Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Fistula adalah suatu ostium abnormal, berliku-liku antara dua organ berongga
internal atau antara organ berongga internal dan dengan tubuh bagian luar. Nama fistula
menandakan kedua area yang berhubungan secara abnormal (Chris Brooker, 2008).
Fistula merupakan saluran yang berasal dari rongga atau tabung normal
kepermukaan tubuh atau ke rongga lain, fistula ini diberi nama sesuai dengan
hubungannya (misalnya : rekto-vaginal, kolokutaneus) (Sylvia A. Price, 2005).
Fistula uretra adalah saluran yang menghubungkan antara uretra dengan organ-
organ sekitar yang pada proses normal tidak terbentuk. Fistula uretra dapat menurpakan
suatu kelainan kongenetal dan didapat (acquired).
2.2 Klasifikasi
Belum dijumpai kesepakatan yang menjadi standar untuk menentukan satu
pembagian ataupun tingkat keparahan fistula uretra. Berbeda penulis nampaknya
menentukan klasifikasi yang berbeda pula. Hamlins menentukan klasifikasi
berdasarkan penilaian subjektif dari hasil penilaian kerusakan yang dijumpai.
Arrowsmith menyarankan pemakaian sistem skoring untuk dapat memprediksi luaran
penderita fistula.
Klasifikasi terdahulu oleh Sims (1852) yang melakukan pembagian fistula
berdasarkan lokasinya pada vagina, klasifikasi tersebut adalah :
1. Uretro-vaginal, yaitu kerusakan terjadi melibatkan uretra
2. Fistula yang melibatkan leher kandung kemih atau pangkal uretra
3. Fistula yang melibatkan dasar kandung kemih
4. Fistula utero-vesikal, dengan bagian terbuka pada uterus dan kanalis serviks

Klasifikasi umum dari fistula urogenital dapat dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu :

1. Vesikouterina
2. Urethrovaginal
3. Vesikovaginal
4. Ureterovaginal
Namun pada umumnya, terdapat dua faktor yang sangat penting yang harus
dilibatkan dalam setiap pembagian suatu fistula urogenital dengan maksud untuk
mendapatkan prediksi nilai luaran yang lebih akurat. Faktor tersebut adalah :
1. Besarnya kerusakan, yang diukur berdasarkan besarnya fistula, jaringan parut yang
ada pada vagina dan kandung kemih.
2. Keterlibatan dengan mekanisme aliran urin, yang berarti penentuan lokasi pada
uretra dan leher kandung kemih. Untuk menilai kerusakan objektif yang terjadi
pada bagian leher kandung kemih sangat sulit dilakukan, namun demikian
pengukuran panjang urethra yang sehat dapat menghasilkan suatu penilaian yang
cukup terpercaya.
2.3 Etiologi
1. Pembedahan yang kurang seteril
2. Kerusakan intervensi bedah
3. Kelainan kogenetal dan didapat
4. Infeksi seperti tuberkolosis paru
5. Trauma pada organ panggul
6. Cidera pada saluran kemih selama persalinan
7. Post radiasi dan persalinan
8. Inflamasi colon
9. Karsinoma rektum
2.4 Manifestasi Klinis
1. Urin dapat terus merambas kedalam vagina atau terdapat inkontinens fekal dan
flatus dikeluarkan melalui vagina (terjadi paa fistula rektovagina).
2. Keluarnya isi perut/feses dan flatus melalui kulit yang terbuka (terjadi pada fistula
enterocutaneous).
3. Nyeri
4. Demam
5. Infeksi sistemik
6. Fecaluria (potongan-potongan kecil feses dikeluarkan saat BAK
7. Peradangan dan pembengkakan didaerah panggul
8. ISK dan disuria
2.5 Patofisiologi
Salah satu etiologi dari terbentuknya fistel adalah dari pembedahan. Biasanya
karena terjadi kurangnya ke sterilan alat atau kerusakan intervensi bedah yang merusak
abdomen. Maka kuman akan masuk kedalam peritoneum hingga terjadinya
peradangan pada peritoneum sehingga keluarnya eksudat fibrinosa (abses),
terbentuknya abses biasanya disertai dengan demam dan rasa nyeri pada lokasi abses.
Infeksi biasanya akan meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan
(perlengketan atau adesi), karena adanya perlengketan maka akan terjadinya kebocoran
pada permukaan tubuh yang mengalami perlengketan sehingga akan menjadi
sambungan abnormal diantara 2 permukaan tubuh. Maka dari dalam fistel akan
meneluarkan drain atau feses.
Karena terjadinya kebocoran pada permukaan tubuh yang mengalami
perlengketan maka akan menyumbat usus dan gerakan peristaltik usus akan berkurang
sehingga cairan akan tertahan didalam usus halus dan usus besar (yang bisa
menyebabkan edema), jika tidak di tangani secara cepat maka cairan akan merembes
kedalam rongga peritoneum sehingga terjadinya dehidrasi.
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Darah lengkap
2. CT (clothing time)
3. BT (blooding time)
4. Urium creatiumi
5. Protein
6. Albumin
7. Endoskopi
Cystourethroscopy adalah bagian penting dari penilaian prabedah pasien
dengan fistula urogenital. Ini membantu memastikan lokasi anatomis yang pasti
dari fistula dan hubungan fistula vesicovaginal dengan muara ureter. Yang penting,
cystourethroscopy juga memungkinkan penilaian jaringan di sekitar fistula.
Kondisi jaringan ini menentukan ketepatan waktu perbaikan secara bedah. Ada
kemungkinan bahwa cystourethroscopy harus diulang beberapa kali selama
penanganan prabedah fistula urogenital.
8. Radiologi
Urografi intravena harus dipertimbangkan pada wanita penderita fistula
urogenital, terutama bila fistula akibat dari proses penyakit, histerektomi atau terapi
radiasi yang dapat menyebabkan fistula ureterovaginal atau obstruksi ureter.
Ureterografi retrograde dilakukan pada kasus yang dicurigai keterlibatan ureter tapi
belum dapat dideteksi pada gambaran urogram intravena. CT-Scan dilakukan pada
penderita yang terkait dengan neoplasma pelvis dan obstruksi ureter.
2.7 Penatalaksanaan
1. Medis
Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan cara operasi. Operasi untuk
kasus ini tanpa komplikasi memiliki tingkat keberhasilan 90%. Operasi ini sukses
dapat memungkinkan perempuan untuk hidup normal. Perawatan pasca operasi
sangat penting untuk mencegah infeksi. Beberapa wanita yang tidak bersedia untuk
operasi ini, dapat mencari pengobatan alternatif yang disebut urostomy
(pengumpulan urin dipakai setiap hari).
2. Manajemen Konservatif
Jika suatu fistula dijumpai beberapa hari setelah pembedahan ginekologi,
kateter surprapubis atau transurethral terpasang dan dipertahankan sampai 30 hari.
Fistula uretra (FVV) yang kecil <1 cm akan hilang atau berkurang selama periode
waktu tersebut.
Kebocoran urin dari fistula yang kecil dapat sembuh dengan pemasangan
kateter foley, fistula yang terjadi dapat menutup spontan kembali setelah 3 minggu
pemasangan kateter untuk drainase urin. Selain itu jika dalam kurun waktu 30 hari
setelah pemasangan kateter, fistula semakin mengecil, dari uji klinis yang
dilakukan, mempertahankan kateter tersebut 2 – 3 minggu lagi dapat memberikan
manfaat. Jika lebih dari 30 hari tidak ada perubahan, dalam kasus FVV tidak akan
menutup secara spontan.
Untuk itu tidak dibenarkan lagi mempertahankan kateter lebih lama sebab akan
memberikan kesempatan untuk terjadi infeksi yang lebih besar daripada pengecilan
fistulanya sendiri.Pemberian kortikosteroid diharapkan dapat memfasilitasi
percepatan penyembuhan dengan mengurangi edema dan fibrosis pada fistula.
Dosis kortikosteroid yang dianjurkan, diberikan kortison 100 mg setiap hari.
Setelah 10 hari kateter dilepas apabila fistel tidak menutup dilakukan tindakan
operasi.
Suatu fistula semakin besar kemungkinan untuk sembuh sendiri pada keadaan;
fistula yang terjadi dalam waktu 7 hari setelah pembedahan, ukuran fistula <1 cm,
suatu fistula simple, tidak ada riwayat radiasi dan penyakit keganasan genitalia dan
penderita telah menjalani setidaknya 4 minggu pemasangan kateter menetap.
2.8 Komplikasi
1. Infeksi
2. Gangguan fungsi reproduksi
3. Gangguan dalam berkemih
4. Gangguan dalam defekasi
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
“ FISTULA URETRA”

A. Pengkajian
1. Identitas
Biasanya berisi nama, jenis kelamin, alamat, No Medical Record, penanggung
jawab, agama, alamat, tanggal masuk, dan lain-lain.
2. Tanda-Tanda Vital
a. Tekanan Darah: Biasanya normal
b. Suhu : Biasanya normal
c. Pernafasan: Biasanya normal
d. Nadi: Biasanya normal
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya terjadi partus lama, partus dengan tindakan SC, karsinoma,
radiasi, trauma operasi atau kelainan congenital, aborsi, pelecehan seksual
atau pemerkosaan.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya terjadi kelumpuhan, inkontinensia urine, haid klien biasanya
terganggu, kulit sekitar anus tebal, infeksi pada jalin lahir, dinding vesika
menonjol keluar, dan keluar cairan dari rectum.
c. Riwayat kesehatan keluarga
d. Riwayat menstruasi
Biasanya haid klien terganggu dengan terjadi amnorrhoe sekunder.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut
Biasanya rambut klien bersih, tidak ada ketombe
b. Mata
Biasanya simertsi kiri dan kanan, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, dan pupil isokor.
c. Hidung
Biasanya tidak terdapat oedema, tidak ada lesi dan simetris kiri dan kanan.
d. Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan, fungsi pendengaran baik.
e. Mulut
Biasanya mukosa bibir lembab.
f. Leher
Biasanya tidak pembesaran dan pembengkakan kelenjar getah bening
g. Payudara
Biasanya simetris kiri dan kanan, dan tidak ada pembengkakan, papilla
mamae keluar dan tidak terdapat nyeri saat menyusui.
h. Jantung
1) I : biasanya ictus cordis tidak terlihat
2) P : biasanya ictus cordis teraba
3) P : biasanya pekak
4) A: biasanya BJ I dan BJ II teratur
i. Abdomen
1) Inspeksi : biasanya tidak asites
2) Auskultasi : biasanya bising usus normal
3) Palpasi : biasanya tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas
4) Perkusi : biasanya tympani
j. Genitalia
Biasanya keluar cairan dari rectum dan vagina, kulit sekitar anus tebal,
infeksi pada jalin lahir, dan dinding vesika menonjol keluar
k. Ekstremitas
Biasanya terjadi kelumpuhan pada ekstermitas bawah akibat trauma
operasi.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan efek tindakan medis dan
diagnostik.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisiologis.
3. Ketidak seimbangan cairan berhubungan dengan dehidrasi
4. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
5. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
C. Intervensi Keperwatan
No. Diagnosa Noc Nic
keperawatan
1. Nyeri Akut b.d  Pain Level, 1. Lakukan pengkajian
pencidera  pain control,
nyeri secara
agen
 comfort level komprehensif
fisiologis termasuk lokasi,
Setelah dilakukan tindakan karakteristik, durasi,
keperawatan selama 1x24 jam frekuensi, kualitas
Pasien tidak mengalami nyeri, dan faktor presipitasi.
dengan. 2. Observasi reaksi
nonverbal dari
Kriteria hasil: ketidaknyamanan.
1. Mampu mengontrol nyeri 3. Bantu pasien dan
(tahu penyebab nyeri, keluarga untuk
mampu menggunakan mencari dan
tehnik nonfarmakologi menemukan
untuk mengurangi nyeri, dukungan.
mencari bantuan). 4. Kontrol lingkungan
2. Melaporkan bahwa nyeri yang dapat
berkurang dengan mempengaruhi nyeri
menggunakan seperti suhu ruangan,
manajemen nyeri. pencahayaan dan
3. Mampu mengenali nyeri kebisingan.
(skala, intensitas, 5. Kurangi faktor
frekuensi dan tanda presipitasi nyeri.
nyeri). 6. Kaji tipe dan sumber
4. Menyatakan rasa nyaman nyeri untuk
setelah nyeri berkurang. menentukan
5. Tanda vital dalam rentang intervensi.
normal. 7. Ajarkan tentang
6. Tidak mengalami teknik non
gangguan tidur. farmakologi: napas
dala, relaksasi,
distraksi, kompres
hangat/ dingin.
8. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri.
9. Tingkatkan istirahat.
10. Berikan
informasi tentang
nyeri seperti
penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan
dari prosedur.
11. Monitor vital
sign sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama
kali.
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor/ pantau
keperawatan selama 1 x 24 eliminas urin,
eliminasi urine
jam, diharapakan gangguan meliputi frekuensi,
b.d efek tindakan eliminasi urin dapat teratasi konsistensi, bau,
dengan. volume dan warna
medis dan
dengan tepat.
diagnostik Keriteria hasil : 2. Monitor untuk tanda
1. Pola eliminasi dalam dan gejala retensi
rentang yang diharapkan. urin.
2. Bau urin dalam rentang 3. Identifikasi faktor-
yang diharapkan. faktor yang
3. Memelihara kontrol menambahkan
pengeluaran urin. episode
4. Pola pengeluaran urin dapat inkontinensia.
diprediksi. 4. Ajarkan pasien tanda
5. Pengeluaran urine tanpa dan gejala infeksi
nyeri. saluran kemih.
6. Mampu untuk 5. Catat waktu,
menghentikan dan kebiasaan eliminasi
mengeluarkan BAK. urin bila diperlukan.
6. Instruksikn klien
untuk memantau
tanda dan gejala
infeksi saluran kemih.
7. Instruksikan pasien
untuk berespon
segera terhadap
kebutuhan eliminasi.
8. Dapatkan spesimen
urin pancar tengah
untuk urinalisi yang
tepat.
9. Rujuk ke dokter jika
terdapat tanda dan
gejala infeksi saluran
kemih.

3. Resiko ketidak  Fluid balance 1. Pertahankan catatan


seimbangan  Hydration intake dan output
 Nutritional Status yang akurat.
 Food and Fluid Intake 2. Monitor status hidrasi
( kelembaban
cairan b.d Setelah dilakukan tindakan membran mukosa,
keperawatan selama1x24 jam nadi adekuat, tekanan
dehidrasi
resiko ketidak seimbangan darah ortostatik ), jika
cairan teratasi dengan. diperlukan.
3. Monitor hasil lab
Kriteria hasil: yang sesuai dengan
1. Mempertahankan urine retensi cairan (BUN ,
output sesuai dengan usia Hmt , osmolalitas
dan BB, BJ urine normal. urin, albumin, total
2. Tekanan darah, nadi, protein ).
suhu tubuh dalam batas 4. Monitor vital sign
normal.Tidak ada tanda setiap 15menit – 1
tanda dehidrasi, jam.
Elastisitas turgor kulit 5. Kolaborasi
baik, membran mukosa pemberian cairan IV.
lembab, tidak ada rasa 6. Monitor status nutrisi.
haus yang berlebihan. 7. Dorong keluarga
3. Orientasi terhadap waktu untuk membantu
dan tempat baik. pasien makan.
4. Jumlah dan irama 8. Kolaborasi dokter
pernapasan dalam batas jika tanda cairan
normal. berlebih muncul
5. Elektrolit, Hb, Hmt dalam meburuk.
batas normal. 9. Pasang kateter jika
6. pH urin dalam batas perlu.
normal. 10. Monitor intake
7. Intake oral dan intravena dan urin output setiap
adekuat. 8 jam.

4. Ansietas b.d  Kontrol kecemasan Anxiety Reduction


kurang  Koping (penurunan kecemasan)
1. Gunakan pendekatan
terpaparnya Setelah dilakukan asuhan yang menenangkan .
selama 1x24 klien kecemasan 2. Nyatakan dengan
informasi
teratasi dengan. jelas harapan
terhadap pelaku
Kriteria hasil: pasien.
1. Klien mampu 3. Jelaskan semua
mengidentifikasi dan prosedur dan apa
mengungkapkan gejala yang dirasakan
cemas. selama prosedur.
2. Mengidentifikasi, 4. Temani pasien untuk
mengungkapkan dan memberikan
menunjukkan tehnik keamanan dan
untuk mengontol cemas. mengurangi takut.
3. Vital sign dalam batas 5. Berikan informasi
normal. faktual mengenai
4. Postur tubuh, ekspresi diagnosis, tindakan
wajah, bahasa tubuh dan prognosis .
tingkat aktivitas 6. Libatkan keluarga
menunjukkan untuk mendampingi
berkurangnya kecemasan klien.
7. Instruksikan pada
pasien untuk
menggunakan tehnik
relaksasi.
8. Dengarkan dengan
penuh perhatian.
9. Identifikasi tingkat
kecemasan.
10. Bantu pasien
mengenal situasi
yang menimbulkan
kecemasan.
11. Dorong pasien
untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi.
12. Kelola
pemberian obat anti
cemas.

5. Resiko infeksi b.d  Immune Status 1. Pertahankan teknik


efek prosedur  Knowledge : Infection aseptif.
control 2. Batasi pengunjung
invasif  Risk control bila perlu.
3. Cuci tangan setiap
Setelah dilakukan tindakan sebelum dan sesudah
keperawatan selama 1x 24 tindakan keperawatan.
pasien tidak mengalami 4. Gunakan baju, sarung
infeksi dengan. tangan sebagai alat
pelindung.
Kriteria hasil: 5. Ganti letak IV perifer
1. Klien bebas dari tanda dan dressing sesuai
dan gejala infeksi. dengan petunjuk
2. Menunjukkan umum.
kemampuan untuk 6. Gunakan kateter
mencegah timbulnya intermiten untuk
infeksi. menurunkan infeksi
3. Jumlah leukosit dalam kandung kencing.
batas normal. 7. Monitor tanda dan
4. Menunjukkan perilaku gejala infeksi sistemik
hidup sehat. dan lokal.
5. Status imun, 8. Pertahankan teknik
gastrointestinal, isolasi k/p.
genitourinaria dalam 9. Inspeksi kulit dan
batas normal. membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase.
10. Monitor adanya
luka.
11. Ajarkan pasien
dan keluarga tanda
dan gejala infeksi.
12. Kaji suhu badan
pada pasien
neutropenia setiap 4
jam.

Anda mungkin juga menyukai