Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Bronkopneumonia
2.1.1 Definisi Bronkopneumonia

Pneumonia adalah infeksi yang mengenai parenkim paru, yang biasanya


pada anak disebabkan oleh virus Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus inflamasi A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus, dan adenovirus (Behrman et al, 2000). Bronkopneumonia
disebut juga pneumonia lobularis dinyatakan dengan adanya daerah infeksi
yang berbecak dengan diameter sekitar tiga sampai empat sentimeter yang
mengelilingi dan melibatkan bronkus (Price et al, 2006).
Bronkopneumonia adalah suatu peradangan paru yang biasanya
menyerang di bronkeoli terminal. Bronkeoli terminal tersumbat oleh eksudat
mokopurulen yang membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobuli yang
berdekatan. Penyakit ini sering bersifat sekunder, menyertai infeksi saluran
pernafasan atas, demam infeksi yang spesifik dan penyakit yang melemahkan
daya tahan tubuh (Nurarif & Kusuma. 2015). Bronkopneumonia merupakan
radang paru-paru pada bagian lobularis yang ditandai dengan adanya bercak-
bercak infiltrat yang disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur,
dan benda asing. Bronkopneumonia ditandai dengan gejala demam tinggi,
gelisah, dispnea, nafas cepat dan dangkal (terdengar adanya ronki basah),
muntah, diare, batuk kering dan produktif (Saputri, 2013).
Bronkopneumonia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia dibawah 5 tahun (balita). Diperkirakan sekitar 2 juta balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia dan sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Berdasarkan survei demogafi kesehatan Indonesia
prevalensi pneumonia balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002
menjadi 11,2% pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2007).
2.1.2 Patogenesis Bronkopneumonia
Proses bronkopneumonia berawal dari inhalasi mikroba di udara, aspirasi
organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen. Selain itu juga
berhasilnya kuman patogen seperti virus, bakteri, jamur, mycoplasma dan
benda asing masuk ke saluran pernafasan yaitu bronkus sehingga terserap ke
paru perifer yang menyebabkan reaksi jaringan berupa edema, yang
memudahkan proliferasi dan penyebaran kuman. Bagian paru yang terkena
mengalami konsolidasi, yaitu terjadinya serbukan sel PMN (poli morfonuklear),
fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman di alveoli. Stadium ini disebut dengan
hepatisasi merah. Selanjutnya terjadi deposisi fibrin ke permukaan pleura, yaitu
terdapatnya fibrin dan leukosit polimorfonuklear di alveoli dan terjadinya proses
fagositosis yang yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu.
Akhirnya jumlah sel makrofag di alveoli meningkat, sel akan berdegenerasi dan
fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium
resolusi (Mansjoer, 2000).
Pada bronkopneumonia, bagian paru yang terkena terdapat penyebaran
daerah infeksi yang berbercak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 sentimeter
yang mengelilingi dan juga melibatkan bronki (Price et al, 2006).
Mikrobakterium Pneumoniae menimbulkan peradangan dengan gambaran
beragam pada paru. Mikrobakterium pneumoniae cenderung berkembang biak
pada permukaan sel mukosa saluran nafas. Akibat terbentuknya H2O2 pada
metabolismenya maka yang terjadi adalah deskuamasi dan ulserasi lapisan
mukosa, edema dinding bronkus dan timbulnya sekret yang memenuhi saluran
nafas dan alveoli. Kerusakan ini timbul dalam waktu relatif singkat antara 24 –
28 jam dan dapat terjadi pada bagian paru yang cukup luas (Noenoeng, 2000).
Pola penyakit bronkopneumonia tergantung pada agen penyebab, usia anak,
reaksi anak, luasnya lesi, dan derajat obstruksi bronkus

2.1.3 Etiologi Bronkopneumonia


Pada individu yang terserang bronkopneumonia, biasanya diakibatkan
oleh adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi
organisme patogen. Orang yang normal dan sehat memiliki pertahanan tubuh
terhadap organ pernafasan yang terdiri dari reflek glotis dan batuk, adanya
lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan
sekresi humoral setempat (Wilkinson & Ahern, 2013).
Timbulnya bronkopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa, mikobakteri, mikoplasma, dan riketsia antara lain (Nurarif & Kusuma,
2015 dan Kemenkes RI, 2010):
1) Bakteri
Penyebab utama bakteriologik pneumonia anak balita adalah Streptococcus
pneumoniae/pneumococcus (30-50% kasus) dan Hemophilus influenzae
type b/Hib (10-30% kasus), diikuti Staphylococcus aureus dan Klebsiela
pneumonia, Chlamydia spp, Pseudomonas spp, Escherichia coli (E coli) juga
menyebabkan pneumonia. Pneumonia pada neonatus banyak disebabkan
oleh bakteri Gram negatif seperti Klebsiella spp, E coli disamping bakteri
Gram positif seperti S pneumoniae, grup b streptokokus dan S aureus.
2) Virus
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus, kemudian diikuti virus influenza A dan B,
parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.
3) Jamur
Penyebab pneumonia dari jamur yaitu akibat terinfeksi Aspergillus spesies,
Candida albicas.
4) Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal, atau isi lambung ke dalam paru-paru
5) Terjadi karena kongesti paru yang lama

Berdasarkan usia, etiologi pneumonia dibagi menjadi (Kartasasmita, 2010):

- Pada bayi baru lahir, pneumonia sering terjadi akibat aspirasi, infeksi virus
Varicella-zoster dan infeksi berbagai gram negatif seperti bakteri E coli,
TORCH, Streptococcus, dan Pneumococcus.
- Pada bayi, pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu
Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A atau B, Respiratory
Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu B. streptococci, E coli, P aeruginosa,
Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia.
- Pneumonia pada balita dan anak pra-sekolah disebabkan oleh virus, yaitu:
Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri yaitu: S.
pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus aureus,
Chlamydia.
- Pada anak usia sekolah dan usia remaja, pneumonia disebabkan oleh virus,
yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S.
pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma.

2.1.4 Faktor Risiko Bronkopneumonia


Faktor dasar yang menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas
pneumonia anak balita di negara berkembang adalah (Mulholland, 1999 dalam
Kemenkes RI, 2010):
1) Kemiskinan yang luas
Kemiskinan yang luas berdampak besar dan menyebabkan derajat
kesehatan rendah dan status sosio-ekologi menjadi buruk.
2) Derajat kesehatan yang rendah
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi termasuk
infeksi kronis dan dan infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid
seperti malaria, campak, gizi kurang, defisiensi vitamin A, defisiensi zink,
tingginya prevalensi kolonisasi patogen di nasofaring, tingginya kelahiran
dengan BBLR, tidak ada atau tidak memberikan ASI dan imunisasi yang tidak
adekuat memperburuk derajat kesehatan.
3) Status sosio-ekologi buruk
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya lingkungan,
daerah pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam ruang akibat
penggunaan biomass (bahan bakar rumah tangga dari kayu dan sekam
padi), dan polusi udara luar ruang. Ditambah dengan tingkat pendidikan ibu
yang kurang memadai serta adanya adat kebiasaan dan kepercayaan lokal
yang salah.
4) Pembiayaan kesehatan yang sangat kecil
Pembiayaan kesehatan yang tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan
seperti infrastruktur kesehatan untuk diagnostik dan terapeutik tidak
adekuat dan tidak memadai, tenaga kesehatan yang terampil terbatas, di
tambah lagi dengan akses ke fasilitas kesehatan yang kurang.
5) Proporsi populasi anak lebih besar
Besarnya proporsi populasi anak akan menambah tekanan pada
pengendalisan dan pencegahan pneumonia terutama pada aspek
pembiayaan.

Faktor dasar tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berupa sebab-akibat,


saling terkait dan saling mempengaruhi sebagai faktor risiko pneumonia pada
anak. Menurut Rudan et al (2008) terdapat 3 kelompok faktor risiko yang
mempengaruhi insidens pneumonia pada anak. Faktor risiko tersebut adalah:

- Faktor risiko yang selalu ada (definite risk factors)


a) Malnutrisi (z-score BB/U <-2)
b) Berat Badan Lahir Rendah (<2500 g)
c) ASI non eksklusif (4 bulan pertama kehidupan)
d) Tidak/belum imunisasi campak (dalam 12 bulan pertama kehidupan)
e) Polusi udara dalam ruang
f) Pemukiman padat
- Faktor risiko yang sangat mungkin (likely risk factors)
a) Orang tua perokok
b) Defisiensi zink
c) Pengalaman ibu sebagai pengasuh
d) Penyakit penyerta (diare, penyakit jantung, asma)
- Faktor risiko yang masih mungkin (possible risk factors)
a) Tingkat pendidikan ibu
b) Curah hujan
c) Ketinggian daerah tempat tinggal
d) Defisiensi vitamin A
e) Polusi udara luar
f) Urutan kelahiran

2.1.5 Manifestasi Klinis Bronkopneumonia


Bronkopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di saluran
pernafasan bagian atas selama beberapa hari. Pada tahap awal, penderita
bronkopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas seperti menggigil,
demam, nyeri dada pleuritis, batuk produktif, hidung kemerahan, saat bernapas
menggunakan otot, aksesorius dan bisa timbul sianosis. Terdengar adanya
krekels diatas paru yang sakit, dan terdengar ketika terjadi konsolidasi
(pengisian rongga udara oleh eksudat) (Bara C, 1996 dikutip dalam Nurarif &
Kusuma, 2015).
Menurut Kemenkes RI (2010), gambaran klinis pneumonia
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok. Pertama yaitu gejala umum, misalnya
demam, sakit kepala, malaise, nafsu makan menurun, gejala gastrointestinal
seperti mual, muntah dan diare. Kedua yaitu gejala respiratorik, seperti batuk,
napas cepat (tachypnoe/ fast breathing), napas sesak (retraksi dada/chest
indrawing), napas cuping hidung, air hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan
tanda klinis pneumonia berat. Anak pneumonia dengan hipoksemia 5 kali lebih
sering meninggal dibandingkan dengan pneumonia tanpa hipoksemia.

2.1.6 Hubungan Bronkopneumonia dengan Bronkitis


PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) merusak fungsi saluran udara dan
paru-paru. PPOK mencakup dua kondisi berbeda, yaitu (Villines, 2017):
a. Emfisema, yang menghancurkan kantung udara di paru-paru. Ketika
emfisema berlanut, kantung udara menjadi lemah sehingga sulit untuk
menyediakan oksigen untuk tubuh.
b. Bronkitis kronis, yang menyebabkan radang pada kantung yang
membawa udara ke paru-paru. Individu dengan bronkitis kronis juga
memproduksi volume mukus lebih besar dari biasanya.

Pneumonia merupakan kelompok infeksi paru yang dapat disebabkan oleh


bakteri, virus, atau jamur. Individu dengan pneumonia mengembangkan
peradangan kantung udara yang terisi dengan cairan. Hal tersebut membuat
bernafas lebih sulit dan menyebabkan berkurangnya kadar oksigen. PPOK
melemahkan sistem pernafasan, meningkatkan kerentanan terhadap pneumonia.
Karena orang dengan PPOK sudah memiliki saluran udara yang melemah dan
sistem kekebalan tubuh yang lebih buruk, sehingga mereka lebih besar memiliki
kemungkinan untuk meninggal karena pneumonia (Villines, 2017).
Individu dengan PPOK mungkin lebih rentan untuk mengembangkan
pneumonia berdasarkan karakteristik klinis mereka seperti pada bronkitis kronis
yang memiliki produksi mukus yang persisten, adanya bakteri patogen potensial
di saluran udara, adanya bakteri di saluran napas pada individu dengan PPOK, dan
adanya bakteri di saluran napas pada pasien PPOK yang stabil, serta peningkatan
jumlah bakteri selama eksaserbasi telah dikaitkan dengan peningkatan
peradangan dan respons imun inang (Restrepo et al, 2018).

2. 2 Pengaruh Malnutrisi pada Penyakit Paru


Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit paru. Status nutrisi
yang terganggu akan mempengaruhi fungsi paru pada pasien yang bernafas
spontan maupun yang menggunakan ventilator, karena status nutrisi dapat
mempengaruhi fungsi pernapasan, kemampuan ventilasi, respon terhadap
hipoksia dan mekanisme pertahanan paru. Pada pasien sakit kritis terjadi
katabolisme protein sebagai sumber energi. Apabila terjadi asupan nutrisi yang
tidak adekuat pada sakit kritis, energi dihasilkan dari katabolisme protein dan
glukoneogenesis. Katabolisme protein berasal dari protein otot, termasuk otot
diafragma dan interkostal, sehingga akan mempengaruhi fungsi pernapasan
(McCarthy, 2005). Malnutrisi karena kurangnya asupan makanan berdampak
pada kekuatan dan ketahanan otot-otot pernapasan, terutama diafragma dan
juga pada bronkiolus respiratori, alveoli, kapiler (Bergman et al, 2011).

2. 3 Medical Nutrition Therapy (MNT) pada Bronkopneumonia


Pada penyakit paru akut maupun kronis, pemenuhan nutrisi yang tidak
adekuat dapat mengakibatkan imunokompromais, wasting otot pernapasan
dan disfungsi ventilasi sehingga memperpanjang ketergantungan terhadap
ventilator. Pemberian nutrisi yang berlebihan akan memberikan efek
merugikan pada pasien paru karena adanya peningkatan produksi karbon
dioksida (CO2) dan kebutuhan oksigenasi yang meningkat pada sistem organ
yang sudah terganggu. Tujuan dukungan nutrisi pada pasien paru dalam
kondisi sakit kritis adalah untuk memenuhi kebutuhan energi yang sesuai
dengan kebutuhan metabolik dan protein, mencegah terjadinya wasting otot
pernapasan dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi pernapasan (McCarthy,
2005).

2. 3. 1 Kebutuhan Makronutrien
2. 3. 1. 1 Kebutuhan Energi
Kebutuhan gizi pada pasien anak bersifat individual. Kecukupan atau
adekuat tidaknya pemenuhan kebutuhan dilihat kembali berdasarkan respon
pasien. Perhitungan kebutuhan energi anak dihitung secara individual
berdasarkan berat badan ideal sesuai tinggi badan aktual dikalikan dengan
AKG sesuai usia tinggi (Utama et al, 2014).
Selama periode stres metabolik pemberian nutrisi berlebihan
(overfeeding) dapat meningkatkan kebutuhan metabolisme di paru dan
hati, dan dapat berakhir dengan meningkatnya angka kematian. Komplikasi
overfeeding meliputi kelebihan produksi CO2 yang meningkatkan ventilasi,
edema paru dan gagal napas, hiperglikemia yang meningkatkan kejadian
infeksi. Oleh sebab itu kebutuhan nutrisi pasien harus selalu
diperhitungkan agar tidak terjadi underfeeding atau overfeeding. Setelah
terdapat perbaikan klinis dan melewati fase kritis dari penyakitnya (setelah
hari ke 7-10), kebutuhan kalori serta protein perlu dinilai kembali
menggunakan RDA karena diperlukan untuk tumbuh kejar (catch up
growth) (Sjarif, 2011).
2. 3. 1. 2 Kebutuhan Protein
Pemenuhan protein yang adekuat dapat membantu proses sintesis
protein, proses penyembuhan luka dan respons inflamasi, dan
mempertahankan massa otot skelet. Perkiraan kebutuhan protein pada
anak sakit kritis yaitu pada usia 0-2 tahun sebesar 2-3 g/kg BB/hari, 2-13
tahun sebesar 1,5-2 g/kg BB/hari dan 13-18 tahun sebesar 1,5 g/kg BB/hari
(Skillman & Wischmeyer, 2008).
2. 3. 1. 3 Kebutuhan Karbohidrat
Glukosa merupakan sumber energi utama pada otak, eritrosit dan
medula ginjal dan berguna pada perbaikan jaringan yang terluka. Cadangan
glikogen terbatas jumlahnya dan cepat habis pada sakit kritis sehingga
meningkatkan kebutuhan akan glukoneogenesis. Pemberian glukosa pada
respons stres metabolik tidak menghentikan proses glukoneogenesis,
proses katabolisme protein otot untuk menghasilkan glukosa terus
berlangsung sehingga pemberian asupan tinggi karbohidrat pada pasien
sakit kritis tidak dianjurkan (Mehta & Chomper, 2009).
Karbohidrat sering dihubungkan dengan terjadinya hiperkapnea yang
berhubungan dengan overfeeding. Namun penelitian Talper tahun 1992
mengklarifikasinya, saat dilakukan pemberian diet isokalori dengan
berbagai konsentrasi karbohidrat, produksi CO2 tidak berubah. Saat
dinaikkan jumlah kalori totalnya namun kadar karbohidratnya tetap (60%),
terjadi peningkatan produksi CO2 yang signifikan. Hal ini menjelaskan
bahwa kalori total harus lebih diperhatikan daripada presentase
karbohidratnya (Turner et al, 2011).
2. 3. 1. 4 Kebutuhan Lemak
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)/ Society
of Critical Care Medicine (SCCM) dalam konsensusnya pada tahun 2009
menyatakan bahwa pemberian formula tinggi lemak rendah karbohidrat untuk
memanipulasi respiratory quotient (RQ) dan menurunkan produksi CO2 tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien gagal nafas akut.
Karena berisiko tinggi terhadap retensi CO2 (Turner et al, 2011).
Pemberian lemak terutama asam lemak esensial digunakan untuk
oksidasi lemak pada tingkat seluler. Banyak penelitian yang menunjukkan efek
antiinflamasi pada pemberian asam lemak omega 3 terutama EPA dan DHA,
berguna pada penyakit inflamasi kronik. Pemberian lemak antiinflamasi
spesifik pada tahap akut digunakan untuk menjaga fungsi organ-organ vital
dan membantu proses imunitas, inflamasi, dan antioksidan (Turner et al,
2011).
2. 3. 2 Kebutuhan Mikronutrien
2. 3. 2. 1 Kebutuhan Zink
Kekurangan zink dihubungkan dengan penurunan imunitas dan
peningkatan penyakit infeksi serius. Kekurangan zink kemungkinan menjadi
penyebab utama peningkatan mortalitas bayi yang kekurangan nutrisi di
negara berkembang. Zink plasma yang rendah berkaitan dengan peningkatan
kejadian risiko infeksi saluran napas bawah akut. Konsumsi zink yang kurang
akan mengganggu keseluruhan fungsi imun dan ketahanan terhadap infeksi
karena penekanan fungsi timus, perkembangan limfosit T, limfoproliferasi, dan
fungsi sel B tergantung sel T. Pemberian suplemen zink 20 mg pada anak
dengan pneumonia efektif dalam pemulihan demam, sesak napas, dan laju
pernapasan.
Menurut Gibson et al (1998), strategi yang dapat dilakukan untuk
mencegah defisiensi zink dari asupan yaitu meningkatkan asupan makanan
yang memiliki kandungan zink yang tinggi. Ikan merupakan sumber makanan
yang kaya akan zink. Konsumsi kacang tanah rebus sebagai makanan ringan
juga direkomendasikan untuk meningkatkan asupan zink. Selain itu, strategi
yang lain yang dapat dilakukan adalah meningkatkan asupan makanan yang
diketahui dapat meningkatkan asupan zink. Asam amino tertentu dan peptida
yang mengandung sistein, dikeluarkan selama pencernaan protein hewani
selular (yaitu ikan, ayam, dan kambing) dan asam organik (misalnya sitrat,
laktat, asetat, butirat, dan asam format) yang dihasilkan selama fermentasi,
meningkatkan penyerapan zink, dengan membentuk ligan yang dapat larut
dengan zink atau dengan mencegah pembentukan kompleks zink-fitat tidak
larut.

Anda mungkin juga menyukai