuluh darah kapiler di
kulit. Untuk membedakannya kulit diregangkan bila bintik merah itu hilang, bukan
tanda penyakit DBD.
Apabila keluarga/masyarakat menemukan gejala dan tanda di atas, maka
pertolongan pertama oleh keluarga adalah sebagai berikut:
a. Tirah baring selama demam
b. Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1 tablet untuk dewasa, 10-15 mg/kgBB/kali
untuk anak. Asetosal, salisilat, ibuprofen jangan dipergunakan karena dapat
menyebabkan nyeri ulu hati akibat gastritis atau perdarahan.
c. Kompres hangat
d. Minum banyak (1-2 liter/hari), semua cairan berkalori diperbolehkan kecuali
cairan yang berwarna coklat dan merah (susu coklat, sirup merah).
e. Bila terjadi kejang (jaga lidah agar tidak tergigit, longgarkan pakaian, tidak
memberikan apapun lewat mulut selama kejang)
Jika dalam 2-3 hari panas tidak turun atau panas turun disertai timbulnya gejala dan
tanda lanjut seperti perdarahan di kulit (seperti bekas gigitan nyamuk), muntah-
muntah, gelisah, mimisan dianjurkan segera dibawa berobat/ periksakan ke dokter
atau ke unit pelayanan kesehatan untuk segera mendapat pemeriksaan dan
pertolongan.
Persiapan rujukan
Sebelum merujuk pasien DBD perlu memperhatikan :
a. Tanda vital pasien harus stabil
b. Disertakan formulir dengan hasil parameter klinis dan laboratorium serta terapi
penting yang sudah diberikan.
a. Letargi
b. Penurunan kesadaran,
c. Badan dingin dan lembab, terutama pada tangan dan kaki, Capillary refill time >
2 detik
d. Muntah terus menerus
e. Kejang.
f. Perdarahan berupa : mimisan, Hematemesis, Melena
g. Ada tanda-tanda kebocoran plasma (asistes, efusi pleura) h. tidak buang air kecil
dalam 4-6 jam terakhir
h. Nyeri abdomen
4. Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien bermanifestasi ringan dapat berobat jalan
sedangkan pasien dengan tanda bahaya dirawat. Tetapi pada kasus DBD dengan
komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini dan memberikan nasehat
untuk segera dirawat bila terdapat tanda bahaya, merupakan hal yang penting untuk
mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit
diramalkan.
a. Tatalaksana Infeksi Dengue dengan manifestasi ringan
Pasien dengan manifestasi ringan dapat berobat jalan tetapi jika ada
perburukan harus dirawat. Pasien rawat jalan dianjurkan:
1) Tirah baring, selama masih demam.
2) Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3) Untuk menurunkan suhu menjadi <39oC, dianjurkan pemberian
parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra)
oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
4) Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop,
susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama
2 hari.
5) Monitor suhu, urin dan tanda-tanda bahaya sampai melewati fase
kritis.
6) Monitor pemeriksaan laboratorium darah rutin berkala
Orang tua atau pasien dinasehati bila setelah demam turun didapatkan nyeri
perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta
mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat
dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera
dibawa segera ke rumah sakit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau
dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam.
Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan hematokrit serta trombosit
setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.
c) Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah
esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase
penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali
ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi,
akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres
pernafasan.
2) Tatalaksana SSD
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama, berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien
anak cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam
48 jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda
syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri,
dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit ( 20 mmHg) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit
meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Pada
penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi 20 mm Hg segera
berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB selama 30 menit, bila syok
teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi akut dan menular
yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan sering
menimbulkan wabah/kejadian luar biasa (KLB). Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di
Indonesia, sehingga penularan DBD dapat terjadi di semua tempat/wilayah yang terdapat
nyamuk penular penyakit tersebut.
Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindak lanjuti dengan kegiatan Penyelidikan
Epidemiologi (PE) dan Penanggulangan Fokus (PF), sehingga penyebarluasan DBD dapat
dibatasi dan KLB dapat dicegah.
Dalam melaksanakan kegiatan pengendalian DBD sangat diperlukan peran serta masyarakat,
baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pengendalian maupun dalam
memberantas jentik nyamuk penularnya.
Keterangan:
1. Penderita DBD :Penderita positif DBD (hidup/meninggal) yang dinyatakan oleh dokter
rumah sakit melalui test laboratorium dengan hasil haemoglobin dan hematokrit meningkat >
20% dan penurunan trombosit kurang dari 100.000/ mm3 atau cenderung turun.
2. Suspek Infeksi Dengue : Ditemukan gejala panas yang tidak diketahui penyebabnya saat
dilaksanakan PE.
B. PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA
1. Definisi KLB
Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang
meliputi: pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular DBD,
penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang
dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB.
Sesuai Permenkes Nomor 1501 tahun 2010 disebutkan 7 Kriteria KLB, tetapi
untuk pengendalian DBD hanya ada 3 kriteria yang digunakan yaitu :
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu (DBD) yang sebelumnya tidak ada
atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Jumlah penderita baru (kasus DBD) dalam periode waktu (satu) bulan
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-
rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
c. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Jenis formulir laporan kasus DBD dari Puskesmas dan Rumah sakit dibedakan.
Laporan dari puskesmas dan Puskesmas Perawatan menggunakan Formulir So.
dan laporan dari Puskesmas Perawatan dan Rumah sakit/unit pelayanan
kesehatan menggunakan Formulir KDRS. Laporan juga dapat menggunakan
surat tersendiri, namun, harus memuat data : Nama, Jenis kelamin, Umur, Nama
kepala keluarga, Alamat, Tanggal mulai masuk Rumah Sakit/Puskesmas
Perawatan.
2. Langkah-langkah pelaksanaan penanggulangan KLB
Bila terjadi KLB/wabah, dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus dengan
interval 1 minggu), PSN DBD , larvasidasi, penyuluhan di seluruh wilayah
terjangkit, dan kegiatan penanggulangan lainnya yang diperlukan, seperti:
Pembentukan posko pengobatan dan posko penangggulangan, penyelidikan KLB,
pengumpulan dan pemeriksaan spesimen serta peningkatan kegiatan surveilans
kasus dan vektor, dan lain-lain.
a. Pengobatan dan Perawatan Penderita
Penderita DBD derajat 1 dan 2 dapat dirawat puskesmas yang mempunyai
fasilitas perawatan, sedangkan DBD derajat 3 dan 4 harus segera dirujuk ke
Rumah Sakit.
b. Pemberantasan Vektor
1) Penyemprotan insektisida (pengasapan / pengabutan)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas,
dan tenaga lain yang telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis
Alat : hot fogger/mesin pengabut atau ULV
Cara : Fogging/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu
minggu (petunjuk fogging terlampir)
2) Pemberantasan sarang jentik/nyamuk demam berdarah dengue (PSN
DBD)
Salah satu bentuk pencegahan penyakit DBD adalah melalui kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang secara rutin dilakukan
seminggu sekali. Pemerintah DKI Jakarta melalui Perda No. 2 Tahun 2007
secara jelas mewajibkan warganya untuk melakukan kegiatan PSN secara
rutin dalam rangka memutuskan rantai perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti. PSN adalah kegiatan pencegah penularan penyakit DBD melalui
kegiatan 4M Plus.
Empat M Plus artinya (1) menutup tempat penampungan air, (2) menguras
tempat penampungan air secara rutin minimal seminggu sekali, (3)
mengubur tempat penampungan air yang tidak terpakai, dan (4) memantau
jentik nyamuk seminggu sekali. Plus (+) disini artinya menghindari gigitan
nyamuk menggunakan repelen anti nyamuk, menanam tanaman pengusir
nyamuk, melakukan larvasidasi, dan menggunakan kelambu.
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya
yang merupakan satu kesatuan epidemiologis
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan nyamuk:
tempat penampungan air,barang bekas (botol aqua, pecahan
gelas,ban bekas, dll) lubang pohon/tiang pagar/pelepah pisang,
tempat minum burung, alas pot, dispenser, tempat penampungan
air di bawah kulkas, dibelakang kulkas dsb, di rumah/bangunan
dan tempat umum
Cara : Melakukan kegiatan 4 M plus.
Contoh :
o Menguras dan menyikat Tempat Penampung Air (TPA)
o Menutup Tempat Penampung Air
o Memanfaatkan atau mendaur ulang barang bekas yang
dapat menjadi TPA
o Memantau jentik nyamuk seminggu sekali
PLUS :
o Menaburkan bubuk larvasida
o Memelihara ikan pemakan jentik
o Menanam pohon pengusir nyamuk (sereh, zodia, lavender,
geranium)
o Memakai obat anti nyamuk(semprot, bakar maupun oles),
o Menggunakan kelambu, pasang kawat kasa, dll.
o Menggunakan cara lain disesuaikan dengan kearifan lokal.
3) Larvasidasi
Larvasidasi adalah pemberantasan jentik dengan menaburkan bubuk
larvasida. Bila fogging dilakukan untuk memberantas nyamuk dewasa,
maka larvasidasi bertujuan untuk memberantas jentik (larva) nyamuk
terutama di tempat-tempat penampungan air yang tidak dapat dikuras atau
dibersihkan, juga dianjurkan pada daerah yang sulit air. Oleh karena itu,
larvasidasi merupakan upaya yang saling berkaitan dengan kegiatan PSN
dan fogging.
Pemakaian bahan kimia untuk memberantas larva nyamuk dikenal sebagai
larvasidasi. Bahan kimianya disebut larvasida. Pada umumnya nyamuk
membutuhkan air pada periode perkembangannya. Keuntungan pemakaian
larvasida adalah (1) Semua larva dari berbagai stadium dapat dibunuh dan
(2) Daerah yang dilarvasidasi terbatas pada tempat perindukan (breeding
places).
Sedangkan kerugiannya adalah pengaruh larvasida bersifat sementara
sehingga membutuhkan aplikasi ulangan dan beberapa larvasida
mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan terutama terhadap
predator complex (anti larva). Larvasidasi dilakukan pada tempat
penampungan air yang tidak dapat dikuras/ jarang dibersihkan, juga
dianjurkan pada daerah yang sulit air. Bila wadah telah diberi larvasida
maka jangan dikuras selama 2-3 bulan. Kegiatan ini tepat digunakan
apabila surveilans epidemiologi penyakit penyakit dan vektor
menunjukkan adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana KLB
mungkin timbul. Menentukan waktu dan tempat yang tepat untuk
pelaksanan larvasidasi sangat penting untuk memaksimalkan
efektivitasnya.
Kegiatan larvasidasi meliputi :
A. Larvasidasi Selektif
Larvasidasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan
air (TPA) baik di dalam maupun di luar rumah pada seluruh rumah dan
bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadis serta penaburan
bubuk larvasida pada TPA yang ditemukan jentik dan dilaksanakan 4
kali dalam 1 tahun (3 bulan sekali). Pelaksana larvasidasi adalah kader
yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas. Tujuan larvasidasi selektif
adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam
Pemberantasan Sarang Nyamuk.
B. Larvasidasi Massal
Larvasidasi massal adalah penaburan bubuk larvasida secara serentak
diseluruh wilayah/daerah tertentu di semua tempat penampungan air
baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh bangunan
termasuk rumah, kantor-kantor dan sekolah. Kegiatan larvasidasi
massal ini dilaksanakan di lokasi terjadinya KLB.
c. Penyuluhan
Penyuluhan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bersama
Puskesmas.
3. Evaluasi Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
a. Evaluasi pelaksanaan penanggulangan KLB
Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase (coverage)
pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan
dengan melakukan kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang
direncanakan untuk pengabutan, larvasidasi dan penyuluhan.
Pada kunjungan tersebut dilakukan wawancara apakah rumah sudah
dilakukan pengabutan, larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta penyuluhan.
b. Evaluasi Hasil penanggulangan KLB
Penilaian ini ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan
terhadap jumlah penderita dan kematian DBD.Penilaian epidemiologis
dilakukan dengan membandingkan data kasus/ kematian DBD sebelum dan
sesudah penanggulangan KLB. Data-data tersebut digambarkan dalam grafik
per mingguan atau bulanan dan dibandingkan pula dengan keadaan tahun
sebelumnya pada periode yang sama dalam bentuk laporan (Lampiran 18.)
BAB 6: PENGOPERASIAN ALAT DAN BAHAN PENGENDALIAN VEKTOR
Peralatan dan bahan surveilans vektor adalah semua alat dan bahan yang digunakan dalam
kegiatan surveilans vektor dalam rangka mengumpulkan data dan informasi tentang vektor
yang digunakan sebagai dasar dalam tindakan pengendalian vektor. Peralatan dan bahan
pengendalian vektor digunakan dalam rangka menekan atau menurunkan populasi vektor,
sehingga tidak berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah.
Setiap peralatan yang dipakai dalam upaya pengendalian vektor harus memenuhi persyaratan
yang dibuktikan dengan sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) atau sertifikat kesesuaian
yang dikeluarkan oleh lembaga pengujian independen yang terakreditasi dan ditunjuk oleh
Kementerian Kesehatan RI atau lembaga pengujian di negara lain yang ditunjuk, dengan
mengacu pada ketentuan spesifikasi WHO; (WHO/CDS/NTD /WHOPES /GCDPP/2006.5).
Peralatan yang digunakan dalam pengendalian vektor DBD adalah mesin pengkabut panas
(Hot Fogger), mesin pengkabut dingin (Aerosol / ULV) yang dioperasikan di atas kendaraan
pengangkut. Modul ini membahas cara pengoperasian, perawatan dan perbaikan alat
pengendalian vektor tersebut. Bahan yang digunakan dalam upaya pengendalian vektor DBD
berupa insektisida, baik sasaran terhadap nyamuk vektor dewasa maupun terhadap
larva/jentik nyamuk.
Untuk mesin ULV yang akan disimpan dalam waktu yang lama, harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Sebelum disimpan lumasi komponen blower dan ruang bakar mesin dengan
oli SAE 40.
Bersihkan mesin dari kotoran dan insektisida serta kosongkan tangki
insektisida dan tangki bensin.
Simpan diruang tertutup, selimuti dengan kain atau plastic
Sebulan sekali putar putar as mesin dengan tangan supaya mesin tidak
macet.
Bersihkan mesin dari debu atau kotoran lain.
Berikut merupakan contoh formulasi atau cara pencampuran insektisida dengan pelarutnya :
Dalam Penyelenggaraan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit dibutuhkan
sumber daya manusia berupa tenaga entomolog kesehatan dan/atau tenaga kesehatan lain
yang memiliki keahlian dan kompetensi di bidang entomologi kesehatan. Tenaga entomolog
kesehatan memiliki kemampuan survei/pengamatan, investigasi/penyelidikan, dan
pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit, pemberdayaan masyarakat/keluarga
dalam pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit, dan evaluasi pelaksanaan
tindakan pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit.
1) Highly-Chemical Resistance
Digunakan tidak lebih dari 8 jam kerja, dan harus dibersihkan dan dicuci
setiap selesai bekerja.
2) Moderate-Chemical Resistance
Digunakan selama 1-2 jam kerja dan harus dibersihkan atau diganti apabila
waktu pemakaiannya habis.
3) Slightly-Chemical Resistance
Dipakai tidak lebih dari 10 menit.
4) Non-Chemical Resistance
Tidak dapat memberikan perlindungan terhadap pemaparan tidak dianjurkan
untuk dipakai.
Baju terusan berlengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki dan sepatu
dapat berupa seragam kerja biasa yang terbuat dari bahan katun apabila
menggunakan pestisida klasifikasi II atau III. Apabila menggunakan pestisida
klasifikasi 1.a dan 1.b maka dianjurkan memakai baju terusan yang dapat menutup
seluruh badan dari pangkal lengan hingga pergelangan kaki dan leher, dengan
sesedikit mungkin adanya bukaan, jahitan atau kantong yang dapat menahan
pestisida. Baju terusan tersebut (coverall) dipakai diatas seragam kerja diatas dan
pakaian dalam.
Kaca mata yang menutup bagian depan dan samping mata atau googles dianjurkan
untuk menuang atau mencampur pestisida konsentrat atau pada kategori 1.a dan 1.b.
Apabila ada kemungkinan untuk mengenai muka maka faceshield sangat dianjurkan
untuk dipakai. Perlu juga untuk menyediakan peralatan dan bahan untuk
menanggulangi tumpahan/ceceran pestisida, antara lain kain majun, pasir/serbuk
gergaji, sekop dan kaleng/kantong plastik penampung. Kotak P3K berisi obat-
obatan, kartu emergency plan yang memuat daftar telepon penting, alamat dan nama
yang di dapat dihubungi untuk meminta pertolongan dalam keadaan
darurat/keracunan. Misalnya Pusat Keracunan (Poison center), ambulan, rumah sakit
terdekat dengan lokasi kerja, polisi, pemadam kebakaran. Penyediaan pemadam
kebakaran portable juga dianjurkan apabila bekerja dengan mesin semprot yang
dapat menimbulkan bahaya kebakaran.
BAB 7: PERENCANAAN DAN SUPERVISI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT DBD
Materi ini menjelaskan tentang perencanaan, dan supervisi program pengendalian penyakit
Demam Berdarah Dengue. Materi ini diberikan agar pengelola program dapat melaksanakan
kegiatan pengendalian DBD sesuai dengan yang direncanakan. Dalam perencanaan akan
disampaikan tentang penentuan besarnya masalah, penentuan kegiatan program, penentuan
target kegiatan, kajian sumber daya, dan Pembuatan Rencana Operasional (POA). Sedangkan
supervisi program pengendalian DBD akan disampaikan tentang pelaksanaan supervisi dan
penilaian.
Untuk menjamin proses perencanaan dan supervisi berjalan efektif, efisien dan tepat sasaran
diperlukan integrasi berdasarkan pada pendekatan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Nilai kolom 2 x bobot + nilai kolom 3 x bobot + nilai kolom 4 x bobot + nilai kolom 5
x bobot + nilai kolom 6 x bobot
Selanjutnya dari hasil skoring diatas, dicantumkan dalam tabel dibawah ini:
Besarnya masalah dari tabel 3 diatas sebagai berikut:
Urutan 1: Kelurahan C
Urutan 2: Kelurahan B
Urutan 3: Kelurahan D
Urutan 4: Kelurahan A
Jika terdapat desa/kelurahan dengan skor yang sama, maka untuk menentukan
desa/ kelurahan yang paling bermasalah ditentukan oleh tingginya skor variabel
dibawah ini:
Situasi kasus
Kematian karena DBD
Tempat perindukan
ABJ
Pernah KLB
Mobilitas penduduk
c. Evaluasi PSN
Evaluasi PSN dilakukan dengan Survai yang bertujuan untuk mengetahui
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan efektifitas
pengendalian vektor (fogging, larvasidasi, dan PSN) yang akan dilakukan di
wilayah tersebut atau melalui kegiatan PJB.
Petugas provinsi :
o Penentuan kegiatan
o Evaluasi kegiatan
Petugas kabupaten/kota dan puskesmas :
o Pengusulan kegiatan
o Pelaksanaan kegiatan
o Pengawasan pelaksanaan
d. Optimalisasi LS/LP untuk mendukung pengendalian DBD
1) Supervisi Terpadu Pokjanal
Tujuan: memantau dan membina Pokjanal dalam pelaksanaan
penggerakan PSN-DBD yang dilaksanakan oleh masyarakat. Pelaksana:
Tim Pokjanal masing-masing tingkatan
2) Pertemuan/koordinasi lintas sektor (PWS PSN-DBD)
Tujuan: memantau hasil kegiatan PSN-DBD (ABJ) dari tiap-tiap
wilayah untuk ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan penggerakan
PSN-DBD oleh Kepala Wilayah setempat.
Pelaksanaan: dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat
desa/kelurahan, kecamatan dan kab/kota dengan menyajikan ABJ dari
masing-masing wilayah.
3) Pemantapan dan peningkatan penggerakan PSN-DBD.
Pertemuan evaluasi tahunan Pokjanal DBD secara berjenjang di
berbagai tingkatan:
a) Evaluasi di tingkat provinsi, dihadiri oleh peserta Pokjanal tingkat
kabupaten/ kota, dan dilaksanakan di provinsi
b) Evaluasi di tingkat kab/kota, dihadiri oleh Pokjanal tingkat
kecamatan, dan dilaksanakan di kabupaten/kota
c) Evaluasi di tingkat kecamatan, dihadiri oleh Pokja desa/kelurahan,
dilaksanakan di kecamatan.
e. Peningkatan kemampuan petugas (pelatihan) dan Orientasi
Tujuan: menyiapkan petugas di masing-masing tingkatan dalam manajemen
pengendalian DBD, penatalaksanaan kasus dan penggerakan PSN-DBD.
1) Pelatihan petugas/pengelola program
Pelatihan petugas kabupaten/kota tentang komunikasi perubahan
perilaku dalam pencegahan DBD
Pelatihan manajemen program P2DBD bagi petugas teknis
kabupaten/kota
Dilaksanakan oleh: provinsi
Pelatihan Kader/Jumantik dalam pencegahan dan pengendalian
DBD
Dilaksanakan oleh kabupaten/kota atau puskesmas
2) Pelatihan dokter anak/dokter penyakit dalam dan paramedis Rumah
Sakit kabupaten/kota dalam penatalaksanaan kasus DBD Pelaksana:
dinas kesehatan provinsi
3) Pelatihan dokter dan paramedis puskesmas dalam tatalaksana kasus
DBD. Dilaksanakan oleh kabupaten/kota
4) Ceramah klinik bagi dokter dan paramedis Rumah Sakit dan Puskesmas
Pelaksana: kabupaten/kota
5) Orientasi/pengembangan sistem survailans DBD bagi petugas
kabupaten/kota
Tujuan: Membangun jaringan surveilens DBD yang cepat dan tepat
dalam rangka sistem kewaspadaan dini dan estimasi kejadian luar biasa
(KLB). Pelaksana: Provinsi
C. PENYUSUNAN RENCANA OPERASIONAL
Penyusunan rencana operasional dengan menggunakan Bagan Gantt (Gantt Chart).
Kegiatan pada kolom bagan Gantt biasanya disusun ke bawah secara berurutan.
Bagan Gantt terdiri dari 2 komponen, yaitu :
1. Komponen kegiatan
Komponen kegiatan diisi dan disusun kebawah dimana semua kegiatan ini
merupakan penjabaran aktifitas yang harus dilaksanakan demi pencapaian tujuan
program.
2. Komponen waktu
Komponen waktu diisi ke arah absis merupakan penjabaran dari waktu yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut yang dapat dinyatakan dalam hari,
minggu, bulan maupun tahun.
Promosi kesehatan merupakan proses penyampaian informasi agar masyarakat tahu, mau dan
mampu merubah perilaku untuk mencapai derajat kesehatan yang tinggi, dengan cara
advokasi, bina suasana, gerakan masyarakat dan Kemitraan.
Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD, karena virus
penyebab dan nyamuk penularnya tersebar luas diseluruh propinsi dan kabupaten/ kota. Oleh
karena itu untuk mengendalikan penyakit ini diperlukan gerakan untuk memberdayakan
masyarakat dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD.
Guna membina Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk ( PSN) DBD agar lebih efektif
maka kegiatannya perlu dikoordinasikan dalam Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL).
Pengendalian penyakit DBD ini merupakan forum kerjasama lintas sektor di tiap jenjang
administrasi pemerintahan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi penyakit DBD adalah dengan
pendekatan metode Communication for behavioral impact (COMBI), yang merupakan suatu
proses intervensi perubahan perilaku untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan aspek
sosial budaya setempat yang spesifik, untuk merubah masyarakat dari yang tidak tahu
menjadi tahu, dari tahu menjadi mau dan dari mau menjadi mampu untuk menanggulangi
penyakit DBD.
Dalam program pengendalian DBD strategi promosi kesehatan yang harus dilakukan adalah
(1) pemberdayaan masyarakat, (2) pembinaan susana lingkungan sosialnya, dan (3) advokasi
kepada pihak-pihak yang dapat mendukung terlaksananya program pengendalian DBD.
(2) Membangun suasana/lingkungan yang kondusif bagi terciptanya budaya perilaku hidup
bersih dan sehat di masyarakat dalam pengendalian DBD.
(3) Mendapat dukungan dari para pengambil keputusan, penentu kebijakan dan stakeholders
lain, dalam bentuk kebijakan Pengendalian DBD, sumberdaya integrasi promkes, terjalinnya
kemitraan sinergis pusat ñ daerah ñ swasta ñ LSM, serta berbagai investasi dalam program
pengendalian DBD
1. Strategi Advokasi
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi pimpinan,
pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana dan pimpinan media massa
agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan promosi penanggulangan
Penanggulangan DBD sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing.
Sementara itu ada pendapat populer bahwa advokasi adalah melakukan kampanye pada
media massa atau melakukan upaya komunikasi, informasi dan edukasi.
Tujuan advokasi untuk mempengaruhi pimpinan/pengambil keputusan dan penyandang
dana dalam penyelengaraan program Pengendalian DBD, sedangkan sasaran advokasi
adalah:
Pimpinan legislative (Komisi DPRD)
Pimpinan eksekutif (Gubernur, Bupati, Bappeda)
Penyandang dana
Pimpinan media massa
Pimpinan institusi lintas sektoral
Tokoh Agama/Masyarakat/PKK, organisasi profesi
a. Metode Advokasi:
Lobby
Pendekatan Informal
Penggunaan media massa
b. Materi Pesan
Harus diketahui jumlah kasus DBD di wilayahnya
Program cara pencegahan dan pengendalian DBD
Kebijakan dalam pengendalian DBD (menyiapkan tenaga kesehatan, dan lintas
sektor lain untuk melaksanakan program bebas DBD.
c. Hasil yang diharapkan
Adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya (SDM, dana dan
sumber daya lainnya) dalam penanggulangan DBD.
Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang beranggotakan lembaga
pemerintah, swasta, LSM, Dunia Usaha, untuk membahas dan memberi masukan
dalam penanggulangan DBD
Media massa cetak & elektronik (radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan
lain-lain)
Media tradisional
c. Hasil yang ingin dicapai
Adanya opini positif berkembang di masyarakat tentang pentingnya pengendalian
DBD
Semua kelompok potensial di masyarakat ikut menyuarakan dan mendukung
pengendalian DBD
Adanya dukungan sumber daya (SDM, Dana, Sumber daya lain) dari kelompok
potensial di masyarakat
3. Strategi Gerakan Pemberdayaan
Gerakan pemberdayaan (empowerment) adalah proses pemberian informasi secara terus-
menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar
(aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice).
Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkan dan
mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk pengendalian DBD
secara mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta
secara aktif dalam pengendalian DBD.
Gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya dalam peningkatan
kemampuan masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan derajat
kesehatannya. Peningkatan keberdayaan berarti peningkatan kemampuan dan
kemandirian masyarakat agar dapat mengembangkan diri dan memperkuat sumber daya
yang dimiliki untuk mencapai kemajuan.
Tujuan dari strategi pemberdayaan adalah meningkatkan peran serta Individu, keluarga
dan masyarakat agar tahu, mampu dan mau, berperan serta dalam pengendalian DBD.
Sasaran dari kegiatan ini adalah masyarakat umum.
a. Metode
Promosi Individu
Promosi Kelompok
Promosi Massa
b. Materi Pesan
Tanda dan gejala DBD
Cara pencegahan dan pengendalian DBD
3 M Plus
c. Hasil yang diharapkan
Tumbuhnya kepedulian masyarakat dalam pengendalian DBD
Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pengendalian DBD
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan
metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM
ini harus digalang kerjasamanya, baik di antara mereka maupun antara mereka dengan
pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasil guna.
Setelah itu, sesuai dengan ciri-ciri sasaran serta situasi dan kondisi, lalu ditetapkan, diadakan
dan digunakanlah metode dan sarana komunikasi yang tepat.
Kunci keberhasilan gerakan pemberdayaan adalah membuat orang tersebut memahami bahwa
penyakit DBD adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang
bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka
orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Manakala ia
telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi
umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan.
Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan fakta-fakta dan
mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan mengajukan harapan bahwa masalah
tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan
dengan para tokoh masyarakat sebagai panutan.
Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan
terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan
bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam
proses pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan
masyarakat (community development).
Untuk itu, sejumlah individu yang telah mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk
bekerjasama memecahkan kesulitan yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih
juga memerlukan bantuan dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari dermawan). Hal-hal
yang akan diberikan kepada masyarakat oleh program kesehatan sebagai bantuan, hendaknya
disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya. Bantuan itu hendaknya juga sesuai dengan apa
yang dibutuhkan masyarakat.
1) Tujuan umum :
Meningkatkan percepatan, efektivitas dan efisiensi upaya kesehatan dan
upaya pembangunan pada umumnya.
2) Tujuan khusus :
a) Meningkatkan saling pengertian
b) Meningkatkan saling percaya;
c) Meningkatkan saling memerlukan;
d) Meningkatkan rasa kedekatan;
e) Membuka peluang untuk saling membantu;
f) Meningkatkan daya, kemampuan, dan kekuatan;
g) Meningkatkan rasa saling menghargai;
3) Hasil yang diharapkan :
Adanya percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai upaya termasuk
kesehatan.
b. Pelaku Kemitraan :
2. POKJANAL DBD
Gerakan PSN DBD adalah keseluruhan kegiatan masyarakat dan pemerintah untuk
mencegah penyakit DBD, yang disertai pemantauan secara terus menerus. Gerakan
PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan
penyakit DBD.
Pendekatan penggerakan Peran Serta Masyarakat pada dasarnya tidak dapat
dilakukan secara parsial agar lebih optimal, peran serta masyarakat harus dibina dan
di organisasikan karena peran serta masyrakat itu melibatkan banyak pihak namun
perlu satu sistem melalui POKJANAL.
Hakekat POKJANAL saat ini adalah suatu kelompok kerja Operasional yang
keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur dinas/instansi pemerintah, LSM, swasta
atau dunia usaha yang secara fungsional mempunyai tugas meningkatkan peran serta
masyarakat dalam PSN-DBD.
a) Dasar Pembentukan:
1) Acuan Dasar pembentukan POKJANAL Demam Berdarah Dengue :
KEPMENKES 581/VII/1992 : Tentang Pemberantasan Penyakit DBD
2) Disain Pengorganisasiannya : Dibawah dan bertanggung jawab kepada Tim
Pembina LKMD di setiap tingkatan.
3) Saat masih ada TP. LKMD ketua TP.LKMD Tingkat Pusat adalah
Mendagri, demikian seterusnya di daerah, sehingga ada rentang kendali
Pusat - Daerah yang jelas.
4) Disain pengorganisasian berdasarkan UU Nomor : 32 tahun 2004 dibawah
dan bertanggung jawab kepada Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan
POKJA DBD Desa/Kel Kepada kepala Desa/Lurah.
5) Peran DEPDAGRI dan Pemda:
a) Pasal 217 UU 32/2004 : PEMBINAAN
Koordinasi pemerintahan antar susunan
Pemberian pedoman dan standard
Pemberian bimbingan dan supervise
Diklat
Manajemen pemerintahan
b) Pasal 218 UU 32/2004 : PENGAWASAN Atas penyelenggaraan
Pemerintah daerah.
c) Pasal 222 UU 32/2004 :
(1) Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah nasional di koordinasikan Mendagri
(2) Pembinaan & Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah
Kab/Kota oleh Gubernur
d) PERPRES No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009
e) Bab 28 Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Tujuan akhir penyuluhan kesehatan masyarakat adalah terjadinya perubahan perilaku sasaran.
Perubahan perilaku tersebut dapat berupa pengetahuan, sikap maupun tindakan atau
kombinasi dari ketiga komponen tersebut. Agar kegiatan penyuluhan dapat mencapai hasil
maksimal, maka metode dan teknik penyuluhan perlu mendapat perhatian yang besar pula.