Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Melihat dari kehidupan sehari-hari masih banyaknya kasus-kasus yang ditemukan
berupa kecelakaan ataupun musibah yang dialami individu, baik kecelakaan dalam pekerjaan,
berkendara dan hal-hal lain yang tidak disengaja yang mengakibatkan trauma atau cidera
pada bagian tubuh. Cedera tersebut dapat menyerang semua bagian tubuh tidak terkecuali
bagian kepala.Cedera kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak.
Sejalan dengan meningkatnya pengendara bermotor secara global, terutama di
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, penggunaan kendaraan bermotor dan sepeda
tumbuh dengan cepat di berbagai tempat. Diperkirakan setiap tahunnya hampir sejumlah 1,2
juta orang meninggal dunia dan jutaan lainnya mengalami cedera atau cacat sebagai akibat
dari kecelakaan dijalan.
Penggunaan Helm sangat efektif untuk mencegah cedera kepala dam sekaligus
mengurangi beratnya cedera yang akan diterima oleh pengendara maupun penumpang
kendaraan bermotor. Sayangnya, di banyak Negara penggunaan helm masih sangat rendah.
Sedangkan untuk meminimalisir terjadinya cedera selain dengan penanganan dilokasi
kejadian dan tindakan awal diruang gawat darurat, tindakan resusitasi anamnesis, scoring,
pemeriksaan fisik umum serta neurologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat
mengurangi keparahan atau kecacatan kondisi pasien serta untuk menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan scoring pada pasien cedera kepala sangat perlu dilakukan untuk menentukan
tingkat keparahan kondisi pasien. Dengan skoring perawat dapat menentukan pasien
mengalami CKR, CKS atau CKB dan mengetahui tindakan yang harus diberikan sesuai
dengan hasil scoring cedera kepala.
Maka dari itu dalam memberikan perawatan gawatdarurat pada kasus trauma harus
cepat, tepat dan akurat karena mengingat bertambahnya angka kematian dan jumlah penderita
cidera kepala. Disamping itu apabila pelayanan yang tidak tepat atau penanganan rujukan
yang terlambat akan menyebabkan penderita meninggal dunia.

1.2 RUMUSAN MASALAH


A. Apa pengertian cedera kepala?
B. Bagaimana prinsip pengkajian kegawatdarurat??
C. Bagaimana teknik pengkajian keperwatan gawatdarurat?
D. Bagaimana pelaksanaan pengkajian keperwatan daruratan pada cidera kepala?
E. Bagaimana prinsip pengkajian keperawatan gawatdarurat dengan scoring pada cidera
kepala?
F. Bagaimana format pengakjian scoring kegawatdarurat pada cidera kepala?

1.3 TUJUAN
A.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Cidera kepala atau trauma kapitis adalah cidera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan kepala atau kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak atau jaringan otak sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (sarjir,2012)
Cidera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi sebuah cidera
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan
tengkorak dan otak (pierce dan neil 2014)
Menurut brain of injury assosiation of america (2006), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar
yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif
maupun fungsi fisik. Cidera kepala merupakan suatu trauma atau roda paksa yang
mengenai struktur kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak
atau menimbulkan kelainan struktural (sastro diningrat 2007)
Jadi kesimpulan dari beberapa pengertian diatas bahwa cedera kepala
merupakan trauma kulit kepala, tengkorak dan otak baik terjadi langsung maupun
tidak langsung yang dapat mengakibatkan penurunan kesadaran bahkan dapat
menyebabkan kematian.

2.3 PRINSIP DAN TEKNIK PELAKSANAAN PENGKAJIAN KEPERAWATAN


KEGAWATDARURATAN
Kegiatan dalam memberikan asuhan keperawatan gawat darurat sangat berbeda dengan
perawatan biasanya karena keperawatan gawat darurat memerlukan tindakan dengan
kecepatan dan ketepatan yang tinggi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Maka dari itu
adanya kerjasama yang baik antara tenaga medis dan non medis yang bekerja di ruang
gawat darurat.

i. Prinsip dan teknik dalam penatalaksanaan cedera kepala yang diberikan oleh
perawat di ruang gawat darurat yaitu :
a) Penanganan untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Didalam ruang
kranial terdiri jaringan otak, darah dan cairan cerebrospinal. Normalnya TIK
adalah 10 mmHg, peningkatan TIK terjadi secara bertahap. Biasanya
ditandai dengan rasa mual, muntah, nyeri kepala hebat dan mengalami
penurunan kesadaran. Maka dari itu untuk mencegah peningkatan TIK pada
pasien cedera kepala, tempat tidur pasien diposisikan dengan kepala lebih
tinggi kurang lebih dengan ketinggian 30 derajat.
b) Target penanganan trauma kepala yaitu mencegah kerusakan sekunder
karena komplikasi intracranial dan ekstrakranial, dan menyediakan kondisi
fisiologi yang optimal bagi otak untuk memaksimalkan proses
penyembuhan.
c) Perawatan di ruang gawat darurat diarahkan untuk memberikan
oksigenasasi, karena kebutuhan oksigen otak yang cedera kepala lebih tinggi
dari otak normal oleh karena itu oksigenisasi yang adekuat harus menjadi
prioritas.
d) Selain itu pemberian perfusi otak yang optimal. Pada anak, perdarahan
intracranial dapat menyebabkan hipovolemi. Pada dewasa, hipovolemi
terjadi akibat cedera organ lain atau kerusakan batang otak. Pasca trauma,
autoregulasi otak menjadi rusak, sehingga penting untuk mempertahankan
CPP. Tindakan ini untuk meningkatkan MAP apabila CPP turun hingga
dibawah 40-50 mmHg.
e) Dan pemberian diagnose intracranial yang tepat

ii. Penatalaksanaan pengkajian pada cedera kepala yang dilakukan oleh perawat di
ruang gawat darurat yaitu :
a) Pengkajian Primer
Pengkajian pada cedera kepala yaitu dimulai dari pengumpulan data klien
subjektif maupun objektif pada gangguan system persyarafan sehubungan
dengan cidera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injury, dan
adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Biasaya pengkajian awal pada cidera kepala yang dilakukan adalah :
1) PEMERIKSAAN KESADARAN PASIEN :
 Pada pasien Cidera kepala ringan ( GCS 13-15 )
Dalam hasil pengkajiannya pada pasien COR mengalami
kesadaran disorientasi tanpa disertai defisit fokal serebral.
Kemudian tetap observasi kesadaran, pupil, gejala fokal
serebral disamping tanda-tanda vital.
 Pada pasien Cidera kepala sedang ( GCS 9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan
kardiopulmoner, oleh karena itu dapat dilakukan pengkajian:
 Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi
 Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral
dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang
ekstrimitas
 Pada pasien Cedera kepala berat (CGS 3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple.
2) AIRWAY : pemeriksaan jalan nafas apabila terdapat sumbatan seperti
secret dan adanya suara nafas tambahan ( ronchi) segera diberikan
tindakan keperawatan seperti pemasangan ETT.
3) BREATHING : pemeriksaan frekuensi nafas, irama nafas yang
abnormal. Maka dari itu diberikan tindakan pemberian oksigen
kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu diberikan
ventilator.
4) CIRCULATION : pemeriksaan perubahan frekuensi jantung (
brakikardi ), keluar tidaknya darah dari hidung atau telinga, perubahan
tekanan darah. Maka dapat dilakukan tindakan dengan menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah
yang hilang.
5) EKSPOSURE
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in line harus dikerjakan.

b) Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis dapat meggunakan format SAMPLE (Alergi, Medikasi, Post
illnes, Last meal, dan Event/ Environment yang berhubungan dengan
kejadian) dan untuk anamanes pasien trauma dapat menggunakan MOI (
Mechanism Of Injury) . Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki
dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik.
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode
SAMPLE, yaitu sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas pada
thorak, Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi,
Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan
dadanya dan bernafas pendek, Dispnea, hemoptisis, batuk dan
emfisema subkutan, Penurunan tekanan darah
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi
obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially).
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan
keadaan klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat
dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
P :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E :Events /Environment surrounding the injury, Exactly what happened

Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar


klien yang kemudian digolongkan dalam SAMPLE.
a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b. Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung
gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan
mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan
jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).
c. Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d. Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e. Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral meningkat
karena batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam
atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
f. Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot
aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas
menurun/ hilang (auskultasi mengindikasikan bahwa paru tidak
mengembang dalam rongga pleura), fremitus menurun, perkusi dada :
hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada
tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental:
ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan bernapas, batuk, riwayat
bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi / infeksi paru
(empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).
g. Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

Kemudian pengkajian sekunder pada masalah trauma dapat dilakukan dengan


menggunakan Mecanism Of Injury ( MOI ), yaitu sebagai berikut :
Mekanisme cedera mengacu pada metode dimana kerusakan (trauma) pada
kulit, otot, organ, dan tulang terjadi. Penyedia layanan kesehatan
menggunakan mekanisme cedera (MOI) untuk membantu menentukan
seberapa besar kemungkinan cedera serius terjadi.
Mekanisme cedera juga merupakan sarana penting untuk melakukan triage;
dan apa yang harus disampaikan ke dokter gawat darurat atau ahli bedah.
Beratnya kerusakan kendaraan merupakan sarana pemeriksaan triase non
fisiologik. Mekanisme (gerak) yang menyebabkan cedera merupakan
penyebab utama kematian korban.
Terdapat 3 mekanisme cedera dasar:
1) Deselerasi cepat ke depan (Rapid Forward Deceleration)
Hal yang perlu diperhatikan pada benturan, adalah energi
kinetik dari gerak akan diserap dan penyerapan energi itulah yang
menjadi dasar timbulnya cedera. Deselesari cepat ke depan dapat
menimbulkan cedera tumpul atau tembus.
Misalnya dengan memperhatikan kecelakaan mobil yang
menubruk pohon dari depan (head on) dengan kecepatan 100 km/jam,
terjadi deselerasi cepat yang membuat korban menderita trauma
kepala, cedera servikal, cedera intra abdomen, cedera muskuloskeletal
(misalnya fraktur atau dislokasi panggul).
Untuk menjelaskan gayanya disini digunakan hukum Newton kedua:
"Benda yang bergerak akan tetap bergerak dalam garis lurus kecuali
terjadi pengaruh gaya dari luar"
Hukum ini menjadi contoh tabrakan mobil. Energi kinetik dari
mobil yang melaju ke depan diserap oleh setiap bagian dari mobil dan
terjadi penghentian tiba-tiba karena benturan. Penumpangnya juga
bergerak dengan kecepatan 100 km/jam, sehingga terjadi benturan
dengan bagian mobil, seperti kaca depan, kemudi atau dashboard.
Dengan mencermati mekanisme ini dapat diketahui berbagai jenis
cedera yang dapat terjadi.

2) Deselerasi cepat vertikal (Rapid Vertical Deceleration)


Mekanisme jatuh dari ketinggian adalah contoh deselerasi vertikal.
Jenis cedera yang terjadi bergantung pada 3 faktor:
 Jarak ketinggian
 Bagian tubuh yang membentur
 Permukaan yang terbentur
Kelompok yang sering terkena adalah dewasa dan anak-anak di bawah
5 tahun. Pada anak kecil,umumnya anak-laki-laki,disebabkan karena
kurangnya pengawasan,tidak adanya pagar,dan sikap ingin tahu anak.
Akan terjadi kemungkinan cedera sebagai berikut:
 Patah tulang kaki
 Cedera pelvis
 Tekanan axial pada lumbal dan tulang servikal
 Fraktur colles/pergelangan tangan.
Makin tinggi jatuhnya,makin berat kemungkinan cederanya. Walaupun
demikian jangan menganggap ringan orang yang jatuh dari tempat
yang rendah. Kerasnya pemukaan dan bentuknya yang tidak teratur
akan mempengaruhi cederanya.

3) Penetrasi proyektil (Projectile Penetration)


Berbagai obyek dapat menimbulkan luka tembus mulai dari benda
tajam sampai benda asing yang terlempar. Benda yang terlempar dapat
menembus dinding thorax dan abdomen,yang sering adalah pisau dan
peluru.
 Luka karena pisau bergantung pada lokasi anatomi yang
terkena, panjangnya pisau dan sudut arahnya. Luka tusuk
abdomen bagian atas dapat menembus thorax dan luka tusuk
dibawah iga IV dapat menembus abdomen. Yang harus diingat
adalah: "jangan pernah mencabut pisau yang menembus"
 Luka tembus akibat peluru dapat disebabkan oleh berbagai
jenis senjata. Senjata dikelompokan atas kecepatan tinggi atau
rendah. Senjata yang kecepatan peluru rendah mengakibatkan
cedera yang kurang merusak dibanding yang diakibatkan oleh
senjata kecepatan tinggi. Kecepatan rendah juga dapat
mematikan bergantung pada bagian tubuh yang terkena.
Sedangkan cedera oleh senjata kecepatan tinggi terdapat
tambahan yaitu tekanan hidrostik. Faktor ini akan menambah
kerusakan pada bagian cedera.

2.4 INSTRUMENT PRINSIP PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWATDARURAT


ATAU SCORING
2.4.1 Sejarah
Pemeriksaan pada masalah cidera kepala selain dengan GCS dapat
juga menggunakan Sistem penilaian scoring dengan KTS atau kampala trauma
score. KTS di kembangkan di Uganda pada tahun 1996 untuk digunakan di
Negara yang bersumber daya terbatas, berpenghasilan rendah dan menengah.
KTS pada awalnya dikembangkan sebagai alat menilai keparahan
cedera dalam pengaturan tanpa diagnostik cangggih, ia memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang sebanding dengan RTS, ISS dan TRISS untuk
memprediksi hasil secara retrospektif.

2.4.2 Indikasi

2.4.3 Uji Validitas dan Reabilitas


Sebuah penelitian melakukan uji keakuratan diagnostic Skor Kampala
Trauma ( KTS ) dengan skor Skala Cidera Singkatan ( AIS ) dan pendapat
dokter. Dilakukan pada pasien yang terluka dan mengalami cedera parah
yang datang ke Rumah sakit Pendidikan Komfo Anokye, Ghana.
Dimana kesimpulannya dalam penelitian itu menjelaskan bahwa KTS
dapat digunakan sebagai alat triase yang praktis dan valid dengan estimasi
cedera serius awal. Data ini menunjukkan KTS mungkin berguna untuk
memprediksi prognosis pasien selama perawatan darurat dengan
demeikian KTS berguna untuk menginformasikan pengambilan keputusan
rujukan melalui identifikasi cedera serius yang memerlukan fasilitas
tingkat tinggi, yang merupakan komponen penting dari proses perawatan
trauma.

2.4.4 Keutamaan KTS :


a. KTS adalah bentuk penyerdehanaan dari RTS dan ISS
b. KTS lebih praktis digunakan daripada alat triase lainnya, seperti
South African Triage Scale ( SATS) karena memerlukan lebih
sedikit variable untuk perhitungan dan algoritma tunggal dapat
diterapkan untuk semua kelompok umur.
c. Dapat memperkirakan kematian pasien cedera dengan baik
d. Merupakan alat triase baru yang praktis dan valid untuk
memprediksi prognosis pasien
e. Menguatkan data untuk dijadikan pengambilan keputusan rujukan
dari rumah sakit tingkat pertama dan kedua untuk memperoleh
pelayanan yang lebih baik.
2.4.5 Kekurangan KTS
Meskipun KTS memiliki potensi sebagai alat triase namun validitas
estimasi cedera awal di Rumah Sakit tingkat rendah harus dinilai kembali
karena pengaturan ini memiliki sumber daya lebih sedikit daripada Rumah
Sakit tingkat lebih tinggi, yang dapat mengubah keandalan estimasi
tersebut.
KTS merupakan alat triase tradisional yaitu digunakan sebelum
evaluasi dokter maka dari itu validitas oleh perawat atau pendapat teknisi
darurat mengenai jumlah cedera serius perlu ditentukan.

2.4.6 Penggunaan KTS


KTS dapat digunakan pada dewasa dan anak-anak rentang nilai berkisar
dari 5-16. Nilai lebih rendah menunjukkan cidera lebih berat. Cara
penilaian Kampala core sebagai berikut:
Cidera berat bila KTS <11
Cidera sedang 11-13
Cidera ringan 14-16
Nilai KTS ≤14 meningkatkan resiko kematian 3 kali lipat.

Sistem penilaian trauma KTS :


Age (years)
≤5 1
6 – 55 2
>55 1 a. ( ..... )
Number of serious injuries
None 3
One 2
Two or more 1 b. ( ..... )
Systolic blood pressure
>89 4
50 – 89 3
1 – 49 2
Undetectable 1 c. ( .... )

Respiratory rate (breath/min)


10 – 29 3
≥30 2
≤9 1 d. ( .... )
Neurological status (AVPU system)
Alert 4
Responds to verbal stimuli 3
Responds to painful stimuli 2
Unresponsif 1 e. ( .... )
KTS total = a + b + c + d + e = f f. ( .... )

Indikasi penilaian dengan KTS :


CIDER

 RTS merupakan merupakan sistem yang paling banyak digunakan


penilaian fisiologis. Sistem ini menggabungkan nilai GCS dengan laju
respirasi dan tekanan darah sistolik
RTS digunakan sebagai instrumen tenaga kesehatan pra rumah sakit untuk
membantu memutuskan apakah pasien trauma harus di bawa ke fasilitas
pelayanan primer atau ke pusat trauma. Untuk tenaga kesehatan rumah
sakit, RTS membantu memutuskan tingkat respon yang di aktifkan. RTS ≤
11 berhubungan dengan mortalitas 30% dan harus segera di bawa kepusat
trauma
Glasgow coma Systolic blood Respiratory rate Coded value
score pressure
13 – 15 >89 mmHg 10 – 29 4
breath/minute
9 – 12 76 – 89 >29 3
6–8 50 – 75 6–9 2
4-5 1 – 49 1–5 1
3 0 0 0
The triage RTS is the sum of the coded values in each of the three
categories
The research RTS includes weighting co-effcients for each category.

 ISS merupakan Sistem penilaian anatomis yang sering digunakan adalah


Injury Severity Score (ISS) yang diturunkan dari AIS (Abbreviated Injury
Scale). AIS dikembangkan untuk mengukur trauma kecelakaan kendaraan
bermotor dan telah mengalami perubahan. AIS adalah sistem pengkodean
menyeluruh untuk cidera semua tipe disetiap bagian tubuh, dengan
deskripsi karakteristik setiap tingkat keparahan dari 0 (tidak ada cidera)
sampai 6 ( cedera yang tidak dapat diselamatkan )
ISS merangkum tingkat keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa
cidera. Sistem penilaian ISS :
ISS vs NISS – an Example
AIS Score Region
Multiple abrasions 1 external
Deep laceration tongue 2 face
Subarachnoid hemorraghe 3 head/neck
Major kidney laceration 4 abdomen
Major liver laceration 4 abdomen

ISS = (4)₂ + (3)₂ + (2)₂ = 29


NISS = (4)₂ + (4)₂ + (3)₂ = 41
ISS digunakan terutama pada pasien pasien yang mempunyai cidera multiple.
ISS mempunyai keterbatasan yaitu pengumpulan nilai terbatas serta hanya
mengambil cidera paling serius di setaip bagian tubuh. Pengumpulan data ini
yang paling akurat dengan menggunakan alat penunjang seperti MRI atau
angiografi.
ISS kurang baik digunakan jika pada banyak cidera di satu sisi tubuh, nisalnya
luka tembak di abdomen. Namun ISS sudah digunakan secara luas untuk
penilaian awal cidera multiple.

Anda mungkin juga menyukai