TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Bronkopneumonia
2.1.1 Definisi Bronkopneumonia
- Pada bayi baru lahir, pneumonia sering terjadi akibat aspirasi, infeksi virus
Varicella-zoster dan infeksi berbagai gram negatif seperti bakteri E coli,
TORCH, Streptococcus, dan Pneumococcus.
- Pada bayi, pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu
Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A atau B, Respiratory
Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu B. streptococci, E coli, P aeruginosa,
Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia.
- Pneumonia pada balita dan anak pra-sekolah disebabkan oleh virus, yaitu:
Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri yaitu: S.
pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus aureus,
Chlamydia.
- Pada anak usia sekolah dan usia remaja, pneumonia disebabkan oleh virus,
yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S.
pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma.
2. 3. 1 Kebutuhan Makronutrien
2. 3. 1. 1 Kebutuhan Energi
Kebutuhan gizi pada pasien anak bersifat individual. Kecukupan atau
adekuat tidaknya pemenuhan kebutuhan dilihat kembali berdasarkan respon
pasien. Perhitungan kebutuhan energi anak dihitung secara individual
berdasarkan berat badan ideal sesuai tinggi badan aktual dikalikan dengan
AKG sesuai usia tinggi (Utama et al, 2014).
Selama periode stres metabolik pemberian nutrisi berlebihan
(overfeeding) dapat meningkatkan kebutuhan metabolisme di paru dan
hati, dan dapat berakhir dengan meningkatnya angka kematian. Komplikasi
overfeeding meliputi kelebihan produksi CO2 yang meningkatkan ventilasi,
edema paru dan gagal napas, hiperglikemia yang meningkatkan kejadian
infeksi. Oleh sebab itu kebutuhan nutrisi pasien harus selalu
diperhitungkan agar tidak terjadi underfeeding atau overfeeding. Setelah
terdapat perbaikan klinis dan melewati fase kritis dari penyakitnya (setelah
hari ke 7-10), kebutuhan kalori serta protein perlu dinilai kembali
menggunakan RDA karena diperlukan untuk tumbuh kejar (catch up
growth) (Sjarif, 2011).
2. 3. 1. 2 Kebutuhan Protein
Pemenuhan protein yang adekuat dapat membantu proses sintesis
protein, proses penyembuhan luka dan respons inflamasi, dan
mempertahankan massa otot skelet. Perkiraan kebutuhan protein pada
anak sakit kritis yaitu pada usia 0-2 tahun sebesar 2-3 g/kg BB/hari, 2-13
tahun sebesar 1,5-2 g/kg BB/hari dan 13-18 tahun sebesar 1,5 g/kg BB/hari
(Skillman & Wischmeyer, 2008).
2. 3. 1. 3 Kebutuhan Karbohidrat
Glukosa merupakan sumber energi utama pada otak, eritrosit dan
medula ginjal dan berguna pada perbaikan jaringan yang terluka. Cadangan
glikogen terbatas jumlahnya dan cepat habis pada sakit kritis sehingga
meningkatkan kebutuhan akan glukoneogenesis. Pemberian glukosa pada
respons stres metabolik tidak menghentikan proses glukoneogenesis,
proses katabolisme protein otot untuk menghasilkan glukosa terus
berlangsung sehingga pemberian asupan tinggi karbohidrat pada pasien
sakit kritis tidak dianjurkan (Mehta & Chomper, 2009).
Karbohidrat sering dihubungkan dengan terjadinya hiperkapnea yang
berhubungan dengan overfeeding. Namun penelitian Talper tahun 1992
mengklarifikasinya, saat dilakukan pemberian diet isokalori dengan
berbagai konsentrasi karbohidrat, produksi CO2 tidak berubah. Saat
dinaikkan jumlah kalori totalnya namun kadar karbohidratnya tetap (60%),
terjadi peningkatan produksi CO2 yang signifikan. Hal ini menjelaskan
bahwa kalori total harus lebih diperhatikan daripada presentase
karbohidratnya (Turner et al, 2011).
2. 3. 1. 4 Kebutuhan Lemak
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)/ Society
of Critical Care Medicine (SCCM) dalam konsensusnya pada tahun 2009
menyatakan bahwa pemberian formula tinggi lemak rendah karbohidrat untuk
memanipulasi respiratory quotient (RQ) dan menurunkan produksi CO2 tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien gagal nafas akut.
Karena berisiko tinggi terhadap retensi CO2 (Turner et al, 2011).
Pemberian lemak terutama asam lemak esensial digunakan untuk
oksidasi lemak pada tingkat seluler. Banyak penelitian yang menunjukkan efek
antiinflamasi pada pemberian asam lemak omega 3 terutama EPA dan DHA,
berguna pada penyakit inflamasi kronik. Pemberian lemak antiinflamasi
spesifik pada tahap akut digunakan untuk menjaga fungsi organ-organ vital
dan membantu proses imunitas, inflamasi, dan antioksidan (Turner et al,
2011).
2. 3. 2 Kebutuhan Mikronutrien
2. 3. 2. 1 Kebutuhan Zink
Kekurangan zink dihubungkan dengan penurunan imunitas dan
peningkatan penyakit infeksi serius. Kekurangan zink kemungkinan menjadi
penyebab utama peningkatan mortalitas bayi yang kekurangan nutrisi di
negara berkembang. Zink plasma yang rendah berkaitan dengan peningkatan
kejadian risiko infeksi saluran napas bawah akut. Konsumsi zink yang kurang
akan mengganggu keseluruhan fungsi imun dan ketahanan terhadap infeksi
karena penekanan fungsi timus, perkembangan limfosit T, limfoproliferasi, dan
fungsi sel B tergantung sel T. Pemberian suplemen zink 20 mg pada anak
dengan pneumonia efektif dalam pemulihan demam, sesak napas, dan laju
pernapasan.
Menurut Gibson et al (1998), strategi yang dapat dilakukan untuk
mencegah defisiensi zink dari asupan yaitu meningkatkan asupan makanan
yang memiliki kandungan zink yang tinggi. Ikan merupakan sumber makanan
yang kaya akan zink. Konsumsi kacang tanah rebus sebagai makanan ringan
juga direkomendasikan untuk meningkatkan asupan zink. Selain itu, strategi
yang lain yang dapat dilakukan adalah meningkatkan asupan makanan yang
diketahui dapat meningkatkan asupan zink. Asam amino tertentu dan peptida
yang mengandung sistein, dikeluarkan selama pencernaan protein hewani
selular (yaitu ikan, ayam, dan kambing) dan asam organik (misalnya sitrat,
laktat, asetat, butirat, dan asam format) yang dihasilkan selama fermentasi,
meningkatkan penyerapan zink, dengan membentuk ligan yang dapat larut
dengan zink atau dengan mencegah pembentukan kompleks zink-fitat tidak
larut.