Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. IDENTIFIKASI

1. Definisi Identifikasi

Identifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai berikut

: pertama , tanda kenal diri; bukti diri; kedua, penentu atau penetapan identitas

seseorang, benda, dan sebagainya; ketiga, proses psikologi yang terjadi pada diri

seseorang arena secara tidak sadar membayangkan dirinya seperti orang lain yang

dikaguminya, lalu dia meniru tingkah laku orang yang dikaguminya itu.

Identifikasi forensik memiliki arti penetapan identitas seseorang berdasarkan ilmu

kedokteran yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta medis. Identifikasi forensik

merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan

identitas seseorang. Identifikasi dari tubuh yang tak dikenal, baik hidup ataupun mati,

dapat dilakukan bagi kepentingan penyidikan perkara pidana dan bagi tugas kepolisian

yang lain, misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan yang mengakibatkan

korban massal (mass disaster) atau pada peristiwa ditemukannya seseorang dengan

demensia atau kelainan jiwa yang sulit diajak berkomunikasi.

Kepentingan dilakukannya identifikasi adalah sebagai upaya memenuhi hak dasar

setiap individu untuk memiliki identitas semasa hidup ataupun setelah mati, dan untuk

memudahkan penanganan masalah hukum perdata ataupun pidana antara orang yang

meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan.

2. Prinsip Identifikasi

Dalam proses Identifikasi diperlukan dua aspek :


a. Aspek pengumpulan data identitas; baik ante-mortem maupun post-mortem

b. Aspek komparasi; antara data ante-mortem dengan post-mortem untuk

menentukan korban

Prinsip dari proses identifikasi adalah membandinkan data antemortem dengan post-

mortem, semakin banyak yang cocok semakin baik.

Data yang digunakan untuk menentukan identitas seseorang, meliputi :

a. Identifikasi primer, meliputi pemerikasaan sidik jari, data gigi dan deoxyrebose

nucleic acid (DNA),

b. Identifikasi sekunder, yakni data visual seperti pakaian ataupun perhiasan, data

kepemilikan seperti obat-obatan dan gigi palsu, data dokumentasi seperti kartu

identitas atau foto, dan data medis yaitu ciri tubuh, jenis kelamin, golongan darah,

dan lain-lain.

Kedudukan data identifikasi primer memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan

data identifikasi sekunder. Korban dinyatakan positif teridentifikasi apabila satu atau

lebih ukuran identifikasi primer terbukti dengan atau tanpa data sekunder, atau minimal

dua data identifikasi sekunder yang cocok bila data primer tidak ada.

3. Manfaat Identifikasi

a. Mengungkap kasus tindak pidana

b. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengurus sertifikat kematian.

c. Keluarga/yang ditinggalkan dapat mengetahui status pernikahan atau untuk

melakukan pernikahan kembali.

d. Untuk masalah hukum perdata lainnya, seperti menentukan hak pengurusan

rumah atau tanah, hak waris, dll.


e. Mengetahui asal-usul manusia, penyebarannya dan lain sebagainya

4. Peran Dokter Pada Proses Identifikasi

Dalam melakukan identifikasi, dokter diharapkan dapat :

a. Membedakan jenazah manusia atau bukan

Apabila hanya di temukan tulang, terkadang tulang antara hewan dengan

manusia mirip. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dapat dibedakan tulang

tersebut berasal dari manusia atau hewan. Untuk tulang yang tidak teridentifikasi

dapat ditentukan tulang manusia atau tulang hewan dengan pemeriksaan

imunologik (precipitin test).

b. Membedakan jenazah laki-laki atau perempuan

Pada keadaan dimana jenis kelamin tidak mungkin dilakukan dengan

pemeriksaan luar, maka penentuan jenis kelamin dapat dilakukan dengan cara :

1) Jaringan lunak tertentu

Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang tahan terhadap

pembusukkan dan dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin. Selain itu

pemeriksaan seks kromatin dari sampel jaringan lunak atau tulang rawan pun

bisa dilakukan. Pemeriksaan tersebut sering digunakan untuk menentukan jenis

kelamin pada mayat yang terpotong-potong.

2) Tulang-tulang tertentu

Beberapa tulang pada laki-laki dan perempuan jelas perbedaannya, antara

lain tengkorak, pelvis, tulang panjang, rahang dan gigi.


3) Memperkirakan umur

Tulang dan gigi dapat memberikan informasi bagi perkiraan umur

manusia. Namun signifikansi pemeriksaan tulang bergantung pada besarnya

penyebaran kelompok umur, dikelompokkan menjadi kelompok fetus,

neonatus, anak-anak, remaja dan dewasa. Pada kelompok fetus dan neonatus,

pemeriksaan difokuskan pada inti penulangan dengan pemeriksaan

ronsenologik atau otopsi. Pada anak hingga remaja umur 20 tahun yang paling

berguna adalah pemeriksaan epifisis. Pada kelompok dewasa, dapat melihat

penutupan sutura, perubahan sudut rahang dan adanya proses penyakit pada

tulang

4) Menentukan tinggi badan jenazah

Tinggi badan merupakan salah satu informasi penting yang digunakan

untuk melacak identitas. Perlu diketahui bahwa ukuran tinggi badan orang yang

sudah meninggal biasanya sedikit lebih panjang sekitar 2,5 sentimeter dari pada

tinggi badan waktu hidup. Jika jenazah tidak utuh, maka penentuan tinggi

badan dapat dilakukan dengan meggunakan tulang panjang.

5. Teknik Identifikasi Jenazah

Untuk mengidentifikasi jenazah, dapat digunakan berbagai teknik, yaitu :

a. Dokumentasi kejadian

b. Pengenalan visual

Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-orang

yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif

pada jenazah yang belum membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan
tubuhnya, oleh lebih dari satu orang. Besar kemungkinan adanya faktor emosi

yang mengaburkan pembenaran atau penyangkalan identitas jenazah.

c. Penyesuaian data antemortem dan postmortem

Cara pengumpulan data ante-mortem adalah sebagai berikut :

1) Melalui Unit polisi pencarian orang hilang dalam DVI

Pengumpulan data berupa nama, alamat, nomor telpon yang bisa dihubungi

dari keluarga korban serta data medis korban.

2) Odontologis

Forensik odontology harus menghubungi seluruh dokter gigi yang pernah

melakukan perawatan gigi terhadap korban. Data tersebut harus asli dan

meliputi: odontogram, radiograf, cetakan gigi dan fotograf.

Data post-mortem meliputi :

1) Sidik jari

2) Data dan foto dari pakaian, perhiasan, tato

3) Pemeriksaan patologi forensik

Data yang paling sering digunakan adalah odontology forensic.

Data postmortem dapat dikumpulkan pada tempat kejadian perkara (TKP).

Setelah data antemortem dan postmortem yang di kumpulkan oleh tim yang

berbeda terkumpul, kemudian dibawa ke pusat identifikasi untuk dicocokkan

(matching). Proses identifikasi menggunakan 2 metode, yaitu metode sederhana

dan metode ilmiah.

d. Metode obyektif atau ilmiah

Metode ilmiah dibagi menjadi 3 macam, yaitu:


1) Sidik Jari

Identifikasi menggunakan pola sidik jari merupakan teknik biometrik

tertua di dunia.Sejarahnya kembali ke zaman 6000 tahun sebelum masehi.

Penggunaan sidik jari telah tercatatkan oleh bangsa Assyiria, Babilonia

Jepang dan Cina.Bangsa Cina menggunakan sidik jari sebagai alat

identifikasi penulis dari suatu dokumen.Sejak tahun 1897, dactyloscopy

(identifikasi sidik jari tanpa berbasis komputer) telah digunakan untuk

identifikasi kejahatan.

Karakteristik sidik jari setiap orang adalah unik dan tidak akan

berubah selama hidup. Berdasarkan penelitian peluang dua orang memiliki

sidik jari yang sama lebih kecil dari satu dalam satu milyar.

Odentifikasi sidik jari dilakukan dengan mencocokkan pola

karakteristik yang khas, yang diketahui sebagai detail Galton, point of

identity atau minutiae, dan pemanding minutiae adalah cetak referensi

berupa cap sidik jari menggunakan tinta dari sidik jari tersangka.

Ada tiga gambaran dasar dari bentuk karakter dasar, yaitu :

a) The ridge ending

b) The bifurcation

c) The dot or island

Dalam satu sidik jari terdapat lebih dari 100 poin yang digunakan

dalam identifikasi. Tidak ada ukuran jumlah pasti poin identifikasi yang

ditemukan pada luas area tertentu tergantung dari lokasi penempelan.


Contoh, daerah delta mungkin mengandung lebih banyak poin permilimeter

persegi dibanding daerah ujung jari.

2) Rekam gigi

Merupakan metode identifikasi yang memiliki banyak keunggulan, yaitu :

a) Gigi resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang

ekstrim

b) Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi dan

restorasi gigi membuat identifikasi gigi memiliki ketepatan tinggi

c) Kemungkinan adanya data antemortem berupa rekam gigi

d) Terlindung oleh otot bibir dan pipi, trauma akan mengenai otot-otot

tersebut lebih dahulu.

e) Bentuk gigi geligi di dunia tidak sama, kemungkinan sama satu

banding dua miliar

f) Gigi tahan panas hingga 400̊C

g) Gigi tahan asam keras.

Batasan dari forensik odontologi terdiri dari :

a) Identifikasi dari mayat tak dikenal.

b) Penentuan umur

c) Pemeriksaan jejas gigit

d) Penentuan ras berdasarkan gigi

e) Analisis dari trauma orofasial

f) Dental jurisprudensi berupa keterangan saksi ahli

g) Peranan pemeriksaan DNA dalam identifikasi personal


3) DNA

DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik yang

berfungsi untuk mengatur perkembangan biologik seluruh bentuk kehidupan

secara seluler.DNA terdiri dari dua molekul yang membentuk struktur

double helix.

Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan sebagai sampel

tes DNA, tapi yang sering digunakan adalah sampel darah, rambut, apusan

pipi, dan kuku. Untuk kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur

atau sampel biologis lainnya yang di temukan di TKP dapat menjadi sampel

tes DNA.

a) Tujuan Tes DNA

 Tujuan pribadi : penentuan perwalian anak atau penentuan

orang tua dari anak.

 Tujuan hukum : meliputi masalah forensik, seperti

identifikasi korban yang telah hancur, sehingga butuh

pencocokkan antara DNA korban dengan keluarga, ataupun

pembuktian pelaku kejahatan.

b) Metode tes DNA :

 STR ( Short Tandem repeat)

STR adalah lokus DNA yang tersusun atas pengulangan 2-

6 basa. Dalam genom manusia dapat ditemukan pengulangan

basa yang bervariasi jumlah dan jenisnya. Dengan memprofilkan


DNA menggunakan STR, DNA dapat dibandingkan satu sama

lain.

 PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR merupakan teknik yang memungkinkan sintesis

wilayah DNA tertentu. Yang memungkinkan peneliti membuat

berjuta-juta salinan DNA dalam waktu singkat untuk kemudian

di identifikasi.

B. DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)

1. Definisi DVI

DVI atau Disaster Victim Identification adalah sebuah prosedur untuk

mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat

dipertanggung jawabkan dan mengacu kepada standar baku interpol.

Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi didukung oleh

para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik, ahli sidik jari, ahli DNA,

fotografer, dan tim bantuan lain.

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-

mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Tujuan

penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai identifikasi yang dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan semaksimal mungkin sebagai

wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia,dimana seorang mayat pempunyai hak

untuk dikenali.

DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal, seperti

kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut
dan aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan pada bencana alam, seperti gempa

bumi, tsunami, dan gunung meletus.

Rujukan Hukum :

a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri

c. UU No.23 tentang kesehatan

d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim Identification

f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004

1. PROSES DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat
bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan
koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek
penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made disaster, ketua tim DVI lebih
mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang
lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat
melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi.1
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐
masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang
menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan
bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan
seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk
memeriksa jenasah.1
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan
yang lainnya, yang terdiri dari : 3,6
1. Fase 1 : Fase TKP/The Scene
Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut: 1,6,8
a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi,
sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh korban
atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang;
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan;
d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban yang
ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase
kedua dan seterusnya.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga
langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua
adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau
pelabelan. 8
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil
langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut
antara lain adalah : 8
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang
penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki
akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan
korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.8
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban
kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga langkah tersebut
dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung
mayat untuk kemudian dievakuasi.8

Gambar 1. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post mortem.9

1.1.2. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 1
1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;
2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label
diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai berikut :
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat
tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi dengan referensi koordinat
dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak, atau
hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk, menulang,
hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung
plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya
masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan
diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah
kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.

2. Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan
oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI.
Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk
memperoleh dan mencatat data selengkap–lengkapnya mengenai korban.1,6,8
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut : 1
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah
dan barang‐barang;
c. membuat foto jenazah;
d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;
f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;
g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh,
tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ;
tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda
i. membuat rontgen foto jika perlu;
j. mengambil sampel DNA;
k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
l. melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang
ditemukan di TKP;
m. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan
data sekunder sebagai berikut : 8
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI
Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan
identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia adalah
didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau didukung dengan minimal dua
secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada
jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat
pembusukan.7,8
Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari
berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik
jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.1

Gambar 2. Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah. 6

Dalam skema Gambar 9, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari
pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang . Hal ini mengingat bagaimanapun
pemeriksaan DNA, baik nukleus maupun mitokondria merupakan pemeriksaan identifikasi
yang terpercaya, dalam pelaksanaannya tetap memerlukan waktu dan biaya yang relatif
mahal, meskipun bersifat sensitive. Sebaliknya pemeriksaan sekunder tetap dilakukan
sebagai tugas rutin sesuai prosedur meskipun hasil pemeriksaan primer sudah dapat
dilakukan identifikasi.7
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik
identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan,
Primary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Medical
2) Property
3) Photography
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem
dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers. 3,7,8
2. IDENTIFIKASI

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu


penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu
masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat
amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses
peradilan.9
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak
dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masal,
bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta potongan tubuh
manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus
lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya. Identifikasi
korban bencana, biasanya menjadi tanggung jawab polisi, adalah latihan yang sulit dan
menuntut yang hanya dapat membawa kepada kesimpulan yang sukses jika direncanakan
dengan baik dan yang memang harus melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga
lainnya.9
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah
untuk mengenali korban serta membangun identitas setiap korban dengan membandingkan
dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Dalam banyak kasus , meskipun,
mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan dapat terjadi permasalahan. Permasalahan
yang dapat terjadi adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post
mortem sebagai perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan
upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses
identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi
memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.
7,10,11

1. Identifikasi Korban
Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data : 8
A. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar sebagai
korban selamat)
B. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa tim atau unit,
diantaranya : 8, 10
A. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :
1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)
2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
3) Daftar korban (Victim list)
B. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :
1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)
2) Tim pencari (Search teams)
3) Tim dokumentasi (Photography)
4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)
5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)
6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue Station)
C. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :
1) Unit keamanan (Security unit)
2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)
4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:
a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)
b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)
c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)
d) Unit media (Post-mortem medical unit)
e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)
D. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :
1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section)
2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized section), terdiri dari:
a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)
c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)
d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)
g) Badan identifikasi (Identification board)
h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)

2. Metode dan Teknik Identifikasi


Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante mortem
dengan post mortem. Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu :1,3,8
A. Metode Sederhana yakni, visual, kepemilikan (perhiasan dan pakaian) dan dokumentasi.
B. Metode Ilmiah yakni, sidik jari, serologi, odontologi, antropologi, biologi molekuler.
C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.
Khusus pada korban bencana massal, saat ini berdasarkan standar Interpol untuk proses
identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :1,3
A. Metode identifikasi primer, yaitu sidik jari, gigi geligi, DNA.
B. Metode identifikasi sekunder, yaitu medis, property, fotografi/visual

A. Metode Sederhana / Identifikasi sekunder


1. Visual/Photography dan Medis
Termasuk metode yang sederhana dan mudah dikerjakan yaitu dengan memperlihatkan
tubuh terutama wajah korban kepada pihak keluarga, metode ini akan member hasil jika
keadaan mayat tidak rusak berat dan tidak dalam busuk lanjut. Metode visual tidak dipakai di
dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini karena metode ini tidak dapat diterapkan bila
mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
oleh karena melibatkan faktor psikologi keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress,
sedih dll).8,13

Gambar 3. Jenazah dapat Gambar 4. Pemeriksaan sekunder medis:


7
Diidentifikasi sederhana secara visual. adanya sikatrik.7

Gambar 5. Pemeriksaan sekunder medis: Gambar 6. Pemeriksaan sekunder medis dari


pada korban terlihat kumis, tahi lalat.7 tatto sebagai sarana identifikasi.7
Gambar 7. Pemeriksaan sekunder medis dari sex dan Tinggi Badan.7

2. Kepemilikan/Property
Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus.
Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si pemberi cincin
tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari pakaian,
dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat
merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban.8,13

Gambar 8. Barang bukti berupa pakaian dan perhiasan .8

3. Dokumentasi : KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan
sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.8,13

Gambar 9. Pemeriksaan sekunder properti dari KTP yang melekat. 7


B. Metode Ilmiah (Identifikasi Primer)
1. Sidik jari
Sidik jari atau Finger prints dapat menentukan identitas secara pasti oleh karena sifat
kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada kasus saudara kembar.
Keterbatasannya hanyalah cepat rusak/membusuknya tubuh. Walaupun Fingerprinting sangat
sulit karena kondisi tubuh tetapi dapat berhasil dilakukan oleh ahli ilmiah. Teknik
pengembangan sidik jari pada jari telah keriput, serta mencopotnya kulit ujung jari yang telah
mengelupas dan memasangnya pada jari yang sesuai jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan
pengambilan sidik jari, merupakan prosedur yang harus diketahui oleh dokter.9,13,14
Dalam persiapan untuk finger printing, jari dan tangan harus bersih dengan air atau
dengan sabun emulsi dan dikeringkan dengan kain atau handuk selulosa. Pembersihan tangan
pertama kali memakai alcohol akan menghasilkan print yang lebih bagus.14

2. Serologi
Prinsipnya ialah dengan menentukan golongan darah, dimana pada umumnya golongan
darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani, dan cairan tubuh lainnya.
Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh korban, maupun bercak darah
yang berasal dari bercak yang terdapat pada pakaian, akan dapat mengetahui golongan darah
si korban. Orang yang demikian termasuk golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat
dilakukan dari seluruh cairan tubuh) 75-80% dari penduduk termasuk dalam golongan ini.
Pada mereka yang termasuk non-sekretor, penentuan golongan darah hanya dapat dilakukan
dengan pemeriksaan darahnya saja.13,14

3. Odontologi
Odontology adalah cabang kedokteran forensic yang melibatkan dokter gigi. Gigi adalah
bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma, pembusukan, air, dan
api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat dilakukan
dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium
yang tidak mudah rusak seperti fingerprint tissue dan memiliki daya tahan terhadap
dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih
tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam
keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. 1,15,16

Gambar 14. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi, walaupun
tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.16

Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta kebiasaan
/pekerjaan dan kadang-kadang golongan suku tertentu. Kebiasaan merokok akan
meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang dipangur (diratakan) menujukkan
ras/suku tertentu.13

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 (dua)
kemungkinan: 1
a). memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi; Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai umur, jenis kelamin, ras,
golongan darah, bentuk wajah dan salah satu sampel DNA. Dengan adanya informasi
mengenai perkiraan batas‐batas umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada
data‐data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan
akan menjadi lebih terarah.1
b). mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut; Disini dicatat ciri‐ciri
yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar
mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya
adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan
biasanya dapat lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.1
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian lain dari
kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah. Pemeriksaan ini meliputi
pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan manual, sinar X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data
tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 3,14,15

Gambar 15. Pemeriksaan gigi : pada gigi emas terdapat inisial korban16

Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui proses


pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan gigi, meskipun
keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengan tepat. Semakin lama terpapar dalam
air maka proses pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan
menyebabkan terbatasnya upaya pemeriksaan primer.. 7
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot mengecil
diikuti mengkerutnya kulit, termasuk pengerutan peridontal ligament atau periodontal
membran sebagai jaringan penyangga tulang dan gigi. Hal ini akan sulit dilakukan pada
jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada jenazah yang meninggal dalam air pada
saat proses pembusukan berlangsung disertai dengan proses pembusukan pada maksila dan
mandibula yang akan diikuti dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan
penyangga. Gigi yang terlepas akan sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagian besar akan
jatuh dalam air. Hal ini pula yang mempengaruhi keberhasilan identifikasi primer melalui
pemeriksaan gigi geligi pada korban tenggelam.7
Gambar 16. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi
Postmortem dan Hilangnya Jaringan Lunak. 7

Gambar 17. Proses Pemeriksaan Jenazah Terbakar : Pemeriksaan gigi yang tetap
utuh dan merupakan ciri khas masing-masing.7

a). Identifikasi Forensik Odontology


Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:17
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

b). Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:


- Bila rahang atas dan bawah lengkap : 12
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh : 12
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan
menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing acrylic.
Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-up, dan pengembalian pada
jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh gambaran perkiraan raut
wajah korban untuk membantu memudahkan identifikasi.12

4. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan. Di
dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Hampir
semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan mulut pada
pipisebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih penggunaan darah
dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai
alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak,
adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana).18

5. Antropologi
Ahli Antropologi forensik adalah seseorang yang ahli dalam mengidentifikasikan tulang
dan rangka manusia. Ilmu mereka mencakup tentang jenis kelamin, suku, usia, dan perkiraan
waktu kematian.18
a). Penentuan jenis kelamin pada rangka.14
Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang, seperti tulang
panggul, tengkorak, tulang panjang, tulang dada. Tulang mempunyai nilai tinggi dalam hal
penentuan jenis kelamin, yaitu tulang panggul dan baru kemudian tengkorak. Secara umum
dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk dan tekstur yang lebih halus bila
dibandingkan dengan rangka seorang pria.
 Panggul : Dari pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain, jenis
kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90% kasus. Indeks ischium-pubis pada wanita
15% lebih besar dari pria, ini terdapat pada lebih dari 90% wanita. Indeks tersebut diukur
dari ischium dan pubis dari titik tempat mereka bertemu pada acetabulum. Bentuk dari
“Greater schiatic notch”mempunyai nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang
panggul, 75% kasus dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.
Gambar 20. Struktur dari pelvis a) wanita dan b) pria.19

 Tengkorak : Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tengkorak, diperlukan penilaian
dari berbagai data ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri utama adalah
tonjolan di atas orbita (supraorbital ridges); prosesus mastoideus; palatum; serta bentuk
rongga mata dan rahang bawah. Ciri-ciri tersebut akan tampak jelas setelah usia 14-16
tahun. Menurut Krogman ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan
tengkorak dewasa adalah 90%. Luas permukaan prosesus mastoideus pada pria lebih besar
dibanding wanita. Hal ini dikaitkan dengan adanya insersi otot leher yang lebih kuat pada
pria.

Gambar 21. Perbedaan tulang tengkorak pria dan wanita.16


Gambar 33. Pelvis pria memiliki sudut subpubic yang lebih sempit,bentuk triangular
pubic,dan sacrum yang lebar, berbeda dengan sudut subpubic yang lebar, tubuh persegi pubic
dan sacrum yang lebih kecil pada wanita. Tengkorak pria memiliki dahi yang menonjol,
proc.mastoid yang besar,dagu yang cekung disertai ramus yang tertekuk dan oksipital yang
menonjol. Pada wanita, dahi kurang menonjol, ramus lurus, dan dagu bulat.18

 Tulang dada : Rasio panjang dari manubrium sterni dan korpus sterni menentukan jenis
kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh panjang korpus sterni; dan ini
mempunyai ketepatan sekitar 80%.
 Tulang panjang : Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih panjang, lebih berat, dan
lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (Os.Femur) merupakan tulang
panjang yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis kelamin. Ketepatannya pada orang
dewasa sekitar 80%. Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari
otot dan ligament serta perangai radiologis perlu diperhatikan.

b). Penentuan Tinggi Badan 13


Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaaan dimana yang harus diperiksa
adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari
tulang saja.
Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa tubuh
yang diperiksa itu pendek,sedang atau jangkung.
Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang panjang yaitu,
 Tulang paha (femur) menunjukkan 27% dari tinggi badan
 Tulang kering (tibia) 22% dari tinggi badan
 Tulang lengan atas (humerus) 35% dari tinggi badan
 Tulang belakang, 35% dari tinggi badan
Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang :
 Pengukuran dengan osteometric board
 Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)
 Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah :
1. Formula Stevenson
TB Femur = 61,7207 + 2,4378 x Femur + 2,1756
TB Humerus = 81,5115 + 2,8131 x Humerus+2,8903
TB Tibia = 59,2256 + 3,0263 x Tibia + 1,8916
TB Radius = 80,0276 + 3,7384 x Radius + 2,6791
2. Formula Trotter dan Gleser
TB = 70,37 + 1,22 (Femur + Tibia) + 3,24
Untuk mendapatkan tinggi badan yang mendekati ketepatan sebaiknya pengukuran
dilakukan menurut kedua formula tersebut.

C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.


Superimposisi adalah suatu system pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang
dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Foto
ante mortem dan post mortem korban dibuka dan digabung menggunakan Adobe Photoshop.
Gambar 22. Teknik Superimposisi yang menggunakan anterior dari gigi sebagai panduan.
Tingkat kejernihan : a. 1% b. 25% c. 50% dan d. 90%. 20

Gambar 23. Teknik ini menggunakan Adobe Photoshop-Mediated superimposition

Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah: 3,20


1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.

1.3. Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information
Retrieval

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini
biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah.1,8
Kegiatan : 1
1. menerima keluarga korban;
2. mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana
tersebut;
3. mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, RS/Puskesmas/Klinik,
dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan
sipil, dll;
4. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;
a. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu
perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat;
b. sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik gigi RS
Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
5 mengambil sampel DNA pembanding;
6 apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem dapat diperoleh
melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan Negara asing
(kedutaan/konsulat);
7 memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
8 mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.
1.4. Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem.
Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah
temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang
dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan
identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok
maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai
ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.1,6,8
Kegiatan :1
1) mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP, Unit Post
Mortem dan Unit Ante Mortem;
2) mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat Rekonsiliasi;
3) mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante
Mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
5) check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
6) mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan
surat‐surat lainnya yang diperlukan;
8) publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat membantunmasyarakat untuk
mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.

1.5. Fase 5 : Fase Evaluasi/Debriefing


Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik
terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak
teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan
kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab
pihak yang menguburkan jenazah.1,6,8
Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing,
semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi
terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana,
baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil dentifikasi.2
Perawatan jenazah yang dapat dilakukan meliputi antara lain: 3
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Komisi
Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah
terima jenazah yakni, Tanggal dan jam, Nomor registrasi jenazah, Diserahkan kepada siapa,
alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban, serta Dibawa kemana atau
dimakamkan dimana
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah,
dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga
korban. Sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang
telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik
juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya,
sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh
perhatian.3

Anda mungkin juga menyukai