Anda di halaman 1dari 16

Epistaksis

Disusun oleh:

Elizabeth Angelina

112015393

Pembimbing:

dr. Erna M. Marbun, Sp.THT

Kepaniteraan Klinik THT RS Husada


Periode 8 Agustus 2016 - 10 September 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
Pendahuluan

Epistaksis (perdarahan hidung) merupakan suatu gejala dari suatu kelainan penyakit.
Epistaksis adalah keluhan yang cukup sering didengar. Jarang mengancam nyawa tapi dapat
menimbulkan perhatian khusus terutama pada orang tua dari anak-anak kecil. Kebanyakan dari
perdarahan hidung ini bukan merupakan keganasan dan dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi
dapat berulang.1

Epistaksis dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu perdarahan anterior dan perdarahan
posterior, berdasarkan lokasi asal perdarahan.1

Prevalensi dari epsitaksis tidak diketahui karena kebanyakan kejadian epistaksis dapat
sembuh dengan sendirinya dan tidak dilaporkan. Pengobatan dilakukan berdasarkan gambaran
klinis, pengalaman dokter yang menangani dan ketersediaan layanan kesehatan.1

Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah: 1)pangkal
hidung (bridge), 2)batang hidung (dorsum), 3)puncak hidung (tip), 4)ala nasi, 5)kolumela,
6)lubang hidung (nares anterior).2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari (1)tulang hidung (os nasal), (2)prosesus frontalis os maksila dan
(3)prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu (1)sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, (2)sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar
mayor dan (3)tepi anterior kartilago septum.2
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang
masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.2
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulangnya adalah (1)lamina prependikularis, (2)vomer, (3)krista nasalis os
maksila dan (4)krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah (1)kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan (2)kolumela.2
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.2

1
Gambar 1. Anatomi Hidung3

Gambar 2. Anatomi Hidung3


Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.2

2
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka
media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari sinus frontal,
sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara konka superior dan
konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.2
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan
lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribosa=saringan) tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sfenoid.2

Vaskularisasi Hidung
Hidung memiliki suplai perdarahan yang kaya dengan kontribusi terbanyak berasal dari
arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Sistem perdarahan yang berasal dari arteri
karotis ekterna ke hidung melalui arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri labialis
superior merupakan ujung cabang dari arteri fasialis. Arteri ini menyuplai darah ke anterior
nasal dan septum bagian anterior melalui cabang septum. Arteri maksilaris interna masuk dalam
fossa pterigomaksillaris dan dibagi menjadi 6 cabang yaitu: alveolar posterior superior, palatina
descendens, infraorbital. Sfenopalatina, kanal pterygoid dan faringeal. Arteri palatina descendens
turun melalui kanal palatina besar dan menyuplai dinding lateral nasal. Kemudian kembali ke
hidung melalui cabang di foramen incisive untuk menyediakan darah ke septum anterior. Arteri
sfenopalatina memasuki hidung dekat konka bagian posterior untuk memasok dinding lateral
hidung .1,2
Arteri karotis interna berkontribusi pada perdarahan nasal melalui arteri oftalmika.
arteri ini memasuki tulang orbita melalui fisura orbital superior dan terbagi menjadi beberapa
cabang. Arteri etmoidalis posterior keluar orbita melalui foramen etmoid posterior.1
Pleksus Kiesselbach atau Little’s area merupakan anastomosis dari pembuluh darah yang
berada di septum anterior dan menerima darah baik dari arteri karotis interna maupun arteri
karotis eksterna.1
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri
etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis
anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri
etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi
menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi.2
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

3
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.2
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis.2
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.2

Gambar 3. A.Perdarahan pada septum nasi. B.perdarahan pada dinding lateral


nasal.
Persarafan Hidung
4
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus (N.
V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatina.2
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf
sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis
mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak
di belakan dan sedikit di atas ujung posterior konka media.2
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.2

Fisiologi
Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang canggih untuk
pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi penyaringan partikel-partikel dan
pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat torak semu bersilia (pseudostratified ciliated
columnar epithelium). Lapisan hidung, terutama pada konka inferior dan media mengandung
lamia propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan melewati tulang konka dan
dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat memblok aliran balik vena, yang
akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.2

Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung
oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.2
Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang
berasal dari berbagai macam bahan.2

Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,sehingga terdengar suara
sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat
kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi

5
karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau
padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.2

Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan
napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan
pankreas.

Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring.
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang kebanyakan ringan
dan dapat berhenti sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur. Walaupun kebanyakan
kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat dan
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan
dan menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang
mendasarinya.1,2

Epidemiologi

Angka kejadian epistaksis sulit untuk diperkirakan disebabkan kebanyakan kejadian


dapat diobati sendiri dan tidak dilaporkan. Tetapi dari beberapa sumber, pada populasi umum
insidens epistaksis pada populasi umum berkisar 60% dengan kurang dari 10% mencari
pertolongan medis.

Kebanyakan dialami oleh anak kecil usia 2-10 tahun dan orang tua usia 50-80 tahun.
Epistaksis tidak biasa terjadi pada bayi tanpa koagulopati atau kelainan nasal (misalnya: atresia
koana, neoplasma, dsb). Trauma lokal seperti mengorek hidung terjadi pada usia balita. Anak-
anak yng berusia lebih besar dan orang dewasa memiliki insidens lebih sedikit. Prevalensi
epistaksis lebih tinggi pada laki-laki (58%) dibandingkan perempuan (42%).1

Etiologi

Epistaksis seringkali timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya. Kadang jelas
disebabkan oleh trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau
kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah,
infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfer, kelainan hormonal
dan kelainan kongenital.1,2,6

Kelainan Lokal:

6
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung
dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu
epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu
sedang mengalami pembengkakan.Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital.
Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian
perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal, misalnya pada pipa
nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan
karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma
wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.

b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan di hidung.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat
menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan
pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis
heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh
darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya
perdarahan.

7
e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh pengeringan mukosa
nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat
menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah mudah pecah.
f) Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara yang
dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma
yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.

Kelainan Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,
hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di
sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit
pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A₂(prostaglandin),
hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Trombositopenia adalah
keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama
waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di
seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked
resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi
defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah
pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses
pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam
tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai
daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam
tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada
Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau
gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga
terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dapat pula mempredisposisi epistaksis
berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan,
yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu

8
sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan proses
pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin
dapat menyebabkan epistaksis.
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis,
diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,
sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering terjadi pada
tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan
vasodilatasi, menyebabkan ruptur dari pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX,
X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya
perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan
makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial
pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan
basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi
lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis
dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.
c) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah
yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan
mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.1,2,6

Sumber Perdarahan

9
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior.
Untuk penatalaksanaannya penting dicari sumber perdarahan walaupun kadang-kadang sulit.

Epistaksis Anterior

Kebanyakan berasal dari pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau dari arteri
etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa
yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali
berulang dan dapat berhenti sendiri.2

Epistaksis Posterior

Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan
hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina.2

Patofisiologi

Perdarahan biasanya terjadi ketika mukosa terkikis atau tererosi dan pembuluh darah
menjadi terekspos.

Lebih dari 90% perdarahan bersumber dari anterior, dari plexus kiesselbach yang berada
pada septum anterior. Plexus kiesselbach adalah dimana pembuluh darah yang berasal dari arteri
karotis interna (arteri etmoidalis anterior dan posterior) dan arteri karotis eksterna (arteri
sfenopalatina dan cabang dari arteri maksillaris interna) bertemu.2

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
memperlihatkan perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet
menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah
karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan
oleh iskemia lokal atau trauma.4

Diagnosis Epistaksis

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya


harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya akibat mengorek hidung,
epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau
biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan
darah dan periksa faktor pembekuan darah. Di samping pemeriksaan rutin THT, dilakukan
pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan.5

10
Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain:

 Riwayat perdarahan sebelumnya


 Lokasi perdarahan
 Apakah ada darah mengalir ke dalam tenggorokan atau keluar dari hidung bila pasien
duduk tegak?
 Lama perdarahan dan frekuensinya
 Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
 Hipertensi
 Diabetes mellitus
 Penyakit hati
 Penggunaan antikoagulan
 Trauma hidung yang belum lama

Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber


perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan
serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang
infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau
dihisap.1,2,4

Untuk dapat menghentikan perdarahan, perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah
perdarahan dari anterior atau posterior. Sumber perdarahan dicari dengan membersihkan hidung
dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10000 dan pantocain atau
lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon tersebut dibiarkan
selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan
berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.2

Perdarahan anterior

Perdarahan anterior sering berasal dari plexus Kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak dapat berhenti sendiri, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan dapat
terlihat, tempat asal perdarahan di kaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%.
Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.2

11
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas atau vaselin
atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak
menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4
buah, disusun teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2
x 24 jam, kemudian harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.2

Gambar 4. Penanganan Epistaksis Anterior6

Perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan
posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini
dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi yang berlawanan.2

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter
karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring lalu ditarik keluar dari
mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik
kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang
keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan
secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.2

12
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan
bantuan dua kateter, masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri dan tampon posterior
terpasang di tengah-tengah nasofaring.2

Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Dengan
semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik
kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.2

Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :
100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %. Tampon ini dimasukkan
dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal
dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak
nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.2 Becker (1994) menggunakan larutan asam
triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan
tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial.
Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain
menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.4

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang
berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa
hidung :

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan
dibawah anastesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang
menyilang pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi,
muskulus sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan dan diseksi diteruskan ke arah
bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis
eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a.faringeal asendens, terutama
apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring.4

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

13
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi loka atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc
dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang
dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian
inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada
tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu
lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak
dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator
clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna
diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-
cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik
selama 24 jam.4

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan
ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri
keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.
Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior.
Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm.sebelah anterior nervus optikus. Insisi
etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk
meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior
disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.Dua klem arteri diletakkan pada arteri
etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri
etmoidalis posterior jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.4

Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau sebagai akibat dari
upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan yang hebat dapat menyebabkan
aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal
ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.2

Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis, bloodytears (akibat


darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis), dan septikemia atau toxic shock
syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan otitis media, hemotimpanum
(akibat darah mengalir melalui tuba Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika
benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon balon
tidak boleh di pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau

14
septum. Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3
hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang tampon baru.2

Prognosis

Untuk sebagian besar dari populasi umum, epistaksis hanyalah gangguan. Namun,
masalahnya kadang-kadang dapat mengancam jiwa , terutama pada pasien usia lanjut dan pada
pasien dengan masalah kesehatan lainnya. Untungnya, kematian jarang terjadi dan biasanya
akibat komplikasi dari hipovolemia , dengan perdarahan berat atau kondisi penyakit yang
mendasarinya.1

Secara keseluruhan, prognosis baik tetapi bervariasi; dengan perawatan yang tepat, akan
sangat baik. Ketika perawatan suportif yang memadai disediakan dan masalah medis yang
mendasari dikendalikan, kebanyakan pasien mungkin tidak akan mengalami perdarahan ulang.
Yang lain mungkin memiliki kekambuhan kecil yang menghilang secara spontan. Sebagian kecil
pasien mungkin memerlukan perawatan lebih.

Daftar Pustaka

1. Nguyen QA. Epistaxis. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview#showall. Diunduh
tanggal 15 Agustus 2016.
2. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorol kepala dan leher edisi ke 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. Hal 131-35.
3. Netter FH. Atlas of human anatomy 6th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2014.
4. Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. Epistaksis. Departemen ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok, bedah kepala leher fakultas kedokteran universitas
sumatera utara. Majalah kedokteran nusantara vol 39 (3). September 2006. Hal
274-77
5. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2012. Hal 224-33.
6. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology. Stuttgart: Georg Thieme;
2004.

15

Anda mungkin juga menyukai