PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme AF dengan pemicu dari daerah-
daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%)bervariasi dari vena
kava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista
terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall
(8,2%), dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal
mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena
pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan
melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter
yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit.2
Pada pasien dengan AF paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu
4
yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada
atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan
pelambatan frekuensi AF secara progresif dan selanjutnya terjadi
konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan AF
persisten, daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di
seluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi
atau konversi ke irama sinus.2,9,13.
b. Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)
Dalam mekanisme reentri mikro, AF dilanggengkan oleh adanya
konduksi beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar
melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama
kali dikemukakan oleh Moe yang menyatakan bahwa AF dilanggengkan
oleh banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan saling
bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi
banyak wavelet lain yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh
karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang,
sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki panjang
siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet
mandiri untuk melanggengkan AF.14
5
2.5 Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Secara klinis AF dibedakan menjadi 5 tipe berdasarkan bentuk dan lama
aritmia berlangsung yakni
1. AF yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien
yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis AF, tanpa
memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
2. AF paroksismal adalah AF yang mengalami terminasi spontan dalam
48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. AF persisten adalah AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7
hari atau AF yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. AF persisten lama (long standing persistent) adalah AF yang bertahan
hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. AF permanen merupakan AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh
dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak
digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka
AF masuk ke kategori AF persisten lama.
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan
oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori AF menurut
American College of Cardiology (ACC):
1. AF sorangan (lone): AF tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas
anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60
tahun.
2. AF non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi
pemicu AF, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru
akut lainnya. Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan penyakit
katup disebut AF valvular.
4. AF Permanen : Atrial fibrilasi menetap yang tidak responsive terhadap
kardioversi, kardioversi tidak dilakukan kembali.
6
5. AF Paroksismal : Episode AF yang kembali secara spontan
6. AF Persisten : Paroksismal AF yang menetap dalam 7 hari atau AF yang
dapat dihilangkan dengan kardioversi
7. AF Rekuren : dua atau lebih episode atrial fibrilasi
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat
dibedakan menjadi [A, B, C)] :
1. AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit
2. AF dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60- 100x/menit
3. AF dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/ Menit
4. AF sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi
pemicu AF, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru
akut lainnya. Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan penyakit
katup disebut AF valvular.
A
7
C
8
a. Penilaian klasifikasi AF berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan
frekuensi gejala.
b. Penilaian faktor- faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur,
alkohol). Peran kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.18
c. Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
d. Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
e. Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
f. Riwayat prosedur ablasi AF secara pembedahan (operasi Maze) atau
perkutan (dengan kateter).
g. Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi
untuk berkontribusi terhadap inisiasi AF (misalnya hipertensi,
penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit
jantung valvular, dan PPOK)
2. Pemeriksaan fisis
a. Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi
oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan
kendali laju yang adekuat pada AF. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi
umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang
melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan
toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.
b. Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus,
pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit
pada arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan
kemungkinan adanya komorbiditas penyakit jantung koroner.
c. Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung
(misalnya ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi
mengindikasikan adanya penyakit paru kronik yang mungkin mendasari
terjadinya AF (misalnya PPOK, asma)
9
d. Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada
pasien AF. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk
mengevaluasi penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran
dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung tambahan (S3)
mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan
ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya
hipertensi pulmonal.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Darah lengkap (anemia, infeksi)
2) Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal
ginjal)
3) Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infarrk miokard
sebagai pencetus AF)
4) Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
asosiasi dengan AF. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan AF paroksismal maupun persisten,
dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.37
5) D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
6) Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
7) Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
8) Uji toksikologi atau level etanol
b. Elektrokardiogram (EKG)17
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis AF dan
biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat
gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler
dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula. Manifestasi
EKG lainnya yang dapat menyertai AF antara lain:
1) Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang
melebihi 160-170x/menit.
10
2) Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)
setelah siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
3) Preeksitasi
4) Hipertrofi ventrikel kiri
5) Blok berkas cabang
6) Tanda infark akut atau lama
7) Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT
dan QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk
AF.
c. Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang
dapat ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi
parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).
d. Uji latih atau uji berjalan enam-menit
Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai
apakah strategi kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi
<110x/menit setelah berjalan 6-menit). Uji latih dapat
menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia kelas
1C dan dapat digunakan juga untuk mereproduksi AF yang
dicetuskan oleh aktivitas fisik.19
e. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal
adalah modalitas terpilih untuk tujuan ini. Ekokardiografi
transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :
1) Evaluasi penyakit jantung katup
2) Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
3) Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
4) Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
5) Evaluasi penyakit perikardial
f. Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :
1) Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
11
2) Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus
ditunda)
g. Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging
(MRI)
Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin
diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi
seperti CT scan atau MRI seringkali berguna untukmengevaluasi
anatomi atrium bila direncanakan ablasi AF. Data pencitraan dapat
diproses untuk menciptakan peta anatomis dari atrium kiri dan VP.
h. Monitor Holter atau event recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk
menegakkan diagnosis AF paroksismal, dimana pada saat presentasi,
AF tidak terekam pada EKG. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi dosis obat dalam kendali laju atau kendali irama.
14
thrombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja
dengan cara menghambat faktor Xa.
c. Penutupan aurikel atrium kiri (AAK)
Aurikel atrium kiri merupakan tempat utama terbentuknya
trombus yang bila lepas dapat menyebabkan stroke iskemik pada AF.
Dikatakan hampir 90% trombus pada AF terbentuk di AAK.37 Angka
stroke yang rendah didapatkan pada pasien yang dilakukan
pemotongan AAK pada saat operasi jantung. Baru-baru ini suatu
teknik invasif epikard dan teknik intervensi transeptal telah
dikembangkan untuk menutup AAK.38,39 Teknik ini dapat merupakan
alternative terhadap antikoagulan oral bagi pasien AF dengan risiko
tinggi stroke tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral jangka
lama. Saat ini dua jenis alat penutup AAK yang dapat mengembang
sendiri yaitu WATCHMAN (Boston Scientific, Natick, MA, USA) dan
Amplatzer Cardiac Plug (St. Jude Medical, St Paul, MN, USA), yang
ditempatkan di AAK secara transeptal sudah mulai dipakai di Eropa. 39
2. Tata laksana pada fase akut
a. Kendali laju Fase akut
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis
kanal kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien
dengan hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin
hanya boleh dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang
masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk
mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan
AF dan gagal jantung atau adanya hipotensi. Namun pada AF dengan
preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I (propafenon,
disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang menghambat NAV
tidak boleh digunakan pada kondisi AF dengan preeksitasi karena dapat
menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-
15
100 kpm.23 Rekomendasi obat intravena yang dapat digunakan pada
kondisi akut
1) Diltiazem 0,25 mg/kgBB bolus iv dalam 10 menit,dilanjutkan 0,35
mg/kgBB iv
2) Metoprolol 2,5-5 mg iv bolus dalam 2 menit sampai 3 kali dosis
3) Amiodaron 5 mg/kgBB dalam satu jam pertama, dilanjutkan 1 mg/
menit dalam 6 jam, kemudian 0,5 mg/ menit dalam 18 jam via vena
besar
4) Verapamil 0,075- 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit
5) Digoksin 0,25 mg iv setiap 2 jam sampai 1,5 mg
16
mempengaruhi adalah AF yang sudah lama, usia tua, penyakit
kardiovaskular berat, penyakit lain yang menyertai, dan besarnya
atrium kiri.85 Pada pasien dengan AF simtomatik yang sudah terjadi
lama, terapi yang dipilih adalah kendali laju. Namun, apabila pasien
masih ada keluhan dengan strategi kendali laju, kendali irama dapat
menjadi strategi terapi selanjutnya.23,41,42 Kendali laju
dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan
minimal (skor EHRA 1). Kendali iramandirekomendasikan pada
pasien yang masih simtomatik (skor EHRA ≥2) meskipun telah
dilakukan kendali laju optimal. Kendali laju yang optimal dapat
menyebabkan keluhan berkurang dan memperbaiki hemodinamik
dengan memperpanjang waktu pengisian ventrikel dan mencegah
kardiomiopati akibat takikardia.
c. Kardioversi elektrik (direct current cardioversion)
Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama.
Keberhasilan tindakan ini pada AF persisten mencapai angka 80-
96%,43 dan sebanyak 23% pasien tetap sinus dalam waktu setahun dan
16% dalam waktu dua tahun.44 Amiodaron adalah antiaritmia yang
paling kuat mencegah terjadinya rekurensi AF setelah keberhasilan
kardioversi.45 Kebanyakan rekurensi AF terjadi dalam 3 bulan
pascakardioversi.46 Beberapa prediktor terjadinya kegagalan
kardioversi atau rekurensi AF adalah berat badan, durasi AF yang
lebih lama (>1-2 tahun), gagal jantung dengan penurunan faksi ejeksi,
peningkatan dimensi atrium kiri, penyakit jantung rematik, dan tidak
adanya pengobatan dengan antiaritmia.47 Ekokardiografi transtorakal
harus dilakukan untuk identifikasi adanya trombus di ruang-ruang
jantung. Bila trombus tidak terlihat dengan pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi transesofagus harus
dikerjakan apabila AF diperkirakan berlangsung >48 jam sebelum
dilakukan tindakan kardioversi.23 Apabila tidak memungkinkan
dilakukan ekokardiografi transesofagus, dapat diberikan terapi
antikoagulan (AVK atau dabigatran) selama 3 minggu sebelumnya.48
17
Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu pascakardioversi
(target INR 2-3 apabila menggunakan AVK).46 Kardioversi elektrik
dengan arus bifasik lebih dipilih dibandingkan arus monofasik karena
membutuhkan energi yang lebih rendah dan keberhasilan lebih tinggi.
Posisi anteroposterior mempunyai keberhasilan lebih tinggi dibanding
posisi anterolateral. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
tromboemboli (1-2%), aritmia pascakardioversi, dan risiko anestesi
umum. Pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi, misalnya
obat amiodaron, meningkatkan keberhasilan konversi irama AF ke
irama sinus.23
25
j. Kardiomiopati Hipertrofik (KMH)
Pasien KMH mempunyai risiko terkena AF lebih besar
dibanding populasi umum. Prevalensi AF sekitar 15% dengan insiden
2% per tahun.8,66 Fibrilasi atrium merupakan penentu klinis terjadinya
perburukan. Kardioversi elektrik dan medikamentosa diindikasikan
pada kasus akut tanpa adanya trombus di atrium pada KMH.
Amiodaron merupakan obat yang paling efektif dalam menurunkan
kejadian AF paroksismal dan mencegah rekurensi. Pada AF kronis,
pemberian obat golongan penyekat beta dan verapamil biasanya efektif
untuk kontrol laju. Pada pasien dengan gradien dinamik yang tinggi
pada alur keluar ventrikel kiri, ablasi NAV dengan pacu jantung
permanen dapat memperbaiki simptom.65
Terapi dengan obat antikoagulan oral harus diberikan pada
pasien dengan KMH dan AF paroksismal, persisten atau permanen.
Keberhasilan ablasi AF pada KMH sangat bervariasi. Sekitar 67%
pasien dengan AF refrakter dan simtomatik, walaupun telah diberikan
terapi medikamentosa termasuk amiodaron, akan mengalami perbaikan
dan kembali ke irama sinus setelah ablasi kateter.
k. Penyakit Paru
Takikardi atrium multifokal banyak ditemukan pada kasus
PPOK dan sering disalah artikan. Fibrilasi atrium pada pasien penyakit
paru kronik dapat menyebabkan eksaserbasi akut yang
berhubungandengan hipoksia. Terapi terhadap penyebab kelainan paru
dan koreksi gangguan elektrolit harus menjadi perhatian utama karena
sebagai AF Obat-obat yang dapat meredakan bronkospasme seperti
teofilin dan agonis beta dapat mencetuskan AF sehingga kendali laju
menjadi sulit. Golongan obat penyekat beta non-selektif, propafenon
dan adenosin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
bronkospasme. Penggunaan sotalol, antiaritmia golongan III yang juga
merupakan penyekat beta harus diberikan dengan hati-hati
padabronkospasme. Pada keadaan ini antagonis kalsium merupakan
pilihan yang lebih baik. Penyekat beta selektif (sebagai contoh
26
bisoprolol) pada dosis kecil sering dapat ditoleransi dan cukup efektif.
Pada kasus AF yang resisten, ablasi NAV dan pemasangan pacu
jantung ventrikel mungkin dibutuhkan untuk kendali laju ventrikel.
27
BAB III
KESIMPULAN
l. Kesimpulan
Atrial Fibrilasi (AF) merupakan aritmia yang paling sering ditemui.
Prevalensi AF mencapai 1-2% dari populasi dan akan terus meningkat dalam
50 tahun mendatang. Atrial Fibrilasi adalah takiaritmia supraventrikular yang
khas, dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan
perburukan fungsi mekanis atrium. Atrial fibrilasi berhubungan dengan
Penyakit jantung koroner, kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertropik,
penyakit jantung katup (reumatik maupun non reumatik) , aritmia jantung
(atrial takikardi, atrial fluter), perikarditis. Penyakit diluar jantung yang
berhubungan dengan AF yaitu hipertensi, diabetes mellitus, hipertiroidisme,
penyakit paru ( PPOK, emboli paru akut). Penatalaksanaan AF bertujuan
untuk mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan
mencegah komplikasi.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Go AS, Hylek EM, Phillips KA, et al. Prevalence of diagnosed atrial fibrillation in adults:
national implications for rhythm management and stroke prevention: the AnTicoagulation
and Risk AFctors in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study. JAMA : the journal of the American
Medical Association 2001;285:2370-5.
2. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ, et al.
Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of
Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal
2010;31:2369-429.
3. Wolf PA, Benjamin EJ, Belanger AJ, Kannel WB, Levy D, D’Agostino RB. Secular trends
in the prevalence of atrial fibrillation: The Framingham Study. American heart journal
1996;131:790-
4. RI PDdIKK. Gambaran kesehatan usia lanjut di Indonesia. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan 2013:
5. Melissa Dharmawan,1 Rodry Mikhael,1 Felicity Marthadinata,1 Lidya Lustoyo,1 Christian
Kawengian2
6. Stewart S, Murphy NF, Walker A, McGuire A, McMurray JJ. Cost of an emerging
epidemic: an economic analysis of atrial fibrillation in the UK. Heart 2004;90:286-92.
7. Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, et al. 2012 focused update of the ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the management
of atrial fibrillation--developed with the special contribution of the European Heart Rhythm
Association. Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology :
journal of the working groups on cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac cellular
electrophysiology of the European Society of Cardiology 2012;14:1385-413.
8. Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical arrhythmology and
electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart disease. 2nd ed: Saunders; 2012.
9. A.Jhon Camm PK. Guidelines for the management of atrial fibrillation .European Heart
Journal. 2010
10. Bettoni M, Zimmermann M. Autonomic tone variations before the onset of paroxysmal atrial
fibrillation. Circulation 2002;105:2753-9
11. Po SS, Scherlag BJ, Yamanashi WS, et al. Experimental model for paroxysmal atrial
fibrillation arising at the pulmonary vein-atrial junctions. Heart rhythm : the official journal
of the Heart Rhythm Society 2006;3:201-8.
12. Daoud EG, Bogun F, Goyal R, et al. Effect of atrial fibrillation on atrial refractoriness in
humans. Circulation 1996;94:1600-6.
13. Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused updates
incorporated into the ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with
atrial fibrillation: a report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines developed in partnership with the
European Society of Cardiology and in collaboration with the European Heart Rhythm
Association and the Heart Rhythm Society. Journal of the American College of Cardiology
2011;57:e101-98.
14. Moe GK, Rheinboldt WC, Abildskov JA. A Computer Model of Atrial Fibrillation.
American heart journal 1964;67:200-20.
15. Defaye P, Dournaux F, Mouton E. Prevalence of supraventricular arrhythmias from the
automated analysis of data stored in the DDD pacemakers of 617 patients: the AIDA study.
The AIDA Multicenter Study Group. Automatic Interpretation for Diagnosis Assistance.
Pacing and clinical electrophysiology : PACE 1998;21:250-5.
16. Page RL, Wilkinson WE, Clair WK, McCarthy EA, Pritchett EL. Asymptomatic
arrhythmias in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and paroxysmal
supraventricular tachycardia. Circulation 1994;89:224-7.
17. Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed Sep 27, 2013, at http://emedicine.
medscape.com/article/151066-clinical.)
18. Cheng M, Hu Z, Lu X, Huang J, Gu D. Caffeine intake and atrial fibrillation incidence: Dose
response Meta-analysis of prospective cohort studies. Canadian Journal of Cardiology 2014
29
19. Wann LS, Curtis AB, January CT, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS focused update on the
management of patients with atrial fibrillation (Updating the 2006 Guideline): a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. Journal of the American College of Cardiology 2011;57:223-42.
20. Wolf, PA AR, kannel WB. Atrial fibrillation: a major contributor to strokein the elderly. The
Framingham study. 1987;147
21. Singer DE, Albers GW, Dalen JE, et al. Antithrombotic therapy in atrial fibrillation:
American College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines (8th
Edition). Chest 2008;133:546S-92S.
22. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Jr., Kannel WB. Epidemiologic assessment of chronic
atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham study. Neurology 1978;28:973-7.
23. Camm AJ, Lip GY, De Caterina R, et al. 2012 focused update of the ESC Guidelines for the
management of atrial fibrillation: an update of the 2010 ESC Guidelines for the management
of atrial fibrillation. Developed with the special contribution of the European Heart Rhythm
Association. European heart journal 2012;33:2719-47.
24. Group SRiAFW. Independent predictors of stroke in patients with atrial fibrillation:
asystematic review. Neurology 2007;69:546-54.
25. Hughes M, Lip GY, Guideline Development Group NCGfMoAFiP, Secondary Care NIfH,
Clinical E. Stroke and thromboembolism in atrial fibrillation: a systematic review of stroke
risk factors, risk stratification schema and cost effectiveness data. Thrombosis and
haemostasis 2008;99:295-304
26. Lip GY, Nieuwlaat R, Pisters R, Lane DA, Crijns HJ. Refining clinical risk stratification for
predicting stroke and thromboembolism in atrial fibrillation using a novel risk factor-based
approach: the euro heart survey on atrial fibrillation. Chest 2010;137:263-72.
27. Banerjee A, Taillandier S, Olesen JB, et al. Ejection fraction and outcomes in patients with
atrial fibrillation and heart failure: the Loire Valley Atrial Fibrillation Project. European
journal of heart failure 2012;14:295-301.
28. Friberg L, Rosenqvist M, Lip GY. Evaluation of risk stratification schemes for ischaemic
stroke and bleeding in 182 678 patients with atrial fibrillation: the Swedish Atrial Fibrillation
cohort study. European heart journal 2012;33:1500-10.
29. Friberg L, Benson L, Rosenqvist M, Lip GY. Assessment of female sex as a risk factor in
atrial fibrillation in Sweden: nationwide retrospective cohort study. Bmj 2012;344:e3522.
30. Olesen JB, Fauchier L, Lane DA, Taillandier S, Lip GY. Risk factors for stroke and
thromboembolism in relation to age among patients with atrial fibrillation: the Loire Valley
Atrial Fibrillation Project. Chest 2012;141:147-53.
31. Boriani G, Botto GL, Padeletti L, et al. Improving stroke risk stratification using the
CHADS2 and CHA2DS2-VASc risk scores in patients with paroxysmal atrial fibrillation by
continuous arrhythmia burden monitoring. Stroke; a journal of cerebral circulation
2011;42:1768-70.
32. Olesen JB, Torp-Pedersen C, Hansen ML, Lip GY. The value of the CHA2DS2-VASc score
for refining stroke risk stratification in patients with atrial fibrillation with a CHADS2 score
0-1: a nationwide cohort study. Thrombosis and haemostasis 2012;107:1172-9.
33. Risk factors for stroke and efficacy of antithrombotic therapy in atrial fibrillation. Analysisof
pooled data from five randomized controlled trials. Archives of internal medicine
1994;154:1449-57.
34. De Caterina R, Husted S, Wallentin L, et al. New oral anticoagulants in atrial fibrillation and
acute coronary syndromes: ESC Working Group on Thrombosis-Task Force on
Anticoagulants in Heart Disease position paper. Journal of the American College of
Cardiology 2012;59:1413-25.
35. Morgan CL, McEwan P, Tukiendorf A, Robinson PA, Clemens A, Plumb JM. Warfarin
treatment in patients with atrial fibrillation: observing outcomes associated with varying
levels of INR control. Thrombosis research 2009;124:37-41.
36. Suriapranata IM, Tjong WY, Wang T, et al. Genetic factors associated with patient-specific
warfarin dose in ethnic Indonesians. BMC medical genetics 2011;12:80.
37. Watson T, Shantsila E, Lip GY. Mechanisms of thrombogenesis in atrial fibrillation:
Virchow’s triad revisited. Lancet 2009;373:155-66.
30
38. Bayard YL, Omran H, Neuzil P, et al. PLAATO (Percutaneous Left Atrial Appendage
Transcatheter Occlusion) for prevention of cardioembolic stroke in non-anticoagulation
eligible atrial fibrillation patients: results from the European PLAATO study.
EuroIntervention : journal of EuroPCR in collaboration with the Working Group on
Interventional Cardiology of the European Society of Cardiology 2010;6:220-6.
39. Holmes DR, Reddy VY, Turi ZG, et al. Percutaneous closure of the left atrial appendage
versus warfarin therapy for prevention of stroke in patients with atrial fibrillation: a
randomized non-inferiority trial. Lancet 2009;374:534-42.
40. Gillis AM, Verma A, Talajic M, Nattel S, Dorian P, Committee CCSAFG. Canadian
Cardiovascular Society atrial fibrillation guidelines 2010: rate and rhythm management. The
Canadian journal of cardiology 2011;27:47-59.
41. Practical Rate and Rhythm Management of Atrial Fibrillation: Heart Rhythm Society; 2010.
42. Boos CJ, Carlsson J, More RS. Rate or rhythm control in persistent atrial fibrillation? QJM :
monthly journal of the Association of Physicians 2003;96:881-92.
43. Dalzell GW, Anderson J, Adgey AA. Factors determining success and energy requirements
forcardioversion of atrial fibrillation. The Quarterly journal of medicine 1990;76:903-13.
44. Lundstrom T, Ryden L. Chronic atrial fibrillation. Long-term results of direct current
conversion. Acta medica Scandinavica 1988;223:53-9.
45. Roy D, Talajic M, Dorian P, et al. Amiodarone to prevent recurrence of atrial fibrillation.
Canadian Trial of Atrial Fibrillation Investigators. The New England journal of medicine
2000;342:913-20.
46. Hylek EM, Skates SJ, Sheehan MA, Singer DE. An analysis of the lowest effective intensity
of prophylactic anticoagulation for patients with nonrheumatic atrial fibrillation. The New
England journal of medicine 1996;335:540-6.
47. Frick M, Frykman V, Jensen-Urstad M, Ostergren J, Rosenqvist M. Factors predicting
success rate and recurrence of atrial fibrillation after first electrical cardioversion in patients
with persistent atrial fibrillation. Clinical cardiology 2001;24:238-44.
48. Hsu LF, Jais P, Sanders P, et al. Catheter ablation for atrial fibrillation in congestive heart
failure. The New England journal of medicine 2004;351:2373-83.
49. Yuniadi Y, Moqaddas H, Hanafy DA, Munawar M. Atrial fibrillation ablation guided with
electroanatomical mapping system: A one year follow up. Med J Indones 2010;19:172-8.
50. Haissaguerre M, Jais P, Shah DC, et al. Spontaneous initiation of atrial fibrillation by ectopic
beats originating in the pulmonary veins. The New England journal of medicine
1998;339:659-66.
51. Martin DO, Saliba W, McCarthy PM, et al. Approaches to restoring and maintaining normal
sinus rhythm. Cleveland Clinic journal of medicine 2003;70 Suppl 3:S12-29.
52. Carlos Brotons JC, Gregory Lip, Kathryn Taubert. Atrial fibrillation in primary care:
bringing atrial fibrillation practice closer to guidelines. In: International Atrial Fibrillation
Association SAfE, World Heart Federation ed.2012.
53. Aizer A, Gaziano JM, Cook NR, Manson JE, Buring JE, Albert CM. Relation of vigorous
exercise to risk of atrial fibrillation. The American journal of cardiology 2009;103:1572-7.
54. Mozaffarian D, Furberg CD, Psaty BM, Siscovick D. Physical activity and incidence of
atrial fibrillation in older adults: the cardiovascular health study. Circulation 2008;118:800-7.
55. Heidbuchel H, Panhuyzen-Goedkoop N, Corrado D, et al. Recommendations for
participation in leisure-time physical activity and competitive sports in patients with
arrhythmias and potentially arrhythmogenic conditions Part I: Supraventricular arrhythmias
and pacemakers. European journal of cardiovascular prevention and rehabilitation : official
journal of theEuropean Society of Cardiology, Working Groups on Epidemiology &
Prevention and Cardiac Rehabilitation and Exercise Physiology 2006;13:475-84.
56. Vahanian A, Baumgartner H, Bax J, et al. Guidelines on the management of valvular heart
disease: The Task Force on the Management of Valvular Heart Disease of the European
Society of Cardiology. European heart journal 2007;28:230-68.
57. Hu CL, Jiang H, Tang QZ, et al. Comparison of rate control and rhythm control in patients
with atrial fibrillation after percutaneous mitral balloon valvotomy: a randomised controlled
study. Heart 2006;92:1096-101.
31
58. Schmitt J, Duray G, Gersh BJ, Hohnloser SH. Atrial fibrillation in acute myocardial
infarction: a systematic review of the incidence, clinical features and prognostic implications.
European heart journal 2009;30:1038-45.
59. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ, et al.
Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of
Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Europace : European
pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology : journal of the working groups on
cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac cellular electrophysiology of the European Society
ofCardiology 2010;12:1360-420.
60. Wyse DG. Pharmacotherapy for rhythm management in elderly patients with atrial
fibrillation. Journal of interventional cardiac electrophysiology : an international journal of
arrhythmias and pacing 2009;25:25-9.
61. Goette A, Bukowska A, Dobrev D, et al. Acute atrial tachyarrhythmia induces angiotensin II
type 1 receptor-mediated oxidative stress and microvascular flow abnormalities in the
ventricles. European heart journal 2009;30:1411-20.
62. Pieper PG, Balci A, Van Dijk AP. Pregnancy in women with prosthetic heart valves.
Netherlands heart journal : monthly journal of the Netherlands Society of Cardiology and the
Netherlands Heart Foundation 2008;16:406-11.
63. Crystal E, Garfinkle MS, Connolly SS, Ginger TT, Sleik K, Yusuf SS. Interventions for
preventing post-operative atrial fibrillation in patients undergoing heart surgery. The
Cochrane database of systematic reviews 2004:CD003611.
64. Burgess DC, Kilborn MJ, Keech AC. Interventions for prevention of post-operative atrial
fibrillation and its complications after cardiac surgery: a meta-analysis. European heart
journal 2006;27:2846-57.
65. Mathew JP, Fontes ML, Tudor IC, et al. A multicenter risk index for atrial fibrillation after
cardiac surgery. JAMA : the journal of the American Medical Association 2004;291:1720-9.
66. Wijffels MC, Kirchhof CJ, Dorland R, Allessie MA. Atrial fibrillation begets atrial
fibrillation. A study in awake chronically instrumented goats. Circulation 1995;92:1954-68.
32