Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

HUMANIORA

CRITICAL THINKING

DI SUSUN OLEH KELOMPOK X

YOULA IRENE SUMAMPOW

YOZALINDA RANTE TASAK

MAYA TAMON

ZULAEHA BALUNTU

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO

JURUSAN D IV ALIH JENJANG KEBIDANAN

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengembangkan

pemikiran kritis (critical thinking) mahasiswa. Dalam kenyataannya,

pemberian matakuliah oleh kebanyakan dosen kepada para mahasiswa

belum mampu mengembangkan pemikiran kritis mereka (Nummedal &

Halpern, 1995). Laporan-laporan hasil penelitian yang dikutip oleh

Halpern (1996) menggambarkan betapa miskinnya pemikiran kritis

mahasiswa dan orang dewasa baik di Amerika maupun di negara-

negara lain. Situasi seperti ini mendorong lahirnya salah satu tujuan

khusus pendidikan tinggi, yakni agar proporsi lulusan perguruan tinggi

yang mendemonstrasikan suatu kemampuan yang lebih tinggi untuk

berfikir secara kritis, berkomunikasi secara efektif, dan memecahkan

problem akan meningkat secara substansial (Numedal & Halpern,

1995).

Dosen-dosen di fakultas psikologi dituntut untuk mengajarkan

pemikiran kritis kepada mahasiswanya sekurang-kurangnya dengan dua

alasan. Secara umum, mahasiswa tidak pernah secara eksplisit diajari

untuk berfikir kritis. Halpern (1996) menulis:


“It’s difficult to imagine any area where the ability to think clearly is

not needed. Yet, fewof us have ever received explicit instructions in

how to improve the way we think.Traditionally, our schools have

required students to learn, remember, make decisions, analyze

arguments and solve problems without ever teaching them how. There

has been a tacit assumption that adult students already know “how to

think”. (cetak tebal oleh penulis)

Alasan lain yang lebih khusus adalah bahwa kajian mengenai

berfikir selama ini sudah menjadi salah satu bidang garapan psikologi,

sebab psikologi lahir dari hasrat untuk memahami bagaimana manusia

berfikir dan bertindak Penelitian-penelitian mengenai proses-proses

kognitif dan perkembangan intelektual manusia telah menghasilkan

gambaran mengenai hakekat dan perkembangan fikiran manusia serta

dampaknya pada pengembangan pemikiran kritis. Hasil-hasil penelitian

tersebut memberikan landasan bagi para pendidik (termasuk di

dalamnya dosen-dosen fakultas psikologi) mengenai bagaimana cara

mengajar agar mahasiswa mampu mengembangkan pemikiran kritis

(Nummedal & Halpern, 1995).

Tulisan ini mencoba memberikan dan menguraikan contoh-contoh

pengembangan pemikiran kritis yang pernah dilakukan. Dalam uraian


ini sengaja tidak dibuat kajian tersendiri mengenai definisi berfikir

kritis dengan alasan bahwa tidak ada satu definisi mengenai berfikir

kritis yang dapat diterima semua orang (Angelo, 1995; Cooper, 1995;

Underwood & Ward). Keberagaman definisi berfikir kritis tertuang

dalam pernyataan Halonen berikut ini: “Tanyailah 12 dosen-dosen

psikologi untuk merumuskan istilah berfikir kritis, maka anda

barangkali akan mendapatkan 12 rumusan yang bersifat tumpang-tindih

namun berbeda” (1995). Oleh karena itu, dalam tulisan di bawah ini

satu pendekatan yang dipandang penulis lebih produktif ialah dalam

menguraikan satu cara mengembangkan pemikiran kritis oleh satu

pakar/beberapa pakar maka akan disampaikan terlebih dulu apa definisi

berfikir kritis menurut pakar itu. Meskipun masih ada silang pendapat

mengenai hakekat berfikir kritis, namun satu hal yang mungkin dapat

disepakati ialah bahwa pemikiran kritis mahasiswa itu bisa dilatih dan

dikembangkan dalam perkuliahan (King, 1995), sebab pemikiran kritis

tidak semata-mata hasil maturasi melainkan lebih merupakan state

(Angelo, 1995; Halonen, 1995). Lebih jelas lagi Halpern (1996)

menyimpulkan :”College students can be taught to think more critically

when theyreceive instruction that are designed for this purpose”.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Critical Thinking

1. Pengertian

Berpikir kiritis berbeda dengan berpikir biasa atau berpikir rutin.

Berpikir kritis merupakan proses berpikir intelektual di mana pemikir

dengan sengaja menilai kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan

pemikiran yang reflektif, indepen-den, jernih dan rasional.

Berpikir kritis mencakup ketrampilan menafsirkan dan menilai

pengamatan, informasi, dan argumentasi. Berpikir kritis meliputi

pemikir-an dan penggunaan alasan yang logis, mencakup ketrampilan

membandingkan, mengklasifikasi, melakukan pengurutan (sekuensi),

menghubung-kan sebab dan akibat, mendeskripsikan pola, membuat

analogi, menyusun rangkaian, memberi alasan secara deduktif dan

induktif, peramalan, perencanaan, perumusan hipotesis, dan penyam-

paian kritik. Berpikir kritis mencakup penentuan tentang makna dan

kepentingan dari apa yang dilihat atau dinyatakan, penilaian argumen,

pertimbangan apakah kesimpulan ditarik berda-sarkan bukti-bukti

pendukung yang memadai.

Berpikir kritis tidak sama dengan berde-bat atau mengkritisi orang

lain. Kata “kritis” terhadap suatu argumen tidak identik dengan


“ketidaksetujuan” terhadap suatu argumen atau pandangan orang lain.

Penilaian kritis bisa saja dilakukan terhadap suatu argumen yang bagus,

sebab pemikiran kritis bersifat netral, imparsial dan tidak emosional.

Berpikir kritis merupakan ketrampilan berpikir universal yang

berguna untuk semua profesi dan jenis pekerjaan. Demikian juga berpi-

kir kritis berguna dalam melakukan kegiatan membaca, menulis,

berbicara, mendengarkan, berdiskusi, dan sebagainya, untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik. Analisis yang kritis dapat

meningkatkan pemahaman tentang suatu masalah. Pemikiran yang

analitis, diskriminatif, dan rasio-nal, membantu memilih alternatif

solusi yang berguna dan menyingkirkan solusi yang tak berguna.

Pemikiran yang reflektif dan independen dapat menghindari keterikatan

kepada keyakinan yang salah, sehingga memperkecil risiko untuk

pengambilan keputusan salah yang didasarkan pada keyakinan yang

salah tersebut.

Berpikir kritis juga berguna untuk mengekspresikan ide-ide.

Pemikiran kritis memili-ki peran penting dalam menilai manfaat ide-ide

baru, memilih ide-ide yang terbaik, dan memodifi-kasinya jika perlu,

sehingga bermanfaat di dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang

memerlukan kreativitas.
Ada 3 syarat diperlukan untuk memiliki kemampuan berpikir kritis:

1. Sikap untuk menggunakan pemikiran yang dalam di dalam melihat

suatu permasalahan, dengan menggunakan pengalaman dan bukti yang

ada

2. Pengetahuan tentang metode untuk bertanya dan mengemukakan

alasan dengan logis

3. Ketrampilan untuk menerapkan metode tersebut

B. Karakteristik pemikir kritis

Berpikir kritis dapat terjadi ketika seorang membuat keputusan atau

memecahkan suatu masalah. Ketika seorang mempertimbangkan apa-

kah akan mempercayai atau tidak mempercayai, melakukan atau tidak

melakukan suatu tindakan, atau mempertimbangkan untuk bertindak

dengan alasan dan kajian yang kuat, maka ia sedang menggunakan cara

berpikir kritis.

Seorang yang berpikir kritis akan mengkaji ulang apakah keyakinan

dan pengetahu-an yang dimiliki atau dikemukakan orang lain logis atau

tidak. Demikian juga seorang yang berpikir kritis tidak akan menelan

begitu saja kesimpulan-kesimpulan atau hipotesis yang dike-mukakan

dirinya sendiri atau orang lain.

Seorang pemikir kritis memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:


1. Mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan masalah penting,

merumuskannya dengan jelas dan teliti

2. Memunculkan ide-ide baru yang berguna dan relevan untuk

melakukan tugas. Pemikiran kritis memiliki peran penting untuk

menilai manfaat ide-ide baru, memilih ide-ide yang terbaik, atau

memodifikasi ide-ide jika perlu

3. Mengumpulkan dan menilai informasi-informasi yang relevan,

dengan menggunakan gagasan abstrak untuk menafsirkannya

dengan efektif

4. Menarik kesimpulan dan solusi dengan alasan yang kuat, bukti

yang kuat, dan mengujinya dengan menggunakan kriteria dan

standar yang relevan

5. Berpikir terbuka dengan menggunakan berbagai alternatif

sistem pemikiran, sembari mengenali, menilai, dan mencari

hubungan hubungan antara semua asumsi, implikasi, akibat-akibat

praktis

6. Mampu mengatasi kebingungan, mampu membedakan antara

fakta, teori, opini, dan keyakinan

7. Mengkomunikasikan dengan efektif kepada orang lain dalam

upaya menemukan solusi atas masalah-masalah kompleks, tanpa


terpengaruh oleh pemikiran orang lain tentang topik yang

bersangkutan

8. Jujur terhadap diri sendiri, menolak manipulasi, memegang

kredibilitas dan integritas ilmiah, dan secara intelektual

independen, imparsial, netral

C. Mengembangkan sifat berpikir kritis

Sifat intelektual seorang perlu dikembangkan dan diasah agar

menjadi pemikir yang kritis. Tidak ada resep yang instan untuk

mengembangkan sifat-sifat intelektualitas dari seorang pemikir kritis.

Sebab berpikir kritis dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dan

prinsip, ketimbang prosedur yang kaku, atau resep tertentu. Berpikir

kritis menggunakan tidak hanya logika (baik logika formal maupun

informal), tetapi juga kriteria intelektual yang lebih luas, meliputi

kejelasan, kepercayaan (credibility), akurasi, presisi (ketelitian),

relevansi, kedalaman, keluasan, dan signifikansi (kemaknaan).

Salah satu cara yang penting untuk mengembangkan sifat-sifat

berpikir kritis adalah mempelajari seni untuk menunda penarikan

kesimpulan definitif. Caranya adalah menerapkan orientasi persepsi

ketimbang menarik kesimpulan final terlalu dini. Sebagai contoh, ketika

membaca sebuah novel, menonton film, mengikuti diskusi atau dialog,


hindari kecenderungan untuk mengha-kimi atau menarik kesimpulan

tetap.

Untuk melatih berpikir kritis, seorang perlu menyadari dan

menghindari adanya kecen-derungan untuk melakukan kesalahan-

kesalahan yang menyebabkan orang tidak berpikir kritis, antara lain

sebagai berikut:

1. Dalam suatu argumen terlalu mengeneralisasi posisi atau keadaan.

Sebagai contoh, dalam suatu argumen terdapat kecenderungan untuk

mengira semua orang tahu, padahal tidak setiap orang tahu. Demikian

juga mengira semua orang tidak tahu, padahal ada orang yang tahu.

Pemikir kritis berhati-hati dalam menggunakan kata “semua”, atau

“setiap”. Lebih aman menggunakan kata “sebagian besar”, atau

“beberapa”.

2. Menyangka bahwa setiap orang memiliki bias (keberpihakan) di bawah

sadar, lalu mempertanyakan pemikiran refleksif yang dilakukan orang

lain. Pemikir kritis harus bersedia untuk menerima kebenaran argumen

orang lain. Perdebatan tentang argumen bisa saja menarik, tetapi tidak

selalu berarti bahwa argumen sendiri benar.

3. Mengadopsi pendapat yang ego-sensitif. Nilai-nilai, emosi, keinginan,

dan pengalaman seorang mempengaruhi keyakinan dan kemampuan

orang untuk memiliki pemikiran yang terbuka. Pemikir kritis harus


menying-kirkan kesalahan ini dan mempertimbangkan untuk menerima

informasi dari luar

4. Mengingat kembali keyakinan lama yang dipercaya dengan kuat tetapi

sekarang dittolak

5. Kecenderungan untuk berpikir kelompok, suatu keadaan di mana

keyakinan seorang dibentuk oleh pemikiran orang-orang diseki-tarnya

ketimbang apa yang ia sendiri alami atau saksikan

D. Mengajarkan ketrampilan berpikir kritis

Ketrampilan berpikir kritis merupakan kemampu-an untuk

menimbang faktor-faktor yang penting dan tidak penting, konkrit dan

abstrak yang mempengaruhi suatu situasi, agar dapat dibuat solusi yang

terbaik dari suatu masalah.

Berdasarkan hasil riset psikologi kognitif, para pendidik yakin,

institusi pendidikan perlu memusatkan perhatian untuk mengajarkan

ketram-pilan berpikir kritis kepada para mahasiswa, dan memupuk

sifat-sifat intelektual mereka.

6.

Seperti halnya cara memahami subjek lainnya, mempelajari cara

berpikir kritis meliputi dua fase: (1) internalisasi; dan (2) penerapan.

Fase internalisasi mencakup konstruksi ide-ide dasar, prinsip, dan teori-

teori berpikir kritis di dalam pikiran pebelajar. Fase penerapan


mencakup penggunaan ide-ide, prinsip, dan teori itu oleh pebelajar di

dalam kehidupan sehari-hari.

Dosen perlu memupuk dan menumbuhkan pemikiran kritis pada setiap

stadium pembelajar-an, dimulai dari pembelajaran awal. Karena itu di

dalam kurikulum pendidikan kedokteran, pengem-bangan pemikiran kritis

sebaiknya dimulai sejak semester awal.

Terdapat sejumlah teknik untuk melatih ketrampilan berpikir kritis,

antara lain sebagai berikut

Analisis teks: Latihan ini memberikan kepadamahasiswa sebuah teks

tentang suatu kejadian atau cerita. Mereka diminta untuk menjelaskan

hubungan logis antara peristiwa-peristiwa di dalam cerita itu. Mereka juga

diminta untuk memberikan saran judul teks tersebut, dan memberikan

tambahan isi cerita. Kegiatan ini menuntut mahasiswa untuk berpikir logis

dan memberikan alasan terhadap setiap kejadian yang berhubungan dengan

cerita. Sebagai varian dari latihan ini, mahasiswa bisa diminta untuk

memperluas cerita dengan menambahkan tokoh (karakter) atau peristiwa

yang terkait dengan cerita semula.

Diskusi Socrates: Latihan ini mencakup pengaju-an pertanyaan-

pertanyaan yang dapat mence-tuskan pemikiran kritis. Latihan ini bisa

dilakukan dengan menanyakan kepada mahasiswa tentang isu-isu

kompleks atau masalah-masalah hipotetik (perumpamaan). Mahasiswa


diminta untuk menganalisis konsep, membedakan antara fakta dan asumsi,

dan mengusulkan solusi yang tepat.

Berpikir dari kotak masalah (Think-out-of-the Box): Latihan ini

memberikan teka-teki danpertanyaan kepada mahasiswa untuk mendorong

mereka berpikir kreatif yang dapat meningkatkan ketrampilan berpikir

kritis. Sebagai contoh, maha-siswa bisa diminta untuk menggambar

sejumlah titik, lalu mereka diminta untuk menghubungan titik-titik itu

dengan seminimal mungkin jumlah garis-garis lurus. Permainan ini

melatih kemampu-an mahasiswa untuk mengidentifikasi koneksi-koneksi

yang kuat dari suatu keadaan yang kompleks, dan membedakannya dengan

koneksi-koneksi yang lebih lemah, sehingga dapat melatih kemampuan

untuk menemukan solusi yang lebih baik. Permainan berpikir kritis ini bisa

dilanjutkan dengan memperkenalkan tititik-titik dengan pola yang berbeda.

a. Dimensi-dimensi berpikir kritis

Daftar 35 dimensi berpikir kritis sebagai berikut.

Domain afektif:

1. Berpikir independen

2. Mengembangkan pemahaman ke dalam (insight) tentang

egosentrisitas dan sosiosentrisitas

3. Melatih berpikir yang fair (adil, tidak berpihak)

4. Mengeksplorasi pemikiran di balik perasaan, dan perasaan di

balik pemikiran
5. Mengembangkan kebersahajaan intelektual (intellectual

humility) dan menghindari kecenderungan menghakimi

6. Mengembangkan keberanian intelektual

7. Mengembangkan integritas intelektual

8. Mengembangkan keuletan intelektual

9. Mengembangkan kepercayaan diri dalam memberikan alas an

b. Doman kognitif – ketrampilan makro:

1. Menyempurnakan generalisasi, dan menghindari

oversimplifikasi (menggampangkan)

2. Membandingkan situasi-situasi serupa (analogi): mentransfer

pandangan-pandangan ke dalam konteks baru

3. Mengembangkan perspektif diri: menciptakan atau

mengksplorasi keyakinan-keyakinan, argumen, atau teori

4. Mengklarifikasi isu-isu, kesimpulan, atau keyakinan

5. Mengklarifikasi dan menganalisis arti dari kata-kata atau

kalimat

6. Mengembangkan kriteria penilaian (evaluasi): mengklarifikasi

nilai-nilai dan standar

7. Menilai kredibilitas (kepercayaan) dari sumber-sumber

informasi
8. Mempertanyakan dengan mendalam: mengemukakan

pertanyaan mendasar dan penting

9. Menganalisis atau menilai arugmen, penafsiran, keyakinan, atau

teori

10. Membuat atau menilai solusi

11. Menganalisis atau mengevaluasi tindakan atau kebijakan

12. Membaca dengan kritis: mengklarifikasi atau mengkritisi teks

13. Mendengarkan dengan kritis: seni melakukan “dialog sunyi”

14. Membuat hubungan interdisipliner

15. Mempraktikkan diskusi Socrates: mengklarifikasi dan

mempertanyakan keyakinan, teori, atau perpsektif

16. Memberikan alasan secara dialogis: membandingkan

perspektif, penafsiran, atau teori

17. Memberikan alasan dialektis: menilai perspektif,

penafsiran, atau teori

c. Domain kognitif – ketrampilan mikro:

1. Membandingkan dan membuat kontras antara hal yang ideal dan

praktik yang sesungguhnya

2. Berpikir persis tentang pemikiran: menggunakan kosakata kritis

3. Membuat catatan tentang persamaan dan perbedaan

4. Meneliti atau menilai asumsi-asumsi


5. Membedakan fakta yang relevan dengan fakta yang tidak

relevan

6. Membuat kesimpulan (inferensi), ramalan (prediksi), atau

penafsiran yang masuk akal

7. Menilai bukti dan fakta

8. Mengenali kontradiksi, kontroversi, paradoks

9. Mengeksplorasi implikasi dan konsekuensi

E. Membaca dengan kritis

Berpikir kritis dapat diterapkan ketika seorang melakukan kegiatan

membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, berdiskusi, dan

sebagainya. Beri-kut sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab agar

seorang mampu membaca buku, artikel, atau teks lainnya dengan kritis.

1. Apakah topik buku atau teks yang sedang dibaca? Isu-isu apa yang

dibahas?

2. Kesimpulan apa yang ditarik oleh penulis tentang isu tersebut?

3. Apa alasan yang dikemukakan penulis untuk mendukung

pernyataan atau keyakinannya? Apakah penulis menggunakan fakta,

teori, atau keyakinan? Ingat perbedaan ketiga konsep tersebut. Fakta

dapat dibuktikan (adanya). Teori untuk dibuktikan benar-tidaknya,

dan jangan dirancukan dengan fakta.


F. CARA-CARA MENGEMBANGKAN PEMIKIRAN KRITIS DALAM
PERKULIAHAN

1. Model Alison King


Menurut King, seorang pemikir kritis adalah seseorang yang

mempunyai fikiran yang senantiasa ingin tahu (inquiry mind) atau

seorang penanya yang baik (good questioner) (1995). Bagi seorang

pemikir kritis, maka apa yang dilihat, didengar, dibaca, atau

dialaminya akan senantiasa dianalisis, dikaji penting-tidaknya,

dicari penjelasan-penjelasannya, serta dicari kemungkinan-

kemungkinan hubungan antara pengalaman tersebut dengan apa

yang telah diketahuinya. Pemikir yang kritis akan selalu

memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini: Apa itu

artinya ? Apa hakekatnya ? Apakah ada cara pandang yang lain

mengenai hal itu ? Mengapa ini terjadi ? Apa buktinya ? Bagaimana

saya bisa yakin ?.Pemikiran kritis ditandai oleh pengajuan

pertanyaan-pertanyaan semacam itu dan penggunaan pertanyaan-

pertanyaan tadi untuk memahami dunia disekitar (King, 1995).

Dalam model ini mahasiswa akan dibantu untuk

mengembangkan kebiasaan ingin tahu sehingga mereka mampu

belajar mengajukan pertanyan-pertanyaan yang merangsang fikiran

menyangkut bahan-bahan yang mereka baca, dengar dan temui


dalam kuliah. Kebiasaan berfikir kritis ini diharapkan akan dapat

diterapkan juga dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Menurut King (1995) tingkatan berfikir yang terjadi pada

mahasiswa sangat dipengaruhi oleh tingkatan pertanyaan yang

diajukan dosen. Dosen dapat mengajukan satu pertanyaan tertentu

kepada mahasiswa untuk menimbulkan proses berfikir tertentu yang

diinginkan oleh dosen tersebut. Misalnya, jika pertanyaannya

bersifat faktual, seperti “Apakah skema itu ?”, maka ada

kecenderungan hanya fakta yang akan diingat. Akan tetapi jika

pertanyaannya benar-benar memprovokasi pemikiran, (thought-

provoking) seperti “Jelaskan bagaimana skema dapat

mempengaruhi pemecahan masalah dalam skenario ini ?”, maka

berfikir kritis akan dapat terjadi. Untuk dapat mengembangkan

pemikiran kritis maka mahasiswa diminta membuat pertanyaan-

pertanyaan yang mampu memprovokasi pemikiran seperti terlihat

dalam tabel 1.

ISSN : 0854 - 7108 Buletin Psikologi, Tahun VII, No.1 Juni


Tabel 1. Pemandu Pemikiran Kritis

Ketrampilan berfikir
khusus
Pertanyaan-pertanyaan generic
yang
diinduksi

Analisis/pengambil
Apa saja kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan an
dari ………? kesimpulan
Apa perbedaan antara ………..dengan ……………? Pembandingan- pembedaan
Jelaskan mengapa …… (Jelaskan bagaimana ……) Analisis
Apa yang akan terjadi jika ………. ? Prediksi/membuat hipotesis
Apa hakekat dari ………. ? Analisis
Analisis/pengambil
Mengapa ……….. terjadi ? an
kesimpulan
Apa satu contoh baru mengenai ………..? Aplikasi
Bagaimana ……… dapat digunakan untuk ………? Aplikasi
Analisis/pengambil
Apa saja implikasi-implikasi dari ………….? an
kesimpulan
Identifikasi dan
Apa saja yang dapat dianalogikan dengan ……….? penciptaan
analogi serta
metapora
Apa yang telah kita ketahui tentang …………? Pengaktifan Pengetahuan
lampau

Bagaimana ……. mempengaruhi …….. ? Analisis hubungan sebab-


akibat
Bagaimana ……. berhubungan dengan apa yang telah
kita Pengaktifan Pengetahuan
pelajari sebelumnya ? lampau
Apa artinya ……… ? Analisis
Analisis
Mengapa ………. bersifat penting ? signifikansi
Bagaimana kesamaan ……… dan ……..? Pembandingan- pembedaan
Bagaimana …….. diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari ? Aplikasi pada dunia nyata
Bantahan terhadap
Apa argumen yang bertentangan dengan ……..? pendapat
Evaluas
Apa yang terbaik mengenai …….. ?Mengapa? i dan Penyediaan
bukti
Sintesis ide-
Apa satu pemecahan terhadap problem ………? ide
Bandingkan ……dengan …… dalam hal ………? Pembandingan- pembedaan
Apa pendapat anda penyebab-penyebab
……?Mengapa? Analisis hubungan sebab-
akibat
Evaluas
Apakah anda setuju/tidak setuju dengan pendapat…….? i dan Penyediaan
bukti
Bukti apakah yang mendukung pendapat anda ?
Pengambilan perspektif
Cara lain apa untuk meninjau ……….? lain

ISSN : 0854 - 7108 Buletin Psikologi, Tahun VII, No.1 Juni


1999
King (1995) mengajukan tiga cara untuk mengembangkan

pemikiran kritis mahasiswa, yakni:

a. Tanya-jawab dengan teman secara timbal-balik

Pertama, dosen memberikan kuliah mengenai satu topik.

Setelah itu, mahasiswa diminta menulis tiga pertanyaan

(berdasarkan daftar pertanyaan-pertanyaan yang ada pada tabel

1) tentang bahan kuliah yang diajarkan tadi. Kemudian

mahasiswa dibagi dalam pasangan-pasangan atau dalam

kelompok kecil untuk melakukan tanya-jawab secara timbal

balik. Masing-masing mahasiswa akan mengajukan pertanyaan

kepada mahasiswa lain, dan pada gilirannya mahasiswa itu akan

menjawab pertanyaan dari mahasiswa lain. Pada tahap terakhir

keseluruhan kelas akan menjawab sebagian dari pertanyaan-

pertanyaan yang telah diajukan dan mendiskusikan lebih lanjut

hal-hal yang muncul dalam sesi tanya-jawab.

b. Pertanyaan-pertanyaan pembaca.

Meminta mahasiswa untuk melakukan tugas membaca

bahan kuliah sebelum kuliah dimulai merupakan problem abadi

yang dihadapi dosen. Untuk memotivasi mahasiswa membaca

bahan kuliah, maka sebelum kuliah berlangsung mahasiswa

diwajibkan mengumpulkan tiga atau empat pertanyaan generik


(lihat tabel 1). Pertanyaan-pertanyaan yang dikumpulkan

mahasiswa tersebut dapat dipakai dalam diskusi dikelas.

Pertanyaan-pertanyaan mahasiswa tersebut juga dapat

menggambarkan tingkat pemahaman mahasiswa, atau bahkan

apakah mahasiswa sudah membaca tugas bacaan atau belum.

Soal-soal ujian akhir bisa juga diambil dari kumpulan

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mahasiswa.

c. Penerapan untuk mahasiswa perorangan

Dalam cara ini sesudah mendengarkan kuliah atau membaca

bahan kuliah maka seseorang mahasiswa diminta membuat

sejumlah pertanyaan-pertanyaan seperti dalam tabel 1.

Mahasiswa tersebut kemudian sekaligus diminta membuat

jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan sendiri.

2. Model Carole Wade

Wade berpendapat bahwa menulis merupakan salah satu cara

yang lebih baik dibandingkan diskusi dalam mengembangkan

pemikiran kritis (1995). Menulis makalah mempunyai keuntungan

bagi mahasiswa, diantaranya

a. mahasiswa dapat mengetengahkan dua atau lebih pendapat yang

bertentangan
b. mahasiswa dapat merevisi kembali dan menyempurnakan

gagasan-gagasan yang telah disampaikan dalam tulisan

terdahulu

c. mahasiswa memiliki waktu untuk melakukan refleksi dan

pertimbangan yang hati-hati untuk menyampaikan pendapatnya.

Ketiga keuntungan tersebut tidak dimiliki metode diskusi.

Berfikir kritis oleh Wade dirumuskan sebagai “kemampuan dan

kemauan untuk melakukan penilaian terhadap klaim-klaim serta

membuat keputusan objektif berdasarkan alasan-alasan yang

mendukung secara baik” (1995). Seorang mahasiswa yang berfikir

kritis harus mampu melakukan delapan kegiatan, yakni:

1. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memiliki kemauan

untuk ingin tahu. Misalnya, pada awal semester sesudah

mahasiswa membaca bab pertama dan melihat sekilas daftar isi

buku wajib, maka mahasiswa diminta mengajukan tiga

pertanyaan yang akan dijawab selama kuliah berlangsung dalam

semester itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kabur dan tidak

bersifat psikologis akan dikembalikan kepada mahasiswa untuk

diperbaiki. Mahasiswa juga diminta menjelaskan mengapa tiga

pertanyaan itu penting. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian

dibagi-bagikan keseluruh mahasiswa


2. Merumuskan problem. Berfikir kritis mengharuskan mahasiswa

mampu memahami bahwa cara seseorang merumuskan

pertanyaan-pertanyaan atau problem-problem akan mem-

pengaruhi bisa-tidaknya pertanyaan atau problem tadi diselidiki

secara empiris maupun mempengaruhi solusi atau jawaban yang

diberikan dalam menjawab pertanyaan tadi. Misalnya,

mahasiswa diberi pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah

aborsi jelek bagi masyarakat ? Apakah orang lebih banyak

berbicara ketika kenyang daripada ketika lapar ? Apakah

jogging menghasilkan sikap mental positif ? Beberapa

mahasiswa segera menjawabnya tanpa mempertimbangkan

kemungkinan dapat-tidaknya pertanyaan itu diselidiki secara

empiris.

ISSN : 0854 - 7108 Buletin Psikologi, Tahun VII, No.1

Juni 1999
3. Merumuskan problem. Berfikir kritis mengharuskan mahasiswa

mampu memahami bahwa cara seseorang merumuskan

pertanyaan-pertanyaan atau problem-problem akan mem-

pengaruhi bisa-tidaknya pertanyaan atau problem tadi diselidiki

secara empiris maupun mempengaruhi solusi atau jawaban yang

diberikan dalam menjawab pertanyaan tadi. Misalnya,

mahasiswa diberi pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah

aborsi jelek bagi masyarakat ? Apakah orang lebih banyak

berbicara ketika kenyang daripada ketika lapar ? Apakah

jogging menghasilkan sikap mental positif ? Beberapa

mahasiswa segera menjawabnya tanpa mempertimbangkan

kemungkinan dapat-tidaknya pertanyaan itu diselidiki secara

empiris.

4. Menguji bukti. Mahasiswa dilatih untuk memahami bahwa tidak

semua pendapat yang bersifat psikologis itu mempunyai

kedudukan yang setara. Ada sejumlah pendapat yang didukung

oleh bukti-bukti dan alasan-alasan yang kuat, sementara ada

sejumlah pendapat yang semata-mata spekulatif atau berdasar

bukti yang lemah. Dalam hal ini, mahasiswa misalnya diminta


menyediakan tiga bukti baik dari buku bacaan maupun kuliah

yang mendukung pendapat mereka.

5. Menganalisis asumsi-asumsi dan bias-bias. Mahasiswa diminta

untuk mengidentifikasi asumsi-asumsi yang mendasari pendapat

orang lain maupun diri sendiri. Misalnya, mahasiswa diminta

membaca suatu kasus mengenai seseorang yang ingin menjadi

tukang pembuat kenop. Namun calon tukang tadi agak ragu

karena untuk membuat kenop dibutuhkan ketrampilan tangan

dan ia tahu bahwa ketrampilan tangan bersifat pembawaan,

sedangkan bapak-ibunya tidak memiliki ketrampilan tangan.

Calon tukang pembuat kenop itu lalu memutuskan untuk

mencari pekerjaan lain. Sesudah membaca kasus tersebut

mahasiswa diminta menilai asumsi-asumsi yang keliru yang

dimiliki oleh calon tukang itu.

6. Menghindari penalaran emosional. Mahasiswa yang mempunyai

pandangan yang bertentangan dengan mahasiswa lain diminta

untuk tidak terlalu emosional mempertahan-kan kebenaran

pendapatnya. Disamping itu, mahasiswa perlu memahami

bahwa intensitas komitment seseorang terhadap pendapatnya

sendiri belum tentu ada sangkut-pautnya dengan kebenaran atau

validitas pendapat tersebut. Misalnya, mahasiswa diminta


mengidentifikasi rayuan emosional yang terdapat dalam

kampanye politik maupun iklan, sehingga timbul kesadaran

mengenai penalaran emosional pada mahasiswa tersebut.

7. Menghindari penyederhanaan yang berlebihan. Penyederhanaan

yang berlebihan meliputi cara berfikir “ini atau itu” serta

membuat generalisasi yang berlebihan dari data atau sampel

yang terbatas. Dalam hal ini mahasiswa diminta

mempertimbangkan segi kompleksitas perilaku manusia.

Misalnya, mahasiswa diminta untuk menjelaskan dalam

ISSN : 0854 - 7108 Buletin Psikologi, Tahun VII,


situasi bagaimana seorang bocah berusia 10 tahun akan menjadi saksi yang lebih

baik daripada seorang dewasa berumur 40 tahun, atau sebaliknya.

1. Mempertimbangkan interpretasi lain. Mahasiswa diminta untuk memikirkan

penjelasan lain selain penjelasan pertama yang tampak jelas untuk menerangkan

gejala, kejadian atau hasil penelitian. Disamping itu, mahasiswa diminta

memahami bahwa fakta-fakta yang diajukannya tidak lalu secara otomatis

mengakhiri perdebatan mengenai isu-isu yang sedang dibicarakan. Misalnya,

mahasiswa diberi informasi mengenai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa

pria yang sering melakukan hubungan seksual cenderung memiliki level

testosterone yang lebih tinggi daripada pria yang jarang melakukan hubungan

seksual. Mahasiswa kemudian diminta memberikan sekurang-kurangnya dua

interpretasi alternatif, dengan memperhitungkan kemungkinan hubungan yang

berbeda antara sebab dan akibat.

2. Bersifat toleran terhadap ketidakpastian. Mahasiswa perlu memiliki sifat toleran

terhadap ketidakpastian dalam psikologi. Mahasiswa diminta mengidentifikasikan

pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab di dalam buku bacaan atau dalam

kuliah. Cara lain ialah meminta mahasiswa untuk menentukan apakah terdapat

cukup bukti dalam mengambil kesimpulan mengenai klaim tertentu. Misalnya,

apakah ada cukup bukti mengenai klaim tentang adanya gejala memori yang
direpresi. Mahasiswa diminta untuk tidak tergesa-gesa mengambil posisi ekstrem

untuk gejala-gejala yang masih tidak pasti.

Kedelapan kriteria di atas dapat disampaikan kepada mahasiswa sebagai panduan

dalam membuat makalah atau dalam mengikuti kuliah pada umumnya. Makalah

mahasiswa biasanya tidak diberi nilai, tapi diberi komentar-komentar sehingga jika

makalah tersebut kurang memuaskan maka mahasiswa dapat merevisinya.

3. Model Mayer dan Goodchild.

Menurut Mayer dan Goodchild (1990) kuliah-kuliah psikologi memiliki dua

tujuan, yaitu

a. membantu mahasiswa memperoleh pengetahuan dasar tentang psikologi

b. membantu mahasiswa berfikir seperti layaknya seorang psikolog. Tujuan

pertama tampak terlalu difokuskan sehingga mahasiswa menghabiskan

waktunya untuk sekedar menghafal fakta sebanyak mungkin. Tujuan kedua

yang lebih menyangkut “bagaimana berfikir” tampak kurang dikenal

mahasiswa. Padahal mahasiswa dituntut mampu berfikir kritis tentang

konsep-konsep psikologis.

Mayer dan Goodchild merumuskan pemikiran kritis sebagai upaya aktif dan

sistematis untuk memahami dan mengevaluasi argumen-argumen (1990). Secara

lebih khusus, Mayer dan Goodchild menekankan berfikir kritis mahasiswa dalam
membaca buku-buku teks psikologi. Belajar menjadi seorang pemikir kritis akan

meliputi perubahan dalam tiga dimensi, yakni

a. perubahan afektif. Mahasiswa harus memiliki kesadaran dan perasaan bahwa

ada kebutuhan untuk menjadi pemikir kritis,

b. perubahan kognitif. Mahasiswa perlu mendapatkan pengetahuan khusus

mengenai strategi-strategi berfikir kritis,

c. perubahan perilaku. Mahasiswa harus menerapkan pengetahuan mengenai

strategi-strategi berfikir kritis di dalam membaca buku teks.

Keberhasilan membaca buku teks psikologi tergantung pada kemampuan

mahasiswa mengidentifikasi argumen pengarangnya (Mayer & Goodchild, 1990).

Sebuah argumen dalam psikologi terdiri dari satu pernyataan bersama-sama dengan

bukti empiris dan penjelasan teoretis untuk pernyataan tersebut. Sebuah argumen

meliputi

a. Satu pernyataan, yakni satu gambaran umum tentang sifat-sifat dari satu hal

tertentu atau lebih dari satu hal atau hubungan antara dua hal atau lebih

b. Bukti empiris, yakni observasi khusus yang mendukung atau menolak

pernyataan tadi

c. Penjelasan teoretis, yakni satu mekanisme atau model hipotetis yang secara

logis membenarkan atau menyanggah pernyataan tadi (Mayer & Goodchild,

1990).

Mayer dan Goodchild (1990) menggolongkan pernyataan ke dalam empat tipe,

yaitu
a. Tipe 1: A dan B berhubungan. Pernyataan ini menggambarkan hubungan

antara suatu hal atau lebih. Misalnya, nilai rapor di SLTA memprediksi

Indeks Prestasi semester I mahasiswa

b. Tipe 2: A menyebabkan B. Pernyataan ini merupakan subtipe khusus dari

pernyataan bahwa A dan B berhubungan, yakni hubungan kausal bahwa A

menyebabkan B. Dalam hal ini, A adalah sebab, dan B adalah akibat.

Misalnya, orang-tua yang semasa kanak-kanak menjadi korban kekerasan di

rumah akan cenderung memperlakukan anak-anaknya dengan kekerasan.

Dalam hal ini, sebagai sebab ialah “diperlakukan dengan kekerasan pada

waktu kanak-kanak”, dan sebagai akibat adalah “sebagai orang-tua

memperlakukan anaknya dengan kekerasan

c. Tipe 3: P adalah satu sifat A. Pernyataan ini menggambarkan satu atau lebih

sifat-sifat (characteristics/properties) dari sesuatu (thing). Misalnya, manusia

hanya mampu memikirkan satu hal saja pada satu saat. Dalam hal ini, yang

menjadi sifat adalah “hanya mampu memikirkan satu hal saja pada suatu

waktu”, sedangkan yang merupakan sesuatu adalah “sistem memori manusia”,

d. Tipe 4: A berbeda dengan B dalam sifat P. Pernyataan ini menggambarkan

hubungan khusus antara dua hal atau lebih, yaitu bahwa sesuatu itu berbeda

dengan sesuatu yang lain dalam cara-cara tertentu. Misalnya, wanita lebih

baik dalam penguasaan bahasa dibanding pria, sementara pria lebih baik

dalam kemampuan matematika. Dalam hal ini ada dua pernyataan, yakni pria

dan wanita berbeda dalam hal kemampuan bahasa, serta pria dan wanita
berbeda dalam hal kemampuan matematika. Mahasiswa diharapkan mampu

mengidentifikasi tipe pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam buku teks

psikologi.

Berfikir kritis juga menyangkut bukti empiris, apakah bukti-bukti empiris

mendukung atau menolak pernyataan. Mahasiswa harus mampu mengidentifikasi

dan memahami bukti-bukti empiris yang diberikan oleh pengarang buku teks.

Mayer dan Goodchild (1990) menggolongkan bukti empiris menjadi empat tipe,

yaitu

a. tipe 1: bukti deskriptif-kuantitatif. Bukti ini didasarkan pada observasi

terhadap lingkungan alamiah yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka,

meliputi hasil-hasil survai dan sekor-sekor tes

b. tipe 2: bukti deskriptif-kualitatif. Bukti ini berdasarkan pada observasi

mengenai lingkungan alamiah yang tidak diekspresikan dalam bentuk

angka-angka, termasuk wawancara klinis dan protokol/laporan verbal

subjek

c. tipe 3: bukti eksperimental-kuantitatif. Bukti ini terdiri dari hasil-hasil

eksperimen yang dinyatakan dengan angka

d. tipe 4: bukti eksperimental-kualitatif. Bukti ini didasarkan pada hasil-

hasil eksperimen yang tidak dinyatakan dengan angka-angka.

Bagian terakhir dari satu argumen yang perlu dipahami oleh mahasiswa

adalah penjelasan teoretis. Penjelasan teoretis merupakan satu mekanisme atau

prinsip yang menggambarkan bagaimana sesuatu itu bekerja/berfungsi.


Penjelasan teoretis akan menjelaskan mengapa pernyataan itu terjadi? Misalnya,

ada satu pernyataan “nilai-nilai seseorang di SLTA merupakan prediktor terbaik

untuk nilai-nilai orang itu di perguruan tinggi”. Mahasiswa akan diminta untuk

mencari penjelasan teoretisnya, yaitu bagaimana prinsip yang dapat menerangkan

pernyataan itu. Seorang mahasiswa mungkin akan mengajukan satu prinsip

berdasar kemampuan intelektual yang menyatakan bahwa siswa yang memiliki

kemampuan intelektual tinggi tentu akan berhasil baik di SLTA maupun di PT.

Dengan model yang dikembangkan oleh Mayer dan Goodchild diatas maka

mahasiswa biasanya akan diberi sejumlah bacaan psikologi. Kemudian

mahasiswa akan dilatih untuk memahami dan mengevaluasi argumen-argumen

dalam bacaan-bacaan itu dengan memahami pernyataan, bukti empiris, serta

penjelasan teoretisnya.

4. Model yang dikembangkan di Alverno Colleg

Model ini berlandaskan pada rumusan berfikir kritis sebagai “kecenderungan

dan ketrampilan untuk melakukan aktivitas dengan skeptisisme reflektif yang

terfokus pada pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini atau dilakukan”

(Halonen, 1995). Rumusan ini mengandung unsur-unsur penting bagi pemikiran kritis

yaitu kecenderungan (propensity) dan ketrampilan (skill) serta potensi yang semakin

meningkat dari si pemikir untuk bertindak (action). Model berfikir kritis dianggap

sebagai riset terapan dalam konteks akademis. Berfikir kritis lebih merupakan satu

kondisi (state), suatu pendekatan yang banyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif.

Pendekatan state menggambarkan pemikiran kritis sebagai tindakan-tindakan yang


bersifat diskrit serta lebih menekankan pada demonstrasi fikiran. Pendekatan yang

berdasarkan pada state menganggap berfikir kritis sebagai satu kemampuan yang

bersifat multidimensional. Model ini memberi dukungan kepada peningkatan

ketrampilan berfikir kritis melalu jalur pelatihan formal.

Model yang dikembangkan di Alverno College menggabungkan kegiatan berfikir

kritis dengan metode instruksional tradisional, namun isi psikologi akan menjadi

konteks dimana mahasiswa akan belajar ketrampilan-ketrampilan berfikir kritis yang

spesifik untuk psikologi. Model ini menekankan pada penyempurnaan ketrampilan

berfikir kritis seperti dalam pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Dalam hal

ini, mahasiswa harus memperoleh ketrampilan-ketrampilan khusus secara diskrit

lewat rancangan kurikulum yang berfokus pada pengembangan ketrampilan berfikir

kritis. Rancangan kurikulum berfkir kritis dapat mencakup

a. elemen-elemen kognitif, yang terbagi menjadi ketrampilan berfikir dasar,

ketrampilan berfikir tingkat tinggi, dan ketrampilan berfikir kompleks

b. elemen-elemen kecenderungan (propensity), seperti afeksi, sikap, kesiapan

fisiologis, dan metakognisi.

Mahasiswa psikologi diharapkan menunjukkan hasil pemikiran kritis selama tiga

tahap, yakni

a. tahap pengantar psikologi

b. tahap matakuliah-matakuliah madya


c. tahap matakuliah-matakuliah lanjut (Halonen, 1995). Pada tahap matakuliah

pengantar psikologi, mahasiswa diharapkan mendemonstrasikan ketrampilam

berfikir kritis dalam:

a) menggambarkan perilaku dan membuat kesimpulan yang tepat mengenai

perilaku

b) mengidentifikasikan konsep-konsep perilaku dalam aksi,

c) menerapkan konsep-konsep psikologi untuk memecahkan masalah-

masalah pribadi dan umum

d) mengevaluasi validitas klaim-klaim sederhana mengenai perilaku

e) memberi kritikan pada mutu ilmiah eksperimen-eksperimen sederhana

mengenai perilaku

f) menerima kemungkinan sudut pandang yang beragam mengenai perilaku,

g) mengidentifikasikan asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang mempengaruhi

pertimbangan terhadap perilaku

h) mengekspresikan gagasan-gagasan mengenai psikologi dalam format

tulisan sederhana maupun lisan

i) mengevaluasi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan umum

prestasi akademis mereka sendiri.

Pada tahap mata kuliah-mata kuliah psikologi madya, maka mahasiswa

diharapkan mampu mendemonstrasikan kemampuan berfikir kritis sebagai berikut:

a. menggambarkan dan menjelaskan teori-teori dalam konteks dasar-dasar

kultural teori-teori tersebut


b. menggunakan teori-teori sebagai kerangka kerja dalam menghadapi isu-isu

dan problem-problem psikologis

c. memiliki asumsi lebih dari satu perspektif dalam satu problem atau isu

d. merancang, melakukan dan mengevaluasi penelitian perilaku yang sederhana

(misal, survai dan eksperimen)

e. mengidentifikasikan upaya-upaya menjaga etika atau pelanggaran-

pelanggaran dalam kerja psikologis

f. mendemonstrasikan ketrampilan berkolaborasi dalam pasangan-pasangan

atau kelompok-kelompok menulis dan berbicara menggunakan aturan-aturan

psikologi profesional

g. melakukan evaluasi yang berdasarkan kriteria terhadap prestasi mereka

sendiri.

Matakuliah-matakuliah psikologi lanjut akan mengharapkan mahasiswa

mendemostrasi-kan pemikiran kritis seperti berikut

a. menghasilkan pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku yang dapat diteliti,

b. menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku dengan menggunakan

metodologi yang tepat

c. memberlakukan upaya-upaya perlindungan etis sesuai dengan standar disiplin

ilmu

d. menerapkan teori-teori pada isu-isu atau masalah-masalah psikologis yang

kompleks
e. mengevaluasi keuntungan-keunrungan dan keterbatasan-keterbatasan

kerangka kerja psikologis

f. berbicara dan menulis berdasarkan standar APA dalam tugas formal

g. berpartisipasi dalam proses kelompok secara efisien dan efektif

h. menyusun dan menerapkan kriteria penilaian-diri.

5. Model dari Underwood dan Wald

Berfikir kritis dalam psikologi akan mencakup

a. kemampuan mengevaluasi jaringan-jaringan kesimpulan, asumsi sebab-

akibat, definisi operasional dan rancangan penelitian

b. keyakinan untuk mendengarkan intuisi pribadi mengenai apa yang penting,

serta

c. kepekaan untuk mengenal serta mengevaluasi tujuan orang lain yang

berlatar belakang yang berbeda. Ringkasnya, antara berfikir dan berperasaan

tidak dipilah-pilah (Underwood & Wald, 1995). Untuk mencapai tujuan

tersebut maka metode yang tepat ialah konferensi. Sebuah konferensi

digambarkan oleh Underwood dan Wald (1995) sebagai “kelompok-

kelompok kecil mahasiswa bertemu dengan dosen untuk secara bebas

berdiskusi, memberi tantangan, mempertahankan interpretasi terhadap

bahan kuliah ….. mahasiswa ditantang dalam kuliah mereka untuk belajar

bagaimana berfikir dan bukan apa yang difikirkan”.

Adapun ciri-ciri khas sebuah konferensi adalah sebagai berikut.


a. Dosen memberi tugas mahasiswa untuk membaca bacaan yang mampu di

pahami dan menantang. Sumber bacaan dipilih sumber primer, misalnya

sebuah artikel penelitianempiris dari satu jurnal terkemuka. Sumber bacaan

primer akan mendorong mahasiswa memfokuskan pada proses penelitian dan

tidak hanya pada produk penelitian. Dengan demikian maka mahasiswa akan

belajar mengevaluasi metodologi penelitian disamping kesimpulan-

kesimpulan penelitian (Underwood & Wald, 1995).

b. Pada hari-hari pertama perkuliahan, dosen perlu mengkomunikasikan kepada

mahasiswa cara mahasiswa harus berlaku di dalam kelas: mahasiswa perlu

berbagi gagasan secara bebas dengan sesama mahasiswa namun dengan

dukungan argumen yang difikirkan masak-masak, mahasiswa perlu

menghargai dan responsif terhadap gagasan-gagasan mahasiswa lain,

mahasiswa perlu berbicara/berkomunikasi kepada mahasiswa lain dan bukan

hanya kepada dosen.

c. Pada umumnya di dalam kelas mahasiswa akan lebih banyak berbicara

dibandingkan dengan dosen, namun demikian dosen tetap butuh persiapan

untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan mahasiswa dan merumuskan

jawaban-jawaban yang produktif. Perilaku bertanya mahasiswa dapat

dibentuk oleh dosen lewat beberapa cara. Misalnya, Seorang dosen dapat

mengajukan pertanyaannya sendiri sehingga akan menjadi model bagi

mahasiswa. Jika pertanyaan mahasiswa kurang jelas, maka dosen dapat

menyeder-hanakan pertanyaan tersebut. Cara lain adalah meminta mahasiswa


untuk membuat pertanyaan-pertanyaan tertulis. Salah satu metode mambuat

pertanyaan tertulis ialah metode yang dikembangkan oleh King (lihat Model

berfikir kritis dari King di atas).

d. Dosen perlu memiliki kemampuan mengelola dinamika kelas. Dosen harus

mampu menciptakan suasana kuliah yang beriklim penuh penerimaan,

toleransi dan saling menghargai.

Perilaku mahasiswapun memiliki sumbangan yang besar atas keberhasilan

metode konferensi. Misalnya, mahasiswa perlu menunjukkan partisipasi aktif dalam

konferensi. Untuk itu dalam silabus tuntutan untuk berpartisipasi aktif ini perlu ditulis

secara eksplisit. Salah satu tanggungjawab untuk berpartisipasi tersebut adalah

membaca bacaan yang telah ditugaskan dan mengevaluasi dengan hati-hati bacaan

tersebut. Agar supaya mahasiswa mau membaca maka panjangnya bacaan perlu

dibatasi dan mahasiswa diminta membuat pertanyaan sendiri mengenai bacaan itu.

Mahasiswa harus mau belajar dari sesama mahasiswa, Mahasiswa harus

membuang jauh-jauh pandangan yang mengatakan bahwa hanya dosenlah yang

memiliki pendapat yang penting untuk didengarkan. Dalam hal ini dosen diminta

untuk mengekspresikan rasa ketertarikan dan memberikan penghargaan kepada

pendapat mahasiswa sehingga mahasiswa mau mengemukakan pendapat. Mahasiswa

harus mau berani memikul resiko dengan menyatakan pendapat di depan mahasiswa

lain. Dosen dapat memberitahukan kepada mahasiswa bahwa melakukan kesalahan

itu hal yang lumrah.


Metode konferensi juga menuntut dosen untuk memberikan pemahaman kepada

mahasiswa bahwa tujuan konferensi bukan untuk menghancur-leburkan sampai

berkeping-keping pendapat mahasiswa lain. Hal ini perlu dikomunikasikan oleh

dosen sebab Underwood dan Wald mensinyalir ada mahasiswa yang berfikir menang

total-kalah total.
Daftar Pustaka
Buzzle.com (2009). Developing critical thinking skills. www.buzzle.com/.../developing-
critical-thinking-skills.html
Cottrell S (2005). Critical thinking skills: Developing effective analysis and argument.
Houndmills, Basingstoke, Hampshire, RG21 6XS, England: Macmillan Publishers Limited

Kelly J, Hokanson B (2009). Study guides and strategies: Reading critically. Interactive
Media (DHA 4384) School of Design, University of Minnesota.
www.studygs.net/crtthk.htm

Lau J (2009). A mini guide to critical thinking. Department of Philosophy The University of
Hong Kong. philosophy.hku.hk/think/

North Central Regional Educational Laboratory (2009). Critical thinking skill


Wikipedia (2009). Critical thinking. www.en.wikipedia.org/wiki/Critical_thinking

Angelo, T. A. 1995. Classroom Assessment for Critical Thinking. Teaching of Psychology,


22,(1), 6-9.

Cooper, J. L. 1995. Cooperative Learning and Critical Thinking. Teaching of Psychology,


22,(1), 7-8.

Halonen, J. S. 1995. Demystifying Critical Thinking. Teaching of Psychology, 22, (1), 75-81.

Halpern, D. F. 1996. Thought and Knowledge: An Introduction to Critical Thinking.


Lawrence Erlbaum Associates, Publisher, Mahwah: New Jersey.

Halpern, D. F, & Nummedal, S. G. 1995. Closing Thoughts About Helping Students Improve
How They Think. Teaching of Psychology, 22, (1), 82-83.

King, Alison. 1995. Inquiring Minds Really Do Want to Know: Using Questioning to Teach
Critical Thinking. Teaching of Psychology, 22, (1), 13-17.

Anda mungkin juga menyukai