Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

Water Seal Drainage (WSD)

Disusun Oleh:
Ema Fawziyah Ulfah
142011101029

LAB/KSM ILMU BEDAH


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2018
Water Seal Drainage (WSD)

Water Seal Drainage (WSD) merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura dengan menggunakan pipa
penghubung untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut. Dalam keadaan normal
rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura (Smeltzer,
2002).
Selang dada bekerja sebagai drain untuk udara dan cairan. Untuk membuat tekanan
negatif intrapleural, sebuah segel diperlukan pada selang dada untuk mencegah udara luar
masuk ke sistem. Cara paling sederhana untuk melakukan ini yaitu dengan menggunakan
sistem drainase dalam air. Tujuan tentang sistem satu, dua, maupun tiga botol memberikan
dasar pemahaman semua produk botol yang dijual. Setiap sistem mempunyai keuntungan dan
kerugian.
Pada trauma toraks WSD dapat berarti:
1. Diagnostik : menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga
dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam
syok.
2. Terapi : Mengeluarkan darah,cairan atau udara yang terkumpul di rongga pleura.
Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanic of breathing", dapat kembali
seperti yang seharusnya.
3. Preventive : Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanic of breathing" tetap baik.

Tujuan dari WSD diantaranya, yaitu:


1. Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
2. Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
3. Mengembangkan kembali paru yang kolaps
4. Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada
5. Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan
tekanan negatif rongga tersebut
Indikasi Pemasangan WSD
1. Pneumotoraks
Terapi awal untuk setiap gejala pneumotoraks adalah menempatkan chest tube
sesegera mungkin. Pemeriksaan diagnostik harus ditunda dahulu, bila gejala klinis dan tanda-
tanda pneumotoraks mulai mengancam nyawa. Pengecualiaan untuk kasus pneumotoraks
spontan primer (idiopatik) atau pneumotoraks parsial asimptomatis (pneumotoraks dengan
jarak rongga pleura < 1 cm).
Pasien diawasi secara ketat. Dalam keadaan darurat dengan tension pneumotoraks
simptomatis , ketika pemasangan chest tube biasa tidak bisa dilakukan , pungsi pada
interkostal dengan menggunakan kateter berlumen lebar bisa mengatasi situasi yang
mengancam nyawa untuk sementara waktu.
Pada pasien dengan ventilasi mekanis, pneumotoraks yang berlanjut, membuat
tindakan chest tube wajib dilakukan. Pada pasien ini dapat dengan cepat menjadi tension
pneumotoraks.
Pada pneumotoraks iatrogenik, setelah biopsi transbronkial, aspirasi jarum
transtorakal atau blok saraf paravertebral (terapi nyeri) atau setelah pungsi V. subclavia
(kateter vena sentral), cedera parenkim paru dengan pneumotoraks dapat terjadi. Setelah
semua prosedur diberikan, rontgen dada harus segera dilakukan.

2. Hematotoraks
Pada pasien dengan hemothoraks, yang terpenting adalah mengevaluasi derajat
perdarahan. Dengan memasang chest tube dapat membantu pengembangan dari paru dan
dapat menghindari terperangkapnya jaringan paru (trapped lung) sebagai akibat dari
terbentuknya empiema.

3. Empiema
Pemasangan chest tube pada empiema stage I dengan sedikit cairan atau yang
menyebabkan paru tidak sepenuhnya tertekan dapat membantu drain pada rongga pleura dan
membantu ekspansi paru secara penuh.
4. Efusi pleura ganas
Pada pasien dengan gejala efusi pleura ganas berulang, insersi chest tube
diindikasikan untuk keperluan diagnostik dan alasan paliatif, serta dalam kasus di mana
pleurodesis dibutuhkan.

5. Perawatan pasca operatif (setelah torakostomi, video-assisted thoracoscopy, by-pass


koroner).

Macam-macam WSD:
1. Single Bottle Water Seal System
Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien dihubungkan ke dalam satu botol yang
memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara
maupun cairan kembali ke dalam rongga dada. Secara fungsional, drainase tergantung pada
gaya gravitasi dan mekanisme pernafasan, oleh karena itu botol harus diletakkan lebih
rendah. Ketika jumlah cairan di dalam botol meningkat, udara dan cairan akan menjadi lebih
sulit keluar dari rongga dada, dengan demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya.
Sistem satu botol digunakan pada kasus pneumothoraks sederhana sehingga hanya
membutuhkan gaya gravitasi saja untuk mengeluarkan isi pleura. Water seal dan penampung
drainage digabung pada satu botol dengan menggunakan katup udara. Katup udara digunakan
untuk mencegah penambahan tekanan dalam botol yang dapat menghambat pengeluaran
cairan atau udara dari rongga pleura. Karena hanya menggunakan satu botol yang perlu
diingat adalah penambahan isi cairan botol dapat mengurangi daya hisap botol sehingga
cairan atau udara pada rongga intrapleura tidak dapat dikeluarkan.

2. Two Bottle System


System ini terdiri dari botol water-seal ditambah botol penampung cairan. Drainase
sama dengan system satu botol, kecuali ketika cairan pleura terkumpul, underwater seal
system tidak terpengaruh oleh volume drainase. Sistem dua botol menggunakan dua botol
yang masing-masing berfungsi sebagai water seal dan penampung. Botol pertama adalah
penampung drainage yang berhubungan langsung dengan klien dan botol kedua berfungsi
sebagai water seal yang dapat mencegan peningkatan tekanan dalam penampung sehingga
drainage dada dapat dikeluarkan secara optimal. Dengan sistem ini jumlah drainage dapat
diukur secara tepat.
3. Three Bottle System
Pada system ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk mengontrol jumlah cairan
suction yang digunakan. Sistem tiga botol menggunakan 3 botol yang masing-masing
berfungsi sebagai penampung, "water seal" dan pengatur; yang mengatur tekanan penghisap.
Jika drainage yang ingin dikeluarkan cukup banyak biasanya digunakan mesin penghisap
(suction) dengan tekanan sebesar 20 cmH20 untuk mempermudah pengeluaran. Karena
dengan mesin penghisap dapat diatur tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan isi
pleura. Botol pertama berfungsi sebagai tempat penampungan keluaran dari paru-paru dan
tidak mempengaruhi botol "water seal". Udara dapat keluar dari rongga intrapelura akibat
tekanan dalam bbtol pertama yang merupakan sumber-vacuum. Botol kedua berfungsi
sebagai "water seal" yang mencegah udara memasuki rongga pleura. Botol ketiga merupakan
pengatur hisapan. Botol tersebut merupakan botol tertutup yang mempunyai katup atmosferik
atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mongendalikan mesin penghisap
yang digunakan.

4. Disposable Water Seal Unit


Sistem unit disposable terdiri atas tiga ruangan: ruang pengumpul dengan sub
ruangan; ruang water seal; dan ruang penghisapan. Ketinggian cairan di ruang pengisapan
menentukan besarnya tekanan pengisapan yang diberikan kepada klien. Konfigurasi yang
tepat dari ruangan ini berbeda-beda sesuai pabriknya. Pada beberapa alat, bila ruang
pengumpul terisi oleh drainase, ruang ini dapat diganti atau dipasang kembali tanpa
mengganggu keseluruhan sistem

Keuntungan dan Kerugian sistem WSD

Sistem Keuntungan Kerugian

Satu Botol 1. Penyusunan sederhana 1. Saat drainase dada


2. Mudah untuk pasien mengisi botol, lebih
yang dapat berjalan banyak kekuatan
diperlukan untuk
memungkinkan
udara dan cairan
pleural untuk keluar
dari dada masuk ke
dalam botol
2. Campuran darah
drainase dan udara
menimbulkan
campuran busa
dalam botol yang
membatasi garis
pengukuran drainase
3. Untuk terjadinya
aliran, tekanan
pleural harus lebih
tinggi dari tekanan
botol.

Dua Botol 1. Mempertahankan 1. Menambah area


water seal pada tingkat mati pada sistem
konstan drainase yang
2. Memungkinkan mempunyai
observasi dan potensial untuk
pengukuran drainase masuk ke dalam
dengan lebih baik area pleural
2. Untuk terjadinya
aliran, tekanan
pleural harus lebih
tinggi dari tekanan
botol
3. Mempunyai batas
kelebihan kapasitas
aliran udara dan
adanya kebocoran
pleural.

Tiga botol Sistem paling aman untuk Lebih kompleks, lebih


mengatur penghisapan banyak kesempatan
untuk terjadinya
kesalahan dalam
perakitan dan
pemeliharaan.

Unit Water Seal Plastik dan tidak mudah pecah 1. Mahal


Sekali seperti botol
Pakai 2. Kehilangan water
(Disposa seal dan keakuratan
ble) pengukuran drainase
bila unit terbaik.

Flutter Valve 1. Ideal untuk transport 1. Mahal


karena segel air 2. Katup berkipas
dipertahankan bila unit tidak memberikan
terbalik informasi visual
2. Kurang satu ruang pada tekanan
untuk mengisi intrapleural karena
3. Tak ada masalah tidak adanya
dengan penguapan air fluktuasi air pada
4. Penurunan kada ruang water seal.
kebisingan

Screw-Valve 1. Ideal untuk transport 1. Mahal


karena segel air 2. Katup berkipas
dipertahankan bila unit tidak memberikan
terbalik informasi visual
2. Kurang satu ruang pada tekanan
untuk mengisi intrapleural karena
3. Tak ada masalah tidak adanya
dengan penguapan air fluktuasi air pada
4. Penurunan kada ruang water seal.
kebisingan 3. Katup sempit
membatasi jumlah
volume yang dapat
diatasinya; tidak
efisien untuk
kebocoran pleural
besar

Pemasangan WSD
1. Lokasi Pemasangan WSD
Lokasi pemasangan chest tube terletak di ruang interkosta IV dan V pada anterior
medial garis aksilaris daerah ini merujuk kepada three angel of savety yang merupakan
daerah aman untuk pemasangan chest tube, daerah ini dibatasi oleh batas lateral pectoralis
major, batas anterior latissimus dorsi, puncaknya tepat dibawah aksila dan dasarnya garis
diatas papila mamme.

2. Alat-alat yang Dibutuhkan


a. Trokar atau kateter toraks dengan nomor yang disesuaikan dengan bahan yang akan
dialirkan, untuk udara nomor 18-20 dan untuk pus nomor 22-24.
b. Kasa steril
c. Plester
d. Alkohol 70% dan bethadin 10%
e. Spuit 5 cc sebanyak 2 buah
f. Lidocain solusio injeksi untuk anestesi local sebanyak 5 ampul
g. Botol WSD
h. Satu buah meja dengan satu set bedah minor
i. Duk steril
3. Prosedur Pemasangan
a. Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan disandarkan
pada kemiringan 30o-60o, tangan sisi paru yang sakit diangkat ke atas kepala
b. Lakukan tindakan antiseptic menggunakan bethadin 10% dilanjutkan dengan
menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar ke arah luar, pasang duk steril
dengan lubang tempat di mana akan dilakukan insersi kateter
c. Lakukan anestesi lokal lapis demi lapis dari kulit hingga pleura parietal menggunakan
lidocain solusio injeksi, jangan lupa melakukan aspirasi sebelum mengeluarkan obat
pada setiap lapisan. Anestesi dilakukan pada daerah yang akan di pasang WSD atau
pada intercostalis 4-5 anterior dari mid axillary line
d. Langsung lakukan punksi percobaan menggunakan spuit anestesi tersebut
e. Lakukan sayatan pada kulit memanjang sejajar intercostalis lebih kurang 1 cm lalu
buka secara tumpul sampai ke pleura
f. Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter
g. Satu tangan mendorong trokar dan tangan lainnya memfiksir trokar untuk membatasi
masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trokar masuk ke dalam rongga pleura,
stilet dicabut dan lubang trokar di tutup dengan ibu jari. Kateter yang sudah diklem
pada ujung distalnya di insersi secara cepat melelui trokar ke dalam rongga
pleura. Kateter diarahkan ke anteroapikal pada pneumotoraks dan posterobasal pada
cairan pleura/empiema. Trokar dilepas pada dinding dada. Kateter bagian distal
dilepas dan trokar dikeluarkan.
h. Setelah trokar ditarik, hubungkan kateter dengan selang dan masukkan ujung selang
ke dalam botol WSD yang telah diberi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan
NaCl 0,9% dan pastikan ujung selang terendam sepanjang dua cm.
i. Perhatikan adanya undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan, darah dan
pus yang dialirkan atau gelembung udara pada botol WSD.
j. Fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang telah di
beri bethadin dan fiksasi ke dinding dada dengan plester.

4. Perawatan WSD
1) Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak
terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang
dapat dikurangi.
2) Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil
dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah
posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas
yang cedera.
3) Mendorong berkembangnya paru.
Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
4) Latihan napas dalam.
Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu
slang diklem.
5) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
6) Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
7) Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan
dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya
hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
8) Observasi setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam
selama 24 jam setelah operasi.
9) Observasi banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan
pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
10) Perlu sering dicek, apakah tekanan negativ tetap sesuai petunjuk jika suction kurang
baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke
posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyebabnya misal : slang
tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang
tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru.
11) Perawatan “slang” dan botol WSD/ Bullow drainage.
12) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau
ada dicatat.
13) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung
udara yang keluar dari bullow drainage.
14) Penggantian botol harus “tertutup” untuk mencegah udara masuk yaitu meng”klem”
slang pada dua tempat dengan kocher.
15) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus
tetap steril.
16) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan
memakai sarung tangan.
17) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatif dalam rongga dada, misal : slang
terlepas, botol terjatuh karena kesalahan.

Pelepasan WSD

Chest tube dipertimbangkan untuk dicabut setelah drainase cairan yang keluar kurang
dari 150 ml/24 jam. Pada kasus pneumotoraks, paru harus mengembang sempurna, tidak ada
udara yang terperangkap dalam 24 jam terakhir. Bila sudah diputuskan untuk mencabut chest
tube:
1. Tube dilepaskan dari penyedot (suction) dan diklem beberapa jam (ada yang 24 jam)
untuk memastikan pasien stabil sebelum dicabut.
2. Saat melepas chest tube posisi pasien lateral dekubitus dengan posisi tube di atas.
3. Kasa dan benang yang mengikat tube dilepas dan pasien diminta untuk tarik napas
dalam.
4. Pada saat pasien tahan napas atau saat keluar napas perlahan (dari inspirasi
maksimal), tube dicabut cepat dengan satu gerakan lembut.
5. Lubang bekas tube dijahit,
6. Selanjutnya dilakukan foto toraks untuk evaluasi apakah ada udara dalam rongga
pleura. Jika pasien stabil, pneumotoraks kecil biasanya kita pantau dengan observasi
ketat.

Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan melalui terapi WSD terdapat beberapa macam.
Ada yang berupa komplikasi insertional, mekanikal, sistemik dan lokal. Berikut ini
merupakan klasifikasi komplikasi-komplikasi dari terapi water seal drainage:
1. Tube malposition: Yakni peletakan sealang WSD yang tidak sesuai dengan tempat
seharusnya. Beberapa jenis tube malposition meliputi, intraparenchymal tube
placement, fissural tube placement, chest wall tube placement, mediastinal tube
placement dan abdominal placement.
2. Blocked drain: Adanya blokade pada selang WSD yang menyebabkan drainase
menjadi tidak lancar, dapat disebabkan oleh karena kekakuan, terbentuknya gumpalan
cairan, adanya puntiran, terdapat sisa debris atau ikut terbawanya jaringan paru yang
mengakibatkan selang WSD menjadi tersumbat
3. Chest drain dislodgement: Yakni terlepasnya selang WSD dari cavum pleura pasien,
dapat dihindari dengan prosedur yang baik dan harus segera diatasi dengan
memasangkan kembali selang WSD melalui prosedur yang asepsis.
4. Edema pulmonum reekspansi (REPE): Terjadinya udema pulmonum setelah paru
yang tadinya kolaps mengembang. Patogenesis yang mendasarinya antara lain yakni
adanya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya radikal bebas oksigen yang
menyebabkan kerusakan kapiler dan adanya penurunan produksi surfaktan. Tindakan
pencegahannya diduga dapat dilakukan dengan melakukan drainase tanpa suction, dan
melakukan drainase secara perlahan-lahan.
5. Emfisema subkutis: Adalah terbentuknya akumulasi udara pada ruang subcutan pada
dinding dada. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan krepitasi pada palpasi dinding
dada.
6. Cedera saraf: pada pemasangan WSD yang kurang berhati–hati dapat juga
menyebabkan cedera pada saraf di sekitar lokasi pemasangan WSD, cedera saraf yang
pernah terjadi akibat pemasangan WSD antara lain yakni, horner’s syndrome, phrenic
nerve injury, long thoracic nerve injury dan ulnar neuropathy.
7. Cedera kardiovaskular: Pada pemasangan WSD juga dapat menagkibatkan cedera
vascular yakni berupa perdarahan dan juga dapat memicu komplikasi ke arah cedera
jantung.
8. Residual/ post extubation pneumothoraks: Yakni terjadinya pneumothoraks akibat
tidak terdrainasenya udara secara optimal dan atau pneumothoraks yang terjadi karena
prosedur pelepasan WSD yang kurang baik.
9. Fistula: Yakni terbentuknya fistula yang dapat menghubungkan pleura dengan
subkutis atau bahkan fistula yang dapat menghubungkan bronkus beserta
cabangngnya dengan cavum pleura dan dengan subkutis.
10. Infeksi: Pada pemasangan WSD dapat terjadi infeksi yang bersifat lokal pada sekitar
lokasi terpasangnya selang WSD, dan yang lebih parah dapat juga terjadi infeksi di
dalam cavum pleura hingga mengakibatkan terbentuknya cairan pus pada cavum
pleura, dikenal juga dengan istilah empyema thoracis.

Anda mungkin juga menyukai