Anda di halaman 1dari 20

KENDALA INFORMASI DAN KOGNISI SERTA HUBUNGAN ANTARA

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DENGAN MODAL


SOSIAL PERBANKAN SYARIAH

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Abdul Hamid, MS

Penyusun:

Hikmatul Aliyah

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


Program Doktor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Jurusan Perbankan Islam
2019
Pendahuluan

Di era globalisasi dan perekonomian dunia yang pro pasar bebas (free market)
dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan non-human capital di dalam
sistem perekonomian cenderung semakin berkurang. Para stakeholder yang bekerja di
dalam sistem perekonomian semakin yakin bahwa modal tidak hanya berwujud alat-
alat produksi seperti tanah, pabrik, alat-alat, dan mesin-mesin, akan tetapi juga berupa
human capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human
capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia. Kandungan lain dari human
capital selain pengetahun dan ketrampilan adalah ‘kemampuan masyarakat untuk
melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain’. Kemampuan ini akan menjadi
modal penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek
eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal sosial’
(social capital) (Coleman, 1990) dalam Zingales et al (2018).
Di sisi lain sistem keuangan kontemporer menghadapi krisis kepercayaan.
Krisis dan skandal perusahaan telah mengikis kepercayaan antara pemangku
kepentingan dan lembaga keuangan secara signifikan (Guiso, Sapienza, & Zingales,
2008). Para ekonom berusaha mencari sistem alternatif yang tahan dari guncangan
krisis. Dalam hal ini, keuangan Islam dengan prinsip pembagian risiko (risk sharing)
intinya memberikan alternatif yang efektif untuk keuangan arus utama. Stabilitas
sistem keuangan bergantung pada pemulihan kepercayaan, pembangunan kembali
modal sosial dan reformasi lembaga-lembaga formal. Ini menimbulkan kebutuhan
untuk meningkatkan modal sosial, khususnya kepercayaan dan etika, untuk lebih
meningkatkan pembagian risiko, yang merupakan inti dari keuangan Islam. Karena
pasar saham adalah cara terbaik pertama dari pembagian risiko (Iqbal, Mirakhor, Iqbal,
& Mirakhor, 2017) kebutuhan untuk memperkuat modal sosial sangat penting
mengingat keterbelakangan pasar saham dan rendahnya tingkat modal sosial di banyak
negara Muslim. Banyak dari pasar ini dihadapkan dengan masalah informasi dan
masalah tata kelola yang mengakibatkan biaya transaksi tinggi (Askari et al. 2011).
Menurut Coleman (1990) dalam (Ng, Mirakhor, & Ibrahim, 2015), modal sosial
adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan bersama
dalam suatu kelompok dan organisasi. Prinsip bekerjasama ini telah dipraktekan oleh
umat Islam di Indonesia, misalnya dalam mewujudkan terbentuknya sistem keuangan
yang sesuai dengan ajaran Islam. Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan
sistem keuangan yang telah lama diharapkan oleh masyarakat Indonesia, terutama umat
Islam Indonesia. Dukungan permintaan “Islamic product” penduduk muslim di
Indonesia sesungguhnya menjadi potensi besar bagi perbankan Syariah, sehingga
majelis Ulama Indonesia menyatakan pada Lokakarya Alim Ulama di Cisarua 1991
bahwa Bunga bank sama dengan riba dan dibutuhkan adanya jasa keuangan dan
perbankan yang sesuai dengan syariat Islam, khususnya berkaitan dengan pelanggaran
praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa dengan perjudian,
ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi, serta keharusan
penyaluran pembiayaan.
Selanjutnya Fatwa MUI menganai haram bunga bank pada 16 Desember 2003
menjadi cikal bakal berkembangnya bank syariah di tanah air. Sementara praktek bagi-
hasil berdasarkan prinsip Syariah sendiri telah diterapkan oleh bank syariah pertama di
Indonesia (Bank Muamalat) yang terbentuk pada 1 November 1991 dan mendapat
penguatan hukum negara dengan disahkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang
mengatur berlakunya dual banking system, yang terdiri dari konvensional dan Syariah.
Meskipun dalam sejarah kemunculan Lembaga keuangan Syariah memiliki
dukungan permintaan “produk Islam” yang solid dari mayoritas penduduk muslim di
Indonesia, namun jika dibandingkan perkembangannya dengan ketinggalan negara
tetangga seperti Malaysia dan Singapura, Indonesia masih sangat tertinggal. Padahal
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Jumlah penduduk muslim yang besar ini seharusnya secara rasional merupakan potensi
dan merupakan basis yang kuat untuk perkembangan bank syariah di Indonesia ke
depan namun belum digarap secara maksimal. Setelah hampir 28 tahun keberadaan
bank syariah di Indonesia seharusnya sudah berkembang pesat. Dengan kata lain alasan
semangat keIslaman untuk memilih bank syariah tidak berjalan efektif karena
perbankan Syariah tidak mampu menjadikan masyarakat Indonesia muslim sebagai
modal social secara utuh. Kenyatannya sejak berdirinya bank Muamalat pada tahun
1991 sampai tahun 2018 market share Perbankan Syariah masih dilevel 5,7%, sangat
berbanding jauh dengan jumlah penduduk muslim yang kurang lebih mencapai 82%
dari total jumlah penduduk.
Modal sosial Islam dapat terkikis oleh faktor-faktor yang akan membuat orang
kurang bergantung satu sama lain. Ini mungkin muncul terutama dalam dimensi
relasional modal sosial Islam. Misalnya, harapan dan kewajiban mungkin kurang
signifikan ketika orang memiliki sumber dukungan alternatif. Oleh karena itu, modal
sosial Islam dikembangkan dalam satu konteks, seperti ikatan, norma dan kepercayaan
yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam universal ditransfer dari pengaturan sosial
konvensional ke pengaturan sosial Islam yang akan mempengaruhi pola pertukaran
social (Hassan Farooqi, 2006).
Salah satu persoalan yang menjadi penghambat loyalitas umat muslin terhadap
perbankan Syariah adalah adanya paradigma perbankan suariah sebagai lembaga bisnis
semata. Padahal semestinya perbankan memiliki paradigma social-ekonomi dalam
naungan bisnis yang profesional sehingga perbankan syariah menjadi lembaga yang
benar-benar bersahabat bagi masyarakat sekaligus berperan dalam pembentukan modal
sosial.
Tulisan ini bertujuan untuk untuk membahas “Kendala Informasi Dan Kognisi
Serta Hubungan Antara Corporate Social Responsibility (CSR) Dengan Modal Sosial
Perbankan Syariah”.

A. Modal Sosial Konvensional

Menurut (Sato, 2015) modal sosial merupakan jaringan yang diciptakan dari
asosiasi antar manusia. Elemen-elemen modal sosial serupa dengan faktor-faktor yang
juga terdapat dalam organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang
dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi.
Menurut World Bank dalam (Grootaert & Bastelaer, 2001), social capital
adalah “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values
that govern interactions among people and contribute to economic and social
development”. Artinya sebuah masyarakat mencakup lembaga, hubungan, sikap dan
nilai-nilai yang mengatur interaksi di antara orang-orang dan berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, social capital tidaklah sederhana hanya
sebagai jumlah dari seluruh institusi yang ada, namun ia adalah juga semacam perekat
yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Grootaert (2001) menggambarkan
bahwa semakin meningkatnya stock social capital, maka meningkat pula ex post
kesejahteraan masyarakat (net benefit) sebagai hasil meningkatnya jumlah transaksi,
joint venture, output, kualitas hidup, kualitas lingkungan dan kemudahan lainnya yang
dinikmati oleh penduduk. Adapun dalam social capital dibutuhkan adanya “nilai saling
berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang
diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships),
kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama; sehingga
masyarakat bukan hanya sekedar kumpulan individu belaka.

Putnam dalam Majee & Hoyt (2011) mengartikan modal sosial sebagai
“features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate
coordination and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial adalah Fitur organisasi
sosial seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama untuk saling menguntungkan. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap
individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi
kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini juga
mengandung pengertian bahwa diperlukan adanya suatu social networks (“networks of
civic engagement”) - ikatan/jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma
akan mendorong produktivitas komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan
pemaknaan asosiasi horisontal, tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil
pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome (hasil tambahan)
(Majee & Hoyt, 2011).
Secara umum, ada delapan elemen yang berbeda dalam social capital, yaitu
partisipasi pada komunitas lokal, proaktif dalam konteks sosial, perasaan trust dan
safety, hubungan ketetanggaan (neighborhood connection), hubungan kekeluargaan
dan pertemanan (family and friends connection), toleransi terhadap perbedaan
(tolerance of diversity), berkembangnya nilai-nilai kehidupan (value of life), dan
ikatan-ikatan pekerjaan (work connection).
Sejalan dengan itu (Woolcock & Narayan, 2000) menyatakan bahwa modal
sosial secara sederhana didefinisikan sebagai norma-norma, jaringan dan rasa saling
percaya yang membuat orang mampu untuk bergerak bersama secara kolektif. Modal
sosial dapat dipilah berdasarkan Tipe dan levelnya. Menurut tipenya, ada dua macam
modal sosial, yaitu bonding social capital (modal sosial yang merekatkan) dan bridging
social capital (modal sosial yang menjembatani). Bonding social capital adalah modal
sosial yang mampumem perkuat ikatan antar anggota masyarakat yang membuat
orangmemiliki perhatian dan dukungan satu-sama lain. Sementara bridging social
capital adalah modal sosial yang memungkinkan terciptanya hubungan antara berbagai
kelompok sosial sehingga orang dari suatu kelompok sosialbisa memiliki akses atas
sumberdaya yang dimiliki oleh kelompok sosial lainnya. Sementara menurut levelnya,
modal sosial bisa berupa cognitive dan structural. Modal sosial kognitif adalah aspek-
aspek seperti norma-norma, nilai-nilai dan perilaku, yang memungkinkan
terbangunnya rasa percayaantar anggota masyarakat. Sedangkan modal sosial
struktural adalah aktivitas-aktivitas, struktur organisasi dan prinsip-prinsip demokratis
yang mendukung aksi kolektif dan pengambilan keputusan. (Woolcock & Narayan,
2000).
Menurut Candland (2001) Keimanan dapat menjadi bentuk modal sosial.
Sebuah komunitas dengan keimanan yang sama tidak perlu mengulangi interaksi tatap
muka untuk saling percaya satu sama lain. Keimanan yang dibagikan dapat
memungkinkan orang-orang yang seiman untuk saling percaya. Sebagai seorang
Muslim, perkataan adalah jaminan seseorang, karena semua yang dipikirkan,
dikatakan, dan diperbuat akan diketahui Allah dan akan dipertanggungjawaban pada
hari perhitungan. Dalam pemikiran Buddhis, kebahagiaan adalah hasil langsung dari
kata-kata dan tindakan belas kasihnya seseorang terhadap orang lain, karena semua
makhluk hidup pada satu waktu dianggap melahirkan dan merawat setiap makhluk
lainnya. Masing-masing asosiasi agama dianggap telah mempertahankan modal sosial
melalui keyakinan. Niat baik yang diberikan oleh penganut masing-masing asosiasi
kepada penganut lain melampaui tanggung jawab formal mereka sebagai anggota
asosiasi Bersama (Candland, 2001).

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disintesiskan bahwa modal sosial


merupakan jaringan yang diciptakan dari asosiasi antar manusia yang berfungsi
meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi.
Adapun factor-faktor dari modal sosial meliputi seperti kepercayaan, nilai da norma,
jaringan dan aturan (rules)

B. Modal Sosial Islam

Islam adalah agama yang memiliki landasan kuat untuk membangun


masyarakat yang committed terhadap modal sosial. Menurut Mintarti (2003), Islam
memiliki komitmen terhadap kontrak sosial dan norma yang telah disepakati bersama;
dan bangunan masyarakat. Ciri dasar adanya modal social adalah dikenalnya prinsip
ta’awun (tolong menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki
solidaritas). Bila dicermati, banyak sekali ayat Al-Quran yang membahas ibadah
mahdhah seperti shalat berjamaah, zakat, qurban, puasa, haji, maupun muamalah
seperti silaturahim, anjuran mengucapkan salam, menengok orang sakit dan seterusnya
yang pada hakikatnya menjunjung tinggi dan sekaligus merupakan instrumen modal
sosial.
Tidak sedikit hadits nabi yang menekankan pentingnya modal sosial, baik
diantara sesama Muslim maupun sesama manusia. Anas ra. menyatakan bahwa Nabi
SAW bersabda, “Tiada sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga ia mencintai
sesama Muslim, sebagaimana ia telah mencintai dirinya sendiri.” An-Nu’man Basyir
ra. berkata: bersabda Rasulullah SAW, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam
cinta mencintai, kasih mengasihi dan rahmat merahmati adalah bagaikan satu badan,
apabila salah satu anggota badannya menderita sakit, maka menjalarlah penderitaan itu
ke seluruh badan, hingga terasa panas dan tidak dapat tidur.” Sikap baik seperti ini
berlaku juga bagi sesama manusia. Jarir bin Abdillah ra. berkata: Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa tidak kasih kepada sesama manusia, maka tidak dikasihi
Allah.”
Menurut Farooqi (2014) dan Farooqi (2006) modal sosial Islam dapat
didefinisikan sebagai jaringan yang membantu menciptakan hubungan yang pada
gilirannya memotivasi orang untuk menindaklanjuti konvensi dan norma Islam yang
mengatur proses pembangunan. Tujuan modal sosial Islam adalah untuk menciptakan
komunitas persaudaraan universal dan keadilan sosial ekonomi. Oleh karena itu,
konsep "modal sosial" telah menambahkan dimensi baru pada dialog pembangunan
dari perspektif Islam. Islam sebagai sebuah agama didedikasikan untuk persaudaraan
universal, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan yang adil, dan kebebasan
individu dalam konteks kesejahteraan sosial. Dedikasi ini berorientasi spiritual dan
terjalin dengan baik dalam seluruh jalinan standar sosial dan ekonomi (Hassan, 2014).
Menurut Farooqi (2006) makna dari modal sosial Islam adalah untuk mencapai
kesejahteraan yang merupakan bagian dari sistem kesejahteraan sosial Islam. Modal
sosial dalam Islam lebih menekankan pada tugas daripada hak. Kebijaksanaan di balik
ini adalah bahwa jika tugas (yang berkaitan dengan keadilan dan perwalian) dipenuhi
oleh semua orang, kepentingan diri sendiri secara otomatis memiliki batasan demikian
juga hak-hak yang dimiliki. Karena masyarakat adalah lembaga utama dalam Islam
(dan bukan negara), penekanannya adalah pada manusia daripada pada kekuatan
negara. Adapun faktor-faktor yang mepengaruhi modal sosial adalah ikatan, norma dan
kepercayaan (Hassan Farooqi, 2006).
Selanjutya menurut Hassan (2014), social capital memainkan peran penting
dalam memfasilitasi adopsi dan sumber daya manusia dan modal alam. Disisi lain
tindakan kolektif menyediakan sarana untuk mengadopsi dan mengambil keuntungan
dari inovasi pertanian, menghasilkan modal ekonomi dan sumber daya serta
menciptakan proses pembangunan berkelanjutan.
Dalam perspektif holistik, keuangan mikro Islam adalah proses intermediasi
sosial dan membangun modal sosial. Proses intermediasi sosial adalah investasi yang
dibuat untuk pengembangan sumber daya manusia dan modal institusional untuk
membuat kelompok-kelompok yang terpinggirkan menjadi mandiri dalam
mempersiapkan mereka untuk terlibat dalam intermediasi keuangan formal. Meskipun
peminjam tidak memiliki modal fisik untuk bertindak sebagai jaminan, tetapi mereka
memiliki jaminan sosial. Dengan memanfaatkan modal sosial yang ada - jaringan
kepercayaan dan persaudaraan yang didasarkan pada nilai-nilai etika Islam, teknik
kelompok keuangan mikro Islam membantu memastikan pembayaran kembali
pinjaman tanpa bunga dengan persentase pembagian keuntungan yang disepakati.
Anggota kelompok dapat diminta untuk meminjam dalam kelompok, memilih anggota
kelompok mereka sendiri, bertindak sebagai penjamin timbal balik (dalam hal
kegagalan bisnis, hibah keuangan yang setara dengan jumlah pinjaman dikenai sanksi
keluar dari dana zakat / wakaf tunai dari IWS). Insentif dan dinamika kelompok ini
diperkuat melalui lingkaran studi dan pertemuan kelompok Islam reguler. Ini
mengurangi biaya asimetri informasi yang umum untuk sebagian besar situasi
pinjaman dengan menyelaraskan insentif peminjam dan menggunakan pengetahuan
mereka dan mempertahankan nilai-nilai Islam, memantau pembayaran dan
memberikan tekanan teman sebaya. Konsep ini, gagasan bahwa jaminan sosial telah
digantikan dengan jaminan fisik dalam penyediaan pinjaman tanpa bunga adalah
gagasan baru dalam dunia perbankan Islam dan telah direplikasi dalam program
keuangan mikro Islam informal (Hassan, 2014).
Menurut (Ng, Ibrahim, & Mirakhor, 2015) jaringan sosial yang koprehensif dan
kuat dapat membantu dalam berbagi informasi yang cukup untuk kegiatan pasar.
Kepercayaan dan etika memiliki peran penting dalam pengembangan keuangan.
Masalahnya adalah bagaimana mengembangkan kepercayaan dan etika dapat menjadi
modal sosial yang dapat dipercaya, etis dan efisien. Dalam konteks modal sosial dan
pembagian risiko, jumlah keterlibatan juga penting karena ketidakpastian berkurang
ketika perilaku agen dapat lebih diprediksi melalui interaksi rutin. Interaksi rutin juga
membantu mempertahankan kerja sama untuk mekanisme multilateral yang sukses
(Ng, Ibrahim, et al., 2015).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disintesiskan bahwa modal sosial Islam adalah
jaringan yang membantu menciptakan hubungan yang pada gilirannya memotivasi
parapelaku untuk menindaklanjuti nilai dan norma Islam untuk mengatur proses
pembangunan. Adapun tujuan modal sosial Islam adalah untuk menciptakan komunitas
persaudaraan universal dan keadilan sosial ekonomi. Selanjutnya faktor-faktor yang
berkaitan dengan modal sosial Islam adalah ikatan (ukhuwah Islamiyah), nilai dan
norma syariat Islam dan kepercayaan (keimanan).

C. Modal Sosial Bank Syariah dan Kendala Informasi dan Kognisi

Kebanyakan penelitian atau pandangan terkait persoalan kurangnya minat


masyarakat bertransaksi dengan institusi keuangan syariah adalah selalu dianggap
kurangnya informasi dan sosialisasi akan bank dan produk-produk Syariah yang
menyebabkan kurangnya pemahaman (familiarity) masyarakat terhadap fitur-fitur dari
institusi keuangan syariah. Ketidaktahuan masyarakat akan segmen yang digarap bank
syariah yang sebenarnya luas adalah lebih kepada kekurangan objective knowledge,
subjective knowledge dan experience yang dapat memengaruhi tingkat pemahaman
(familiarity) tersebut yang juga berpengaruh terhadap keputusan menjadi nasabah
untuk menabung atau meperoleh pembiayaan (Triana & Mahdi, 2018)

Familiarity adalah hal urgent yang harus diperhatikan dalam rangka mengukur,
merencanakan, dan menerapkan strategi pengembangan bank syariah di bidang
apapun. Adalah betul Bank Syariah dan produk-produknya tidak banyak dipahami oleh
kebanyakan masyarakat (muslim khususnya), sehingga menyulitkan untuk bertransaksi
dengan bank syariah. (Triana & Mahdi, 2018), melakukan penelitian yang bertujuan
mengetahui pengaruh pemahaman produk Bank Syariah (familiarity) terhadap
keputusan nasabah menabung di iB Hasanah PT. Bank BNI Syariah Cabang Pontianak.
Triana dan mahdi (2018) meneliti pengaruh variable objective knowledge, subjective
knowledge dan experience terhadap keputusan nasabah menabung. Hasilnya
menunjukan bahwa keputusan nasabah dalam menabung paling dipengaruhi oleh
pemahaman yang objektif (objective knowledge) terhadap bank Syariah. Adapun ketiga
variable sama-sama menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan
menabung nasabah Faktor tersebut dapat digunakan untuk menaikkan tingkat konversi
nasabah baru. Misalnya: pemahaman produk (atribut akad syariah, manfaat),
pemahanan cara menjadi nasabah dan pemahaman tentang penggunaan (menabung,
bagi hasil, dan lain – lain).

Rendahnya informasi yang diserap dapat menciptakan keraguan akan


keamanan uang mereka, dan mempertanyakan berbagai keuntungan yang dalam
bertransaksi dengan bank syariah, juga masyarakat mempertanyakan kemudahan-
kemudahan dalam transaksi syariah dibanding bank konvensional, karena setiap
perpindahan (transaksi konvensional ke syariah) ini tentu akan memunculkan biaya
transaksi bagi nasabah. Belum lagi berkembang pemikiran yang mendiskreditkan bank
syariah oleh beberapa kalangan, misalnya dengan menganggap identitas “syariah”
hanyalah tehnik pemasaran saja yang sesungguhnya dalam praktek tidak berbeda jauh
dengan bank konvensional, ada pula yang mempersoalkan bahwa sekarang ini banyak
berkembang unit syariah namun kebanyakan induknya bank konvensional, sehingga
dipertanyakan bagaimana menjamin bahwa keuangan antara induk-anak itu tidak
saling tercampur.

Disadari memang, serapan informasi adalah salah satu aspek penentu keputusan
individu, apapun keputusan itu, termasuk dalam memilih bertransaksi dengan bank
syariah. Dalam ilmu ekonomi, perdebatan konsep (teori) rasionalitas dalam keputusan
memilih (rational choice) terbangun dari beberapa bentuk rasionalitas perilaku, yaitu
berbasis maksimalisasi utilitas dan self interest versi neo-klasik, berbasis rutinitas dan
kebiasaan versi Old Institutional Economics (OIE) dan konsep Bounded Rationality
Versi Herbert Simon “New Institutional Economics (NIE)” yang menggambarkan
bahwa rationalitas keputusan individu dibangun atas dasar dua sisi keterbatasan, yaitu
keterbatasan informasi dan kognisi (Yustika, 2008).

Salah satu cabang pemikiran, New Intitutional Econimics (NIE) adalah


pemahaman rasionalitas perilaku, yang satu sisi mengambil peran neo-klasik
khususnya dalam metodologi dan juga Old Institutional Ecomomics (OIE) dalam
konsep dasar perilaku yang berbasis kelembagaan. Tokoh NIE, Herbert Simon sebagai
pencetus gagasan bounded rationality menganggap bahwa manusia memang terbatas,
Simon (1957) dalam Barros (2010) mengganti maksimisasi ala neoklasik dengan
satisfaksi “kecukupan” dengan alasan tidak ada manusia yang mampu memaksimalkan
utilitasnya di tengah berbagai keterbatasan, berupa serapan informasi dan kognisi.
Manusia hanya mampu sebatas mensatisfaksi kepuasannya, yaitu satu level di bawah
optimalisasi. Sehingga, salah satu pengganti berbagai keterbatasan dalam individu
berperilaku seperti pandangan pendahulunya (OIE) adalah berdasar kebiasaan dan
rutinitas yang berkembang dalam lingkungan di mana individu itu tinggal, sekaligus
kebiasaan dan rutinitas dapat mengangganti perilaku kalkulasi yang dipaparkan neo-
klasik (Yustika, 2008).

Substansi dari bounded rationality adalah keterbatasan manusia dalam


mengelola informasi dan menyelesaikan persoalan yang digunakan dalam memutuskan
sesuatu tindakan dalam kehidupan, karena manusia sebagai decision maker
menghadapi keterbatasan informasi, perhatian dan kemampuan memproses informasi
(Greve & Zhang, 2017). Sebagai pencetus konsep bounded rationality, Simon (1957)
dalam (Barros, 2010) menjelaskan: The alternative approach employed in these papers
is based on what I shall call the principle of bounded rationality: The capacity of the
human mind for formulating and solving complex problems is very small compared
with the size of the problems whose solution is required for objectively rational
behavior in the real world or even for a reasonable approximation to such objective
rationality. Menurut Barros (2010) Alasan mendasar mengapa orang membatasi
jumlah penalaran yang mereka gunakan ketika harus membuat keputusan adalah
(Kamarck, 2005: 65): Mereka membatasi kemampuan analitis, dan memang ada
keterbatasan pengetahuan individu bersangkutan yang tersedia, mereka ingin
menghemat upaya kognitif yang diperlukan, mereka tidak ingin menghabiskan waktu
yang dibutuhkan menggali informasi yang diperlukan dan membuat keputusan yang
optimal.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, selaian kendali informasi bank, perhatian


masyarakat terhadap bank Syariah juga terhalang oleh kendala Kognisi Seperti yang
dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa persoalan utama kurangnya masyarakat
bertransaksi dengan bank syariah bukan hanya karena kurangnya atau keterbatasan
informasi namun lebih kepada terbatasnya perhatian dan pengelolaan informasi
tersebut. Dalam konteks ini bounded rationality disamping dibangun berdasar
keterbatasan informasi juga dibangun atas dasar keterbatasan kognisi (akal). Menurut
Dequech, (2001). Rasionalitas berbasis kognitif adalah menggunakan penalaran dan
pengetahuan untuk memutuskan keputusan untuk melakukan sesuatu tindakan
(Dequech, 2001). Karena agen tidak dapat mengumpulkan dan memproses informasi
yang diperlukan untuk mencapai hasil maksimal, mereka menjadi kurang puas
sehingga dianggap sebagai keterbatasan kognitif.

Pemahaman lain mengatakan manusia bukanlah kalkulator yang baik, untuk


mengkalkulasi benefit-cost sebelum berperilaku. Kemampuan kognisi yang terkait
dengan bank syariah ini adalah perhatian dan pemahaman akan ilmu agama yang
dianut, khususnya terkait dengan transaksi islami. Artinya perilaku bertransaksi secara
syariah harusnya tidak saja dibentuk oleh mencari kemudahan, mencari untung atau
hal-hal material lain, namun karena dorongan nilai illahiah, dalam konteks rasionalitas
islam disebut sebagai autonomous ratonality berbasis God`s Will (Cattelan & Asutay,
2013). Rasionalitas ini menunjukan sejatinya kehidupan seorang muslim akan sejalan
dengan kehendak Allah SWT

Budaya atau kebiasaan lingkungan yang Islami akan menciptakan praktek-


praktek islami dari masing-masing individu, sehingga tugas pemangku kebijakan untuk
kembali menegakkan nilainilai budaya dan agama dalam masyarakat sebagai the rule
of life. Namun demikian, patut juga menjadi perhatian bahwa keimanan atau
kesholehan saja tidak menjamin orang melakukan praketek-praktek syariah tanpa
pengetahuan, informaasi dan perhatian yang mumpuni akan konsep dan perkembangan
praktek syariah tersebut. Adakalanya undividu dikenal kesalehanya (beriman) dalam
masyarakat namun keterbatasan pemahaman dan pengetahuan akan praktek syariah
menyebabkan terhalanganya individu itu menafsirkan dan mempraktekan dengan
benar kaidah-kaidah syariah tersebut.

Hal ini dapat dipahami, di mana pendidikan Islam baik di sekolah dasar sampai
perguruan tinggi masih ditekankan pada ibadah rutin, halal haram, atau berbagai
kewajiban ritual lainnya, yang berkaitan dengan transaksi (ekonomi) kalaupun ada
masih relatif terbatas. Bahkan khotbah Jumat yang merupakan moment yang tepat
dalam transfer pengetahuan agama terhadap umat khususnya perilaku transaksi syariah
ini sangat jarang mengungkap konsep atau bentuk-bentuk transaksi dalam islam.
Sehingga, ada anggapan dengan melakukan ibadah yang rajin sebagian menganggap
sudah menunjukan kesolehan atau keimanan tersebut. Oleh karena itu, sebanarnya
praktek bank syariah tidak bisa dipisahkan dari aspek kehidupan beragama masyarakat
kita. Dengan demikin untuk mendorong peningkatan modal sosial perbankan Syariah
dari umat muslim harus dilakukan sinergisitas antara Lembaga Pendidikan dan
kegiatan penyiaran dakwah Islam lainnya agar lebih banyak meliterasi masyarakat
dengan meteri-materi keuangan Islam maupun fiqh muamalat umumnya.

Selain itu untuk meningkatankan modal sosial pada perbankan Syariah adalah
dengan Keterlibatan para ulama beserta para cendikiawan. para ulama beserta para
cendikiawan memiliki fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syariah,
bahkan menjadi satu kelembagaan tersendiri dan merupakan bagian dari struktur
formal dalam perbankan syariah, yang tidak yang tidak dimiliki oleh dalam perbankan
konvensional.

Sepanjang subjek itu terkait dengan ekonomi syariah, maka keterlibatan ulama
syariah menjadi nisyaya. Ulama ekonomi syariah berperan :

1. Berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan yang


muncul baik skala mikro maupun makro
2. Mendesign akad-akad syariah untuk kebutuhan produk-produk bisnis
diberbagai lembaga syariah
3. Mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syariah
dijalankan sesuai Syariah
4. Menyiarkan keutamaan-keutamaan perbankan Syariah
Selanjurnya diperlukan juga peran pemerintah. Pemerintah juga bisa memberikan
perlakuan setara antara perbankan konvensional dan syariah. Artinya pemerintah harus
menciptakan aturah hukum dan regulasi yang sesuai dan mendukung penerapan prisip-
prinsip Syariah dalam perbankan Syariah. Misalnya membuat undang-undang yang
memungkinkan dibentuknya skema Syariah untuk standar operasional bank Indonesia
sebagai bank sentral. Hal ini untuk membangun reputasi bank Syariah dan menghapus
pandangan miring bahwa bank Syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional
dalam hal berinduk pada bank Indonesia. Selain itu bantuan kredit program harus ada
yang berskema syariah dan disalurkan lewat bank syariah.

Salah satu aksi nyata peran pemerintah bisa dimulai dengan menempatkan
sebagian dana termasuk pengelolaan cash management perusahaan milik megara dan
instansi pemerintah ke perbankan syariah. Pemerintah juga bisa memberikan perlakuan
setara antara perbankan konvensional dan syariah. Misalnya bantuan kredit program
harus ada yang berskema syariah dan disalurkan lewat bank syariah. Bahkan oleh
pemerintah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) di serahkan kepada Bank
Syariah. Mengingat haji adalah kegiatan spritual yang seharusya tidak terkontaminasi
oleh riba. Umat islam akan menjadi tenang menjalan ibadah haji ketika dana yang
disetorkan kepada pemerintah dikelola secara syariah yang bebas dari unsur-unsur ribat
atau subhat. Padahal, dalam pengelolaan dana haji yang cukup besar ini, pemerintah
dapat saja melakukan beberapa alternatif yang dinilai strategis.

D. Modal Sosial dan Corporate Social Responsibility

Telah banyak penelitian yang menunjukan bahwa modal sosial dapat dibangun
melalui tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik. Berbagai kajian
literatur sebelumnya telah berusaha menemukan faktor-faktor yang berkaitan dengan
modal sosial. (Degli Antoni & Portale, 2011) Antoni & Portale (2011) melakukan
penelitian untuk menganalisis hubungan empiris antara tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) dan modal sosial. Objek yang menjadi pengamatan penelitiannya
adalah organisasi nirlaba: koperasi sosial. PEnelitiannya tersebut mengungkapkan
pentingnya penerapan praktik-praktik Corporate Social Responsibility (CSR) yang
baik dalam mendorong penciptaan modal sosial yang dimaksudkan sebagai jejaring
sosial kooperatif, kepercayaan umum, dan keterampilan relasional.
Hoi, Wu, & Zhang, (2018) (Hoi, Wu, & Zhang, 2018) Studi ini menguji apakah
social capotal di negara-negara AS, mempengaruhi tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR) perusahaan resident yang berada di negara tersebut. Analisis data longitudinal
dari 3688 perusahaan AS yang unik antara 1997 dan 2009 memberikan dukungan
empiris yang kuat untuk proposisi bahwa modal sosial masyarakat yang memfasilitasi
kegiatan CSR berdampak positif yang menguntungkan pemangku kepentingan non-
pemegang saham. Sementara itu modal sosial yang menghambat kegiatan CSR
berdampak negatif yang merugikan pemangku kepentingan non-pemegang saham.
Selain itu kegiatan CSR yang positif meningkatkan kinerja keuangan pada masa depan
perusahaan.
Jha dan Cox (2005) (Jha & Cox, 2015) dalam penelitiannya, menyelidiki
apakah terdapat hubungan antara modal sosial di dan Corporate Social Responsibility
(CSR) perusahaan. Penelitiannya tersebut menemukan bahwa suatu perusahaan dari
suatu daerah dengan modal sosial yang tinggi menunjukkan tingkat CSR yang lebih
tinggi. Kecenderungan altruistic dari wilayah tersebut dari wilayah tersebut dibuktikan
memainkan peran dalam memingkatkan CSR perusahaan.
Tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-
program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkelanjutan dan menyentuh
langsung aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-
program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap
penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial
yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka modal sosial tidak dapat dihitung
nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya
untuk program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk menumpuk
modal sosial itu sendiri. Beberapa penelitian menyatakan bahwa program CSR yang
menguatkan modal social dilakuakan melalui aktivitas community development.
Dalam jangka panjang, penumpukan modal sosial tersebut akan memberikan
manfaat positif bagi perusahaan maupun masyarakat secara umum. Harmonisasi
hubungan perusahaan dengan masyarakat akan terlihat dari keserasian kehidupan sosial
di lingkungan sekitar aktivitas perusahaan. Selain itu akan terbangun kohesifitas yang
sangat kuat antara perusahaan dengan masyarakat. Kohesifitas yang kuat akan
memunculkan kolaborasi sosial yang erat antara perusahaan dengan masyarakat.
Sehingga, masyarakat akan merasakan kepentingannya terusik apabila keberadaan
perusahaan mendapatkan gangguan atau masalah (Hoi et al., 2018).

E. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa


modal sosial Islam adalah jaringan yang membantu menciptakan hubungan yang pada
gilirannya memotivasi umat muslim untuk menindaklanjuti nilai dan norma Islam
untuk mengatur proses pembangunan. Adapun tujuan modal sosial Islam adalah untuk
menciptakan komunitas persaudaraan universal dan keadilan sosial ekonomi.
Selanjutnya faktor-faktor yang berkaitan dengan modal sosial Islam adalah ikatan
(ukhuwah Islamiyah), nilai dan norma syariat Islam dan kepercayaan (keimanan).
Perbankan Syariah dihadapkan oleh kendala informasi dan kognisi yang
membuat tidak efektifnya modal sosial dalam memdorong perkembangan perbankan
Syariah di Indoensia. Hal ini dapat dihadapi dengan beberapa upaya-upaya kongkrit:
1. Meliterasi masyarakat mengenai perbankan syariah, kegiatan bank syariah
dan keutamaan bank suariah.
2. Meningkatkan peran ulama dalam mesyiarkan perbankan syariah
3. Peran pemerintah dalam menciptakan aturan hukum dan meregulasi yang
dapat meningkatkan reputasi bank syariah di hadapat masyarakat
khususnya umat muslim.

Selain itu penelitian ini juga menjelaskan bahwa modal sosial dapat dibangun
melalui tanggung jawab perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR), yang
didasarkan pada penelitian-penelitian Ilmiah yang dibahas.
Daftar Pustaka

Barros, G. (2010). Herbert A. Simon and the concept of rationality: boundaries and
procedures. Brazilian Journal of Political Economy.
https://doi.org/10.1590/S0101-31572010000300006

Candland, C. (2001). Faith as social capital: Religion and community development in


southern asia. Policy Sciences. https://doi.org/10.1023/A:1004857811117

Cattelan, V., & Asutay, M. (2013). Islamic moral economy as the foundation of
Islamic finance. In Islamic Finance in Europe.
https://doi.org/10.4337/9781781002513.00014

Degli Antoni, G., & Portale, E. (2011). The effect of corporate social responsibility
on social capital creation in social cooperatives. Nonprofit and Voluntary Sector
Quarterly. https://doi.org/10.1177/0899764010362568

Dequech, D. (2001). Bounded rationality, institutions, and uncertainty. Journal of


Economic Issues. https://doi.org/10.1080/00213624.2001.11506420

Greve, H. R., & Zhang, C. M. (2017). “Myopic Reactions to Performance Feedback:


Different Decision Makers, Different Decisions.” Academy of Management
Proceedings. https://doi.org/10.5465/ambpp.2016.12141abstract

Grootaert, C., & Bastelaer, T. Van. (2001). Understanding and measuring social
capital: A synthesis of findings and recommendations from the social capital
initiative. Social Capital Initiative Working Paper - World Bank.
https://doi.org/10.1227/00006123-197907010-00058

Guiso, L., Sapienza, P., & Zingales, L. (2008). Trusting the stock market. Journal of
Finance. https://doi.org/10.1111/j.1540-6261.2008.01408.x

Hassan, A. (2014). The challenge in poverty alleviation: Role of Islamic microfinance


and social capital. Humanomics. https://doi.org/10.1108/H-10-2013-0068

Hassan Farooqi, A. (2006). Islamic social capital and networking. Humanomics.


https://doi.org/10.1108/08288660610669400

Hoi, C. K., Wu, Q., & Zhang, H. (2018). Community Social Capital and Corporate
Social Responsibility. Journal of Business Ethics.
https://doi.org/10.1007/s10551-016-3335-z

Iqbal, Z., Mirakhor, A., Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2017). Ethical Dimensions of
Islamic Economics and Finance. In Ethical Dimensions of Islamic Finance.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-66390-6_5

Jha, A., & Cox, J. (2015). Corporate social responsibility and social capital. Journal
of Banking and Finance. https://doi.org/10.1016/j.jbankfin.2015.08.003

Majee, W., & Hoyt, A. (2011). Cooperatives and community development: A


perspective on the use of cooperatives in development. Journal of Community
Practice. https://doi.org/10.1080/10705422.2011.550260

Ng, A., Ibrahim, M. H., & Mirakhor, A. (2015). Ethical behavior and trustworthiness
in the stock market-growth nexus. Research in International Business and
Finance. https://doi.org/10.1016/j.ribaf.2014.06.004

Ng, A., Mirakhor, A., & Ibrahim, M. H. (2015). Social Capital and Risk Sharing: An
Islamic Finance Paradigm. In Palgrave Macmillan.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Sato, Y. (2015). Social Capital. International Encyclopedia of the Social &


Behavioral Sciences: Second Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-
097086-8.93127-1

Triana, N., & Mahdi, F. (2018). PENGARUH PEMAHAMAN PRODUK


(FAMLIARITY) PERBANKAN SYARIAH TERHADAP NASABAH
MENABUNG DI iB HASANAH PT. BANK BNI SYARIAH CABANG
PONTIANAK. JURNAL MANAJEMEN MOTIVASI.
https://doi.org/10.29406/jmm.v13i2.765
Woolcock, M., & Narayan, D. (2000). Social Capital: Implications for Development
Theory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer.
https://doi.org/10.1093/wbro/15.2.225

Yustika, A. E. (2008). Transaction costs and corporate governance of sugar mills in


Indonesia. Corporate Ownership and Control.

Anda mungkin juga menyukai