Jurnal
Kebijakan
Pendidikan
Pesantren :: Volume IIII,
Islam Mu’adalah danNomor
Implementasi Kurikulum 183
1, Juni 2014/1435
di Madrasah Aliyah Salafiyah Pondok Tremas Pacitan
Eko Wahib
Alumni Pondok Pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur
Email: echo.arsid@yahoo.co.id
DOI: 10.14421/jpi.2014.31.183-201
Diterima: 22 Maret 2014 Direvisi: 16 April 2014 Disetujui: 15 Mei 2014
Abstract
This study is abaut the Mu’adalah Boarding School Policy and the Implementation of
curriculum at the Islamic Senior High School (Madrasah Aliyah) Salafi Tremas Pacitan.
The educational institution of the Islamic boarding school is an inseparable part of the
nationally educational system. This changes the minset and point of view of the previous
Islamic boarding school that was considered as a non-formal institution that did-not get
good appreciation of its graduates. The research findings show that the mua’adah Islamic
boarding shcool has been established as an institution that is equivalent to other formal
educational institutions by the ministry of religious. The status of Salafiyah Islamic
senior high school is stronger. Furthemore, it must be improved directly its educational
quality, teacher competences, and the curriculum implementation of theIslamic Senior
High School of Salafiyah Tremas Pacitan.
Abstrak
yang dipandang sebagai lembaga pendidikan non formal yang kurang mendapat
pengakuan dan apresiasi terhadap lulusannya.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pesantren mua’adah telah ditetapkan sebagai lembaga yang setara dengan lembaga
pendidikan formal lainnya oleh Kementerian Agama. Status lembaga pendidikan
pesantren semakin kuat. Berikutnya, ditingkatkannya mutu pendidikan, kompetensi
guru, dan implementasi Kurikulum di Madrasah Aliyah Salafiyah Tremas Pacitan.
Pendahuluan
Pesantren merupakan bagian dari pendidikan nasional yang telah ada jauh
sebelum kemerdekaan dan bahkan merupakan lembaga pendidikan yang memiliki
kekhasan, keaslian(indigenous), dan keindonesiaan. Oleh karenanya pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang memberikan banyak kontribusi
bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam Nusantara dan sekaligus pemantik
pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di Indonesia.
Keberadaan pesantren hingga saat ini memang tidak dapat lepas dari
pengalaman dan perjalanan sejarah yang panjang. Bahkan tidak jarang pesantren
mengalami ”diskriminasi” atau ”peminggiran” kebijakan yang sangat merugikan.
Pada masa pertengahan Orde Baru, pemerintah memberikan kebijakan melalui
PP nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah yang memasukkan
lembaga pendidikan pesantren bukan lembaga pendidikan formal yang setara
dengan lembaga pendidikan formal yang ada. Pesantren hanya diakui sebagai
lembaga pendidikan non formalyang masuk pada kategori jenis pendidikan luar
sekolah yang terdiri atas pendidikan umum, keagamaan, pendidikan jabatan,
pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan. Hal ini disebabkan karena
pemerintah menganggap proses pendidikan di pesantren belum memenuhi standar
yang telah ditetapkan, didominasi oleh muatan agama, menggunakan kurikulum
yang belum standar, memiliki struktur yang tidak seragam, tidak memiliki sistem
jaminan mutu (Quality Assurance) dan menggunakan manajemen yang tidak dapat
di kontrol oleh pemerintah.
Peraturan Pemerintah RINomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah. Lihat Bab III
pasal 3 ayat (1)
Pesantren Mu’adalah
Secara etimologi, kata mu’adalah berasal dari bahasa Arab “adala”, “yu’
adilu”“mu’adalatan”yang berarti persamaan atau kesetaraan. Sedangkan secara
terminologi, pengertian mu’adalah adalahsuatu proses penyetaraan antara institusi
pendidikan baik pendidikan di pondok pesantren maupun di luar pesantren,
dengan menggunakan kriteria baku dan kualitas yang telah ditetapkan secara
adil dan terbuka. Hasil proses penyetaraan tersebut dapat dijadikan dasar dalam
meningkatkan pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Hal itu sejalan dengan makna yang terkandung dalam Undang Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 6 yang menyatakan
bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan.
Pada Pasal 28 Ayat (1) disebutkan bahwa “Every Child shall have the right
to education and that basic education should be free and compulsory. In its
protection of the right to education, states are required to endeavor “with a
view to achieving (the right to education) progressively and on the basis of equal
opportunity to provide free and compulsory primary education available to all.
Pada Pasal 13 ayat 2 huruf (a) ditegaskan bahwa “primary education shall be
compulsory and available free for all”. Pernyataan ini menunjukkan adanya
M. Ishom Yusqi, Pedoman Penyelenggaraan Pesantren Mu’adalah…, hlm. 8-11
Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan bagi
pengembangan pribadinya, untuk memperoleh Pendidikan, mencerdaskan
dirinya dan meningkatkan kwalitas hidupnya agar menjadi manusia yang
beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan
sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”.
Selain banyak pasal yang mengatur tentang pengelolaan dan standar nasional
pendidikan, pada Pasal 93 ayat 1 disebutkan bahwa ”penyelenggaraan satuan
pendidikan yang tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan ini
dapat memperoleh pengakuan dari Pemerintah atas dasar rekomendasi dari
BSNP”. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan penyelenggaraan
satuan pendidikan yang tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan
sebagaimana yang diatur dalam PP ini, tetapi akan tetap akan mendapatkan
pengakuan dari pemerintah dengan syarat mendapatkan rekomendasi dari
BSNP.
Wujud jenjang pendidikan setara Aliyah adalah Madrasah ‘Ulya (‘Aly atau
Aliyah), Dirasah Mu’alimin Islamiyyah (DMI), Kulliyatul Mu’minin Al-Islamiyah
14
Choirul Fuad Yusuf, Pedoman Pesantren Mu’adalah (Jakarta: Direktur Jenderal Direktur
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, 2009), hlm. 8.
15
Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri, Wajah Baru Pendidikan Islam. (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2009), hlm. 189.
(KMI), Tarbiyatul Mu’alimin Al-Islamiyah (TMI), dan Madrasah Diniyah ‘Ulya atau
setingkat Takhassush yang sudah lulus jenjang wustho dan Awwaliyah/Ula. Pesantren
yang belum dapat disetarakan, dapat mengajukan kembali tahun berikutnya setelah
ada perbaikan pada komponen yang dianggap kurang. Nilai kesetaraan berlaku
empat tahun. Pesantren yang telah memperoleh nilai Baik (B) atau Cukup (C)
dapat mengajukan usulan untuk memperoleh nilai kesetaraan yang lebih tinggi
setelah mu’adalah berlaku dua tahun.16
Sebagai ulama muda, KH. Fuad dan KH. Luqman memiliki spirit dan
motivasi yang responsif demi kemajuan dan perkembangan Pondok Tremas.
Langkah pertama yang mengawali periode ini adalah pembenahan sarana fisik
berupa renovasi Masjid Pondok Tremas. Langkah ini dinilai sangat relevan karena
16
Ibid., hlm 191.
17
Lukman Haris dan Muhammad Muadzin,Profil Perguruan Islam “Pondok Tremas”
Pacitan (Pacitan: Majlis Ma’arif Press, 2008), hlm. 7.
18
Lukman Haris dan Jamaludin Al-Ghozi, Selayang Pandang Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan
Jawa Timur ( Pacitan: Majlis Ma’arif Press,2001), hlm. 12
19
HA Saefudin, Profil dan Pedoman Penyelenggaraan Pondok pesantren Mu’adalah (Jakarta: Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,
2011), 63-67.
20
Nurhadi Ihsan dkk.,Profil PondokModern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur,…hlm. 109-
110.
21
aefudin, Profil dan Pedoman......, hlm. 59-62.
22
Ibid., 59-62.
23
Ishom,Pedoman Penyelenggaraan Pondok Pesantren Mu’adalah, …hlm. 47-51.
24
Dokumen Pondok Pesantren Tremas
25
Hasil wawancara dengan Muadzin (Guru Madrasah Aliyah Pondok Tremas), pada tanggal 2
Desember 2013.
Selain dari pemaparan di atas, usaha lain yang dilakukan MA Pondok Tremas
Pacitan untuk memenuhi visi dan misi adalah berusaha menyiapkan generasi
yang unggul dalam pemahaman ilmu agama dan unggul dalam penguasaan
iptek, dengan cara memberikan pendidikan vokasional dengan mengadopsi
kurikulum dari kementerian pendidikan nasional. Hal ini bisa dilihat pada
siswa kelas tiga MA diwajibkan untuk mengikuti pelatihan pendidikan
vokasional yang berada di komplek Pondok Tremas Pacitan sesuai dengan
bakat dan minat siswa/santri.Dengan ilmu yang didapat di MA Pondok
Tremas dan di lembaga pendidikan vokasional, siswa/santri menjadi aktif,
kreatif, inovatif.32
Simpulan
Simpulan dari artikel di atas adalah bahwa lembaga pendidikan pesantren
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem pendidikan nasional. Hal
ini merubah minsetdan pandangan terhadap pendidikan pesantren sebelumnya
yang memandang pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan non formal-
luar sekolah yang kurang mendapat pengakuan dan apresiasi terhadap lulusannya.
33
Wawancara Abdillah Nawawi, (Kepala MA Pondok Tremas), pada tanggal 16 Februari 2014.
Rujukan
Anwar, Ali, Pembaruan Pendidikan Pesantren di Lirboyo Kediri, Kediri: IAIT Press,
2008
Karni, Asrori S. Etos Studi Kaum Santri “Wajah Baru Pendidikan Islam, Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2009
Nur Hadi Ihsan, Profil Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur
(Ponorogo: Pondok Modern Darussalam Gontor, 2006), hlm. 106-110.