Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan mengenai sanitasi di Indonesia, khususnya tentang perilaku buang air besar
sembarangan (BABs), seharusnya dapat terselesaikan pada akhir tahun 2014 berdasarkan
sasaran dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-
2014. Target Millenium Development Goal’s (MDG’s) yaitu “menurunkan hingga 50%
penduduk yang kesulitan memperoleh akses terhadap air minum dan sanitasi yang memadai”
juga sudah berakhir pada akhir tahun 2015. Berdasarkan milestone Sustainable Development
Goal’s (SDGs) setiap negara diharapkan dapat mewujudkan 100% akses sanitasi untuk
penduduknya sebagaimana tercantum pada tujuan 6 pada tahun 2030. RPJMN 2014-2019
menargetkan bahwa pada akhir tahun 2019, Indonesia harus mencapai Universal Access
(UA). Artinya, pada tahun 2019 masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan maupun
perdesaan sudah memiliki akses 100% terhadap sumber air minum aman dan fasilitas sanitasi
yang layak.
Berdasarkan data WHO dan UNICEF hingga tahun 2015, terdapat sekitar 2,4 miliar
orang yang masih berperilaku buang air besar sembarangan (WHO, 2015). Hasil Riskesdas
2010 menunjukan 25% masyarakat menggunakan jamban tidak sehat dan 17,7 % masih
melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABs). Studi tahun 2013 menunjukkan bahwa di
Indonesia hanya terdapat 12,9% rumah tangga (RT) yang tidak memiliki fasilitas buang air
besar. Lima provinsi tertinggi yang tidak memiliki fasilitas BAB/ masih berperilaku BAB
sembarangan adalah Sulawesi Barat (34,4%), NTB (29,3%), Sulawesi Tengah (28,2%),
Papua (27,9%), dan Gorontalo (24,1%). Selain itu, proporsi RT yang memiliki akses terhadap
fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–UNICEF) di Indonesia sebesar 58,9 persen
(Riskesdas, 2013).

Data yang diperoleh hingga bulan Juni tahun 2016, dari 514 Kabupaten/Kota di Indonesia
baru ada 5 Kabupaten/Kota yang sudah terdeklarasi sebagai Kabupaten/Kota Open
Defecation Free (ODF) atau Stop Buang Air Besar sembarangan (SBS) yaitu Kabupaten
Grobogan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan dan Kota Madiun.

1
Tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia adalah masalah sosial budaya dan
perilaku penduduk yang terbiasa buang air besar (BAB) di sembarang tempat, khususnya ke
badan air yang juga digunakan untuk mencuci, mandi dan kebutuhan higienis lainnya. Oleh
karena itu diperlukan suatu strategi nasional sanitasi total berbasis masyarakat untuk merubah
perilaku hygienis dan peningkatan akses sanitasi. Hal ini sejalan dengan komitmen
pemerintah dalam mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015,
yaitu meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar secara berkesinambungan kepada
separuh dari proporsi penduduk yang belum mendapatkan akses.
Banyak di antara warga yang merasa sudah buang air besar tidak disembarang tempat,
namun mereka tidak menyadari bahwa saluran dari water closet (WC) mereka mengalir
langsung menuju saluran air drainase/badan air tanpa adanya tempat penampungan tinja
berupa tangki septik atau cubluk(Winters et al., 2014). Hal ini merupakan permasalahan yang
cukup menantang, khususnya bagi pemerintah daerah. Berdasarkan data dari Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Surabaya tahun 2012 tercatat 9.129 rumah tangga yang
berada di Surabaya belum memiliki tempat penampungan tinja (tangki septik/ cubluk).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Faktor apa saja yang melatarbelakangi sebagian warga di dusun sidomulyo masih
belum membangun jamban sehat?
2. Apa opsi teknologi jamban sehat yang tepat untuk dibangun di dusun sidomulyo?
3. Bagaimana strategi pembiayaan pembangunan jamban sehat yang tepat diaplikasikan
sesuai dengan kondisi masyarakat di dusun sidomulyo?
4. Apakah pengadaan jamban sehat di dusun sidomulyo bisa dilaksanakan?

1.3 Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Mengubah Perilaku masyarakat di dusun Sidomulyo dari perilaku buang air

besar sembarangan (BASBs) dalam mewujudkan target ODF di dusun

Sidomulyo

2
1.3.2. Tujuan Khusus

1) Mengetahui faktor faktor penyebab belum tercapainya target ODF di dusun

Sidomulyo.

2) Mengetahui pemecahan masalah belum tercapainya target ODF di di dusun

Sidomulyo.

1.4. Manfaat Kegiatan

1.4.1 Manfaat bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan

1. Memberikan informasi tentang penyebab belum tercapainya ODF di dusun

Sidomulyo

2. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan dapat menjadi program rutin Puskesmas

BLimbing untuk wilayah desa lain sehingga dapat terwujud desa Open Defecation

Free di wilayah cakupan Puskesmas Blimbing.

1.4.2 Manfaat bagi Dokter Internsip dan sejawat lainnya

1. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku buang air besar sembarangan dan tahapan cara penanggulangan masalah

tersebut melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat akan dampak buruk dari buang air besar

sembarangan (BABS).

2. Berkurangnya angka kejadian penyakit menular kususnya diare yang disebabkan

oleh karena buang air besar sembarangan (BABS).

3. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga kesehatan

lingkungan.

4. Meningkatnya pengetahuan mengenai jamban sehat disertai peningkatan kesadaran

untuk berperilaku buang air besar di jamban.

3
4
Diskusi Dengan
FISH BONE HasilGambar 1. Diagram FishboneOperasional dan Akademik
Pembimbing
MAN MONEY MATERIAL

Kurangnya
Kurangnya kerjasama
Kuantitas dan Kualitas Kurangnya dana
kerjasama tenaga
tenaga kesehatan di Belum adanya
tenaga kesehatan dalam kesehatan Dusun
untuk promosi ODF
desa Genjor sarana Jamban
merubah perilaku Sidomulyo
sehat umum
masyarakat belum Kurangnya dana
optimal Kurangnya motivasi untuk kegiatan
masyarakat mengenai pemicuan Kurangnya ketersediaan
Kurangnya partisipasi dari ODF buku panduan,
kepala desa ataupun perangkat Kurang maksimalnya leaflet,spanduk,dan poster
desa dalam tercapainya ODF penggunaan ADD
Kurangnya partisipasi mengenai ODF
masyarakat dalam untuk sarana
Kurangnya kesadaran masyarakat pelaksanaan pemicuan kesehatan
untuk tidak melakukan BABS

Kurangnya kepedulian Material pembuatan


Tingkat pendidikan yang rendah dan masyarakat jamban sehat
pekerjaan yang terbatas harganya masih susah Belum tercapainya
mempengaruhi wawasan tentang ODF dijangkau Belum tercapainya ODF
cakupan ODF di Desa
dusun Sidomuly
Genjor
Budaya masyarakat
yang masih BABS masih tinggi Efektifitas pemicuan
masih belum
optimal Kurangnya waktu Sosialisasi
Sosialisasi Promosi pengelolaan air
dalam pelaksanaan kepada guru,
kepadaguru bersih kurang
Sungai masih program ODF tokoh
dan tokoh
banyak digunakan Keterlibatan Perangkat masyarakat
masyarakat,
sebagai saluran desa dan tokoh masih
Tiwi Sada
pembuangan masyarakat belum kurang
masih kurang Promosi pembuatan
maksimal
jamban sehat yang murah
Jadwal dan rencana
dan efisien masih kurang
program ODF masih
Promosi
PromosiODFODFdi
Kurangnya belum terlaksana
Desa Genjor
kurang
ketersediaan air dengan baik
belum optimal
optimal
bersih

5
METHOD TIME MARKET
ENVIRONMENT
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat


STBM adalah pendekatan dengan proses fasilitas yang sederhana yang dapat merubah

sikap lama, kewajiban sanitasi menjadi tanggung jawab masyarakat. Dengan satu

kepercayaan bahwa kondisi bersih, nyaman dan sehat adalah kebutuhan alami manusia.

Pendekatan yang dilakukan dalam STBM menimbulkan rasa malu kepada masyarakat

tentang kondisi lingkungannya yang tidak bersih dan tidak nyaman yang ditimbulkan

karena kebiasaan BAB di sembarang tempat. STBM adalah pendekatan untuk mengubah

perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan

(Kemenkes RI, 2014).

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai STBM adalah

pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan

masyarakat dengan metode pemicuan.

Community Led Total Sanitation (CLTS) atau STBM adalah suatu pendekatan

perubahan perilaku higiene dan sanitasi secara kolektif melalui pemberdayaan

masyarakat untuk Stop BAB Sembarangan atau Open Defecation Free (ODF). Program

ini juga merupakan suatu proses untuk menyemangati serta memberdayakan masyarakat

untuk menghentikan BAB di tempat terbuka, membangun serta menggunakan jamban,

dan mengajak masyarakat untuk menganalisis profil sanitasinya. Dalam pelaksanaannya,

terdapat prinsip-prinsip pemicuan seperti tanpa subsidi kepada masyarakat, tidak

menggurui, tidak memaksa dan tidak mempromosikan jamban, masyarakat sebagai

pemimpin, serta prinsip totalitas (seluruh komponen masyarakat terlibat dalam analisis

permaslaahan, perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan dan pemeliharaan)

(Sekretariat Nasional STBM, 2014).

5
Gambar 1. Tangga Perubahan Perilaku STBM
Adapun tujuan dari program Sanitasi Total adalah menciptakan suatu kondisi

masyarakat pada suatu wilayah yang mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat,

mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum

memegang bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan, mengelola dan

menyimpan air minum dan makanan yang aman, serta dapat mengelola limbah rumah tangga

(cair dan padat) (Sekretariat Nasional STBM, 2014).

6
Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dengan lima pilar akan

mempermudah upaya meningkatkan akses sanitasi masyarakat yang lebih baik serta

mengubah dan mempertahankan keberlanjutan budaya hidup bersih dan sehat. Pelaksanaan

STBM dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian yang

diakibatkan oleh sanitasi yang kurang baik, dan dapat mendorong tewujudnya masyarakat

sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Pilar STBM terdiri atas perilaku:

a. Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS);

b. Cuci TanganPakai Sabun (CTPS);

c. PengelolaanAir Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMMRT);

d. Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PSRT); dan

e. Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga (PLCRT) (Kemenkes RI, 2014)

2.2 Program SToPS

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat merupakan program Nasional dalam rangka

percepatan peningkatan akses terhadap sanitasi Dasar di Indonesia. Selain itu program ini

juga erat kaitannya dengan target Millenium Developent Goals (MDGs) dan RPJMN.

Dalam upaya meningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pembangunan

jamban dan lingkungan yang sehat secara mandiri perlu disusun rencana strategi Sanitasi

Total dan Pemasaran Santasi (SToPS) yang terdiri dari 3 komponen program SToPS

yang meliputi:

1. Peningkatan demand masyarakat terhadap jamban yang sehat melalui pemicuan

masyarakat tentang lingkungan tempat tinggal yang kurang sehat yang berdampak

terhadap kehidupan sosial masyarakat, promosi tentang berbagai pilihan jamban

serta pentingnya hidup bersih dan sehat.

7
2. Peningkatan supply dengan memperbanyak jenis pilihan jamban yang disediakan

di pasar dengan berbagai gradasi harga akan meningkatkan daya beli masayarakat

terhadap material sanitasi dan permintaan untuk penyediaan material sanitasi yang

lebih banyak.

3. Peningkatan kemampuan stakeholder dalam upaya memfasilitasi pengembangan

program sanitasi secara swadaya oleh masyarakat dan mengubah paradigma

bahwa pendekatan program sanitasi tidak berorientasi pada peningkatan cakupan

fisik melalui subsidi, namun perubahan perilaku secara kolektif dan inisiatif

dilakukan oleh masyarakat. Pendanaan yang disediakan oleh lembaga publik

termasuk pemerintah dan lembaga donor lainnya difokuskan pada fasilitas

masyarakat.

Menurut Sekertariat Nasional STBM, 2014, Pembinaan masyarakat sesuai dengan

pentahapan yang harus dilalui masyarakat dalam upaya menuju sanitasi total yang

dimulai dengan pemicuan agar tidak buang air di sembarang tempat, masyarakat

mencapai status ODF dan menuju sanitasi total. Sanitasi total dicapai dengan memenuhi:

1. Semua masyarakat berhenti buang air besar di sembarang tempat

2. Semua masyarakat telah mempunyai dan menggunakan jamban yang sehat dan

memeliharanya dengan baik

3. Semua masyarakat telah terbiasa mencuci tangan yang benar dengan sabun setelah

BAB, setelah menceboki anak, sebelum makan, sebelum memberi makan bayi,

dan sebelum menyiapkan makanan

4. Semua masyarakat telah mengelola dan menyimpan air minum dan makanan

dengan aman

5. Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat) dengan benar.

Sementara itu satu komunitas dikatakan telah ODF, apabila:

8
1. Semua masyarakat telah BAB hanya di jamban dan membuang tinja / kotoran

bayi hanya ke jamban

2. Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar

3. Tidak ada bau tidak sedap, akibat pembuangan tinja / kotoran manusia

4. Ada peningkatan kualitas jamban yang ada supaya semua menuju jamban sehat

5. Ada mekanisme monitoring peningkatan kualitas jamban

6. Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk

mencegah kejadian BAB di sembarang tempat

7. Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai

100% KK mempunyai jamban sehat

8. Di sekolah yang terdapat di komunitas tersebut, telah tersedia sarana jamban dan

tempat cuci tangan dengan sabun yang dapat digunakan murid-murid pada jam

sekolah.

2.3 Definisi Pembuangan tinja atau Buang Air Besar

Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen

Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut

sebagai sanitasi yang meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar,

jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan

MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas

tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan

tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau Sarana Pembuangan

Air Limbah (SPAL). Kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-

UNICEF, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan

open defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan

9
kotorannya milik sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya

tangki septik atau SPAL.

Pengertian lain terkait jamban menyebutkan bahwa jamban keluarga adalah suatu

bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan mengumpulkan kotoran manusia

yang lazim disebut jamban atau WC sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu

tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori

lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktik sehari-hari

bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya sama

dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian

pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air

limbah.

2.4 Open Defecation

2.4.1 Definisi

Open defecation (OD) atau buang air besar sembarangan (BABS) adalah kegiatan

buang air besar yang tidak pada tempatnya, yaitu di jamban yang sehat. Tempat yang

sering digunakan untuk buang air besar sembarangan diantaranya adalah sungai, hutan,

rel kereta api, kolam ikan, danau, dan tempat terbuka lainnya (Depkes RI, 2008).

2.4.2 Epidemiologi

Tantangan yang dihadapi dunia terkait dengan kesehatan dan sanitasi lingkungan

masih sangat besar. Salah satunya adalah masih banyaknya masyarakat dunia yang

melakukan kebiasaan yang kurang sehat, termasuk buang air besar sembarangan (BABS)

atau open defecation (OD). WHO melaporkan ada sekitar 1,1 miliar penduduk dunia

yang masih buang air besar sembarangan. Jumlah ini sama dengan 15% dari total

penduduk dunia. Dengan jumlah sekitar 949 juta diantaranya adalah yang tinggal di

pedesaan.

10
Negara-negera berikut adalah yang menyumbang hampir tiga per empat dari total

penduduk dunia yang masih melakukan praktik buang air besar sembarangan:

 India (626 juta)

 Indonesia (63 juta)

 Pakistan (40 juta)

 Ethiopia (38 juta)

 Nigeria (34 juta)

 Sudan (19 juta)

 Nepal (15 juta)

 China (14 juta)

 Niger (12 juta)

 Burkina Faso (9.7 juta)

 Mozambique (9.5 juta)

 Cambodia (8.6 juta)

(WHO/UNICEF joint monitoring report, 2012)

Di Indonesia sendiri praktik buang air besar sembarangan ini juga masih menjadi

problem yang dari dulu hingga sekarang masih sulit untuk dicari solusinya. Tantangan

berat yang harus dihadapi adalah masalah sosial budaya dan perilaku penduduk yang

terbiasa buang air besar di sembarang tempat, khususnya ke badan air yang juga

digunakan untuk mencuci, mandi dan kebutuhan higienis lainnya (Depkes RI, 2008)

Data Susenas tahun 2007 menunjukkan bahwa rumah tangga tidak menggunakan

fasilitas BAB adalah 24,8% dan 58,9% punya sendiri, sisanya menggunakan fasilitas

bersama dan atau fasilitas jamban umum. Masih sekitar 70 juta penduduk Indonesia yang

BABS, dengan jumlah terbesar berada di perdesaan (Apriatman Nur, 2009).

11
Perilaku buang air besar (BAB) sembarangan masih terjadi di Indonesia. Di

sejumlah daerah, masyarakat masih BAB sembarangan di kali atau sungai. Data Joint

Monitoring Program WHO/UNICEF 2014, sebanyak 55 juta penduduk di Indonesia

masih berperilaku BAB sembarangan. Mereka pun bisa mandi dan mencuci pakaian di

sungai yang sama. Akibatnya, mereka rentan terkena penyakit diare. Selain diare, balita

mudah terserang pneumonia dari pencemaran tinja melalui udara.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2012, sebanyak 39-40

juta orang yang buang air besar sembarangan, itu termasuk orang yang mempunyai WC,

namun masih membuang kotorannya ke sungai. Riset yang dilakukan UNICEF dan

WHO, juga menyatakan lebih dari 370 balita Indonesia meninggal akibat perilaku buruk

BAB sembarangan.

WHO juga mencatat 88 persen angka kematian akibat diare disebabkan kesulitan

mengakses air bersih dan keterbatasan sistem sanitasi. Hal itu juga diperparah oleh

perilaku BAB sembarangan. Selain penyakit perilaku BAB sembarangan juga

memperbesar risiko yang menghambat pertumbuhan fisik anak-anak.

Untuk menekan angka kematian akibat diare ini, semua pihak harus sadar dan

bersegera membuat sanitasi termasuk toilet yang sehat. Hal ini selaras dengan kegiatan

yang dicanangkan pemerintah dalam bentuk Sanitasi Total Berbasis Masyarakat

(STBM).

2.4.3 Penyakit Akibat Open Defecation

Diare menjadi penyakit utama yang paling banyak ditimbulkan akibat buang air

besar sembarangan. Selain diare, ada banyak lagi penyakit-penyakit yang dapat

diakibatkan oleh kebiasaan buruk buang air besar sembarangan, diantaranya adalah

penyakit muntaber, kecacingan, dan polio. Penelitian yang pernah dilakukan

menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di lingkungan dengan angka prevalensi

12
buang air besar yang tinggi akan menunjukkan gejala pertumbuhan fisik yang terhambat,

sehingga cenderung berperawakan pendek (stunting)..

Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman,

masalah pembuangan kotoran manusia semakin meningkat. Dilihat dari segi kesehatan

masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok

untuk sedini mungkin diatasi, karena kotoran manusia adalah sumber penyebaran

penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yangbersumber dari tinja dapat

melalui berbagai macam jalan atau cara.

Beberapa penyakit yang ditularkan oleh tinja manusia antara lain : tifus, disentri,

kolera, bermacam-macam cacing (gelang, kremi, tambang, pita), schistosomiasis dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

Gambar 2. Alur Penularan Penyakit Akibat ODF dan Pemutusnya

Diagram di atas menunjukkan alur penularan penyakit yang diakibatkan oleh

kotoran atau tinja manusia yang dbuang secara sembaragan, yang selanjutnya disebut

dengan “Diagram F”. Kotoran atau tinja manusia (Faeces) yang dibuang sembarangan,

13
baik di sungai maupun di kebun, jika hygine manusia tidak baik dan selanjutnya air di

sungai tersebut kemudian juga digunakan untuk kegiatan lainnya, maka akan terjadi

perpindahan kuman melalui beberapa media, yaitu jari/tangan (finger), lalat (flies),

makanan (food), permukaan tanah (fields), dan cairan (fluids).

Keberadaan lalat sangat berperan dalam penyebaran penyakit diare, karena lalat

dapat berperan sebagai reservoir. Lalat biasanya berkembang biak di tempat yang basah

seperti sampah basah, kotoran hewan, tumbuh-tumbuhan yang membusuk, dan

permukaan air kotor yang terbuka. Pada waktu hinggap, lalat mengeluarkan ludah dan

tinja yang membentuk titik hitam. tanda-tanda ini merupakan hal yang penting untuk

mengenal tempat lalat istirahat. Pada siang hari lalat tidak makan tetapi beristirahat di

lantai dinding, langit-langit, rumput-rumput, dan tempat yang sejuk. Juga menyukai

tempat yang berdekatan dengan makanan dan tempat berbiaknya, serta terlindung dari

angin dan matahari yang terik. Di dalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat

makanan, kawat listik dan tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya

pada ketinggian tidak lebih dari 5 (lima) meter.

Selain diare, penyakit yang dapat timbul akibat perilaku open defecation adalah cacingan,

Penyakit kecacingan biasanya menyerang anak-anak dan disebabkan oleh:

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) berkembang biak di dalam perut manusia dan

di tinja. Telur cacing dapat masuk kedalam mulut melalui makanan yang tercemar

atau tangan yang tercemar dengan telur cacing. Telur Cacing menetas menjadi cacing

didalam perut, selanjutnya keluar bersama-sama tinja.

2. Kecacingan yang disebabkan karena Cacing Kremi (Enterobius vermicularis). Tempat

berkembang biak jenis cacing ini di perut manusia dan tinja, dengan cara penularan

menelan telur cacing yang telah dibuahi, dapat melalui debu, makanan atau jari tangan

(kuku).

14
3. Penyakit kecacingan lain, disebabkan oleh Cacing tambang (Ankylostomiasis

Duodenale). Jenis cacing ini mempunyai tempat berkembang biak Perut manusia dan

tinja. Cara Penularan dimulai ketika telur dalam tinja di tanah yang lembab atau

lumpur menetas menjadi larva. Kemudian larva tersebut masuk melalui kulit,

biasanya pada telapak kaki. Pada saat kita menggaruk anus, telur masuk kedalam

kuku, jatuh ke sprei atau alas tidur dan terhirup mulut. Pencegahan: yang dapat

dilakukan adalah:

1. Buang air besar hanya di jamban

2. Lubang WC/jamban ditutup

3. Bila belum punya, anjurkan untuk membangun sendiri atau berkelompok dengan

tetangga

4. Plesterisasi lantai rumah

5. Cuci sayuran dan buanh-buahan yang akan dimakan dengan air bersih

6. Masak makanan sampai benar-benar matang

7. Menutup makanan pakai tudung saji

8. Cuci tangan pakai sabun sebelum makan

9. Cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar

10. Gunakan selalu alas kaki

11. Potong pendek kuku

12. Tidak gunakan tinja segar untuk pupuk tanaman

2.4.4 Stop Buang Air Besar Sembarangan

Suatu kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar

sembarangan. Perilaku SBS diikuti dengan pemanfaatan sarana sanitasi yang saniter

berupa jamban sehat. Saniter merupakan kondisi fasilitas sanitasi yang memenuhi

standar dan persyaratan kesehatan yaitu:

15
a. Tidak mengakibatkan terjadinya penyebaran langsung bahan-bahan yang

berbahaya bagi manusia akibat pembuangan kotoran manusia; dan

b. Dapat mencegah vektor pembawa untuk menyebar penyakit pada pemakai dan

lingkungan sekitarnya.

Jamban sehat efektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit. Jamban

sehat harus dibangun, dimiliki, dan digunakan oleh keluarga dengan penempatan (di

dalam rumah atau di luar rumah) yang mudah dijangkau oleh penghuni rumah.

Standar dan persyaratan kesehatan bangunan jamban terdiri dari :

a) Bangunan atas jamban (dinding dan/atau atap)

Bangunan atas jamban harus berfungsi untuk melindungi pemakai dari

gangguan cuaca dan gangguan lainnya.

b) Bangunan tengah jamban

Terdapat 2 (dua) bagian bangunan tengah jamban, yaitu:

1. Lubang tempat pembuangan kotoran (tinja dan urine)yang saniter

dilengkapi oleh konstruksi leher angsa. Pada konstruksi sederhana (semi

saniter), lubang dapat dibuat tanpa konstruksi leher angsa, tetapi harus

diberi tutup.

2. Lantai Jamban terbuat dari bahan kedap air, tidak licin, dan mempunyai

saluran untuk pembuangan air bekas ke Sistem Pembuangan Air Limbah

(SPAL).

c) Bangunan Bawah

Merupakan bangunan penampungan, pengolah, dan pengurai kotoran/tinja

yang berfungsi mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi dari tinja

melalui vektor pembawa penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terdapat 2 (dua) macam bentuk bangunan bawah jamban, yaitu:

16
1. Tangki Septik, adalah suatu bak kedap air yang berfungsi sebagai

penampungan limbah kotoran manusia (tinja dan urine). Bagian padat dari

kotoran manusia akan tertinggal dalam tangki septik, sedangkan bagian

cairnya akan keluar dari tangki septik dan diresapkan melalui

bidang/sumur resapan.Jika tidak memungkinkan dibuat resapan maka

dibuat suatu filter untuk mengelola cairan tersebut.

2. Cubluk, merupakan lubang galian yang akan menampung limbah padat

dan cair dari jamban yang masuk setiap harinya dan akan meresapkan

cairan limbah tersebut ke dalam tanah dengan tidak mencemari air tanah,

sedangkan bagian padat dari limbah tersebut akan diuraikan secara

biologis. Bentuk cubluk dapat dibuat bundar atau segiempat, dindingnya

harus aman dari longsoran, jika diperlukan dinding cubluk diperkuat

dengan pasangan bata, batu kali, buis beton, anyaman bambu, penguat

kayu, dan sebagainya (Kemenkes RI, 2014).

2.5 Pengertian Jamban Sehat

Jamban sehat adalah pembuangan tinja yang efektif untuk memutus mata rantai

penularan penyakit. Untuk mencegah, sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja

terhadap lingkungan maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik,

maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat.

Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan-

persyaratan sebagai berikut: tidak mengotori permukaan tanah di seliling jamban tersebut,

tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air tanah di sekitarnya, tidak

dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa dan binatang-binatang lainnya, tidak

17
menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara (maintenance), sederhana desainnya,

murah, dan dapat diterima oleh pemakainya.

Gambar 3. Sanitasi Sehat

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 852 Tahun 2008 tentang Strategi

Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, jamban sehat adalah suatu fasilitas

pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Sementara

pengertian kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh

dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam

tubuh ini berbentuk tinja, air seni dan CO2 (Notoatmodjo, 2010).

18
Gambar 4. Syarat Jamban Sehat

Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah tentu berbeda

dengan teknologi jamban di daerah perkotaan. Oleh karena itu, teknologi jamban di daerah

pedesaan disamping harus memenuhi persyaratan-persyaratan jamban sehat seperti telah

diuraikan di atas, juga harus didasarkan pada sosiobudaya dan ekonomi masyarakat pedesaan.

Tipe-tipe jamban yang sesuai dengan teknologi pedesaan antara lain: jamban cemplung

berventilasi, jamban empang, jamban pupuk, dan septic tank.

Jamban cemplung ini sering kita jumpai di daerah pedesaan di jawa. Tetapi sering

dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya tanpa rumah jamban dan tanpa

tutup. Sehingga serangga mudah masuk dan bau tidak bias dihindari. Disamping itu karena

tidak ada rumah jamban, bila musim hujan tiba maka jamban itu akan penuh oleh air. Hal lain

yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa kakus cemplung itu tidak boleh terlalu dalam.

Sebab bila terlalu dalam akan mengotori air tanah di bawahnya. Dalamnya pit latrine berkisar

antara 1,5-3 meter saja. Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat

dibuat dari bambu, dinding bambu dan atap daun kelapa ataupun daun padi. Jarak dari

sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2.5.1 Jenis-Jenis Jamban

19
Menurut Chayatin (2009), jenis-jenis jamban dibedakan berdasarkan konstruksi dan

cara menggunakannya yaitu:

1. Jamban Cemplung

Bentuk jamban ini adalah yang paling sederhana. Jamban cemplung ini hanya terdiri atas

sebuah galian yang di atasnya diberi lantai dan tempat jongkok. Lantai jamban ini dapat dibuat dari

bambu atau kayu, tetapi dapat juga terbuat dari batu bata atau beton. Jamban semacam ini masih

menimbulkan gangguan karena baunya. Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam

tanah sedalam 2,5 sampai 8 meter dengan diameter 80-120cm. Dindingnya diperkuat dari batu bata

ataupun tidak. Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah jamban tersebut dapat dibuat dari

bambu, dinding bambu dan atap daun kelapa. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15

meter.

2. Jamban Plengsengan

Jamban semacam ini memiliki lubang tempat jongkok yang dihubungkan oleh suatu

saluran miring ke tempat pembuangan kotoran. Jadi tempat jongkok dari jamban ini tidak

dibuat persis di atas penampungan, tetapi agak jauh. Jamban semacam ini sedikit lebih baik

dan menguntungkan daripada jamban cemplung, karena baunya agak berkurang dan

keamanan bagi pemakai lebih terjamin.

3. Jamban Bor

Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat dengan

menggunakan bor. Bor yang digunakan adalah bor tangan yang disebut bor auger dengan

diameter antara 30-40 cm. Jamban bor ini mempunyai keuntungan, yaitu bau yang

ditimbulkan sangat berkurang. Akan tetapi kerugian jamban bor ini adalah perembesan

kotoran akan lebih jauh dan mengotori air tanah.

4. Angsatrine (Water Seal Latrine)

20
Di bawah tempat jongkok jamban ini ditempatkan atau dipasang suatu alat yang

berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl ini berfungsi mencegah timbulnya

bau. Kotoran yang berada di tempat penampungan tidak tercium baunya, karena terhalang

oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang melengkung. Dengan demikian dapat

mencegah hubungan lalat dengan kotoran.

5. Jamban di Atas Balong (Empang)

Membuat jamban di atas balong adalah cara pembuangan kotoran yang tidak

dianjurkan, tetapi sulit untuk menghilangkannya, terutama di daerah yang terdapat banyak

balong. Sebelum kita berhasil menerapkan kebiasaan tersebut kepada kebiasaan yang

diharapkan maka cara tersebut dapat diteruskan dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Air dari balong tersebut jangan digunakan untuk mandi

b. Balong tersebut tidak boleh kering

c. Balong hendaknya cukup luas

d. Letak jamban harus sedemikian rupa, sehingga kotoran selalu jatuh di air

e. Ikan dari balong tersebut jangan dimakan

f. Tidak terdapat sumber air minum yang terletak sejajar dengan jarak 15 meter

g. Tidak terdapat tanam-tanaman yang tumbuh di atas permukaan air

6. Jamban Septic Tank

Septic tank berasal dari kata septic, yang berarti pembusukan secara anaerobic. Nama

septic tank digunakan karena dalam pembuangan kotoran terjadi proses pembusukan oleh

kuman-kuman pembusuk yang sifatnya anaerob. Septic tank dapat terdiri dari dua bak atau

lebih serta dapat pula terdiri atas satu bak saja dengan mengatur sedemikian rupa (misalnya

dengan memasang beberapa sekat atau tembok penghalang), sehingga dapat memperlambat

pengaliran air kotor di dalam bak tersebut. Dalam bak bagian pertama akan terdapat proses

penghancuran, pembusukan dan pengendapan. Dalam bak terdapat tiga macam lapisan yaitu:

21
a. Lapisan yang terapung, yang terdiri atas kotoran-kotoran padat

b. Lapisan cair

c. Lapisan endap

Banyak macam jamban yang digunakan tetapi jamban pedesan di Indonesia pada

dasarnya digolongkan menjadi 2 macam yaitu :

1. Jamban tanpa leher angsa. Jamban yang mempunyai bermacam cara pembuangan

kotorannya yaitu:

a. Jamban cubluk, bila kotorannya dibuang ke tanah

b. Jamban empang, bila kotorannya dialirkan ke empang

2. Jamban leher angsa. Jamban ini mempunyai 2 cara pembuangan kotorannya yaitu:

a. Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl langsung

di atas galian penampungan kotoran

b. Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl tidak

berada langsung di atas galian penampungan kotoran tetapi dibangun terpisah

dan dihubungkan oleh suatu saluran yang miring ke dalam lubang galian

penampungan kotoran (Warsito, 1996).

2.5.2 Kriteria Jamban Sehat

Jamban keluarga sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15 meter

dari sumber air minum

2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus

3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak mencemari

tanah di sekitarnya

4. Mudah dibersihkan dan aman penggunaannya

5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna

22
6. Cukup penerangan

7. Lantai kedap air

8. Ventilasi cukup baik

9. Tersedia air dan alat pembersih (Depkes RI, 2004).

Menurut Arifin dalam Abdullah (2010) ada tujuh syarat-syarat jamban sehat yaitu:

1. Tidak mencemari air

a. Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang

kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Dinding dan dasar

lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

b. Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter.

c. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari

lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.

2. Tidak mencemari tanah permukaan

Jamban yang sudah penuh, segera disedot untuk dikuras kotorannya,

kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

a. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap

minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam

berdarah.

b. Ruangan jamban harus terang karena bangunan yang gelap dapat menjadi

sarang nyamuk.

c. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bias

menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya.

d. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering.

e. Lubang jamban harus tertutup khususnya jamban cemplung.

23
4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

a. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap

selesai digunakan.

b. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus

tertutup rapat oleh air.

c. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk

membuang bau dari dalam lubang kotoran.

d. Lantai jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan

harus dilakukan secara periodik

5. Aman digunakan oleh pemakainya

Untuk tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang

kotoran seperti: batu bata, selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lain

6. Mudah dibersihkan dan tidak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

a. Lantai jamban seharusnya rata dan miring ke arah saluran lubang kotoran.

b. Jangan membuang plastik, puntung rokok atau benda lain ke saluran

kotoran karena dapat menyumbat saluran.

c. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena

jamban akan cepat penuh.

7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

a. Jamban harus berdinding dan berpintu.

b. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar

dari kehujanan dan kepanasan (Abdullah, 2010).

Menurut Ehlers dkk dalam Entjang (2000), syarat-syarat pembuangan kotoran yang

memenuhi aturan kesehatan adalah:

a. Tidak mengotori tanah permukaan

24
b. Tidak mengotori air permukaan

c. Tidak mengotori air dalam tanah

d. Tempat kotoran tidak boleh terbuka

e. Jamban terlindung dari penglihatan orang lain

Menurut Entjang (2000), ciri-ciri bangunan jamban yang memenuhi syarat kesehatan

yaitu harus memiliki:

a. Rumah jamban

Rumah jamban mempunyai fungsi untuk tempat berlindung pemakainya dari

pengaruh sekitarnya. Baik ditinjau dari segi kenyamanan maupun estetika. Konstruksinya

disesuaikan dengan keadaan tingkat ekonomi rumah tangga.

b. Lantai jamban
Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus baik, kuat

dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga disesuaikan dengan

bentuk rumah jamban.

c. Slab (tempat kaki berpijak waktu si pemakai jongkok)

d. Closet (lubang tempat feces masuk)

e. Pit (sumur penampungan feces)

Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang fungsinya sebagai tempat

mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksinya dapat berbentuk sederhana berupa lubang tanah

saja

f. Bidang resapan

Adalah sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang lengkap untuk

mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur kotoran/tinja.

25
2.5.3 Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga

Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik dan

memenuhi syarat kesehatan memiliki manfaat sebagai berikut:

a. Melindungi masyarakat dari penyakit

b. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman

c. Bukan sebagai tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit

d. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan (Azwar, 2000).

2.5.4 Pemeliharaan Jamban

Jamban hendaknya dipelihara baik dengan cara :

a. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering

b. Tidak ada sampah berserakan dan tersedia alat pembersih

c. Tidak ada genangan air di sekitar jamban

d. Rumah jamban dalam keadaan baik dan tidak ada lalat atau kecoa

e. Tempat duduk selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat

f. Tersedia air bersih dan alat pembersih di dekat jamban

g. Bila ada bagian yang rusak harus segara diperbaiki (Depkes RI, 2004).

Terdapat beberapa bagian sanitasi pembuangan tinja antara lain:

1. Rumah Jamban: Berfungsi sebagai tempat berlindung dari lingkungan sekitar, harus

memenuhi syarat ditinjau dari segi kenyamanan maupun estetika. Konstruksi disesuaikan

dengan keadaan tingkat ekonomi rumah tangga.

2. Lantai Jamban: Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya

harus baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga

disesuaikan dengan bentuk rumah jamban.

26
3. Tempat Duduk Jamban: Fungsi tempat duduk jamban merupakan tempat penampungan

tinja, harus kuat, mudah dibersihkan, berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang

mudah diangkat.

4. Kecukupan Air Bersih: Jamban hendaklah disiram minimal 4-5 gayung yang bertujuan

menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban tetap bersih. Juga agar

menghindari kotoran tidak dihinggapi serangga sehingga dapat mencegah penularan

penyakit.

5. Tersedia Alat Pembersih: Tujuan pemakaian alat pembersih, agar jamban tetap bersih

setelah jamban disiram air. Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi

kebersihan lantai agar tidak berlumut dan licin. Sedangkan peralatan pembersih

merupakan bahan yang ada di rumah jamban didekat jamban.

6. Tempat Penampungan Tinja: Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang

berfungsi sebagai tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksi lubang harus kedap

air dapat terbuat dari pasangan batu bata dan semen, sehingga menghindari pencemaran

lingkungan.

7. Saluran Peresapan: Merupakan sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang

lengkap berfungsi mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur tinja.

2.6 Penggunaan Jamban Sehat di Indonesia

Sampai saat ini diperkirakan sekitar 47% masyarakat Indonesia (khususnya yang

tinggal di daerah pedesaan) masih buang air besar sembarangan, seperti di sungai, kebun,

sawah, kolam dan tempat-tempat terbuka lainnya. Masyarakat pedesaan tersebut enggan

untuk buang air besar di jamban karena banyak yang beranggapan membangun jamban

sangat mahal, lebih enak BAB di sungai, tinja dapat digunakan untuk pakan ikan, dan

alasan lain yang dikatakan merupakan kebiasaan sejak dulu dan diturunkan dari nenek

moyang. Perilaku tersebut sangat merugikan kesehatan, karena tinja merupakan media

27
tempat hidup bakteri coli yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit diare dan

berisiko menjadi wabah penyakit bagi masyarakat.

Tinja merupakan bentuk kotoran yang merugikan dan membahayakan kesehatan

masyarakat, maka tinja harus dikelola, dibuang dengan baik dan benar. Maka itu tinja

harus dibuang pada suatu tempat yaitu jamban. Jamban keluarga adalah suatu istilah yang

digunakan sebagai tempat pembuangan kotoran manusia dalam suatu keluarga. Semua

anggota keluarga harus menggunakan jamban untuk membuang tinja, baik anak-anak

(termasuk bayi dan balita) dan orang dewasa. Pembuatan jamban keluarga yang sehat,

sebaiknya mengikuti beberapa syarat, yaitu: tidak mengotori tanah maupun air permukaan

di sekeliling jamban tersebut, tidak dapat terjangkau oleh serangga, terutama lalat dan

kecoak, tidak menimbulkan bau, mudah dipergunakan dan dipelihara, sederhana serta

dapat diterima oleh pemakainya.

2.7 Wirausaha Sanitasi

Dalam kehidupan sosial-masyarakat yang sudah begitu luas ini, seorang wirausaha
tidak selalu memikirkan keuntungan usaha tetapi juga memikirkan tentang hal-hal sosial
seperti peningkatan derajat kesehatan masyarakat, penciptaan lingkungan yang sehat yang
akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Elkington, 1994, sebuah
perusahaan hendaklah menggarisbawahi kebijakannya pada tiga hal, yaitu:

1. Ekonomi, sebagai dasar untuk perhitungan untung rugi

2. Sosial masyarakat, sebagai acuan untuk melihat tanggung jawab

perusahaan kepada masyarakat di lokasi operasionalnya, dan

3. Planet atau lingkungan, untuk melihat tanggung jawab perusahaan

terhadap lingkungannya.

Tiga poin tersebut menjadi sebuah konsep yang disebut konsep Triple Bottom

Line dimana tiga-tiganya merupakan poin penting. Dalam kehidupan bermasyarakat


atau kehidupan sosial, ekonomi memang selalu dinilai sebagai hal yang utama namun tanpa

28
disadari faktor sosial dan lingkungan juga ikut mempengaruhi masyarakat. Sebagai contoh
yang terjadi di masyarakat, suatu kelompok masyarakat yang sedang bersosialisasi satu sama
lain pada lingkungan yang sama, tanpa ada keinginan untuk mensejahterahkan kelompok,
ingin meningkatkan kualitas lingkungan mereka salah satunya dengan mengolah sampah
rumah tangga menjadi kompos yang kemudian secara tidak langsung memberikan mereka
dampak finansial yang baik dan berkelanjutan. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa tidak
hanya dalam perusahaan saja konsep tersebut berlaku. Meskipun hingga saat ini kegiatan-
kegiatan sosial mengenai lingkungan banyak diselenggarakan, aspek ekonomi merupakan
aspek yang dinilai untuk keberhasilan kegiatan tersebut.

Gambar 2.4 Konsep Tripple Bottom Line (Elkington, 1994)

Peran wirausaha sanitasi dalam STBM adalah dapat dijadikan poros jejaring
pemasaran yang ada seperti kader lingkungan, sanitarian, posyandu, sekolah, maupun
pamong desa/tokoh masyarakat. Wirausaha sanitasi memegang peranan penting untuk
menyediakan pasokan sanitasi kepada masyarakat dengan beberapa pilihan dan opsi
pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Wirausaha sanitasi
harus memiliki informasi yang cukup untuk menentukan target pasar yang ingin di tuju,
salah satunya adalah melalui studi formatif atau penelitian sederhana dengan wawancara
ataupun survey langsung.

2.8 Sumber Pendanaan Pembangunan Sanitasi

Pilihan pendanaan dalam hal sanitasi sangat beragam, hal ini dapat disesuaikan
dengan kondisi masyarakat berdasarkan kemampuan dan kemauannya. Untuk melaksanakan

29
pembangunan sanitasi, pemerintah kabupaten/kota dapat memanfaatkan sumber-sumber dana
APBN, APBD Provinsi, dana hibah masyarakat/dunia usaha atau donor luar negeri sebagai
sumber alternatif disamping dari APBD kabupaten/kota.

2.8.1 Pendanaan Pemerintah

1. APBD, merupakan sumber pendanaan pembangunan yang berasal dari daerah


(Kabupaten/Kota, Provinsi).

2. APBN, merupakan sumber pendanaan pembangunan yang berasal dari pemerintah


pusat.

2.8.2 Pendanaan Non Pemerintah

1. Kredit Mikro Sanitasi/ Kredit Bank

Salah satu pilihan pendanaan yang paling efektif untuk membantu orang agar mampu
berinvestasi dalam perbaikan fasilitas dasar sanitasi adalah kredit mikro. Melalui
kredit mikro ini, masyarakat dapat membagi biayanya menjadi beberapa bagian
sehingga tidak terasa berat dan lebih terjangkau. Pembayaran dapat dilakukan secara
mingguan atau bulanan dan biasanya akan terus dilakukan dalam periode 1- 2 tahun.
Istilah “kredit” berasal dari bahasa Yunani “ Credere” yang berarti kepercayaan,
oleh karena itu dasar dari kegiatan kredit adalah kepercayaan. Seseorang atau
semua badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit
(debitur) di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah
dijanjikan itu dapat berupa barang, uang atau jasa. Kepercayaan yang diberikan
kreditur dewasa ini semakin objektif, hal ini terlihat dari kriteria yang ditetapkan oleh
setiap bank sebagai syarat diterimanya permohonan kredit oleh debitur (Suyatno,
2007). Kredit yang diberikan oleh bank dapat didefinisikan sebagai penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Taswan, 2003). Banyak
bank di Indonesia yang menyediakan program kredit mikro, seperti Bank
Pembangunan Daerah (BPD), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Syariah Mandiri

30
(BSM), Bank Sulselbar, Bank Jombang, BPR Kab. Bandung, dan lain- lain. Selain
bank ada juga lembaga keuangan mikro “Non-Bank” seperti Koperasi simpan pinjam
dan juga pengusaha sanitasi seperti pengusaha konstruksi skala kecil yang akan
membangun fasilitas dan memungkinkan konsumennya membayar dengan kredit
(Cahyanto dan Arya,2010).

2. Corporate Sosial Responsibility (CSR)

CSR merupakan program suatu perusahaan sebagai perwujudan tanggung jawab


sosial dalam bentuk kegiatan. Banyak perusahaan Indonesia maupun perusahaan dari
luar negeri yang tertarik untuk berkontribusi dalam inisiatif pembangunan sosial. CSR
merupakan Win-Win solution bagi perusahaan dan masyarakat, dimana perusahan
dan masyarakat sama-sama diuntungkan. Untuk mensosialisasikan dan menawarkan
program dan kegiatan pengembangan sanitasi kepada perusahaan penyelenggara CSR,
pemerintah Kabupaten/Kota dapat berinisiati melaksanakan pertemuan dengan
dibekali dokumen SSK/MPS, khususnya tabel rencana investasi (program, kegiatan
dan penganggaran). Untuk program ini, promotor sanitasi harus aktif kepada
perusahaan yang sekiranya tertarik pada isu lingkungan dan menawarkan untuk
berkontribusi dalam hal pendanaan fasilitas sanitasi. Promotor harus menyiapkan
brosur, file p resentasi, dan proposal teknis sehingga sewaktu-waktu apabila
perusahaan ingin mengerti latar belakang kondisi daerah perencanaan, promotor dapat
dengan baik menyampaikannya (Cahyanto dan Arya,2010).

3. Subsidi dari Lembaga nonpemerintah peduli sanitasi

Karena perbaikan sanitasi di perkotaan harus sesuai dengan peraturan dan standar
yang ada, maka banyak program sanitasi di perkotaan yang memberikan subsidi.
Subsidi tersebut dapat diberikan kepada rumah tangga, baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Contoh pemberian subsidi secara tidak langsung adalah sistem
komunal atau sistem pengelolaan air limbah terpusat. Hal ini dikarenakan biasanya
pemerintah mendanai pembangunan sistemnya (IPALnya) sedangkan tiap rumah
tangga hanya perlu membayar biaya sambungan rumah ke sistem tersebut. sedangkan
contoh subsidi langsung adalah bantuan secara tunai maupun kontribusi dalam bentuk
lainnya secara langsung kepada rumah tangga. Subsidi ini mungkin saja disediakan
kepada semua rumah tangga dalam suatu masyarakat, namun terkadang hanya
tersedia bagi mereka yang rumah tangga miskin dan berpenghasilan rendah.

31
Meskipun terdapat subsidi, biasanya hanya mencakup sebagain dari total biaya yang
diperlukan. Program PNPM-Perkotaan misalnya, sering memberikan subsidi untuk
perbaikan sanitasi, namun hanya disediakan dalam bentuk bahan bangunan dan
bantuan teknis untuk pembangunan jamban sehat. Rumah tangga miskin tersebut tetap
harus menyediakan tenaga kerja, menanggung semua biaya yang terkait dengan
pembangunan dan tentu biaya pemeliharaan dan pengurasan.

4. Wirausahawan Sanitasi

Wirausahawan sanitasi adalah seorang atau sekelompok orang yang menjual jasa
pembangunan jamban dengan sistem pembayaran tunai maupun kredit.
Wirausahawan Sanitasi berperan sebagai katalisator (catalyst) dalam program
percepatan pencapaian target sanitasi, pembantu proses (process helper) dari
pencapaian target sanitasi, dan penghubung sumber daya (resource linker) yaitu antara
penyuplai dan peminta/pemesan. Peran wirausaha sanitasi dalam STBM adalah dapat
dijadikan poros jejaring pemasaran yang ada seperti kader lingkungan, sanitarian,
posyandu, sekolah, maupun pamong desa/tokoh masyarakat. Wirausaha sanitasi
memegang peranan penting untuk menyediakan pasokan sanitasi kepada masyarakat
dengan beberapa pilihan dan opsi pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan masyarakat. Wirausaha sanitasi harus memiliki informasi yang cukup
untuk menentukan target pasar yang ingin di tuju, salah satunya adalah melalui studi
formatif atau penelitian sederhana dengan wawancara ataupun survey langsung.
APPSANI (Asosiasi Pengelola dan Pemberdayaan Sanitasi Indonesia) merupakan
salah satu kelompok pengusaha sanitasi yang memiliki visi dan misi yang serupa,
yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketersediaan jamban sehat yang
terjangkau. Keberadaan APPSANI di Kota Surabaya sudah banyak membantu warga
yang ingin membangun jamban sehat namun keberatan apabila harus membayar tunai,
sehingga APPSANI menyediakan program cicilan jamban.

5. Sumber dari Masyarakat

Tabungan berbasis masyarakat dan kelompok arisan. Hal ini memungkinkan


anggotanya untuk membiayai upaya perbaikan sanitasinya dengan memberikan uang
dalam jumlah kecil setiap bulannya. Cara pengelolaan dana biasanya diputuskan
sendiri didalam kelompok. Program seperti ini memiliki potensi sukses yang tinggi
karena anggotanya akan saling mendukung walaupun mungkin akan membutuhkan

32
waktu yang lama agar semua anggota dapat fasilitas sanitasi yang layak. Selain itu ada
juga masyarakat yang menjadi donator, dimana beberapa masyarakat mungkin
memiliki anggota yang sebelumnya sukses dan memiliki rejeki berlebih yang ia
salurkan untuk membantu anggota masyarakat yang lain untuk memperbaiki sarana
sanitasinya.

2.9 Studi Kasus Pembiayaan Pembangunan Jamban

Beberapa contoh skema pembiayaan terhadap akses sanitasi dan berhasil tidak hanya
di Indonesia namun juga di beberapa negara berkembang lainnya. Seperti di Lesotho
(Afrika), pemerintah memberikan dana pinjaman hanya untuk sanitasi dan masyarakat yang
ingin meminjam dana tersebut harus menyedikan deposit sebesar 40%. Hal ini memang
sedikit memberatkan namun yang menjadi kunci kerberhasilan dari program sanitasi biaya
rendah ini adalah desain jamban yang disukai dan murah, hibah dan subsidi diminimalkan
sehingga warga cenderung tidak meminta bantuan. Di Honduras, skema pembiayaan sanitasi
mempunyai tujuan untuk mengembangkan kapasitas LSM yang ada dalam pembiayaan
mikro, sehingga kelebihan yang didapat adalah tidak diperlukan jaminan dan tingkat
pengembalian dana mencapai 95%, dalam pelaksanaan sistem pembiayaan ini, kunci
keberhasilannya adalah fleksibilitas pilihan, jangka waktu dan kualitas jamban yang
ditawarkan, kemudian tidak dipakai pendekatan one size fit all, lalu disediakan tukang
sanitasi. Lain lagi dengan di India, di negara ini perempuan diberi peran penting untuk
merencanakan dan melaksanakan skema pembiayaan jamban. Kelebihan dari pemilihan
perempuan ini akan mengurangi resiko gagal bayar dengan membentuk kelompok solidaritas/
kader lingkungan yang beranggotakan kurang dari 10 orang. Selain itu, apabila perempuan
atau ibu rumah tangga ikut terlibat dapat membantu cepat tersedianya jamban dan dalam
pengelolaan dan pengoperasian jamban, mereka memiliki rasa memiliki yang tinggi
(Mungkasa, 2004).

Jadi keberhasilan suatu program sanitasi dapat ditentukan oleh berbagai macam aspek
yang sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya, tidak hanya berpacu dalam aspek finansial
saja, namun lebih ke dalam rasa memiliki masyarakat terhadap fasilitas sanitasi tersebut. Satu
hal yang menarik, yaitu peran serta wanita dalam hal sanitasi di setiap tempat yang sudah
dilakukan penelitian, merupakan peran serta yang sangat memberikan kontibusi dan
membantu dalam pencapaian tujuan akhir.

33
BAB III

METODE

3.1 Jenis Metode

Metode pengumpulan data pada kegiatan mini project ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui kuisioner yang
dibagikan sebelum intervensi. Kuisioner berisi tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai data
diri, pengetahuan, gaji dan peran pamong. Sehingga dapat diketahui bagaimana tingkat warga
dusun sidomulyo yang datang pada penyuluhan dan pemicuan sederhana. Sedangkan data
sekunder didapatkan dari laporan dan catatan mengenai data Germas Kelurahan Pucangro
dusun Sidomulyo selama periode tahun 2017 yang terdapat di Puskesmas Blimbing.
Intervensi dilakukan dengan memberikan sesi penyuluhan dan pemicuan sederhana
secara langsung dan tanya-jawab (diskusi) antara penyaji materi (Dokter Internship). Materi
penyuluhan yang disajikan antara lain mengenai definisi jamban sehat, jenis-jenis jamban,
syarat jamban sehat, pemeliharaan jamban, hingga penyakit-penyakit yang bisa timbul akibat
penggunaan jamban tidak sehat, serta dampaknya jamban yang tidak memiliki saluran
pengolahan tinja sebelum masuk saluran air sungai dan beberapa pemicuan sederhana seperti
bayangan tentang BAB Sembarangan sembari menyetel video beberapa warga yang sukses
ODF di akhir sesi dilakukan kesimpulan apa yang harus dilakukan warga agar dapat memiliki
jamban.

Pembagian kuesioner pada kegiatan ini dilaksanakan pada hari Rabu, 5 September
2018 di Rumah Kepala Dusun yang menjadi titik pertemuan warga. Sebelum diberikan
materi pengetahuan tentang jamban sehat, kuesioner dibagikan kepada warga untuk diisi,
kemudian dilanjutkan dengan sesi pemicuan sederhana dan penyelesaian agar warga mau
membuat jamban
Untuk membantu menentukan sebab masalah warga masih BAB Sembarangan
digunakan diagram Fish Bone.

34
Tabel 3.1 Analisis Penyebab Masalah

Prioritas Masalah Penyebab Masalah

Masih ditemukannya Manusia


 Kurangnya pemgetahuan masyarakat tentang pentingnya BAB
keluarga yang masih
di jamban dan dampak BAB yang dapat berdampak buruk
berperilaku Buang bagi kesehatan dari lingkungan yang tercemar.
 Lebih nyaman buang air besar di sungai
Air Besar
Dana
sembarangan (BABs)  Membangun jamban membutuhkan dana besar sehingga
masyarakat lebih memilih BAB di sungai atau kebun
di Kelurahan Pucang
Sarana
ro Dusun sidomulyo  Kurangnya lahan untuk membangun jamban di rumah warga
Metode
 Kurangnya inovasi untuk memicu masyarakat supaya
berperilaku tidak buang air besar sembarangan
Lingkungan
 Dukungan dari orang sekitar yang masih belum menerapkan
stop buang air besar sembarangan

3.2 Pemecahan Masalah

Dari hasil analisis permasalahan diatas didapatkan alternatif pemecahan masalah,

yaitu melakukan kegiatan penyuluhan dan pemicuan kepada warga dusun sidomulyo

yang masih berperilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Kegiatan ini bertujuan

untuk meningkatkan pengetahuan, khususnya bagi imasyarakat yang masih berperilaku

buang air besar sembarangan tentang pentingnya buang air besar dijamban,

Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit-penyakit yang dapat

terjadi serta dampak yang terjadi jika membuang air besar sembarangan. Merubah

perilaku masyarakat yang masih berperilaku buang air besar sembarangansupaya

buang air besar di jamban sehat.

3.3 Sasaran

Sasaran pada mini project ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang jamban sehat
dan meningkatkan kemauan warga untuk mendidrikan jamban sehat. Dengan harapan dengan
memberikan pengetahuan kepada warga Dusun Sidomulyo maka diharapkan warga bergerak
membangun Jamban sehat sehingga bisa menjadi percontohan jamban sehat.

35
3.4 Media

Media penyuluhan yang digunakan adalah menggunakan slide power point yang
disampaikan menggunakan laptop, video tentang berhasilnya beberapa warga di Indonesia
membuat gerakan ODF (Open Defecation Free), video motivasi warga desa yang
membangun jamban seharga 200ribu dan juga dilakukan diskusi maupun sesi tanya jawab.

3.5 Lokasi dan Waktu

Kegiatan dilakukan di Rumah Kepala dusun Dusun Sidomulyo Kecamatan

Blimbing, pada hari Rabu, tanggal 5 September 2018 jam 10.00.

3.6 Alur Penelitian

Pengumpulan data sekunder dari kader dan penanggung


Jawab Kesling Puskesmas Blimbing

Identifikasi maalah dan analisis faktor-faktor penyebab

Berkoordinasi dengan penanggung jawab kesling,


bidan dan perawat desa untuk pemecahan masalah

Dilakukan penyuluhan dan pemicuan stop buang air


besar sembarangan

Berkoordinasi dengan penanggung jawab kesling,


bidan dan perawat desa, perangkat desa, serta kader
kesehatan untuk menenukan lokasi intervensi

Intervensi

Evaluasi hasil dan pelaporan miniprojct


36
BAB IV

HASIL PENELITIAN dan DISKUSI

4.1 Profil Komunitas Umum

Kelurahan Pucangro merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Blimbing yang


memiliki luas 400 Ha. Memiliki Batas wilayah :
1. Sebelah utara : Desa Kedungturi
2. Sebelah Selatan : Desa Dungus Kabupaten Kediri
3. Sebelah barat : Desa Bugasur Kedaleman
4. Sebelah timur : Desa Pulorejo

Dan memili 8 Dusun yaitu : 1. Dusun Pucangro 2. Dusun Gamongan 3. Dusun


Cangkringmalang 4. Dusun Sidomukti 5. Dusun Sidomulyo 6. Dusun Sidodadi 7. Dusun
Berjel 8. Dusun Kwayuhan

4.1.1 Data Demografik

Jumlah penduduk di kelurahan Pucangro berjumlah : 4980 jiwa

a. Laki-laki : 2417 jiwa

b. Perempuan : 2563 jiwa

37
4.1.2 Berbagai Macam Apek Mata Pencaharian Warga Kelurahan Pucangro

Mayoritas dari mata pencaharian pada warga dusun sidomulyo kelurahan pucangro
mayoritas adalah swasta, petani dan buruh tani yang berpenghasilan perbulan tidak
tetap.
4.1.3 Sarana Pelayanan Masyarakat dan Kesehatan yang Ada

a. Kantor Kelurahan :1

b. Prasarana Kesehatan

1. Puskesmas :1

2. UKBM ( Posyandu ) :8

3. Poliklinik / Pustu :1
4.2 Aspek Sosial

4.2.1 Perilaku Sanitasi Lingkungan

Terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam aspe social yaitu adalah perilaku
sanitasi lingkungan, pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan, kemauan dan
kemampuan membangun jamban dan faktor ekonomi. Perilaku sanitasi lingkungan
masyarakat dan kemauan dalam hal membangun tangki septik di kelurahan pucangro
dusun sidomulyo dipengaruhi oleh faktor kesadaran dan pengetahuan terhadap
sanitasi lingkungan, karena pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Apabila pengetahuan menjaga kesehatan
lingkungan kurang maka seseorang tidak akan melakukan perubahan sikap.

Hal ini dikaitkan dengan faktor ekonomi yang berasal dari penghasilan
responden, bahwa mayoritas penghasilan masyarakat di kelurahan pucangro dusun
sidomulyo adalah berpenghasilan tidak tetap. Penghasilan erat kaitannya dengan
kemampuan ekonomi masyarakat, sehingga semakin tinggi pendapatannya maka
semakin tinggi kemampuan ekonominya sehingga semakin tinggi pula kemampuan
dan kesempatan individu untuk dapat membayar (Ladiyance dan Yuliana, 2014).
Kemampuan masyarakat dalam pembangunan tangki septik ternyata juga dipengaruhi
oleh pengetahuan mereka mengenai kesehatan lingkungan. Responden yang memiliki
pengetahuan yang baik mengenai pentingnya menjaga lingkungan dari hal-hal yang
mencemarinya akan cenderung semakin besar peluang untuk bersedia membayar

38
karena responden melakukan aktivitas yang tidak merusak dan mencemari lingkungan
serta cenderung bersedia melakukan upaya pelestarian lingkungan (Amanda, 2009).

Pada aspek sosial ini, ada dua faktor yang menjadi kendala masyarakat masih
berperilaku BABs yaitu faktor ekonomi dan faktor pengetahuan. Upaya yang dapat
dilakukan untuk menambah pengetahuan masyarakat antara lain mengadakan
penyuluhan atau pemicuan terkait kesehatan lingkungan yang dapat diadakan oleh
Kecamatan/Kelurahan/LSM dan bekerjasama dengan pihak Puskesmas setempat.

Dari sebanyak 10 warga hanya terdapat 2 orang yang menyatakan mau


berkomitmen untuk membangun septik tank. Sebanyak 8 warga menyatakan berbagai
alasan sendiri yang dapat dilihat sebagai berikut:

0
DANA TIDAK TIDAK ADA TOTAL
MENCEMARI ALASAN

Tabel 4.1. Alasan warga

Dari 8 warga yang tidak mau berkomitmen menyatakan bahwa alasan


terbanyak adalah dana sebesar 5 warga, 2 warga menyatakan tidak merasa mencemari
air lingkungan, 1 warga lain enggan menyebutkan alasan.

Di dalam kegiatan penyuluhan atau pemicuan tersebut, dapat pula disisipkan


mengenai pilihan teknologi dan pilihan pembiayaan, seperti program arisan atau
cicilan, sehingga selain warga mendapatkan pengetahuan, mereka juga dapat
sekaligus mendapat salah satu pilihan solusi yang dapat masyarakat pertimbangkan
untuk mendorong masyarakat merubah perilaku mereka.

39
Para warga mengakui bahwa kesadaran dan pengetahuan mereka mengenai
kesehatan sanitasi atau kesehatan lingkungan masih belum besar untuk hidup sehat
menggunakan Jamban. Faktor- faktor pendukung yang berpengaruh terhadap
keputusan masyarakat untuk membangun jamban sehat adalah pertama Faktor
Finansial/Ekonomi, Faktor Kesadaran dan Pengetahuan.

4.2.2 Kemauan dan Kemampuan Membangun Jamban

Saat intervensi responden menyatakan bahwa mereka berminat untuk


membangun jamban sehat, namun belum dapat dipastikan untuk jangka waktu dekat
ini karena permasalahan dana finansial dan lahan tempat membangun cubluk atau
tangki septik tersebut. Adapun pula responden menyatakan mereka belum berminat
untuk membangun jamban dikarenakan bukan suatu kebutuhan mendesak, dan ada
yang menyatakan sama sekali tidak berminat membangun septic tank merasa bukan
kewajibannya melainkan kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi dasar kepada
masyarakat miskin. Responden yang belum memiliki jamban sehat pada saat
dilakukan intervensi di berikan waktu berdiskusi untuk menentukan agar warga yang
belum mempunyai jamban segera mempunyai jamban, bu siti selaku Pemegang
Program STBM menyatakan bahwa yang paling mudah untuk dilakukan sekarang
adalah memakai sistim arisan yang dimana arisan untuk kocokan awal diberikan
kepada warga yang belum mempunyai jamban. Hasil dari intervensi ini pun
menunjukkan hampir seluruh responden tetap tidak bersedia dan keberatan untuk
membangun jamban.

4.3 Aspek Teknis

4.3.1 Kondisi Lingkungan

Wilayah waga Dusun sidomulyo Kelurahan Pucangro dilalui 2 Sungai, yang


dimana satu sungai tidak pernah surut. Beberapa masyarakat masih menganggap
bahwa sungai bisa dijadikan tempat pembuangan Tinja. Wilayah yang dikelilingi
ataupun dilewati oleh sungai berpotensi besar memiliki warga yang berperilaku BABs
karena kemudahan akses untuk memanfaatkan sungai (Amalina dkk, 2014).

40
4.3.2 Pemilihan Teknologi Sanitasi

Pemilihan teknologi sanitasi khususnya pengolahan air limbah domestik


menurut Wulandari (2014), terdapat beberapa kriteria antara lain:

1. Lahan yang dibutuhkan tidak terlalu besar.

2. Biaya operasionalnya rendah.

3. Pengelolaannya mudah.

4. Perawatannya mudah dan sederhana.

5. Konsumsi energinya rendah.

Dalam pemilihan teknologi sanitasi air limbah domestik menurut buku Opsi
Sanitasi yang Terjangkau untuk Daerah Spesifik (2009) perlu memperhatikan
rendahnya biaya pembangunan, kemudahan dalam pembangunan dan ketersediaan
material di lokasi perencanaan. Selain kriteria-kriteria di atas, kriteria yang paling
menentukan adalah dari keputusan masyarakat di lingkungan perencanaan, yaitu
aspek sosialnya.

Kondisi ekonomi warga juga berpengaruh terhadap pemilihan teknologi


sanitasi sistem setempat, karena berdasarkan Kementerian Kesehatan RI,
pembangunan sarana sanitasi individu diharapkan mengikut sertakan masyarakat
dalam bentuk jasa dan juga biaya pembangunan, bantuan hanya dapat berupa bahan
material. Berikut ini adalah kendala-kendala masyarakat kelurahan pucangro dusun
sidomulyo yang bisa menjadi alasan pertimbangan pemilihan teknologi sanitasi.

1. Pengetahuan warga terhadap sanitasi atau kesehatan lingkungan yang masih


kurang, sehingga pemilihan teknologi sanitasi diharapkan yang sudah dikenal oleh
warga sehingga warga dapat cepat mengenali dan memutuskan untuk membangun
teknologi tersebut.

2. Penghasilan rata-rata warga yang berperilaku BABs di bawah UMK, sehingga


pemilihan teknologi sanitasi harus memiliki harga yang terjangkau dalam hal
pembangunan, operasional dan pemeliharaannya.

41
3. Luas lahan yang ada di rumah warga yang berperilaku BABs sangat terbatas,
sehingga pemilihan teknologi sanitasi harus memperhatikan kebutuhan lahan yang
tidak terlalu besar.

4. Sebaran rumah warga yang berperilaku BABs sebagian besar berada di bantaran
sungai , sehingga pemilihan teknologi sanitasi harus memperhatikan stuktur bangunan
sanitasi agar dapat stabil, nyaman dan aman untuk digunakan oleh warga.

Lahan untuk membangun teknologi sanitasi khususnya jenis penampung tinja


bisa dibangun di luar rumah atau di dalam rumah, karena pembangunannya dibawah
tanah dan tidak mengganggu aktivitas penghuni rumah. Meskipun pembangunannya
dapat diluar maupun didalam rumah, namun peletakan penampung tinja harus
memperhatikan kemudahan akses untuk kegiatan pengurasan.

Pengamatan mengenai kondisi jamban yang sudah dibangun oleh sebagian


warga bertujuan untuk mengetahui kondisi sanitasi yang sudah dilakukan oleh warga
sekitar. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi sanitasi warga yang dilihat dari
kondisi jamban sehatnya sudah memenuhi kriteria untuk disebut sebagai jamban
sehat. Selain itu, jenis penampung tinja yang digunakan oleh Sebagian warga dapat
dijadikan salah satu rekomendasi teknologi sanitasi yang dapat dipilih, karena terbukti
aman dan nyaman serta pengelolaannya sangat mudah bagi warga.

Berdasarkan hasil analisis kendala-kendala dari aspek sosial dan teknis,


kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menentukan rekomendasi teknologi sanitasi.
Berdasarkan kendala-kendala diatas, beberapa opsi penampung tinja yang dapat
direkomendasikan adalah tipe penampung tinja berbentuk lingkaran/tabung yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (2014). Penampung tinja berbentuk
lingkaran/tabung merupakan penggabungan teknologi dari cubluk dan tangki septik,
dimana bentuknya mengikuti cubluk pada umumnya yang berbentuk
lingkaran/tabung, sehingga lahan yang dibutuhkan lebih sedikit, dan dindingnya
menerapkan sistem dari tangki septik pada umumnya yang kedap air, sehingga tidak
mencemari tanah dan air tanah.

Kawasan dusun sidomulyo merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk


tidak cukup padat. Tetapi antar rumah cukup saling berdempet dempetan sehingga ini
dijadikan alasan warga untuk tidak membuat jamban,bila lahan memang menjadi

42
kendala maka pilihan teknologi yang bisa ditawarkan adalah sistem terpusat atau
IPAL komunal. IPAL komunal merupakan jenis teknologi yang belum familiar,
karena selama ini mereka masih menggunakan sanitasi sistem setempat, yaitu
menggunakan tangki septik.

4.4 Sumber Pendanaan dan analisa Pendanaan

Beberapa sumber pendanaan sanitasi menurut Buku Panduan Sumber dan


Mekanisme Pendanaan Sektor Sanitasi (2010), adalah sebagai berikut:

A. Pendanaan Pemerintah

1. Pemerintah Pusat
Dana yang berasal dari pemerintah pusat bisa diambil dari beberapa pos pendanaan,
seperti berikut ini:
a. Dana APBN
b. Dana Hibah
c. Dana Pinjaman Luar Negeri
d. Dana Mikrokredit
2. Pemerintah Provinsi
Dana yang berasal dari Pemerintah Provinsi bisa diambil dari beberapa pos
pendanaan, seperti berikut ini:
a. Dana Hibah Pemerintah Provinsi
b. Dana Pinjaman
3. Pemerintah Kabupaten/Kota

Dana yang berasal dari Pemerintah Kabupaten/Kota bisa diambil dari beberapa pos
pendanaan, seperti berikut ini:

a. Dana APBD
b. Dana SILPA
c. Dana Cadangan/dana bergulir

B. Pendanaan Non Pemerintah

1. Donor
Dana yang berasal dari Donor antara lain:

43
a. Dana Pinjaman/ Kredit mikro
b. Dana Hibah
2. Swasta
Dana yang berasal dari Swasta antara lain:
a. Dana Pinjaman Bank (komersial, kredit mikro, atau dana bergulir)
b. Dana Investasi Swasta (PPP, PSP)
c. Dana khusus Investasi Swasta (sewa, BOT)
d. Dana Hibah/ CSR
e. Dana dari Tarif/kontribusi pengguna sarana sanitasi
Pendanaan Pemerintah

Pendanaan bidang sanitasi yang bersumber dari Pemerintah hingga saat ini masih
banyak mengandalkan dana APBN dan APBD. Pada tingkat Pemerintah Pusat, bentuk
pendanaan untuk sanitasi fisik mengambil dana kementerian dan lembaga terutama DPU
yang masih mengandalkan pendapatan negara, hibah dan pinjaman. Sedangkan pendanaan
untuk sanitasi non-fisik tersedia dari Depkes, Depdagri, KLH dan Bappenas. Di tingkat
pemerintah daerah, kabupaten/kota yang telah mendapat bentuan berupa technical assistance
mengenai pemahaman sanitasi dari fasilitator pemerintah ataupun donor (AusAID, USAID,
UNICEF, Bank Dunia, Hibah Belanda, dan lain- lain) cenderung memiliki anggaran sanitasi
yang besar apabila dibandingkan dengan daerah-daerah yang belum mendapatkan bantuan
terkait sanitasi.

Sumber pendanaan di tingkat pemerintah kota sebagian besar menggunakan dana


APBD, DAK dan dana yang berasal dari Kementerian dan lembaga dimana
anggaran/dananya masuk ke dalam instansi- instansi berikut ini:

1. Dinas PU Bidang Cipta Karya


2. Badan Lingkungan Hidup/ sejenisnya
3. Dinas Kesehatan
4. Bappeda Bidang Fisik dan Prasarana
5. Badan Pemberdayaan Masyarakat/sejenisnya
6. Dan lain- lain.

44
Pada umumnya, kegiatan yang dapat didanai oleh SKPD PU adalah penyediaan
infrastruktur fisik, sedangkan SKPD lainnya adalah kegiatan non fisik seperti pemicuan,
penyuluhan dan pembinaan hidup sehat.

Pendanaan Non Pemerintah

Salah satu pendanaan yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat perkotaan
adalah program cicilan atau arisan jamban. Salah satu bank di Indonesia yang menyediakan
program kredit mikro untuk pembangunan jamban sehat adalah Bank Rakyat Indonesia
(BRI). Cara agar dapat memperoleh pinjaman dari BRI sama halnya dengan mengajukan
kredit/pinjam uang di bank, menyerahkan fotokopi KTP, fotokopi surat nikah, fotokopi kartu
keluarga dan rekomendasi kader dan sanitarian.

45
BAB V

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

a) Dusun Sidomulyo Kelurahan Pucangro merupakan kawasan pemukiman berada di

pinggir kota Jombang, yang berdekatan dengan aliran sungai.

b) Penyuluhan dan pemicuan sederhana memberikan dampak positif terhadap

pengetahuan para kepala keluarga tentang pentingnya memiliki jamban sehat sebagai

upaya menjaga kelestarian air bersih dan menurunkan angka penyakit.

c) Kendala terbesar dari pembangunan jamban adalah Dana, beberapa warga lain merasa

tidak mencemari aliran sungai, dan sisanya tidak menyebutkan alasan.

6.2 Saran

6.2.1 Bagi Perangkat Desa Pucangro


1. Merencanakan musrembang (musyawarah rencana pembangunan) bagi warga
yang akan membangun jamban dari anggaran dana desa.
2. Menambah jumlah, memberikan pelatihan, penyuluhan dan motivasi kepada
para kader (PKK, Posyandu, dan lain – lain) agar hasil kerja maksimal.
3. Melaksanakan penyuluhan kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai
ODF. Dengan tujuan diharapkan masyarakat memiliki rasa malu berperilaku
BABS.
4. Menumbuhkan kepedulian dengan cara memberikan informasi mengenai
penyakit apa saja yang sering timbul akibat BABS, denga memberikan contoh
konkret warga yang sakit akibat BABS misalnya diare dan typhoid fever.
5. Mengadakan penambahan sarana informasi tentang ODF, misalnya poster,
leaflet, spanduk, brosur dan penyuluhan dalam bentuk cerita atau tradisi
wewayangan agar masyarakat bisa menerima dan memahami.
6.2.2 Bagi Puskesmas :
1. Evaluasi rutin dan revisi pelaksanaan prioritas pemecahan masalah.

46
2. Mempertahankan kerjasama yang sudah berjalan baik dengan lintas program
dan lintas sektoral dalam meningkatkan cakupan ODF di wilayah kerja
Puskesmas.
3. Meningkatkan dan memperluas jangkauan penyuluhan dan pemicuan.
4. Mengembangkan peran serta masyarakat dan kepala desa beserta
perangkatnya dan tokoh masyarakat terutama dalam program ODF.
6.2.3 Bagi dokter internship :
1. Memahami dengan baik aplikasi teori di lapangan dan pelaksanaanya di
puskesmas sehingga dapat memberikan masukan bagi kemajuan puskesmas.
6.2.4 Bagi Dinkes
1. Rutin melakukan pelatihan tenaga kesehatan di puskesmas.
2. Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan

47
LAMPIRAN

48
IDENTITAS RESPONDEN

1. Nomor Responden : 7. Pekerjaan


2. Nama : a. Petani
3. Jenis Kelamin : L / P b. Pedagang
4. Umur : c. Buruh
5. Jumlah Anggota Keluarga : d. Wiraswasta
Rumah Sendiri atau bersama e. PNS
6. Pendidikan Terakhir : 8. Pendapatan per kapita
a. Tidak sekolah/tidak tamat SD a. < Rp. 1.000.000
b. Rp. 1.000.000- 2.000.000
b. Tamat SD
c. > Rp. 2.000.000
c. Tamat SLTP
d. lain-lain, sebutkan ...
d. Tamat SLTA
e. Perguruan Tinggi

Pengetahuan Responden :

1. Menurut anda apakah penting buang air besar di jamban?


A. Penting, alasan ...
B. Tidak penting, alasan...
2. Apakah anda tahu syarat-syarat jamban yang sehat?
A. Ya, sebutkan . . .
B. Tidak
3. Darimana anda mengetahui syarat-syarat jamban yang sehat? (untuk yang tahu)
A. Keluarga C. Media
B. Teman D. Lain-lain
4. Apakah jarak jamban dengan sumber air anda lebih dari 10 m?
A. Ya
B. Tidak
5. Apakah jamban yang anda miliki menimbulkan bau yang tidak sedap?
A. Ya
B. Tidak
6. Menurut Saudara, apakah bahaya yang dapat terjadi pada sekitar jika tidak BAB di
jamban?
A. terjadi penyakit, misalnya cacingan dan diare
B. tidak terjadi apa-apa
C. susah BAB
7. Menurut Saudara, apakah bisa BAB tidak dijamban membuat sumber air menjadi
tidak bisa dipakai?
A. Bisa, karena……..
B. Tidak bisa
C. Tidak tahu
7. Menurut Saudara, bagaimana air sungai yang bersih?
A. Air sungai yang jernih, tidak berwarna, tidak berasa, belum tercemar benda
lain dan tidak menyebabkan keluhan kesehatan jika digunakan

49
B. Air yang jernih dan tidak berbau
C. Tidak tahu
D. Lain-lain
Sikap Responden

1. Apakah anda setuju desa anda dijadikan contoh menjadi desa stop buang air besar
sembarangan ?
A. Ya, alasan ...
B. Tidak, alasan ...
2. Jika ada warga sekitar yang masih BAB sembarangan apakah yang akan anda
lakukan?
A. Memberitahukan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan juga memberi
penjelasan tentang bahaya-bahaya BAB sembarangan
B. Diamkan saja karena itu hak mereka
3. Apakah keluarga Saudara memilki jamban sendiri?
A. Tidak
B. Ya
4. Dimana anda biasa BAB?
A. Jamban C. Sawah
B. Sungai D. Lain-lain
5. Apakah saudara selalu cuci tangan dengan sabun setelah BAB?
A. Ya
B. Tidak
6. Bila sudah memiliki & BAB di jamban, bagaimana tempat penampungan tinja jamban
tersebut?
a. Septic tank
b. Ke kali
c. Tidak tahu
d. Lainnya, sebutkan………
7. Bila belum memiliki dan/atau tidak BAB jamban, apa alasannya?
a. Biaya
b. lahan
c. Lainnya, sebutkan………………………
8. Bagi yang belum memiliki jamban, apakah anda ingin memiliki jamban sehat sendiri?
a. Ya
b. Tidak
9. Apakah keluarga Saudara menggunakan air sumur sebagai sumber air bersih?
A. Tidak
B. Ya
10. Apabila air sumur sedang kotor, apakah keluarga Saudara tetap menggunakan air
sumur untuk keperluan sehari-hari?
A. Tidak
B. Ya
11. Apakah keluarga Saudara buang air besar di sungai?
A. Tidak
B. Ya

50
VII. PERAN PAMONG DAN PETUGAS KESEHATAN
1. Apakah anda pernah mendapatkan penyuluhan tentang larangan buang air besar
sembarangan?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah Pamong Desa/Petugas Kesehatan pernah menyampaikan informasi mengenai
jamban?
a. ya
b. tidak
3. Apakah anda memahami materi penyuluhan buang air besar yang disampaikan Pamong
Desa/petugas kesehatan?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah Pamong Desa/petugas kesehatan sudah menjelaskan bahaya dari buang air
sembarangan ?
a. Ya
b. Tidak
5. Apakah setelah mengikuti penyuluhan tersebut, anda berkeinginan untuk membuat
jamban/wc?
a. Ya
b. Tidak
6. Berapa kali penyuluhan jamban sehat dalam setahun?
a. tidak ada
b. satu kali
c. 2-3 kali
7. Apakah oleh Pamong Desa/petugas kesehatan, anda dimotivasi untuk membuat jamban/wc
untuk buang air besar?
a. Ya
b. Tidak

51
LEMBAR KOMITMEN KELUARGA SEHAT

Setelah diberi penjelasan tentang maksud, tujuan dan manfaat dari pentingnya
menggunakan dan memiliki jamban sehat untuk keluarga, maka dengan ini kami:

Nama Kepala Keluarga :

Alamat :

Dengan ini saya menyatakan peduli terhadap pencemaran limbah jamban terhadap
sumber air demi keberlangsungan kesehatan keluarga dan anak cucu kelak dan saya bangga
menjadi bagian keluarga dengan jamban sehat. Demikian bentuk komitmen keluarga kami
untuk menciptakan keluarga yang sehat, keluarga yang peduli terhadap lingkungan.

Demi air bersih untuk keluarga dan


anak cucu kelak

Jombang, September 2018

Responden

(……………………………..)

Nama Terang & Tanda Tangan

52

Anda mungkin juga menyukai