Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang memiliki banyak kebudayaan
dan tradisi, baik yang sudah dikenal masyarakat luas atau yang sama sekali belum
dikaji oleh para budayawan. Bila melihat beberapa ekspresi budaya masyarakat
muslim di Jawa, akan diperoleh kesimpulan bahwa mereka memiliki kesadaran
sejarah yang cukup baik, sekaligus apresiatif terhadap warisan leluhur. Kesadaran
masyarakat itu tercermin di antaranya dari sikap sosial keberagamaannya yang
mengakomodir tradisi atau budaya lokal dalam berbagai kemasan. Contoh umum
untuk hal ini adalah tradisi kenduri atau slametan untuk berbagai peristiwa yang
dianggap perlu penghormatan khusus, semisal hal-hal yang berhubungan dengan
kelahiran, pernikahan bahkan juga kematian. Selain hal tersebut, peristiwa lain
yang dianggap mempunyai nilai khusus dalam perjalanan kehidupan manusia juga
diiringi dengan kenduri, misalnya menempati rumah baru, hendak melakukan
perjalanan jauh, mendapat anugerah berupa rizki atau pekerjaan, memulai cocok
tanam dan lain sebagainya.
Tidak berbeda dengan daerah lain di Jawa, Banyuwangi juga kaya dengan
warisan budaya leluhur yang masih tetap terpelihara dengan baik. Slametan desa
(bacaslametan deso) atau dalam bahasa lokal sedekah desa yang selalu diadakan
setiap tahun sekali pada seluruh pedesaaan dan kelurahan di komunitas Using
cukup kuat disebut sebagai contoh untuk hal ini. Pada tradisi sedekah desa itu,
masing-masing wilayah memiliki cara yang khas dalam tata cara pelaksanaannya.
Desa Grogol kecamatan Giri misalnya, menyelenggarakan sedekah desa pada
bulan Rajab dengan tontonan tradisional yang didahului dengan doa bersama di
atas makam leluhur (Buyut Jiman). Di desa Boyolangu, yang leluhurnya bernama
Buyut Jaksa, sedekah desa diadakan pada bulan Syura dengan ritual slametan di
jalan utama desa tanpa diselingi tampilan seni budaya. Selain tradisi ritual, desa
ini juga memiliki tradisi piknik kolosal yang disebut puter kayun yang
dilaksanakan pada setiap tanggal 10 Syawal.
Sedikit berbeda dalam menghormati leluhur yang telah berjasa membuka
lahan untuk pertanian dan permukiman adalah desa Bakungan, Kemiren, Olehsari,

1
Alasmalang, dan Aliyan. Desa Alasmalang dan Aliyan, sedekah desa dilakukan
dengan mengadakan atraksi kebo-keboan, yaitu beberapa orang dirias seperti
kerbau untuk kemudian diarak mengelilingi desa dengan membawa uba rampe
dari hasil pertanian. Arak-arakan juga dilakukan warga masyarakat Kemiren
dalam tradisi sedekah desa, 3 hanya saja di sini mereka berjalan mengelilingi desa
mengiringi Barong.
Adapun di Bakungan dan Olehsari, slametan itu dilakukan dengan
menggelar atraksi seblang. Perbedaan di kedua desa ini hanya pada pelaku dan
waktunya, kalau di Bakungan yang menjadi penari seblang adalah perempuan tua
yang telah cukup umur, sementara di Olehsari adalah perempuan yang masih
muda. Bahkan pada tahun 90-an, penari seblang di Olehsari ini harus seorang
gadis yang belum pernah menikah. Perbedaan lain, di Bakungan hanya semalam
pada bulan Dzulhijjah, sedang di Olehsari selama tujuh hari berturut pada bulan
Syawal, biasanya beberapa hari setelah hari Raya Idul Fitri. Seluruh ritual budaya
ini selain sebagai wujud ekpresi keberagamaan juga menandakan dekatnya
masyarakat dengan alam kehidupannya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diambil beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa nilai yang terkandung dalam Kebo-keboan ?
1.2.2 Bagaimana kesyirikan dalam Kebo-keboan ?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan paparan diatas, makalah ini bertujuan untuk :
1.3.1 Mengetahui nilai yang terkandung dalam Kebo-keboan
1.3.2 Mengetahui kesyirikan dalam Kebo-keboan
1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi referensi budaya yang ada di
banyuwangi terutama.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budaya dan Tradisi
Menurut E.B Taylor, seorang ahli antropologi kebudayaan adalah
keseluruhan yang komplek yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain,
serta kebebasan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
J.J.Honingman menyebutkan terdapat tiga gejala kebudayaan yaitu ideas,
activities, dan artifac. kesenian ini di samping membawakan pesan-pesan yang
kaitannya dengan religi juga membawa pesan dalam tata hubungan sosial atau
pergaulan antar sesama (Daeng, 2000: 81).
Dengan demikian, tanpa adanya gangguan yang ditimbulkan oleh
masuknya unsur budaya asing sekalipun, suatu kebudayaan dalam suatu
masyarakat bisa berubah. Sejalan dengan bergulirnya waktu, senipun hanyut
dalam pasang surutnya dinamika budaya (Ihromi, 1981: 32).

2.1.1 Petik Laut

Petik laut adalah sebuah upacara adat atau ritual sebagai rasa syukur
kepada Tuhan, dan untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan yang
dilakukan oleh para nelayan. Umumnya, kegiatan ini diadakan di seluruh pulau
Jawa. Ritual diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Kemudian perahu
kecil (perahu sesaji) disiapkan dan dibuat seindah mungkin mirip kapal nelayan
yang biasa digunakan melaut, kemudian sesaji tersebut di hanyutkan ke laut.
Dalam upacara petik laut para nelayan menghias perahu seindah mungkin, selain
itu berbagai perayaan-perayaan yang dilaksanakan seperti halnya mengadakan
pengajian, orkes dangdut, dan sebagainya sesuai keinginan para nelayan di
masing-masing daerah. (id.wikipedia.org/wiki/petiklaut.15Februari2016)

2.1.2 Seblang

Ritual Seblang adalah salah satu ritual masyarakat Osing yang hanya dapat
dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni
desa Bakungan dan Olehsari. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa

3
dan tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram. Ritual ini sama
seperti ritual Sintren di wilayah Cirebon, Jaran Kepang, dan Sanghyang di Pulau
Bali. Penyelenggaraan tari Seblang di dua desa tersebut juga berbeda waktunya, di
desa Olihsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa
Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.

Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan


biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa
Olehsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan,
penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid
(menopause). (id.wikipedia.org/wiki/seblang.15Februari2016)

2.1.3 Kebo-keboan

Kebo-keboan adalah salah satu tradisi upacara adat yang masih terjaga dan
terlaksana hingga saat ini. Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan
Muharram atau Syura (Kalender Jawa). Konon, ritual ini sudah ada sejak abad ke-
18. Di Banyuwangi, kebokeboan dilestarikan di dua tempat yakni di desa
Alasmalang, kecamatan Singojuruh. (Wasono,Wawancara: 30 Januari 2016).

Kebo-keboan di Alasmalang hampir keseluruhan masyarakat Using


mengandung spirit religius yang khas, karena pada dasarnya adalah upaya sosial
dan doa (ritual) untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi
kesejahteraan dan keselamatan hidup masyarakat. Kondisi yang demikian itu,
pada masyarakat agraris terwujud di antaranya pada kesuburan tanah, panenan
yang melimpah, dan terhindar dari segala macam malapetaka.
(search.ask.com.15Desember2016 )

2.2 Syirik

Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu selain


Allah dan disandarkan pada Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah.
Umumnya, menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah yaitu hal-hal yang merupakan
kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah, atau memalingkan

4
suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan
sebagainya kepada selainNya. (id.wikipedia.org/wiki/syirik.15Februari2016)

2.2.1 Syirik Besar

Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan


menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dan belum
bertaubat kepada Allah.

Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah,
seperti berdo'a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan
penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin
atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa memberikan
manfaat maupun mudharat. (id.wikipedia.org/wiki/syirik.15Februari2016)

2.2.3 Syirik Kecil

Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia
mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar.
(id.wikipedia.org/wiki/syirik.15Februari2016)

5
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk kategori penelitian lapangan (field research) yang


berbasis pada tema religi-budaya. Basis telaah penelitian ini, yang terkait dengan
tema religi- budaya, menyebabkan jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian
kualitatif.

3.2 Sumber Data


Penelitian ini mengambil sumber data primer dan sekunder sebagai berikut;
3.2.1 Sumber Data Primer
Sumber data primer penelitian ini adalah hasil wawancara dan observasi
lapangan yang didapatkan penyusun saat melaksanakan penelitian di desa
Alasmalang, kecamatan Singojuruh yang merupakan lokasi penyelenggaraan
ritual kebo-keboan.
3.2.2 Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder penelitian ini adalah hasil penelusuran kepustakaan
terhadap data-data literer yang terkait dengan persoalan yang diangkat skripsi ini.

3.3 Jenis Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan yang
dilengkapi dengan data-data kepustakaan atau literer. Data lapangan tentunya
adalah hasil penelitian lapangan di Alasmalang, Singojuruh, Banyuwangi.
Sementara data kepustakaan adalah data tertulis tentang sejarah, profil, dan kajian
tentang upacara Kebo-keboan dan kondisi religi-budaya masyarakat di desa
Alasmalang.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penyusun
menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yakni; pengamatan terlibat atau
observasi, wawancara mendalam, dan pengumpulan data sumber-sumber tertulis
atau studi kepustakaan.

6
3.4.1 Pengamatan Terlibat
Tujuan penyusun melakukan observasi atau pengamatan terlibat adalah
untuk mendapat keterangan yang lebih rinci dan lengkap dari semua kegiatan dan
peristiwa yang berkaitan dengan fokus penelitian ini. Dengan demikian, penyusun
akan lebih dekat dengan fokus penelitian sehingga dapat merasakan dan
mengetahui aktivitas sosial dan ritual masyarakat Desa Alasmalang, Kecamatan
Singojuruh, terutama ritual Kebo-keboan.
3.4.2 Wawancara
Wawancara mendalam akan penyusun lakukan untuk mengontruksi
gambaran mengenai orang, peristiwa, kegiatan, perasaan, motivasi dan tuntunan
dan lain-lain. Dalam penentuan informan dan pihak-pihak yang akan
diwawancarai, penyusun akan melihat perkembangan yang ada di lapangan.
Wawancara akan penyusun tujukan pada tokoh sentral dalam ritual Kebo-keboan.
Penyusun juga akan mewawancarai pihak lain di luar Alasmalang yang
mengetahui informasi tentang ritual Kebo-keboan, seperti beberapa tokoh
pemerhati tradisi Osing dan kebudayaan Banyuwangi.
3.4.3 Penelusuran Pustaka
Penyusun juga akan mengumpulkan dan mengkaji data-data dari sumber
tertulis untuk memperkuat data yang diperoleh di lapangan. Sumber-sumber
tertulis tersebut seperti potensi kecamatan Singojuruh yang memuat data-data
kuantitatif masyarakat Singojuruh, terutama masyarakat Desa Alasmalang.
Penyusun juga akan menggunakan literatur-lileratur tertulis yang ada dalam
perpustakaan Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Dewan Kebudayaan
Banyuwangi. Data tertulis yang paling dibutuhkan penyusun adalah yang
berhubungan dengan sejarah Banyuwangi. Hal ini karena penyusun berusaha
menemukan penjelasan tentang sejarah ritual Kebo-keboan dan budaya lainnya di
Banyuwangi.

3.5 Teknik Analisis Data


Untuk memanfaatkan dan mengolah data yang banyak dan padat, akan
digunakan tehnik analisa deskriptif. Jadi, Analisis dilakukan terhadap data
dijabarkan dengan metode deskriptif-analitis. Tehnik ini bertujuan untuk

7
mendeskripsikan secara obyektif dan sistematis data yang ada. Supaya data yang
ada dapat divalidasi keabsahannya.
3.6 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan religi.
Sebabnya, fokus kajian penelitian ini adalah persoalan perubahan religius.
3.7 Sistematika Pembahasan
Untuk memberi arah yang lebih jelas dalam penelitian ini, berikut akan
dilakukan pemetaan dan sistematisasi pembahasan ke dalam beberapa bagian.
Bab I berisi pendahuluan yang mencakup sub bab sebagai berikut; latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Bab II berisi tentang Tinjauan Pustaka mengenai budaya dan adat di Banyuwangi
Bab III berisi metodologi penelitian,
Bab IV berisi pembahasan tentang Kebo-keboan ,
Bab V merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran.

8
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Nilai Yang Terkandung Dalam Kebo-keboan


Munculnya ritual kebo-keboan di desa Alasmalang berawal dari terjadinya
musibah pagebluk (epidemi). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit, hama
wereng juga menyerang tanaman petani. Banyak warga yang kelaparan dan mati
akibat penyakit misterius itu. Dalam kondisi seperti itu, sesepuh desa yang
bernama Buyut Karti melakukan meditasi di sebuah bukit dekat desa. Selama
meditasi, tokoh ini mendapatkan wangsit (pesan spiritual) yang isinya meminta
seluruh warga menggelar ritual kebo-keboan sebagai penghormatan kepada Dewi
Sri, yaitu dewi yang dipercaya sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan, warga yang sakit
mendadak sembuh dan hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual
kebo-keboan dilestarikan karena warga khawatir akan terkena musibah lagi jika
tidak melaksanakannya.

Gambar 1. Ritual Kebo-keboan1

Prosesi upacara kebo-keboan di Alasmalang dilaksanakan setahun sekali,


yaitu pada hari Minggu antara tanggal 1-10 Syura dengan tanpa melihat hari
pasarannya (pon, wage, kliwon, legi, pahing). Dipilihnya hari Minggu dengan
pertimbangan bahwa pada hari tersebut kebanyakan warga masyarakat libur,
sehingga dapat mengikuti jalannya upacara yang selalu dihadiri warga luar desa

9
ini, bahkan juga dari luar kota. Adapun dipilihnya bulan Syura dengan
pertimbangan bahwa bulan tersebut menurut kepercayaan masyarakat Jawa adalah
bulan yang keramat, di samping juga memang merupakan pesan Buyut Karti
seminggu sebelum pelaksanaan acara, warga yang berada di dusun Krajan
mengadakan kegiatan gotong-royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan
dusunnya.

Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan acara, ibu-ibu


mempersiapkan sesajen yang terdiri
dari tumpeng, peras, air kendi,
kinang ayu, aneka jenang, inkung
ayam dan lain sebagainya. Selain
itu, dipersiapkan pula berbagai
perlengkapan upacara seperti para
bungkil, singkal (alat bajak
tradisional), pacul (cangkul), peras
pitung tawar, beras, pisang, kelapa
dan bibit tanaman padi. Seluruh
sesajen tersebut selain untuk acara
slametan, nantinya juga akan
ditempatkan di setiap perempatan
jalan yang ada di dusun Krajan.

Gambar 2. Salah satu narasumber Pada malam harinya, para pemuda


menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela
pohon, jagung, pala gantung, pala pendhem, dan pala kesimpar. Tanaman tersebut
kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan dusun 7 Krajan. Selain itu, mereka
mempersiapkan pula genangan air mirip bendungan yang nantinya akan
digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang telah ditanam itu. Pada pagi
hari pelaksanaan acara, sekitar pukul 08.00 WIB, diadakan slametan di Petaunan
yang dihadiri oleh panitia, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat
sekitarnya.

10
Pelaksanaan acara slametan di tempat ini berlangsung cukup sederhana,
hanya berupa sambutan dari pihak panitia, kemudian dilanjutkan dengan doa
secara islami yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya para peserta yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang,
perangkat dusun, tiga pasang kebo-keboan (dulu ada 15 pasang), para pembawa
sesajen, pemain penabuh, pemain barongan dan warga dusun sekitar melakukan
pawai ider bumi mengeliling dusun Krajan. Pawai ini dimulai dari Petaunan
kemudian berjalan menuju ke genangan air sebagai tempat berkubang kerbau
yang berada di ujung jalan dusun Krajan. Sesampai di genangan itu, jagatirta
(petugas pengatur air) segera membuka penutup air agar mengalir ke sepanjang
jalan dusun yang telah ditanami tadi. Sementara air terus mengalir, para peserta
upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga dusun Krajan. Di
persawahan inilah kebo-kebo tersebut mulai memperlihatkan perilakunya yang
mirip kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-
kebo itu sedang berkubang, sebagian peserta segera turun ke sawah untuk
menaburkan benih padi. Setelah benih ditaburkan, para peserta yang lain segera
berebut untuk mengambil benih padi tersebut. Benih-benih itu dipercaya oleh
sebagian warga masyarakat dapat dijadikan penolak bala, mendatangkan
keberuntungan dan dapat membawa berkah. Pada saat para peserta
memperebutkan benih itu, kebo-kebo jadian yang sebelumnya telah dibacakan
mantra oleh pawang sehingga kepileng (trance, tidak sadar) itu akan mengejar
para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun demikian,
kerbau-kerbau itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang
pawang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya. Setelah dirasa cukup, sang
pawang akan menyadarkan kembali kebo-kebo itu dengan cara mengusapkan air
peras pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke
Petaunan, tempat berakhirnya acara ritual kebo-keboan.

4.2 Kesyirikan dalam Kebo-keboan


Kebo-keboan di Alasmalang di hampir keseluruhan masyarakat Using
mengandung spirit religius yang khas, karena pada dasarnya adalah upaya sosial
dan doa (ritual) untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi

11
kesejahteraan dan keselamatan hidup masyarakat. Kondisi yang demikian itu,
pada masyarakat agraris terwujud di antaranya pada kesuburan tanah, panenan
yang melimpah, dan terhindar dari segala macam malapetaka.
Ketika penulis menanyakan perihal tradisi masyarakat yang bagi kalangan
tertentu dianggap mengandung unsur kemusyrikan ini, Ustadz tersebut menjawab
dengan memberi ilustrasi yang menarik : "Seandainya ketika sedang lewat di
sebuah jalan, tiba-tiba saya dicegat (bahasa Using yang berarti dihadang)
preman yang minta uang, saya akan memberinya sekedar yang saya mampu, mau,
dan pantas. Itu saya lakukan demi untuk keselamatan saya dan orang yang
bersama saya. Karena kalau tidak diberi, dia (si preman) pasti akan mengganggu
perjalanan saya bahkan mungkin juga orang lain yang melalui jalan itu"
(Warsito, wawancara: 9 Juli 2011).
Penjelasan Warsito di atas sekaligus menunjukkan sikapnya terhadap
tradisi kebo-keboan yang dilakukan oleh masyarakat Alasmalang. Ia
mengumpamakan ritual itu sebagai suatu permintaan yang harus dipenuhi oleh
manusia sebagai persembahan kepada makhluk halus (jin). Bila hal itu tidak
dilakukan, jin yang diumpamakan preman itu pasti mengganggu ketentraman
masyarakat. Ia percaya jin itu ada dan di antara mereka membutuhkan santunan
berupa persembahan kebo-keboan itu.
Menurut Islam, bahwa memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain
Allah akan dianggap sebagai syirik besar.
Dalam QS Huud (11) :15-16 “barang siapa yang menghendaki kehiudpan dunia
dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka itu di dunia tidak akan dirugikan
(15).itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan (16).”
Di tempat yang lain, seorang tokoh agama (Subkhi, wawancara: 9 Juli
2011), menganggap tradisi kebo-keboan itu sebagai hal yang wajar untuk ekspresi
kebudayaan. Memang dalam ritual tersebut ada beberapa orang yang masih
percaya adanya kekuatan magic yang akan membantu untuk mengantarkan
manusia pada tujuan yang diinginkan, tapi itu hanya sebagian kecil. Kebanyakan

12
warga, yang terbilang kurang agamis sekalipun hanya menganggap sebagai
kekayaan budaya yang perlu dilestarikan. Kalaupun ada orang yang percaya
terhadap kekuatan makhluk halus yang mengiringi ritual tersebut tidak sampai
mengantar mereka kepada syirik. Apalagi al Quran, sebagai pegangan pokok
orang Islam juga sudah menyebut eksistensi makhluk halus yang disebut jin
tersebut (QS al Jinn: 1-2). Oleh karena itu, tokoh ini tetap merekomendasikan agar
acara tersebut dilestarikan, sementara keyakinan masyarakat terhadap adanya
kekuatan magic tidak perlu ditentang secara frontal, tapi cukup dengan dibina dan
ia yakin kelak akan hilang seiring dengan perkembangan pendidikan dan
pengetahuannya.

13
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, ritual Kebo-keboan
yang digelar setahun sekali di desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh,
Banyuwangi ini memang dapat berpotensi syirik besar apabila tidak disikapi
dengan baik. Anggapan masyarakat terdahulu mengenai Kebo-keboan merupakan
suatu ritual wajib yang dipersembahkan kepada makhluk gaib untuk memperoleh
kemakmuran (selain Allah), maka ini dianggap syirik. Namun, saat ini masyarakat
Alasmalang sudah mengerti bahwa meminta kemakmuran selain kepada Allah
SWT merupakan dosa besar, sehingga kini ritual Kebo-keboan hanya
dilaksanakan untuk kebutuhan estetika seni belaka. Hal ini dilakukan agar
masyarakat terbebas dari dosa syirik.
5.2 Saran
perlu diadakan penelitian tentang kebudayaan dan adat istiadat lain yang
ada di Banyuwangi, seperti petik laut dan seblang. Pasalnya kedua ritual ini sangat
akrab di kalangan masyarakat, terutama masyarakat Banyuwangi. Agar dapat
diketahui tentang asumsi masyarakat terhadap ritual tersebut.

14

Anda mungkin juga menyukai