Enam kali Terpilihnya Soeharto, 27 Maret 1968 – 12 Mei 1998
( Analisis esensi pembatasan masa jabatan kekuasaan ) Point-point : 1. Pengertian Konstitualisme dan Konstitusi 2. Konsep kekuasaan pada awal pemerintahan Orde Baru 3. Penyelewengan tafsir pasal 7 UUD 1945 yang tidak sesuai paham Konstitusionalisme 4.Penerangan kembali Konstitusionalisme dalam pembatasan lembaga negara setelah Amandemen 2002 5. Kesimpulan
1. Pengertian Konstitusionalisme dan Konstitusi
Konstitusi tidak sekaligus mengandung paham konstitusionalisme. Konstitusi belum tentu konstitusionalisme. Walaupun paham konstitusionalisme diturunkan dari konstitusi, dan dalam perkembangannya bahkan mendorong keberadaan negara konstitusi, esensi konstitusionalisme mengagas pembatasan kekuasaan negara. Konstitusi ialah dasar tertinggi suatu negara sedangkan Constitutionalism atau konstitusionalisme adalah suatu konsep atau gagasan yang mana dalam membangun suatu negara pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya perlu di batasi kekuasaan nya, agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak sewenang-wenang dan hal tersebut dinyatakan serta diatur tegas dalam pasal-pasal konstitusi.
2. Konsep keuasaan pada awal Orde Baru
Pemerintah tanpa pembatasan kekuasaan menyebabkan pemerintahan yang otoriter, sewenang-wenang. Fungsi hadir nya konstitusionalisme ialah ingin menciptakan rasa aman , sehingga harus terdapat pembatasan kekuasaan tersebut agar tidak tercipta kekuasaan yang tirani. Konsep pembatasan kekuasaan ini sejatinya belum sepenuhnya diadopsi dalam UUD pertama, oleh karenanya kekuasaan yang penuh yang dipegang oleh presiden pun menjadi ciri utama dalam penyelenggaraan pemerintah saat itu terlebih UUD masih bersifat umum sehingga sering kali disalah tafsirkan dan berakibat fatal ialah otoriter salah satunya. Pada masa Orba, konsep pemerintahan indonesia tidak mengenal adanya pembatasan kekuasaan, sehingga kekuasaan / jabatan presiden setelah tepilih selama lima tahun , dapat dipilih lagi lima tahun berikutnya dan seterusnya. Mengutip dari UUD 1945 sebelum Amandemen 1998 ,sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “keadaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Melalui ketentuan pasal ini penyelenggaraan pemerintahan negara berarti dibagi secara vertikal ke lembaga-lembaga di bawahnya. Dengan kata lain, kekuasaan dibagikan berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan. Di mulainya orde baru merupakan awal dari kekuasaan Presiden Soeharto. Soeharto memerintah dalam waktu yang cukup lama dan saat diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat Presiden RI pada Sidang MPRS tahun 1967 dan baru berhenti tahun 1998 (32 tahun). Hal ini juga tidak terlepas pada pemerintahan Soekarno yang sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1967 (22 tahun). Tetapi fokus pembahasan tetap pada masa jabatan Soeharto. paham konstitusionalisme menyatakan rakyat pemegang kedaulatan tertinggi tetapi terikat pada konsititusi. 3. Penyelewengan tafsir pasal 7 UUD 1945 yang tidak sesuai paham Konstitusionalisme pada Orba UUD 1945 (Sebelum Amandemen 1999/redaksi lama) yang disahkan dalam Rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 nyaris tidak mengindahkan paham konstitusionalisme, walaupun di dalamnya telah memberlakukan pembagian kekuasaan di antara bidang-bidang kekuasaan negara. Saya mengutip dari Penjelasan UUD 1945 Angka II Dikatakan pada butir (2): ”Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme artinya menyatakan bahwa harus ada suatu kekuasaan yang terbatas. Namun, beberapa pasal UUD (redaksi lama) tidak mendukung paham konstitusionalisme itu. Salah satu pasal konstitusi yang sifatnya diktator, termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 (redaksi lama), berbunyi: ”Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pasal konstitusi tersebut tidak menetapkan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara tegas dan rinci. Hal inilah yang membuat masa jabatan soeharto bisa bertahan selama 32 tahun. Seharusnya pemberlakuan paham konstitusionalisme dalam UUD salah satunya harus ada Pembatasan kekuasaaan masa jabatan-jabatan publik dalam negara. Paham saya menyatakan bahwa telah terjadinya penyimpangan terhadap prinsip negara hukum yang nyata terhadap pemerintahan Soeharto. Meskipun telah ada pemisahan kekuasaan, dengan kekuatan militernya, Soeharto mengendalikan lembaga MPR dan DPR yang tunduk dan patuh atas perintah Soeharto. Lembaga parlemen yang tidak dapat lagi mengontrol kekuasaan presiden menjadi presiden buruk dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya kekuasaan presiden menjadi tak terkontrol dan sewenang-wenang sehingga akan menyebabkan penyalahgunaan wewenang ( Abuse of power ). Selain itu juga memberikan tafsir menyeleweng terhadap Pasal 7 Undang Undang Dasar (sebelum perubahan) bahwa presiden dapat dipilih kembali tanpa ada batasan. Sehingga yang terjadi selama 32 tahun Indonesia berada pada rezim otoriter. Disinilah menurut saya letak kemunduran konstitusionalisme dalam penyelenggaraan pemerintahan indonesia sebelum Amandemen Undang Undang Dasar 1999-2002.
4. Penerangan kembali Konstitusionalisme dalam pembatasan lembaga negara
Pemerintahan Soeharto yang dinilai otoriter dan koruptif, melalui gelombang reformasi akhir-nya Presiden Soeharto harus rela melepaskan jabatan presidennya. Bersamaan dengan itu, tuntutan perubahan Undang Undang Dasar sebagai konstitusipun tidak dapat di bendung. Sehingga pada tahun 1999 menjadi puncak terjadinya perubahan konstitusi Indonesia. Perubahan tersebut terhitung sebanyak empat kali hingga saat ini, dimulai tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Hasilnya pun membawa lompatan yang luar biasa terhadap perkembangan konstitusionalisme di Indonesia. Pasal 7 UUD 1945 ( Sesudah Amandemen) lebih di perjelas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat di pilih kembali dalam jabtan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Selain itu Perumusan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum menjadi tonggak awal terhadap penegakan prinsip-prinsip negara hukum di Indonesia. Hal ini pula yang mengawali adanya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, paham konstitusionalisme juga tercermin dalam Sparation of power (pemisahan kekuasaan) pasca amandemen ini. Dimana MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. Karena tidak lagi sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan di-laksanakan menurut UUD 1945. Melalui rumusan pasal tersebut, setiap lembaga negara yang disebutkan dalam UUD memiliki kedudukan yang sama tingginya untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Artinya tidak ada lagi lembaga yang dominan atas lembaga yang lain. Masing-masing lembaga memiliki wewenang untuk saling kontrol dan mengimbangi ( Check and Balances ). Terlepas dari itu, fungsi check and balances di antara lembaga tetap menjadi karakteristik utama konstitusionalisme dalam penyelenggaraan negara. Karena melalui prinsip check and balances. Maka akan tercipta pembatasan kekuasaan di antara lembaga negara. 5. Kesimpulan Konstitusionalisme pada dasarnya mengatur pelaksanaan dalam hubungan individu dengan pemerintah, merinci kekuasaan itu serta membatasi kekuasaannya. Kultur Konstitusionalisme Orde Baru yang awal nya luntur akibat pasal 7 UUD 1945 ( Sebelum Amandemen) yang diktator, menjadi titik terang pembatasan kekuasaan setelah 4 kali melakukan Amandemen. Dan menghasilkan pembatasan kekuasaan serta Check and balances antar lembaga negara.