Anda di halaman 1dari 19

PENDIDIKAN MORAL

Pentingnya Pendidikan Moral


Dalam dunia profesional dan interaksi
sosial ada tingkah laku yang dikendalikan
oleh aturan-aturan tertentu (rule guided
behavior).
Bagian terpenting dari aturan tsb erat
kaitannya dg dimensi keadilan dan
kewajiban.
Immanuel Kant membedakan kewajiban
yang perfect dan imperfect.
Perfect  bernuansa negatif, misalnya:
Tidak boleh berbohong
Tidak boleh mencuri
Tidak boleh membunuh, dsb.
Imperfect  bersifat positif, misalnya:
Membantu orang miskin
Merawat orang sakit
Menemani orang yang kesepian, dsb.
Dua tipe kewajiban tsb umumnya telah
dimengerti oleh masyarakat manusia di
manapun juga.
Pandangan umum  anak-anak sudah
pada tempatnya untuk mampu
mengadopsi aturan-aturan umum, baik
yang berupa kewajiban-kewajiban dalam
artian pertama (perfect) maupun kedua
(imperfect).
Jadi, dapat dimengerti bahwa
“kebutuhan” merupakan salah satu
alasan pokok dari perlunya pendidikan
moral.
Anak-anak perlu belajar menggunakan
akal dan penalarannya, terutama di
dalam menghadapi pelbagai situasi
pengambilan keputusan yang serba
mendua (ambiguous)  kontrol pribadi.
Tujuannya agar anak/seseorang memiliki
pengalaman berkenaan dengan masalah
kebebasan sekaligus mengatribusikan
hakikat tindakan untuk dirinya sendiri.
Ada kemungkinan gagal, namun dapat
belajar dari kegagalannya.
Kewajiban perfect lebih mendapat banyak
perhatian.
Kewajiban imperfect  dipertahankan
oleh guru-guru altruistis dan prososial.
Emile Durkheim  masyarakat harus
melindungi nilai-nilai moral dan sosial, tidak
meninggalkannya demi kebebasan
rasionalitas semata.
Asumsi dasar:
Tidak seorangpun sepanjang ia tetap ingin
menjadi anggota masyarakat, dapat menolak
tuntutan masyarakat dan tuntutan moral
fundamental yg secara jelas memancarkan
kepercayaan fundamental masyarakat ybs.
• Kirchensbaum:
Pendidikan moral harus dilaksanakan
komprehensif
Artinya  Pendidikan moral bersifat
menyeluruh atau komprehensif, menyangkut
banyak aspek yang terkait menjadi satu
kesatuan.
Mencakup berbagai aspek: isi, metode, proses,
subjek, evaluasi
1) Isi pendidikan moral harus komprehensif, meliputi
semua permasalahan yang berkaitan dengan pilihan
nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-
pertanyaan etika secara umum.

2) Metode pendidikan nilai moral juga harus


komprehensif, termasuk di dalamnya inkulkasi
(penanaman) nilai, pemberian teladan dan
penyiapan generasi muda agar dapat mandiri
dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan
keputusan moral secara bertanggung jawab dan
ketrampilan-ketrampilan hidup yang lain.
• 3). Proses pendidikan nilai moral
• Pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan
proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan
ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan
penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian
penghargaan, dan semua aspek kehidupan.
• Beberapa contoh:
• Kegiatan belajar berkelompok; penggunaan bahan-
bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai
kebaikan; penggunaan strategi klarifikasi nilai dan
dilema moral; pemberian teladan: tidak merokok, tidak
korup, tidak munafik, dermawan, menyayangi sesama
makhluk Allah, dan sebagainya.
• 4) Subjek pendidik nilai moral
• Pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui
kehidupan dalam masyarakat. Orang tua,
lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi,
organisasi kemasyarakatan, semua perlu
berpartisipasi dalam pendidikan nilai.
Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan
pendidikan nilai memengaruhi kualitas moral
generasi muda.
5) Evaluasi pendidikan nilai moral
• Di samping keempat aspek di atas (isi, metode,
proses dan pendidik), pendidikan nilai juga
memerlukan evaluasi yang komprehensif. Evaluasi
dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan.
Tujuan pendidikan nilai meliputi tiga kawasan,
yakni penalaran nilai/moral, perasaan nilai/moral
dan perilaku nilai/moral. Maka, evaluasi
pendidikan nilai juga mencakup tiga ranah
tersebut. berupa evaluasi penalaran moral,
evaluasi karakteristik afektif, dan evaluasi perilaku
(Darmiyati, 2010: 51).
a) Evaluasi penalaran moral
• Supaya tujuan pendidikan nilai yang berwujud
perilaku yang diharapkan dapat tercapai, subjek
didik harus sudah memiliki kemampuan
berpikir/bernalar dalam permasalahan
nilai/moral sampai dapat membuat keputusan
secara mandiri dalam menentukan tindakan apa
yang harus dilakukan. Dalam hal ini, Kohlberg
berdasarkan penelitian longitudinal, telah
berhasil meredefinisi pemikiran Dewey mengenai
reflective thinking dan memvalidasi karya Piaget
mengenai perkembangan berpikir, menyusun
tingkat-tingkat perkembangan moral
b) Evaluasi karakteristik afektif
• Dupon (Darmiyati, 2010: 54) telah menemukan tahap-
tahap perkembangan afektif sebagai berikut:
• Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya.
• Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal.
• Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral.
• Psychological-personal: menjadi dasar keterlibatan
orang lain atau komitmen pada sesuatu yang ideal.
• Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi.
• Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol
diri secara sadar.
• Selain itu, ada juga pengukuran dengan
menggunakan skala sikap  dikembangkan
oleh Likert atau Guttman dan semantic
differential yang dikembangkan oleh Nuci, dan
peneliti lainnya. Walaupun dinamakan skala
sikap, karakteristik afektif yang dievaluasi
dapat pula mencakup minat, motivasi,
apresiasi, kesadaran akan harga diri dan nilai.
c) Evaluasi perilaku
• Perilaku moral sangat sulit untuk dievaluasi.
Perilaku moral hanya mungkin dievaluasi
secara akurat dengan melakukan observasi
(pengamatan) dalam jangka waktu yang relatif
lama dan secara terus-menerus. Dari
pengamatan tersebut dapat ditarik
kesimpulan apakah perilaku orang yang
diamati telah menunjukkan watak atau
kualitas akhlak yang akan dievaluasi.
• Misalnya, apakah orang tersebut benar-benar
jujur, adil, memiliki komitmen, beretos kerja,
tanggung jawab, dan sebagainya. Pengamat
harus orang yang sudah mengenal orang-
orang yang diobservasi agar penafsirannya
terhadap perilaku yang muncul tidak salah
(Darmiyati, 2010: 55).
• COMPONENTS OF GOOD CHARACTER

MORAL KNOWING MORAL FEELING


1. Moral awareness 1. Conscience
2. Knowing moral 2. Self-esteem
values 3. Empathy
3. Perspective-taking 4. Loving the good
4. Moral Reasoning 5. Self-control
5. Decision-making 6. Humility
MORAL ACTION
6. Self-knowledge 1. Competence
2. Will
3. Habit
COMPREHENSIVE APPROACH
TO VALUES AND CHARACTER EDUCATION

• Classroom Strategies
1. Teacher as caregiver, model Schoolwide Strategies
and mentor 1. Caring beyond the classroom
2. A moral classroom 2. Creating positive moral
community culture in the school
3. Moral discipline 3. School,parents, and
4. A democratic classroom communities as partner
environment
5. Teaching values through the
curriculum
6. Cooperative learning
Character
7. Conscience of craft
8. Moral reflection 1. Moral Knowing
9. Teaching conflict resolution
2. Moral Feeling
3. Moral Action

Anda mungkin juga menyukai