Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI PADA PASIEN STRUMA


NODOSA NON TOKSIK BILATERAL

Disusun oleh:
Imelda Lie
2018-84-073

Pembimbing
dr. Ony. W. Angkejaya, Sp. An
dr. Fahmi Maruapey, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi secara umum adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Namun, obat-obat anestesi tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan
tetapi juga menghilangkan kesadaran. Selain itu, juga dibutuhkan relaksasi otot yang
optimal agar operasi dapat berjalan lancar.
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik
intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask
(sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau
gabungan keduanya inhalasi dan intravena
Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini
disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering
ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan
goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia. Apabila dalam
pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma
nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme
disebut struma nodusa non toksik.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. WE
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : 14-28-53
Alamat : Kebun Cengkeh
Gol. Darah :O
Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 155 cm
Tanggal MRS : 30 Maret 2019
Tanggal Masuk ICU : -
Tanggal Keluar ICU : -
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Indonesia
Bangsal/Kamar : Ruang Bedah Wanita

B. EVALUASI PRE-ANESTESI

1. Anamnesis (30 Maret 2019)


 Keluhan utama
Benjolan dileher sudah kurang lebih 20 tahun

 Anamnesis terpimpin
Benjolan di leher kurang lebih 20 tahun disertai jantung sering berdebar.

3
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riw. Asma : -
Riw. DM : -
Riw. Hipertensi : -

 Riwayat Penyakit Keluarga


Riw. DM :-
Riw. Hipertensi : -

 Riwayat Operasi & Anestesi


Tidak Ada

 Riwayat Alergi
Tidak ada

 Riwayat Obat-Obatan
Tidak ada

2. Pemeriksaan Fisik
 Status Gizi : Normal
 Keadaan Psikis : Baik.
B1 : A: bebas; B: spontan; RR: 20x/m reguler; Inspeksi: pergerakan dada
simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka; SpO2: 99%

B2 : Akral hangat, kering, merah; TD: 148/90 mmHg; N: 81x/m reguler,


kuat angkat; S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

4
B4 : BAK spontan

B5 : Inspeksi: distensi (-), darm contour (+), sikatriks (-) linea mediana
abdomen, Palpasi: NT(-), Auskultasi: BU normal.

B6 : Fraktur (-), oedem (-).

3. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium ( 4 Januari 2019):
T4 Bebas (FT4): 1,43 ng/dL
TSHs (U-TSH): 0,15 uIu/mL

 Laboratorium ( 5 Februari 2019):


TSHs (U-TSH): 0,22 uIu/mL

 Laboratorium (25 Maret 2019):


T4 Bebas (FT4): 0,93 ng/dL
TSHs (U-TSH): 0,70 uIu/mL

 Laboratorium (1 April 2019)


Jumlah Eritrosit : 4,49x106/mm3
Hemoglobin :14,2 g/dL
Hematokrit : 39,9%
MCV : 89 m3
MCH : 31,7 pg
MCHC : 35,7 g/dL
RDW : 11,5%
Jumlah Trombosit : 294x103/mm3
MPV : 8,1 m3
PCT : 0,237%

5
PDW : 12,8%
Jumlah Leukosit : 6,8x 103/mm3
LED
Hitung Jenis
Neutrofil : 45,7%
Limfosit : 32,5%
Monosit : 8,2%
Eosinofil : 12,7%
Basofil : 0,9%
Masa perdarahan : 2’
Masa Pembekuan : 6’
Glukosa Sewaktu : 149 mg/dL
Ureum : 17 mg/dL
Kreatinin : 0,6 mg/dL
Asam Urat 3,0 mg/dL
Kolestrol Total : 165 mg/dL
SGOT : 11 u/L
SGPT : 13 u/L
Bilirubin Total : 0,8 mg/dL
Bilirubin Direk : 0,2 mg/dL
Bilirubin Indirek : 0,6 mg/dL
GGT : 7,4 mg/dL
Protein Total : 3,6 mg/dL
Elektrolit : 138 mmol/L
Natrium : 3,7 mmol/L
HBsAg : Non reaktif
Anti HIV : Non reaktif

 Foto Thorax PA: Kesan normal

6
4. Diagnosis
 Struma nodular non toksik bilateral
 PS ASA II

5. Planning
 Pro Thyroidektomi
 Stop intake oral 8 jam
 Antibiotik profilaksis
 Siapkan WB 2 kantong di PMI
 Rencana Anestesi: GA Intubasi

C. PRE-OPERATIF
 Diagnosa Pra Bedah: Struma nodular non toksik bilateral
 Jenis Pembedahan: Thyroidektomi
 Jenis Anestesi : General Anestesi dengan Intubasi
 Posisi: Supine
 Lama Anestesi: 12.10- GA Intubasi.
 Lama Operasi: 12.25 WIT – 16.00 WIT.
 Premedikasi: Ranitidin 50 mg/iv (07.00), Ceftriaxon 1 g/iv (07.05)
 Tindakan General Anestesi dengan Intubasi:
1. Scope : Stetoskop, Laringoskop
2. Tube : ETT (Endo Tracheal Tube)
3. Airway : Guedel
4. Tape : Plester
5. Introducer : Stylet
6. Connector : Penyambung pipa dan peralatan anestesi
7. Suction : Penyedot dan tabung

7
 Obat-obatan :
1. Sedacum 0,5 mg
2. Fentanyl 100 mg
3. Propovol 100 mg
4. Atrakurium 30 mg
5. Isofluran 1,5 vol %

D. TEKNIK ANESTESI
1. Akses IV : Premedikasi diberikan sedakum 1,5 mg kemudian 5 menit
kemudian diberikan fentanyl 100 mg, kemudian diberikan propofol 100 mg,
preoksigenasi selama 5 menit
2. Dilanjutkan dengan pemasangan face mask dan mulai berikan O2 dan
isoflurane 1,5 mac (tetap memompa sampai jalan napas bagus)
3. Berikan pelumpuh otot atracurim 30 mg setelah obat mulai bekerja 3 menit,
pergerakan dada naik dan simetris segera lakukan intubasi.
4. Intubasi : Ekstensi kepala dan chin lift dengan sniffing posisi, lepas face
mask, pegang laringoskopi dengan tangan kiri, masukan laringoskopi dari sisi
mulut bagian kanan geser lidah ke kiri, telusuri lidah pasien sampai pangkal
lidah, terlihat epiglotis, di belakang epiglotis tampak plica vocalis, lalu segera
masukan ETT sampai batas garis hitam pada ETT.
5. Sambungkan ujung ETT dengan selang mesin anestesi, pompa balon, pastikan
ETT sudah masuk ke trakea dan periksa napas kanan kiri, kemudian isi balon
ETT dengan udara, pasang orofaringeal tube airway, fiksasi ETT dengan
plester/tape, berikan O2 dan isoflurane 1,5 mac.

E. INTRA OPERATIF
 Keseimbangan cairan:
- Cairan masuk : PO (RL 500 cc)

8
- Cairan keluar : DO ( RL 1000 cc, NaCl 500cc, WB 350cc)

Gambar 1. Laporan Intraoperatif

9
Gambar 2. Struma

E. POST-OPERATIF

 B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 16 x/m, Rh (-), Wh (-).


 B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 115 x/m, TD: 110/60 mmHg, S1S2
reguler, murmur (-), gallop (-).
 B3: Sadar, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
 B4: BAK Spontan
 B5: BU (+)
 B6: edema (-), deformitas (-)
 Terapi:
• Awasi TTV tiap 15 menit selama 2 jam
• Head up 30o
• Ketorolac 30 mg 8 jam/IV
• Lain-lain sesuai terapi dari dokter bedah

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Anestesi Umum


Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan. Anestesi memiliki tujuan-tujuan
sebagai berikut:
a. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
b. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
c. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

3.2 Persiapan Pre Operasi


Evaluasi pre operasi meliputi identitas, history taking (AMPLE), pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga
harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA.
Anamnesis dapat diperoleh langsung pada pasien sendiri atau dengan orang lain
seperti keluarga pasien. Anamnesis dimulai dengan identitas pasien seperti,
nama, umur, tanggal lahir, jenis kelaminan, alamat, pekerjaan dan lain-lain.

A. AMPLE
Alergi
Sebelum melakukan tindakan anestesi perlu untuk mengetahui ada tidaknya
alergi pada obat-obatan yang mungkin akan digunakan selama persiapan
operasi hingga post operasi.

11
Medikasi
Mencari riwayat penggunaan obat-obatan tertentu seperti obat anti hipertensi,
diuretik, digitalis, antidiabetik dan aminoglykosida yang mungkin
menimbulkan intereaksi dengan obat-obat anestetik.

Past Illness
Mencari riwayat sebelumnya terhadap berbagai penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, gangguan paru, penyakit ginjal, penyakit gangguan
perdarahan dan lain-lain. Selain itu juga perlu untuk mencari kemungkinan
kelainan jantung pada pasien-pasien yang memiliki riwayat hipertensi, menilai
kemungkinan dehidrasi atau ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu, riwayat
operasi dan anestesi sebelumnya dan apakah pasien mengalami komplikasi
saat itu.

Last Meal
Menanyakan kapan pasien terakhir kali makan dan menyarankan pasien untuk
menjalani puasa selama 8 jam untuk usia dewasa.

Environment
Menanyakan apakah pasien memiliki riwayat merokok dan mengonsumsi
alkohol sebelumnya. Serta menanyakan frekuensi dan jumlahnya yang
dikonsumi seharian. Untuk pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari keadaan
umum dan tanda-tanda vital. Keadaan umum pasien diperhatikan jika ada
gelisah, takut, kesakitan, malnutrisi dan obesitas. Tinggi dan berat badan
pasien untuk penentuan dosis obat dan pengeluran urine yang adekuat.
Seterusnya lima komponen utama tanda-tanda vital yang harus diperiksa
adalah tekanan darah, denyut nadi, frekuasi pernafasan, suhu tubuh dan nyeri
menggunakan visual analog scale (VAS).

12
B. Pemerikasaan fisik (6B)
Breath
Untuk melihat fungsi paru maka frekuensi pernafasan, bunyi rhonki dan
wheezing dan saturasi oksigen perifer pasien diperiksa untuk memastikan
tidak ada kelainan.

Blood
Secara hematologik, pasien dapat mengalami anemia sekunder akibat penyakit
kronik atau pengaruh agen kemoterapi. Tekanan darah, denyut nadi dan bunyi
jantungdiperiksa.

Brain
Kanker payudara sering mengalami metastase ke susunan syaraf pusat dan
mungkin terdapat tanda defisit neurologis fokal, perubahan status mental, atau
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien. Melihat apakah ada terjadi
penurunan status mental dan keadaan umum pasien secara keseluruhan yang
dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).

Bladder
Terdapatnya kelainan pada ginjal dan hepar dapat mempengaruh pemilihan
terhadap obat anestesi dan muscle relaxant. Periksa produksi urine pasien
dalam sehari, normalnya setiap orang memproduksi urin sebanyak 0,5-1
ml/kgBB/Jam. Buang air kecil spontan atau menggunakan kateter.

Bowel
Malnutrisi umum didapatkan pada pasien dengan kanker stadium lanjut, baik
karena proses metastase maupun karena efek samping dari kemoterapi
(gangguan pengecapan, mual, dan muntah). Jadi menilai bising usus pasien
positif dalam keadaan normal dan jika ada distensi.

13
Bone
Melihat kondisi akral pasien yang dapat mengindikasikan kemungkinan
terjadinya syok yang mungkin terjadi karena adanya infeksi atau gangguan
hemodinamik.

3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society


Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faal,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
untuk operasi cito.
ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak, jantung,
paru, ibu dan anak.

3.3 Teknik
A. Face mask dengan napas spontan
a. Indikasi
a) Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)

14
b) Keadaan umum baik (ASA I – II)
c) Lambung harus kosong

b. Prosedur tindakan
a) Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
b) Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
c) Premedikasi +/- (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)
efek sedasi/anti-anxiety : benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
d) Induksi
e) Pemeliharaan

B. Intubasi endotrakeal
a. Indikasi
a) Operasi lama
b) Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

b. Prosedur tindakan
a) Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
b) Intubasi setelah induksi
c) Pemeliharaan

C. Intubasi endotrakeal dengan nafas terkontrol


Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x/menit. Setelah operasi
selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri
efek anestesinya.
a) Teknik sama dengan diatas
b) Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)

15
c) Pemeliharaan

Cara pemasangan endotrakeal tube :


A. Oksigenasi pasien selama 3–5 menit, kemudian pasien diberi sedasi.
B. Melakukan ventilasi (tangan kiri memegang sungkup ke pasien, tangan kanan
memberikan ventilasi).
C. Memberikan pelumpuh otot agar mudah melakukan intubasi
D. Lakukan intubasi saat onset pelumpuh otot tercapai.
E. Buka mulut pasien dengan ibu jari bertumpu pada premolar mandibula dan
jari telunjuk tangan kanan menyentuh maksila kanan secara menyilang.
F. Masukkan laringoskop, lidah disisihkan ke kiri sehingga lapangan pandang
tidak terhalang.
G. Minta asisten untuk melakukan manuver sellick atau menekan dan
menggerakkan kartilago tiroid ke belakang, kanan, atau kiri agar laring dapat
terlihat jelas.
H. Masukkan ET menggunakan tangan kanan melalui sudut kanan mulut pasien
ke dalam trakea. Dengan melihat melalui blade laringoskop, masukkan ET
sampai cuff tidak terlihat dari belakang pita suara. Posisi ET dipertahankan,
laringoskop ditarik.
I. Cuff dikembangkan dengan udara lewat spuit sekitar 5–10 cc sesuai dengan
kebutuhan.
J. Sambil memegang ET pada sudut bibir pasien, segera berikan ventilasi dan
oksigenasi.
K. Lakukan auskultasi pada daerah epigastrium untuk menyingkirkan
kemungkinan intubasi esofagus. Jika terdengar suara gurgle, ET harus dicabut
dan lakukan reintubasi.
L. Lakukan juga asukultasi pada daerah apek dan basal kedua paru untuk
menyingkirkan kemungkinan intubasi bronkus (biasanya bronkus kanan)
dengan cara membandingkan suara paru kanan dan kiri. Jika suara paru kanan

16
lebih besar berarti ET masuk ke dalam bronkus kanan dan harus ditarik
hingga terdengar suara yang sama antara paru kanan dan kiri
M. Memasang pipa orofaringeal (Guedel), memfiksasi ET dengan plester
melingkar yang ditempatkan di bawah dan di atas bibir yang diperpanjang
sampai ke pipi
N. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat
resusitasi )

3.4 Kesulitan Intubasi


Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah
suatu keadaan dimana dibutuhkannya 3 kali kesempatan untuk berhasil
memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop konvensional atau bila
menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan dimana
keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10
menit.

Metode menilai kesulitan intubasi:


A. LEMON
a. L (Look externally)
Look externally adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal-
hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi
seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, leher pendek, mandibula yang
kecil.

b. E (Evaluate 3-3-2-1)
Pemeriksaan dengan jari tangan (Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers)
terdapat 4 kelas penilaian, yaitu:
3 – jari membuka mulut

17
3 - Fingers Hypomental Distance (3 jari diantara ujung dagu sampai awal
permulaan leher)
2 – jari diantara puncak tiroid sampai dengan dasar mandibula (bagian atas
leher)
1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation

c. M (Mallampaty score)
Pemeriksaan Mallampati dilakukan untuk mengetahui seberapa besar faring
yang tertutup oleh lidah. Terdapat 4 kelas penilaian untuk skoring Mallampati,
yaitu:
Kelas I = tampak palatum mole, palatum durum, uvula, pilar anterior dan
posterior.
Kelas II = tampak palatum mole, palatum durum, dan uvula
Kelas III = tampak palatum mole dan dasar uvula
Kelas IV = tidak tampak palatum mole

Gambar 3. Skor Mallampati

18
d. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan
sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya
obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan
ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor.

e. N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan
dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto
oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan
kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi
daripada sendi atlanto-oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu
garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat

B. STOP
Penilaian ke dua adalah ada tidaknya kelainan-kelainan pada pasien
(Malformation of the skull, teeth, obstruction, and pathology), termasuk
didalamnya adalah penilaian:
S = Skull (hidro atau mikrosefalus)
T = Teeth (gigi tonggos, pemakaian gigi palsu, gigi ompong, serta makro dan
mikro mandibula)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek, pembengkakan atau massa disekitar
kepala dan leher, makroglosia, tumor leher, dan trauma)
P = Pathology (kelainan pada kraniofasial & Sindrom seperti: Treacher
Collins, Goldenhar’s, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)

C. Four’s D
D (Dentition, evaluasi keadaan gigi-geligi)
D (Distortion, evaluasi apakah ada edema, darah, muntahan, tumor, infeksi)

19
D (Disproportion, evaluasi dagu pendek, leher gemuk, mulut kecil, lidah
besar)
D (Dysmobility, evaluasi tyromental joint, cervical spine)

3.5 Obat-Obatan yang Digunakan


Pada kasus ini digunakan obat premedikasi:
A. Midazolam
Midazolam merupakan salah satu preparat golongan anestetik benzodiazepine
yang memiliki efek hipnotik sedative, pelemas otot yang ringan dan sangat cepat
melewati barrier plasenta. Dosis induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.

B. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan
remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan
untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx,
dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid postoperasi berhubungan dengan perkembangan
toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah
telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam
anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan
analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna
diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik
yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil
menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan

20
oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis
oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga
dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk
larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan
droperidol. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan
haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia
dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut
sebagai neurolepanestesia.

C. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih
cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih
baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah
postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan
anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat
ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam
keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit
berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik. Pemberian
propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai
plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain. Propofol
dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama induksi
anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi. Propofol

21
menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan
karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea. Setelah pemberian propofol secara
intravena, waktu paruh distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh
redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10
kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam
urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi
dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran
darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien
dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati
yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi
pasca operasi yang minimal. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat.
Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan
vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan
dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan
muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik. Efek
samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan, apnea,
bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi,
aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

D. Obat Pelumpuh Otot


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat

22
ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi,
misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot
yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. Obat pelumpuh otot
yang digunakan dalam kasus ini adalah Atracurium besilat (tracrium) merupakan
obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa
keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada
fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang
lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan fungsi
saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau
dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat
menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung
dan ginjal yang berat. Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang
mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada
penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

23
D. Isofluran
Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek samping yang minimal.
Induksi dan pemulihan dengan Isofluran cepat Seperti Enfluran, Isofluran juga
dapat menimbulkan depresi pernafasan. Isofluran memiliki efek bronkodilatsi
dan baik untuk digunakan pada pasien PPOK dan asma bronkial. Isofluran
memiliki efek relaksasi otot bergaris yang baik dan berpotensiasi dengan obat
pelumpuh otot. Pada dosis anestesi (1,5%-3%), Isofluran tidak menyebabkan
relaksasi otot uterus. Isofluran tidak menyebabkan perubahan gambaran EEG
berupa “epileptiform”. Isofluran tidak menimbulkan efek hepartotoksik dan
nefrotoksik.

3.6 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi dan mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
A. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.

B. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam

24
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.

C. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

3.7 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya. Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum
yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan
untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk
untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.

25
26
27
28
29
BAB IV
KESIMPULAN

GA (General anesthesia) adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral dan


membuat pasien tidak sadar secara reversibel (dapat kembali seperti semula)
yang disebabkan oleh obat-obat anestesi trias anestesi meliputi sedasi, analgesik
dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat secara parenteral dan
inhalasi. Dalam melakukan tidakan anastesi umum akan didapatkan kendala, baik
saat melakukan intubasi maupun ventilasi oleh karena itu diperlukan tenaga
anastesi yang berpengalaman. Sebelum dilakukan anestesi umum, harus
dilakukan penilaian pada psien yang mencakup beberapa hal yaitu status
kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta menentukan
klasifikasi status fisik menurut The American Society of Anaesthesiologist
(ASA).

30
REFERENSI

1. Krisdiyanto H., 2000. Kemudahan Pemasangan Sungkup Laring dengan


Induksi Thiopentone + Midazolam dan Propofol + Midazolam. Karya Akhir.
Semarang: Universitas Diponegoro
2. Nugroho, R.C., 2002. Pengaruh Pretreatment Midazolam atau Atracurium
Terhadap Fasikulasi, Mialgia, dan Kenaikan Kadar Kreatin Fosfokinase Darah
Akibat Suksinilkolin. Karya Akhir. Semarang: Universitas Diponegoro.
3. Susianto, O., 2004. Pengaruh Pretreatment Fentanil 1µg/kgBB Terhadap
Iritasi Jalan Napas Pada Induksi Inhalasi Isoflurane. Karya Akhir. Semarang:
Universitas Diponegoro.
4. Satoto H., 2005. Pengaruh Anestesi Sevofluran and Enfluran Terhadap
Klirens Kreatinin. Karya Akhir. Semarang: Universitas Diponegoro.
5. Wirjoatmodjo, Karjadi., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar
untuk pendidikan S1 kedokteran. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Depatemen Pendidikan Nasional, Jakarta, hal 150; 165-67: 169-73
6. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat
Intubasi Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id
7. Hariyono, Siswo. 2006. Pengaruh Tindakan Intubasi Trakea terhadap
Perubahan Laju Jantung dan Tekanan Darah. Diakses dari:
http://digilib.uns.ac.id
8. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:
Jakarta.
9. Latief SA, Suryadi KA. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2009.
10. Soenarto RF, Chandra S. 2012. Buku ajar anestesiologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

31
11. Omuigui. 1995.The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book
Inc.
12. Rizky H. 2010. Teknik Intubasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
13. Simatupang RH. 2014. Korelasi ULBT dengan Mallampati Sebagai Prediktor
Kesulitan Intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
14. Novitasari A, Kusuma DI. 2012. Penanganan kesulitan penguasaan jalan
nafas. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
15. Muhardi, M, dkk. 1989.Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI.Jakarta: CV Infomedia.
16. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi
FKUI, edisi ke- 4. Jakarta: Gaya baru, 1995.

32

Anda mungkin juga menyukai