Anda di halaman 1dari 21

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
BELL’S PALSY

A. DEFINISI
BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena
gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak
teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg
2009).

B. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di
berbagai negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada
kondisi geografis masing-masing negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan
berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara
dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi
dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil
(45 kasus per 100.000). Sebanyak 5- 10% kasus Bell’s palsy adalah penderita
diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang
ditemukan pada anak-anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan
kiri wajah. Kadang-kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan
prevalensi 0,3-2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan
sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang
berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).
Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s
palsy (Kubik dkk, 2012). Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini
dkk (2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2
tahun, telah menemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan
insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.

C. ANATOMI
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf,
yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil
dan lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasiali dan
berfungsi membawa serabut-serabut motorik ke otot-otot ekspresi wajah. Saraf
intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-
serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf
intermedius juga membawa serabut-serabut aferen untuk pengecapan pada dua
pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna
(gambar 2) (Monkhouse 2006).
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan
secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ±
1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium (Ronthal dkk,
2012; Berg 2009).
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki
panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan:
labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan
cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit
berada di segmen labirin ini (rata-rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi
pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada
ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang
sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum,
memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen
lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung
kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3)(Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang
dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan
percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih kearah
distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ±
6mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang
yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani,
terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf
tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis
dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012;
Monkhouse 2006).

Korda timpani mengandung serabut-serabut sekretomotorik ke kelenjar


sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen visceral untuk pengecapan,
Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum,
dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius (gambar 4) (Ronthal
dkk, 2012; Monkhouse 2006).

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk


cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan
m.stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna)
dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf
fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu
temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima
kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan
mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi,
orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Gambar 5) (Ronthaldkk,
2012;Berg 2009; Monkhouse 2006).
D. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion
ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen
timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).
Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab
proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab
dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter
telah diduga menjadi penyebab (Berg 2009; Kanerva 2008).
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf
fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya
di dalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan
langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar
belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan Bell’s palsy (Kanerva 2008).
Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk,
berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk,
menemukan transformasi limfosit pada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa
beberapa penyebab Bell’s palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity
melawan antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya
dengan steroid dan imunoterapi lainnya (Berg 2009).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak
fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada
seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva
2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan Cochrane database, yang
dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang berkualitas tinggi
telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam
menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak
efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu
dipertimbangkan adanya penyebab Bell’s palsy yang lain (Lockhart dkk, 2010).
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s
palsy, terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.
Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance (Garg
dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif
tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem
Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat
dengan berbagai penyakit autoimun (Kubik dkk, 2012).

E. PATOFISIOLOGI
Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut
tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot-otot
wajah. Masing-masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah
terhadap derajat trauma yang berbeda (May 2000).
Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai
satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi
yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai saraf fasialis
secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan
herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma tersebut
dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang
mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang
berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan
cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma,
kompresi dapat terjadi tiba-tiba atau lambat progresif dalam 5-10 hari. Pada
otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang
mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf
tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Diawali
dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya
terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson-akson, dan dengan cepat terjadi
kehilangan endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari
trauma. Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua
endoneural tube telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat
trauma, dan perineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima,
penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama (tabel 1) (May
2000).
Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat
trauma saraf fasialis

Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor


pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson-
akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson
normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson-akson yang
menginervasi kembali kelompok-kelompok otot yang denervasi tanpa perlu
menyesuaikan dengan susunan badan sel-motor unit yang dijumpai sebelum
terjadi degenerasi. Akibat dari faktor-faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau
kedutan involunter (May 2000).
Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut
dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari
gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada
myoneural junction. Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan
didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti
perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari factor-
faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang
paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. Spasme ini
dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000).
F. MANIFESTASI KLINIS
Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang
biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung
lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan
tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk otot
stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular,
sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada 2/3 lidah melalui korda timpani
(Finsterer 2008).
Pasien Bell’s Palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral
yang terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata
turun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata dan bila diusahakan
tampak bola mata berputar keatas (Bell’s phenomen), sudut nasolabial tidak
tampak dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya adalah
berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi pengecapan
pada 2/3 depan lidah (Ronthaldkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007). Beberapa
literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering
dijumpai pada pasien Bell’s Palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan
paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis
(Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).
G. DIAGNOSIS
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam
mendiagnosis Bell’s palsy (Garg dkk, 2012).
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan
penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan
untuk membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy
kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif,
dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang (Ronthal dkk,
2012; May dkk, 1987).
b. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf
fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear)
juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi
perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat
menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan
defisit neurologis lainnya, sekurang-kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada
sisi yang kontralateral (gambar 6) (Tiemstra dkk, 2007).
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan)
selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes
diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis fasialis, sehingga jarang
digunakan dalam praktek klinis. Hal ini dikarenakan:
 Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi,
mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson-akson
untuk mencapai terminalnya.
 Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara tajam
terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat mempengaruhi
komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang beragam dan dengan
derajat keparahan yang berbeda-beda.
 Penyembuhan dan komponen-komponen yang bervariasi dapat terjadi pada
waktu yang berbeda-beda.
 Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak
sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008; Ronthal dkk, 2012).

Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain


yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis
media yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis
dihubungkan dengan kelainan-kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy
(May dkk, 1987).
Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan
penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut
dapat dianjurkan, seperti:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI)
diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis
fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial
multipel dan tanda-tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik.
Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului
kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi
dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda-tanda keterlibatan sistemik
tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk, 2012 Ronthal dkk, 2012).
c. Kriteria Diagnosis
Menurut Taverner (1954 ):
1. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajah
2. Onset yang tiba-tiba
3. Tidak adanya tanda-tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
4. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine angle
(Musani dkk, 2009; May 2000).
Menurut Ronthal dkk (2012):
1. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan
dengan paralisis dari otot-otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan
pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau sekresi yang berubah
dari kelenjar saliva dan lakrimal.
2. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif,
mencapai kelumpuhan klinis/ paralisis maksimal dalam 3 minggu atau
kurang dari hari pertama kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang
dijumpai dalam 6 bulan.

H. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang identik
dengan Bell’s palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang
membedakannya dari Bell’s palsy (Tiemstra dkk, 2007). Penyakit-penyakit
tersebut adalah:
1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti cholesteatoma,
tumor saliva) Pasien dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang
panjang, dan berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan
dan gejala sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu
atau dua cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga
tengah yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid (Ronthal dkk, 2012;
May dkk, 1987).
2. Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu poliradikuloneuropati
inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral dapat
dijumpai pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada saraf
motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon negatif pada daerah
yang terlibat (May 2000).
3. Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar dengan kutu,
adanya ruam-ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis yang sering terlibat
adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah tertentu, seperti di negara-
negara bagian utara dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat
(Minnesota dan Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim
panas dan bulan-bulan pertama musim gugur. Di daerah-daerah ini
merupakan lokasi geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini juga
dikenali dengan baik di Eropa dan Australia (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva
2008).
4. Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga
dan demam (Tiemstra dkk, 2007).
5. Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster) memiliki
suatu prodromal nyeri dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal
telinga dan faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan
klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).
6. Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral dan
uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal yang tidak
ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat
berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi jaringan yang terlibat oleh
sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).
7. Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS) merupakan suatu trias dari gejala
edema orofasial berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua plicata
(fissured tongue). Edema orofasial merupakan gambaran yang selalu dijumpai
pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing-masing terjadi pada
setengah pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai pada seperempat kasus.
Penyakit ini umumnya dimulai pada dekade kedua, dan manifestasi biasanya
terjadi secara berurutan dan jarang terjadi secara bersamaan (May 2000).

I. TATALAKSANA
Karena etiologi Bell’s palsy belum jelas, beberapa pengobatan yang
berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bell’s palsy
dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi fisik. Semua
pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema dan kompresi saraf
(Axelsson 2013).
a. Medikamentosa
Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada pasien Bell’s
palsy adalah kortikosteroid dan/atau antivirus. Jenis kortikosteroid yang
paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bell’s palsy adalah golongan
prednisolon.
Anti Virus
Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan dua
virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bell’s palsy. Reaktivasi
dari virus-virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis.
Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah digunakan pada
beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan prednisolon dan hasilnya
beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari. Valasiklovir, merupakan
prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari karena biovaibilitasnya
lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan menggunakan valasiklovir
dibandingkan asiklovir karena obat ini digunakan dengan dosis yang kurang
sering, dan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi di serum dan CSF
(Marsk, 2012).
Untuk memperkirakan keuntungan pengobatan dengan anti virus pada
Bell’s palsy, suatu studi dari Cochrane telah dilakukan, yang mengikutkan 7
uji dengan totalnya 1987 pasien. Studi ini menyimpulkan bahwa tidak
terdapat manfaat signifikan dari antivirus bila dibandingkan dengan plasebo
pada pengobatan Bell’s palsy. Empat studi tidak menemukan perbedaan pada
tingkat perbaikan klinis antara pengobatan dengan prednisolon dan
kombinasi prednisolone-asiklovir/valasiklovir. Satu studi membandingkan
prednisolon dengan asiklovir dan menemukan manfaat pengobatan pada
kelompok prednisolon. Dua studi lainnya melaporkan manfaat untuk
kombinasi prednisolon-asiklovir/valasiklovir dibandingkan dengan
prednisolon sendiri, namun studi ini tidak blind (Marsk, 2012).
Acyclovir diberikan dengan dosis 400 mg secara oral 5 kali sehari selama
10 hari. Bukti mendukung HSV sebagai penyebab terbesar Bell’s Palsy; jika
varicella zoster virus (VZV) dicurigai, maka dosis lebih tinggi mungkin
diperlukan (800 mg secara oral 5 kali sehari)
Valacyclovir, diminum secara oral dengan dosis 500 mg 2 kali sehari
selama 5 hari, boleh digunakan sebagai pengganti acyclovir. Jika VZV
diketahui sebagai penyebab Bell’s Palsy, maka dosis lebih tinggi mungkin
diperlukan (1000 mg secara oral 3 kali sehari). Dikarenakan biaya yang lebih
tinggi dan resiko efek samping lebih besar dengan pemberian dosis tinggi,
maka valacyclovir disarankan tidak diberikan secara rutin sebagai terapi dari
Bell’s Palsy.
Metil Prednisolon
Metil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari
prednisolon, yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti
senyawa induknya. Glukokortikoid sintetik dikembangkan terutama untuk
aktivitas anti inflamasi dan imunoseprasannya (Katzung 2003).
Steroid sintetik terutama dikembangkan sebagai anti inflamasi dan
imunosupresif. Steroid mengurangi manifestasi inflamasi melalui
pengaruhnya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi dari
leukosit perifer dan pengaruhnya supresifnya terhadap sitokin dan chemokin
inflamasi dan terhadap lipid lainnya dan mediator glukolipid dari inflamasi.
Inflamasi ditandai oleh ekstravasasi, dan infiltrasi lekosit pada jaringan yang
terlibat. Kejadian ini diperantarai oleh rangkaian kompleks interaksi antara
molekul adhesi lekosit dengan molekul-molekul pada sel endotel dan
dihambat oleh glukokortikoid (Lullman dkk, 2000).
Pengobatan dengan kortikosteroid (kortison, prednison atau
prednisolone) pada Bell’s palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun
1950 dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid
berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang salah
dari saraf fasialis (Kanerva 2008).
Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolone dalam
pengobatan BeII’s palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Engstrom
dkk (2008) menggunakan dosis prednisolon oral 60 mg/hari selama 5 hari,
kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya, dengan total waktu
pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah onset Bell’s palsy.
Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada 1,2,3,6,12 bulan setelah
randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis menggunakan dua system
grading, yaitu House Brackmann (HB) grading system dan Sunnybrook scale.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pasien yang mendapatkan prednisolon
memiliki waktu yang lebih pendek untuk sembuh sempuma dan outcome
setelah 12 bulan yang lebih baik (kejadian sinkinesia yang lebih sedikit)
dibandingkan pasien yang tidak mendapat prednisolon. Penelitian lainnya
dilakukan oleh Sullivan dkk (2007) yang menggunakan prednisolon dengan
dosis 25 mg dua kali sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam
setelah onset. Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading
system. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan
prednisolone memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan
sempurna sebesar 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan
75% pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon (Marsk 2012).
Dua penelitian systematic review dari Salinas dkk (2010) dan Gronseth dkk
(2012) menyimpulkan terdapatnya efikasi dari pemberian kortikosteroid
terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dan tidak didapatkan efek
samping yang berbahaya pada penggunaan terapi kortikosteroid tersebut
(Marsk 2012).
Methylcobalamin
Pemberian Methylcobalamin pada pasien Bell’s Palsy dapat
mempersingkat masa pemulihan. Methylcobalamin dapat digunakan untuk
memperbaiki serabut saraf yang rusak.
b. Bedah
Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy dimulai pada tahun 1930.
Pendekatan bedah yang berbeda telah diajukan. Secara teknik sulit untuk
mencapai daerah kompresi pada segmen labirin-meatus dan adanya resiko
komplikasi seperti bocornya CSF, infeksi, hilangnya pendengaran, dizziness,
dan perdarahan intrakranial. Fisch dan Esslen menekankan pentingnya
dekompresi labirin, segmen genikulatum dan timpani dari saraf, dan
menyatakan bahwa teknik ini dapat memperbaiki outcome. Sementara May
menunjukkan tidak ada perbaikan klinis yang signifikan pada pasien-pasien
yang diobati secara bedah yang menggunakan pendekatan transmastoid
(Axelsson 2013).
Suatu studi Cochrane dari tahun 2011, yang mengikutkan dua uji dengan
69 pasien, menyimpulkan bahwa data dari randomized controlled trials tidak
cukup untuk memutuskan manfaat dari dekompresi bedah. Pengobatan ini
tidak disokong di Swedia meskipun teknik ini masih dilakukan di beberapa
negara seperti Amerika Serikat dan Swiss (Axelsson 2013).
c. Rehabilitasi Fisik Kabat
Rehabilitasi kabat atau nama lainnya proprioceptive neuromuscular
facilitation (PNF) adalah suatu pendekatan latihan terapi yang
mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan diagonal dengan teknik
fasilitasi neuromuscular untuk membangkitkan respon motoric dan
memperbaiki control dan fungsi neuromuscular. Pendekatan ini telah secara
luas digunakan untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan
1950 oleh Kabat, Knott dan Voss (Keisner dkk, 2007).
Teknik PNF dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan dan
ketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuscular
dan gerakan-gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk
pemulihan fungsi otot. Teknik PNF bermanfaat pada keseluruhan rangkaian
rehabilitasi dari fase awal penyembuhan jaringan (teknik neuromuskular
cocok) hingga ke fase akhir rehabilitasi (gerakan diagonal dengan kecepatan
tinggi dapat dilakukan melawan tahanan maksimal). Pendekatan latihant
erapi ini menggunakan pola diagonal dan penerapan petunjuk sensorik,
khususnya proprioceptif untuk mendapatkan respon motorik yang besar.
Pada pendekatan ini telah diketahui bahwa kelompok otot yang lebih kuat
dari suatu pola diagonal memfasilitasi kemampuan reaksi dari kelompok otot
yang lebih lemah. Teknik dan pola PNF merupakan bentuk yang penting dari
latihan resistensi untuk mengembangkan kekuatan, tahanan otot dan
stabilitas dinamik (Keisner dkk, 2007).

Rehabilitasi fisik kabat adalah satu bentuk latihan terapi yang telah
digunakan dalam penatalaksanaan pasien Bell’s Palsy. Suatu penelitian yang
dilakukan Barbara dkk (2010) terhadap 20 penderita Bell’s Palsy, yang dibagi
dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9 orang) diberi terapi
medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus) dengan rehabilitasi fisik,
sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya diberi medikamentosa.
Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah berdasarkan konsep Kabat atau
disebut juga dengan PNF. Rehabilitasi dimulai pada hari ke-4 setelah onset
paralisis fasialis, dengan satu sesi setiap hari selama 15 hari. Pasien
kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai tingkat perbaikannya
berdasarkan HB grading system pada hari ke 4, 7, dan 15 setelah onset
pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien-pasien pada
kelompok pertama yang mendapatkan rehabilitasi fisik secara jelas
menunjukkan perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan kelompok
tanpa rehabilitasi fisik.

J. PROGNOSIS
Pasien BelI's palsy umumnya memilki prognosis yang baik. Prognosis
tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan klinis yang segera
dihubungkan dengan prognosis yang baik dan perbaikan yang lambat memiliki
prognosis yang buruk. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1 minggu, 88% akan
memperoleh kesembuhan sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 % dan dalam 3
minggu, kesembuhan terjadi sekitar 61% (Teixeira dkk, 2012).
Perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dapat dinilai dengan mudah dengan
menggunakan facial grading system. Facial grading system merupakan suatu
sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf fasialis. Sistem ini
diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan fungsi wajah,
mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil pengobatan.
Beberapa sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB)
grading system, Sunnybrook scale, dan Yanagihara grading system (Kanerva
2008). Dari ketiga system ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam
penelitian, terutama di Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system.
House Brackmann grading system telah dipakai sebagai standar oleh American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah digunakan. Sistem
ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi dari fungsi
motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele (tabel 2) (Berg 2009).
Yanagihara grading system, diperkenalkan oleh Yanagihara pada tahun
1976, menilai 10 aspek fungsi secara terpisah pada beberapa otot fasial yang
berbeda. Masing-masing fungsi diberi skor 0-4, dengan skor maksimum 40. Skala
terdiri dari fungsi normal (4), paralisis ringan (3), paralisis sedang (2), paralisis
berat (1), dan paralisis total (0). Sistem skoring ini tidak menilai efek-efek
sekunder. Yanagihara merupakan sistem yang digunakan secara luas di Jepang
untuk mengevaluasi fungsi saraf fasial pada Bell’s palsy, herpes zoster oticus,
dan follow up pembedahan neuroma akustikus (tabel 3) (Berg 2009).

Pada tahun 1996, Ross dkk, mengusulkan suatu sistem grading the
Sunnybrook facial grading system. Sistem ini merupakan suatu sistem regional
berdasarkan evaluasi dari simetris saat istirahat, derajat simetris saat gerakan
volunter, dan efek sekunder (sinkinesia) untuk menghasilkan skor gabungan
maksimal 100 (tabel 4) (Kanerva 2008).

Anda mungkin juga menyukai