Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian evidence based practice dan patient safety
Evidence-based nursing practice adalah suatu kerangka kerja bagi perawat yang
mengintegrasikan hasil penelitian terbaik dengan pengalaman klinik dan keyakinan serta
nilai – nilai yang dianut oleh pasien untuk memutuskan suatu asuhan keperawatan bagi
pasien (Panagiari, 2008). Sebelum membuat keputusan klinik yang terbaik bagi pasien,
perawat harus mempertimbangkan dan mengacu pada hasil – hasil penelitian terkini dan
terbaik. Menurut Sackettt, Rosenberg, Gray, Haynes, & Richardson (1996, dalam Ligita,
2014) hasil – hasil penelitian tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti ilmiah tunggal,
namun harus disertai dengan pengalaman praktik terbaik yang dilakukan oleh perawat.
Penelitian pada hakikatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur kemampuan, menilai
dan mempertimbangkan sejauh mana efektivitas tindakan yang telah diberikan. Dengan
hasil penelitian, perawat dapat menggerakkan orang lain untuk berbuat sesuatu yang baru
berdasarkan kebutuhan, perkembangan dan aspirasi individu, keluarga, kelompok atau
masyarakat. Penelitian adalah suatu penyelidikan yang sistematik yang menggunakan
metode tertentu untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan dan memecahkan masalah –
masalah (Polit & Beck, 2010). Penelitian keperawatan adalah suatu. pendekatan sistematik
yang digunakan untuk mengkaji fenomena yang penting bagi keperawatan maupun
perawat.

Berdasarkan Hasil Lokakarya Nasional Keperawatan (1983, dalam Asmadi, 2008),


seorang perawat diharapkan dapat menjadi pembaharu (innovator) dalam ilmu
keperawatan karena ia memiliki kreativitas, inisiatif, cepat tanggap terhadap rangsangan
dari lingkungannya. Kegiatan ini dapat diperoleh melalui kegiatan riset atau penelitian.
Hasil yang diperoleh dari penelitian keperawatan mampu mendukung keefektifan kualitas
dan biaya dari tindakan – tindakan keperawatan. Sehingga penerima layanan kesehatan,
terutama layanan keperawatan, akan mendapat keuntungan apabila perawat memanfaatkan
hasil penelitian dalam melakukan praktek keperawatannya (Burns & Grove, 2007). Lebih
kurang sejak 15 tahun yang lalu, penggunaan hasil penelitian dalam praktek/evidence-
based practice muncul sebagai kebijakan utama dalam sistem pelayanan kesehatan di
negara – negara barat. Tingginya tuntutan secara internasional untuk meningkatkan
keefektifan klinik dan serta keefektifan biaya dalam kebijakan kesehatan telah menyoroti
kebutuhan akan layanan kesehatan agar dibangun berdasarkan penggunaan ilmu
pengetahuan berdasarkan hasil penelitian dengan baik (McKenna et al. 2004). Pemerintah
di berbagai negara telah mendukung pembangunan sistem pelayanan kesehatan
berdasarkan hasil penelitian dimana keputusan yang dibuat oleh pelaksana pelayanan
kesehatan, manajer, pembuat keputusan, dan pasien berdasarkan pada ilmu pengetahuan
yang berkualitas tinggi. Di United States of America (USA), the Agency for Healthcare
Research and Quality memimpin gerakan nasioanal dalam penggunaan hasil penelitian
sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan – keputusan tentang pelayanan kesehatan.
National Institute for Health and Clinical Excellence di Inggris, the Scottish Intercollegiate
Guidelines Network di Skotlandia, dan the National Institute for Clinical Studies di
Australia juga telah melakukan kebijakan yang sama dalam membangun pedoman dan
menyediakan informasi kesehatan berdasarkan hasil penelitian.

Di Indonesia, kebijakan penggunaan hasil penelitian terdapat pada perumusan


kompetensi dalam SK No. 045/U/2002 Kepmendiknas Tentang Kurikulum Inti Pendidikan
Tinggi Tahun 2002 pasal 2 yang menyebutkan bahwa kompetensi hasil didik suatu
program studi terdiri atas kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi
lainnya yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama. Dalam penjelasannya,
kompetensi utama mahasiswa setelah menyelesaikan pendidikan Ners adalah mampu
melakukan praktek keperawatan individu, keluarga, kelompok, dan komunitas yang
berfokus pada keselamatan pasien berbasis pada bukti-bukti ilmiah (Nursing practice
focused on patient safety and evidence based). Selain itu juga terdapat dalam
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan Pasal
2 huruf b yang menyatakan bahwa Praktik Keperawatan berasaskan nilai ilmiah. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa praktik keperawatan harus didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang diperoleh baik melalui penelitian, pendidikan maupun
pengalaman praktik.

Pengetahuan akan konsep evidence-based practice serta pengalaman klinik


merupakan hal penting yang harus dimiliki perawat. Hal ini disebabkan karena
pengalaman dan pengetahuan professional merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien (AdibHajbaghery, 2007). Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai evidence-based practice bila akan
menerapkan evidence-based practice dengan tepat. Selain itu, perawat pun perlu
menyadari apa makna evidence-based practice dan bagaimana prosesnya sehingga dapat
mengaplikasikan konsepnya dengan benar (Scott & McSherry, 2009). Pengetahuan
merupakan hal vital di dalam menerapkan evidence-based practice. Pengetahuan yang
dimiliki tidak semata-mata terdiri dari konsep saja, akan tetapi diperlukan pengetahuan
mengenai cara melaksanakan evidence-based practice. Hal ini diperkuat oleh Munroe,
Duffy, dan Fisher (2008) bahwa pengetahuan perawat klinis akan cara menerapkan
evidence-based practice adalah hal yang berpengaruh kuat pada keberhasilan penerapan
evidence-based practice. Penelitian – penelitian yang telah dilalukan sebelumnya
menunjukkan bahwa perawat hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai evidence-
based practice, terutama mengenai pengevaluasian hasil penelitian serta metode dan
statistik penelitian (Nagy et al. 2001, Veeramah 2004, Milner et al. 2006, dalam Eizenberg,
2011). Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ligita (2014) menunjukkan
lebih dari setengah responden (69,7%) mengatakan mereka tidak mengetahui tentang
evidence-based practice. Hasil penelitian Panagiari (2008) menunjukkan meski evidence-
based practice telah banyak disosialisaikan, lebih dari setengah responden (65,5%)
mengatakan mereka tidak familiar dengan istilah tersebut. Penerapan evidence-based
practice akan terlaksana dengan baik bila

perawat memiki sikap yang positif terhadap evidence-based practice. Pengetahuan dan
pengalaman yang memadai juga harus didukung sikap yang positif (Holleman, Eliens, Van
Vliet, & Van Achterber, 2006, dalam Ligita, 2014). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa sikap positif perawat terhadap evidence-based practice relevan dengan penerapan
evidence-based practice. Penelitian – penelitian sebelumnya mengenai sikap perawat
tentang evidence-based practice menunjukkan hasil yang berbeda – beda. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa perawat menyikapi evidence-based practice secara positif
dan setuju bahwa penelitian dan evidence-based practice relevan dengan praktek harian
mereka (Nagy et al. 2001, Sanzero-Eller et al. 2003, Wallin et al. 2003, Milner et al. 2006,
dalam Eizenberg, 2011). Sementara beberapa hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa
perawat menyikapi penelitian secara negatif dan merupakan yang terendah dibanding
tenaga Kesehatan lainnya (Nagy et al. 2001, Sanzero-Eller et al. 2003, dalam Eizenberg,
2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pravikoff et al. (2005, dalam Williams, 2013)
menunjukkan bahwa meski perawat menyadari pentingnya evidence-based practice,
mereka lebih memilih berdiskusi dengan rekan sejawat dibandingkan membaca hasil
penelitian.

Keselamatan pasien (safety patient) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Permenkes No 1691, 2011).

2.2 Konsep – konsep EBP

Evidanced Based Practice (EBP) adalah proses penggunaan bukti-bukti terbaik yang
jelas, tegas dan berkesinambungan guna keputusan klinik dalam merawat individu pasien.

a. Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk meningkatkan penerapan
Evidence based. 5 langkah dalam Model Settler:
Fase 1 : Persiapan
Fase 2 : Validasi
Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4 : Translasi dan aplikasi
Fase 5 : Evaluasi
b. Model IOWA
Model IOWA diawali dengan adanya trigger atau masalah. Trigger bisa berupa
knowledge focus atau problem focus. Jika masalah yang ada menjadi prioritas organisasi,
maka baru dibentuklah tim. Tim terdiri atas dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain
yang tertarik dan paham dalam penelitian. Langkah berikutnya adalah minsintesis bukti-
bukti yang ada.Apabila bukti yang kuat sudah diperoleh, maka segera dilakukan uji coba
dan hasilnya harus dievaluasi dan didiseminasikan.
c. Model konseptual Rosswum & Larrabee Model ini disebut juga dengan model Evidence
Based Practice Change yang terdiri dari 6 langkah . Model ini menjelaskan bahwa
penerapan Evidence Based Nursing ke lahan praktek harus memperhatikan latar
belakang teori yang ada, kevalidan dan kereliabilitasan metode yang digunakan, serta
penggunaan nomenklatur yang standar.

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Patient Safety

Pelaksanaan patient safety sering mengalami kesalahan. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan patient safety yaitu faktor organisasi
dan manajemen. Faktor-faktor tersebut adalah menurut Bennett & Brachman‟s (2007) adalah:
1) Budaya keselamatan
Budaya keselamatan merupakan nilai-nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi,
kompetensi, dan pola perilaku berkomitmen untuk mendukung manajemen dan
program patient safety (WHO, 2009).
2) Manajer/pemimpin Manajer/pemimpin memainkan peran penting dalam
mengembangkan program keselamatan pasien. Manajer memimpin perubahan dan
bertanggung jawab untuk menetapkan arah bagi suatu unit yang dipimpinnya.
Manajer/pemimpin berkomitmen dan memberikan contoh yang dinyatakan dalm
tindakan untuk keberhasilan program keselamatan pasien.
3) Komunikasi
Menurut Permenkes RI (2011), komunikasi yang efektif masuk dalam sasaran
keselamatan pasien pada sasaran II peningkatan komunikasi yang efektif yaitu
komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh
pasien akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan
pasien.
4) Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan memiliki kemampuan untuk perduli dan perhatian bagi patient
safety. Terkait dengan patient safety yang paling mudah dilakukan oleh petugas
kesehatan adalah menjaga kebersihan tangan, untuk membatasi penularan patogen.
Kepatuhan menjaga kebersihan tangan merupakan perubahan perilaku yang
mendasar bagi petugas kesehatan.

2.4 Pasien safety dalam peningkatan mutu pelayanan rumah sakit

Patient safety merupakan bagian dari mutu, dan keselamatan merupakan sasaran yang
paling dapat dirasakan oleh pasien. Pelayanan yang bermutu sudah pasti tidak akan
menciderai pasien. Layanan bermutu sudah pasti aman. Sebaliknya layanan yang aman
belum tentu bermutu dan bebas dari kesalahan. Patient safety didefinisikan sebagai
layanan yang tidak menciderai atau merugikan pasien (dalam islam disebut kezaliman).
Dengan demikian, layanan yang mengandung kesalahan namun tidak sampai merugikan
pasien atau nyaris cidera masih dapat ditolerir (Suharjo, 2009). Sebagai salah satu dimensi
dari mutu, keamanan (safety) berarti mengurangi risiko cedera, infeksi, efek samping, atau
bahaya lam yang berkaitan dengan pelayanan. Keamanan pelayanan melibatkan petugas
dan pasien. Misalnya, safety adalah salah satu dimensi kualitas transfusi darah, terutama
sejak munculnya AIDS. Pasien harus dilindungi dari infeksi, dan petugas kesehatan yang
bertugas mengurus darah dan jarum harus dilindungi dengan prosedur yang aman. Di
samping itu juga ada unsur keamanan dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas atau
Rumah Sakit, misalnya di ruang tunggu pasien yang punya nsiko infeksi bisa ditulari
pasien infeksi lainjika Lidak diambil tindakan pengamanan (Wijono, 2000). Pelayanan
kesehatan harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan juga dapat meningkatkan
kualitas hidup masyarakat. Semua itu dapat terpenuhi jika pelayanan kesehatan
mempunyai mutu pelayanan yang optimal. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Jaminan mutu pelayanan kesehatan yang baik tidak terlepas dari
profesionalisme rumah sakit dalam pengelolaannya. Layanan kesehatan yang bermutu
akan membuat organisasi layanan kesehatan menjadi terhormat, terkenal dan selalu dicari
oleh siapa yang membutuhkan layanan kesehatan yang bermutu serta menjadi tempat kerja
idaman bagi profesi layanan yang kompeten yang berperilaku terhormat. Mutu pelayanan
yang bermutu juga akan memperhatikan outcomes layanan kesehatan benar benar
bermanfaat bagi klien.

2.5 Budaya pasien safety

Sammer et al dalam studinya melaporkan bahwa budaya keselamatan pasien yang disusun dari
tujuh faktor sub kultural yakni:

1. Kepemimpinan
Pemimpin mengakui lingkungan kesehatan adalah lingkungan berisiko tinggi dan
berusaha untuk menyelaraskan visi/misi, kompetensi staf, fiskal dan sumber daya
manusia dari ruang rapat ke front liner. Literatur menunjukkan peran kepemimpinan
senior sebagai elemen kunci untuk merancang, mengembangkan, dan memelihara
budaya keselamatan. Pemimpin senior penting untuk mencapai keberhasilan
pengembangan organisasi dan budaya keselamatan. Pemimpin yang terlibat mendorong
budaya keselamatan pasien dengan merancang strategi dan struktur bangunan yang
memandu proses keselamatan dan hasil. Cohen et al melaporkan bahwa kepemimpinan
di salah satu rumah sakit komunitas meningkatkan kualitas pelayanan dengan
mengubah budaya keselamatan pasien.
2. Kerja Tim Organisasi
pelayanan kesehatan yang merawat pasien dengan teknologi dan proses penyakit yang
semakin kompleks dan teknologi yang memerlukan upaya yang lebih kuat terhadap
aplikasi dari kerja sama tim dan kolaborasi untuk mencapai budaya seluruh sistem
keselamatan pasien. Sebuah semangat kolegialitas, kolaborasi, dan kerja sama yang ada
di antara eksekutif dan staf, dan praktisi independen. Hubungan yang terbuka, aman,
hormat, dan fleksibel.
3. Berbasis Bukti (evidence based practice)
Praktik perawatan pasien didasarkan pada bukti. Standardisasi bertujuan untuk
mengurangi variasi kesalahan yang terjadi pada setiap kesempatan. Beberapa literatur
melaporkan organisasi kesehatan yang didukung dengan praktik terbaik berdasarkan
bukti, termasuk proses standar, protokol, daftar periksa, dan pedoman, dianggap
menunjukkan budaya keselamatan.
4. Komunikasi Budaya
komunikasi merupakan suatu kondisi dimana seorang individu/staff, mampu
menangani masalah pekerjaan, memiliki deskripsi pekerjaan, memiliki hak dan
tanggung jawab untuk berbicara bersama pasien. Beberapa studi terdahulu
menyarankan agar menerapkan bentuk komunikasi seperti briefing. Briefing
merupakan diskusi yang efektif untuk memastikan prosedur peralatan, obat-obatan, dan
dokumen pendukung berada di tempat. Sebuah debriefing terjadi lagi pada akhir
prosedur untuk memungkinkan review. Pada akhirnya, komunikasi para staf dapat
didengar dan diakui oleh manajer. Memberikan umpan balik atau membangun
kepercayaan dan keterbukaan merupakan sifat penting dari budaya keselamatan
5. Pembelajaran
Rumah sakit perlu belajar dari kesalahan dan mencari peluang baru untuk
meningkatkan kinerja. Pembelajaran merupakan sebuah value yang harus dilaksanakan
oleh semua pegawai termasuk tenaga medis. Merupakan suatu budaya pembelajaran
yang ada dalam rumah sakit ketika organisasi berusaha untuk belajar dari kesalahan
dan meningkatkan kinerja ke dalam sistem pemberian perawatan
6. Tepat Salah
satu cara untuk mendefinisikan ketepatan dalam budaya keselamatan pasien adalah
mempertimbangkan dua sisi skala keadilan. Satu sisi skala merupakan akuntabilitas
individu dan sisi lain adalah kegagalan sistem. Marx menjelaskan metode yang berguna
untuk organisasi kesehatan untuk menentukan apakah kesalahan yang gagal dari
individu atau kegagalan sistem dengan mengajukan empat pertanyaan: (a) Apakah
perilaku penyedia layanan ini menyadari bahaya? (b) Apakah penyedia perawatan
dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan? (c) Apakah penyedia perawatan sadar ia
membuat kesalahan? (d) Apakah dua atau tiga dari rekan-rekan penyedia perawatan ini
membuat kesalahan yang sama?
7. Berfokus pada Pasien Pelayanan kepada pasien dan keluarga, dalam hal ini melibatkan
pasien untuk berpartisipasi aktif untuk menjaga kesehatannya. Budaya berpusat pada
pasien mencakup pasien dan keluarga sebagai satu-satunya alasan keberadaan rumah
sakit. Suatu hal yang menjanjikan untuk menghargai pasien dengan menyediakan
lingkungan untuk mendukung penyembuhan selama rawat inap dan juga untuk promosi
kesehatan dan perawatan berkelajutan. Rumah sakit berfokus pada pasien
memungkinkan dan memberdayakan pasien untuk partisipatif dalam pengambilan
keputusan perawatan mereka Untuk menilai budaya keselamatan pasien, umumnya
peneliti menggunakan kuesioner self completion. Hal ini dilakukan dengan jalan
memberikan kuesioner kepada semua staf di organisasi pelayanan kesehatan, kemudian
akan dihitung nilai rata-rata respon. terhadap masing masing faktor yang dinilai.
Langkah awal yang dilakukan dalam mengembangkan budaya patient safety adalah
menilai budaya yang telah ada. Salah satunya dengan menggunakan kerangka
“Manchester patient safety”. Adapun pernyataan yang digunakan untuk dimensi budaya
keselamatan pasien adalah 1). Pernyataan-pernyataan untuk mengukur nilai,
pemahaman dan sikap. 2). Pernyataan-pernyataan untuk mengukur aktifitas atau
perilaku yang bertujuan untuk mengembangkan budaya keselamatan pasien seperti
kepemimpinan, kebijakan dan prosedur.

2.6 peran perawat dalam keselamatan pasien

Menurut Michell dalam Hughes perawat merupakan kunci dalam


pengembangan mutu melalui keselamatan pasien. Sejak dulu responsibilitas perawat
terhadap aspek keselamatan pasien telah ada walaupun masih terbatas pada pencegahan
kesalahan pemberian pengobatan dan pencegahan pasien jatuh Concidine berpendapat
bahwa salah satu hal yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mecegah KTD beserta
dampaknya adalah dengan peningkatan kemampuan perawat melakukan pencegahan
dini. Deteksi risiko dan koreksi terhadap abnormalitas yang terjadi pada pasien.
Peningkatan angka kematian yang merupakan bagian dari dampak keselamatan pasien
membutuhkan peran perwat secara adekuat dalam kodisi emergensi untuk mencegah
KTD Position Statement mengenai keselamatan pasien yang diasampaikan oleh ICN
bahwa keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar dalam mutu pelayanan
kesehatan dan pelayanan keperawatan. Peningkatan keselamatan pasien meliputi
tindakan nyata dalam rekruetmen, pelatihan dan retensi tenaga profesional,
pengembangan kinerja, manajemen resiko dan lingkungan yang aman, pengendalian
infeksi, penggunaan obat-obat yang aman, peralatan dan lingkungan perawatan yang
aman serta akumulasi pengetahuan ilmiah yang terintegrasi serta berfokus pada
keselamatan pasien yang disertai dengan dukungan infrastruktur terhadap
pengembangan yang ada. Keperawatan mengarahkan keselamatan pasien pada seluruh
aspek pelayanan keperawatan. Hal ini mencakup informasi terhadap pasien dan
komponen lain mengenai resiko dan cara mengurangi resiko serta mengadvokasi
keselamatan pasien dan pelaporan KTD.

2.6 Hubungan EBP dengan peningkatan patient safety

Menurut Undang-undang No 29 pasal 1 tahun 2004 pasien merupakan setiap orang


yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Safety
merupakan derajat dimana pengembangan organisasi, peralatan, bersikap tidak
membahayakan, atau mengurangi resiko pada pasien staff, atau pengunjung.
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen, resiko, identifikasi dan pengelolaan
hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Untuk mengurangi resiko dan mencegah cedera dalam upaya peningkatan keselamatan
pasien maka perawat dalam melakukan praktiknya baik itu di rumah sakit maupun di
dalam praktik mandiri setiap prosedur dalam upaya keselamatan pasien diperlukan
Evidance Based Practice yang merupakan bukti ilmiah terbaik dari literature
keperawatan maupun medis untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien dimana
dalam praktiknya dalam pemberian asuhan keperawatan diharapkan dapat
mengidentifikasi dan memahami fenomena dan hubungan antar fenomena yang terjadi,
mengklarisifikasi hubungan antara fenomena dan mengklarifikasi hubungan antar
fenomena dan mengidentifikasi alasanan mengapa peristiwa tertentu terjadi, dapat
memperkirakan outcome atau hasil yang spesifik pada situasi tertentu serta diharapkan
perawat dapat mengontrol apabila outcome suatu situasi bisa diprediksi, dan
menentukan langkah selanjutnya untuk memberikan intervensi yang akurat untuk
keselamatan pasien. Jadi pada dasarnya dalam setiap perawat melakukan praktiknya
yaitu memberikan intervensi dalam upaya pemberian asuhan keperawatan diharapkan
sesuai dengan bukti ilmiah yang telah ada agar dalam tindakan praktik keperawatan
dalam memberikan intervensinya tidak asal-asalan terutama dalam hal safety patient.

2.7 Hasil riset evidence based practice

Hasil Riset Evidanced Based Practice Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ns. Niken
Safitri Dyan K, S.Kep., M.Si.Med dan Ns. Henni Kusuma, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.M.B
pada tanggal 21 Juni 2014 tentang Aplikasi Evidanced Based Practice dalam
Meningkatkan Patient Safety dalam penelitian ini dijelasakna tetang aplikasi Evidanced
Based Nursing pada IPSG (International Patient Safety Goal) disini dijelasakan tentang
safety merupakan derajat dimana pengembangan organisasi, peralatan, bersikap tidak
membahayakan, atau mengurangi resiko pada pasien staff, atau pengunjung. Patient safety
merupakan pencegahan untuk tidak merugikan pasien. Kualitas pasien merupakan derajat
untuk meningkatkan pelayanan kesehatan untuk individu maupun populasi yang
ditentukan dari outcomes kesehatan dan konsisten berdasarkan penilaian pengetahuan
profesional.
 Yang dimaksudkan Quality yaitu :
a. Doing The Right Thing (lakukan sesuatu yang benar)
b. Right First Time (Benar waktu pertama)
c. Right Everytime (Benar Setiap waktu)
 Peran perawat dalam penerapan EBN pada IPGS yaitu meliputi :
a. Patient identification (identifikasi pasien)
b. Effective communications (komunikasi yang efektif)
c. High-Alert Medications (Waspada tinggi pengobatan)
d. Correct : site, procedure, patient (Benar : tempat, prosedur dan pasien)
e. Prevention of Infection (Pencegahan dari infeksi)
f. Prevention of Falls (Pencegahan resiko jatuh)
 International Patient Sfety Goals (IPGS) :
1. Identify Patients Correctly Yaitu mengelola identitas berkaitan dengan medikasi, darah
atau produk darah serta mengelola identitas sebelum melakukan tindakan dan prosedur
2. Improve Effective Communications (Menigkatkan komunikasi yang efektif) Yaitu
komunikasi antara tenaga kesehatan dan komunikasi kepada pasien dalam melakukan
tindakan dan prosedur.
3. Improve the safety of High-Alert Medications (meningkatkan keselamatan pasien dari
tanda tinggi pengobatan) Yaitu peran perawat dalam meberikan medikasi dan prinsip
pemberian medikasi.
4. Ensure correct site, correct-procedure, correct-patient surgery Check : benar pasien,
benar prosedur, dan benar area pembedahan dan persiapan pasien serta pendidikan
kesehatan
5. Reduce the risk of health care-associated infections
Cuci tangan dilakukan perawat, pasien, keluarga dan pengunjung, kepatuhan cuci
tangan pasien, keluarga dan pengunjung serta pencegahan dan pengendalian infeksi
oleh perawat dalam melakukan tindakan dan prosedur.
6. Reduce the risk of patient harm resulting from falls. Pengelolaan resiko jatuh :
a. Pengkajian dengan instrumen yang tepat
b. Intervensi dan implementasi
c. Monitoring.

http://digilib.unisayogya.ac.id/508/1/naskah%20publikasi%20WIJI%20LESTARI%20090201026.pdf
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5678/Jurnal%20Beban%20Kerja%20denga
n%20Kinerja.pdf
https://www.researchgate.net/publication/319365365_DIMENSION_OF_PATIENT_SAFETY_CUL
TURE
https://idocslide.com/the-philosophy-of-money.html?utm_source=patient-safety-F2fzP1u
https://eprints.uns.ac.id/2154/
http://ejurnalp2m.poltekkesmajapahit.ac.id/index.php/HM/article/view/138
http://repo.unand.ac.id/86/

Anda mungkin juga menyukai