Anda di halaman 1dari 31

Kepada Yth :

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dibawakan pada : Rabu, 1 Februari 2017

PERBEDAAN BAYI LAHIR NORMAL


DAN SEKTIO SESAREA

Oleh:
dr. Felix Setiawan

Pembimbing:
Dr. dr. John Wantania, Sp.OG(K)
Dr. dr. Rocky Wilar, Sp.A(K)
dr. Johnny Rompis, Sp.A

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i


DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3
A. BAYI BARU LAHIR .............................................................................................. 3
B. TIPE PERSALINAN ............................................................................................. 5
C. DAMPAK PERBEDAAN CARA PERSALINAN BAGI BAYI.................................. 6
1. Lama rawat inap (Length of stay) .................................................................. 6
2. Inisiasi Menyusui dini (IMD) ........................................................................... 8
3. Hiperbilirubinemia ........................................................................................ 10
4. Asfiksia neonatorum .................................................................................... 14
5. Kejadian alergi/dermatitis atopi saat remaja ................................................ 16
6. Kejadian Transient Tachypnoea of the Newborn (TTN) ............................... 20
BAB III RINGKASAN .............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 25
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hubungan persalinan normal dan seksio sesarea dengan kejadian
ikterus neonatorum …………………………………………………………………….….13
Gambar 2.2. Efek tidak langsung dari cara kelahiran dan risiko menderita penyakit
alergi melalui pengaruh pembentukan komposisi usus mikrobiota pada awal
kehidupan ……………………….……………………………………….…………………18
BAB I

PENDAHULUAN

Persalinan sesarea atau seksio sesarea merupakan proses pembedahan untuk


melahirkan janin melalui irisan pada dinding perut dan dinding uterus. Tindakan
seksio sesarea diperkirakan terus meningkat sebagai tindakan akhir dari
berbagai kesulitan persalinan seperti persalinan lama sampai persalinan macet,
ruptur uteri iminens, gawat janin, janin besar dan perdarahan setelah
melahirkan.1 Persalinan seksio sesarea memiliki risiko tinggi tidak hanya bagi
sang ibu tapi juga bagi janin yang dikandungnya. Meskipun berisiko, namun
pada kenyataannya angka kejadian seksio sesarea terus meningkat di banyak
negara termasuk Indonesia. Saat ini persalinan seksio sesarea bukan saja
karena adanya indikasi dari ibu ataupun bayinya, akan tetapi karena ada
permintaan pasien sendiri (cesarean section on request).2,3
Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah
komplikasi atau adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian
ibu sehingga perlu dilakukan tindakan medis sebagai upaya untuk
menyelamatkan ibu dan anak. Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas
dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan dengan komplikasi. Hasil Riskesdas
2013 menunjukkan kelahiran bedah sesar sebesar 9,8 persen dengan proporsi
tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%) dan
secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik
menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (18,9%),
tinggal di perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan
pendidikan tinggi/lulus PT (25,1%).4
Persalinan secara seksio sesarea telah melahirkan banyak permasalahan
terutama yang berdampak pada ibu dan bayinya. Banyak penelitian yang
berusaha menganalisa hubungan antara jenis penyakit tertentu pada bayi
dengan jenis persalinan, terutama saat bayi baru lahir. Bayi baru lahir dapat
mengalami asfiksia. Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir

1
yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia
merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hasil
beberapa penelitian melaporkan bahwa bayi yang dilahirkan melalui persalinan
seksio sesarea mengalami kesulitan bernafas setelah lahir (asfiksia) sebesar
57,1%. Di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado asfiksia neonatorum menduduki
peringkat 7 dari 10 penyakit perinatologi pada tahun 2011 sebanyak 50 kasus.
Ada beberapa faktor pencetus terjadinya asfiksia yaitu eklampsia, gawat janin,
solusio plasenta, plasenta previa, dan keadaan gawat ibu dan janin lainnya.
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr.R.D.Kandou Manado yang
dilakukan pada periode Juli 2010 – Juli 2012 secara analitik retrospektif,
didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis persalinan dan asfiksia
neonatorum (P=0,00), dimana persalinan seksio sesarea dengan presentase
terbesar pada bayi asfiksia yakni 31 bayi (62%). 5
Selain itu dampak yang perlu mendapat perhatian khusus adalah
pemberian ASI setelah operasi seksio sesarea. Banyak ibu setelah melakukan
operasi seksio sesarea yang tidak menyusui bayinya dikarenakan masa kritis
yang cukup lama, sakit diluka bekas operasi dan kurangnya pengetahuan untuk
menyusui pasca seksio sesarea. Dalam banyak kasus faktor budaya juga
mempengaruhi pemberian ASI, sehingga banyak bayi lahir melalui proses seksio
sesarea tidak mendapatkan ASI langsung setelah lahir melainkan setelah pulang
dari rumah sakit dan kondisi ibu sudah dalam keadaan baik. Akibat seksio
sesarea terdapat pula perbedaan pemberian ASI pada bayi yang baru lahir, yang
juga berimplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan anak. 6
Emel dkk7 melaporkan hasil dari 577 kasus seksio hanya 35,2% mulai
menyusui pada satu jam pertama, sementara 72,8 % dari mereka memulai
menyusui dalam dua jam pertama setelah kelahiran, dalam analisis yang
digunakan ditemukan faktor yang mempengaruhi status menyusui dalam 2 jam
pertama setelah kelahiran yaitu penyakit ibu selama masa kehamilan, bedah
sesar dan kelahiran prematur, dan pada umumnya bayi dengan bedah sesar
diberikan susu formula pada awal kelahiran dan mulai aktif disusui setelah 24
jam kelahiran.

2
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. BAYI BARU LAHIR


Pengertian bayi baru lahir normal adalah adalah bayi yang lahir dengan umur
kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu, memiliki berat lahir 2500 gram hingga
4000 gram, ketika lahir langsung menangis dan tidak memiliki kelainan
kongenital (cacat bawaan). Bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan
harus menyesuaikan diri dari kehidupan intra uterin ke kehidupan ekstra uterin.
Beralih dari ketergantungan mutlak pada ibu menuju kemandirian fisiologi. Tiga
faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi dan proses vital neonatus yaitu
maturasi, adaptasi dan toleransi. Selain itu pengaruh kehamilan dan proses
persalinan mempunyai peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas. Empat
aspek transisi pada bayi baru lahir yang paling dramatik dan cepat berlangsung
adalah sistem pernafasan, sirkulasi, kemampuan menghasilkan sumber
glukosa.8
Bayi baru lahir dikatakan bugar atau dalam keadaan sehat jika
mempunyai beberapa tanda antara lain : appearance color (warna kulit), seluruh
tubuh kemerah- merahan, Pulse (heart rate) atau frekuensi jantung > 100 x /
menit, grimace (reaksi terhadap rangsangan), menangis, batuk/bersin, activity
(tonus otot), gerakan aktif, respiration (usaha bernafas), bayi menangis kuat.
Kehangatan tidak terlalu panas (lebih dari 38°C) atau terlalu dingin (kurang dari
36°C) warna kuning pada kulit (tidak pada konjunctiva), terjadi pada hari ke 2-3
tidak biru, pucat, memar, pada saat diberi makanan hisapan kuat, tidak
mengantuk berlebihan, tidak muntah, tidak terlihat tanda - tanda infeksi pada tali
pusat (tali pusat merah, bengkak, keluar cairan, bau busuk, berdarah), dapat
berkemih selama 24 jam, tinja lembek, sering, hijau tua, tidak ada lendir atau
darah pada tinja, bayi tidak menggigil atau tangisan kuat, tidak mudah
tersinggung, tidak terdapat tanda : lemas, terlalu mengantuk, lunglai, kejang-
kejang halus, tidak bias tenang, menangis terus menerus.9

3
Sebagai akibat perubahan lingkungan dalam uterus ke luar uterus, maka bayi
menerima rangsangan yang bersifat kimiawi, mekanik dan termik seperti:10
1. Perubahan Metabolisme Karbohidrat
Pada waktu 2 jam setelah lahir, akan terjadi penurunan kadar gula dalam
darah tali pusat yang semula 65 mg/100 ml. Bila terjadi gangguan perubahan
glukosa menjadi glikogen sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
neonatus maka kemungkinan besar bayi akan mengalami rangsangan
hipoglikemia.
2. Perubahan Suhu Tubuh
Sesaat sesudah bayi baru lahir, ia akan berada di tempat yang suhunya lebih
rendah dari dalam kandungan dan dalam keadaan basah. Pada suhu
lingkungan yang tidak baik akan menyebabkan bayi menderita hipertermi,
hipotermi, atau trauma dingin (cold injury). Kehilangan panas dapat dikurangi
dengan mengatur suhu lingkungan seeprti mengeringkan, membungkus
badan dan kepala, meletakkannya di tempat hangat seperti di pangkuan ibu,
dalam infant warmer, atau di bawah sorotan lampu.
3. Perubahan Sistem Pernafasan
Pernafasan pertama bayi normal terjadi dalam waktu 30 detik sesudah
kelahiran. Pernapasan ini terjadi akibat aktivitas normal susunan saraf pusat
dan perifer yang dibantu oleh beberapa rangsangan lainnya. Tekanan rongga
dada bayi pada waktu melalui jalan lahir pervaginam mengakibatkan bahwa
paru-paru, yang pada janin cukup bulan mengandung 80 sampai dengan 100
ml cairan, kehilangan 1/3 dari cairan ini. Setelah lahir cairan yang hilang
diganti dengan udara dan paru-paru berkembang sehingga rongga dada
kembali ke bentuk semua.
4. Perubahan Sistem Sirkulasi
Dengan berkembangnya paru-paru tekanan oksigen di alveoli meningkat.
Sebaliknya tekanan karbondioksida menurun. Hal tersebut mengakibatkan
turunnya resistensi pembuluh-pembuluh darah paru, sehingga aliran darah ke
alat tersebut meningkat. Ini meyebabkan darah dari arteri pulomonalis
mengalir ke paru-paru dan duktus arteriosus menutup. Dengan menciutnya

4
arteri dan vena umbilikalis dan kemudian dipotongnya tali pusat, aliran darah
dari plasenta melalui vena cava inferior dari foramen ovale ke atrium kiri
terhenti. Dengan diterimanya darah oleh atrium kiri dari paru-paru, tekanan di
atrium kiri menjadi lebih tinggi daripada tekanan di atrium kanan. Ini
menyebabkan foramen ovale menutup. Sirkulasi darah janin pun berubah
menjadi sirkulasi yang hidup di luar tubuh ibu.

B. TIPE PERSALINAN
Persalinan adalah suatu proses yang dimulai dengan adanya kontraksi
uterus yang menyebabkan terjadinya dilatasi progresif dari serviks, kelahiran
bayi, dan kelahiran plasenta, dan proses tersebut merupakan proses alamiah.
Persalinan normal menurut WHO adalah persalinan yang dimulai secara
spontan, beresiko rendah pada awal persalinan dan tetap demikian selama
proses persalinan, bayi lahir secara spontan dalam presentasi belakang kepala
pada usia kehamilan 37-42 minggu lengkap dan setelah persalinan ibu maupun
bayi berada dalam kondisi sehat.11
Menurut cara persalinan dibagi menjadi :11
1. Persalinan biasa atau normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada
kehamilan cukup bulan (aterm, 37-42 minggu), pada janin letak
memanjang, presentasi belakang kepala yang disusul dengan
pengeluaran plasenta dan seluruh proses kelahiran itu berakhir dalam
waktu kurang dari 24 jam tanpa tindakan/pertolongan buatan dan tanpa
komplikasi.
2. Persalinan abnormal adalah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-
alat maupun melalui dinding perut dengan operasi sesar.

Operasi seksio sesarea adalah salah satu operasi yang paling sering
dilakukan dalam kedokteran manusia. Hal ini telah menjadi prosedur rutin
dengan morbiditas yang sangat rendah dan kematian. Selama berabad-abad, itu
telah muncul sebuah prestasi penting dalam kedokteran kebidanan. Di hadapan
cephalo-panggul-disproporsi, distosia serviks, malpresentation, kelahiran

5
prematur, makrosomia, insufisiensi plasenta, plasenta previa atau gawat janin
sangat penting untuk meningkatkan morbiditas perinatal dan kematian ibu dan
anak. Sementara itu, juga konsekuensi jangka panjang dari operasi seksio
sesarea sudah dikenal. Potensi bahaya untuk kehamilan dan persalinan masa
dijelaskan dengan baik. Kontroversi yang sebenarnya membahas operasi seksio
sesarea pada permintaan tanpa indikasi medis, yang sebenarnya hanya jarang
dilakukan di Swiss. Pembenaran etika dari prosedur ini perlu dibahas dalam
pandangan kecenderungan saat ini menuju otonomi dan penentuan nasib sendiri
dari wanita hamil.2,3,12

C. DAMPAK PERBEDAAN CARA PERSALINAN BAGI BAYI


1. Lama rawat inap (Length of stay)
Lama rawat inap di rumah sakit pada ibu dan bayi baru lahir bervariasi
tergantung pada proses persalinan yang dijalankan, apakah itu melalui
operasi seksio sesarea atau persalinan normal. Masing-masing rumah sakit
juga memiliki standar harga tersendiri bagi tiap-tiap tidakan yang dijalani oleh
pasien. Sebagian wanita memilih untuk meninggalkan rumah sakit segera
setelah sang bayi lahir namun tentu harus mendapat persetujuan dari dokter
terlebih dahulu, sementara ada sebagian wanita yang ingin tinggal lebih lama
di rumah sakit. Rata-rata lama rawat inap di rumah sakit atau klinik bersalin
setelah melahirkan bagi ibu dan bayi baru lahir adalah 24 sampai 36 jam atau
48 jam.13 Masa postpartum dini merupakan masa yang praktis untuk
memberikan informasi kepada ibu tentang beberapa hal yang penting salah
satunya mengenai perawatan bayi baru lahir. Perawatan bayi baru lahir
meliputi perawatan tali pusat, mengganti dan mengenakan popok,
mengenakan pakaian bayi, memandikan bayi, menggendong dan mengatur
posisi bayi, memberi makan bayi dan imunisasi.
Lama perawatan setelah persalinan perabdominal lebih lama
dibandingkan dengan persalinan yang dilakukan pervagina. Komplikasi
setelah tindakan pembedahan dapat memperpanjang lama perawatan di
rumah sakit dan memperlama masa pemulihan. Ibu setelah mengalami

6
operasi seksio sesarea harus dirawat diruang perawatan. Perawatan yang
dibutuhkan oleh pasien pasca operasi seksio sesarea membutuhkan
perawatan inap sekitar 3–5 hari. Penutupan luka insisi seksio sesarea terjadi
pada hari ke-5 pasca bedah, luka pada kulit akan sembuh dengan baik dalam
waktu 2–3 minggu, luka fasia abdomen akan merapat dalam waktu 6 minggu,
tapi tetap terus berkembang makin erat selama 6 bulan, tendon atau
ligomentum membutuhkan waktu sekurang–kurangnya 3 bulan untuk
peyembuhan awal dan terus makin kuat dalam waktu lebih dari 1 tahun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi lama perawatan adalah faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal meliputi medis (komplikasi, jenis operasi,
teknik operasi, diagnosa penyakit, pelaksanaan operasi) dan non medis /
administrasi (hari masuk RS dan hari pulang RS). Faktor eksternal yaitu
pasien (umur, pekerjaan, penangung jawab biaya, alasan pulang). 14
Rawat gabung adalah perawatan bayi dalam kamar yang sama
dengan ibu pada hari-hari pertama setelah persalinan, dan dilanjutkan
setelah ibu dan bayi pulang ke rumah. Rawat gabung bermanfaat untuk
mendukung keberhasilan ASI eksklusif karena bayi dapat menyusu langsung
tanpa dijadwal dan ibu akan mudah mengenali tanda-tanda lapar pada bayi.
Hal ini dapat mencegah terjadinya payudara bengkak, mengurangi risiko
kuning, mencegah penurunan berat badan yang berlebihan, bayi lebih
tenang, mengurangi risiko infeksi dan depresi pada ibu pasca persalinan
serta meningkatkan rasa percaya diri ibu untuk merawat bayi. Pada bayi lahir
normal sesuai dengan protokol di bidang neonatologi anak maka lama rawat
inap 48 jam. Hal ini dimaksudkan agar melihat kuning patologis pada bayi,
melihat apakah terjadi dehidrasi karena kekurangan minum ASI/PASI,
apakah terjadi infeksi pada daerah tali pusat. Jika bayi sehat pasca
persalinan operasi seksio sesarea ataupun persalinan normal, lama rawat
inap hanya 48 jam.13

7
2. Inisiasi Menyusui dini (IMD)
Dalam rahim ibu, bayi berada pada suhu lingkungan yang optimal yaitu
36,5-37,5°C, sesuai dengan suhu tubuh ibunya. Sesaat setelah dilahirkan,
bayi akan berada pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh ibunya,
sehingga berisiko untuk terjadi hipotermia (suhu tubuh rendah). Hipotermia
dapat menyebabkan terjadinya berbagai gejala seperti hipoglikemia (gula
darah rendah), gangguan pernafasan, lemas atau gelisah, kejang, dan sesak
napas. Untuk menghindari terjadinya hipotermia, letakkan bayi pada dada ibu
sehingga terjadi kontak antara kulit ibu dan kulit bayi (perawatan metode
kanguru). Metode ini sangat baik untuk menghangatkan bayi secara alamiah.
Suhu kulit ibu akan menghangatkan bayi lebih cepat dan menjaga suhu bayi
tetap stabil.15
Setelah bayi dikeringkan, bayi ditengkurapkan di atas dada atau perut
ibu. Kulit bayi menempel dengan kulit ibu, dan mata bayi diletakkan sejajar
dengan puting susu ibu. Ibu dianjurkan menyentuh bayi dan menyangga
ringan bagian bokong bayi. Bayi diberi topi dan diselimuti. Biarkan bayi
mencari sendiri puting ibu. Jika setelah satu jam kontak kulit ke kulit belum
terjadi proses menyusui dini, ibu dibantu untuk mendekatkan bayi ke
putingnya dan bayi diberi waktu untuk melanjutkan kembali proses tadi
selama setengah sampai satu jam. Alangkah baiknya jika ibu dapat
didampingi oleh suami atau keluarga. 15
Inisiasi menyusu dini bermanfaat untuk mengurangi angka kematian
bayi dan membantu menyukseskan pemberian ASI eksklusif. Selain itu, IMD
dapat meningkatkan daya tahan tubuh bayi karena bakteri baik di kulit ibu
akan masuk ke tubuh bayi dan lebih lanjut lagi bayi akan mendapatkan ASI
pertama (kolostrum) yang sangat banyak mengandung zat-zat kekebalan
tubuh. Tidak perlu cemas bila selama proses IMD bayi belum sampai
melakukan kegiatan menyusui yang sesungguhnya, karena proses ini sendiri
sudah meningkatkan peluang keberhasilan menyusui. Pada situasi tertentu
bila bayi tidak bugar atau kondisi bayi setelah dilahirkan belum stabil,
terkadang IMD tidak dapat dilakukan karena bayi harus segera mendapat

8
perawatan lebih lanjut. Jika hal ini terjadi, ibu tidak perlu putus asa. Ibu tetap
dapat sukses menyusui dengan memerah ASI selama bayi belum dapat
menyusu secara langsung.15
World Health Organization (WHO) dan United Nations International
Children's Emergency Fund (UNICEF) merekomendasikan bahwa ibu dan
bayi yang baru lahir memiliki kontak kulit ke kulit segera setelah kelahiran
pervagina dan segera setelah ibu sadar pada operasi seksio sesarea. Kontak
kulit ke kulit dapat didefinisikan sebagai menempatkan bayi telanjang ke dada
telanjang ibu. Kelahiran secara seksio sesarea dikenal mengurangi terjadinya
inisiasi menyusui dini, meningkatkan panjang waktu sebelum menyusui
pertama, mengurangi kejadian ASI eksklusif, secara signifikan menunda
timbulnya laktasi dan meningkatkan kemungkinan suplementasi. Kebanyakan
periode kritis untuk inisiasi menyusui pertama 1 jam setelah lahir. Seringkali,
ibu yang telah menjalani operasi seksio sesarea butuh bantuan ekstra
dengan menyusui. Jika tidak, ibu-ibu ini pada rata-rata mulai menyusui
bayinya banyak kemudian dan menghentikan menyusui lebih cepat.16
Penelitian di Australia yang dilakukan oleh Sakalidis dkk tentang
refleks hisap bayi dan perilaku menyusui pada bayi dari ibu yang melakukan
persalinan dengan operasi seksio sesarea. Pada bayi yang dilahirkan secara
seksio sesarea, gerakan lidah anterior yang meningkat pada hari 3
dibandingkan dengan bayi yang lahir secara normal (pi<0,001). Dibandingkan
dengan kelompok bayi lahir normal, kelompok bayi lahir secara seksio
sesarea menunjukkan refleks hisap yang lebih cepat, terutama pada hari 3
(p<0,001), kemudian waktu pertama kali menyusui (p=0,01) dan kepenuhan
payudara (p=0,03), dan skor neurobehavioral lebih rendah (p=0,047). Durasi
menyusui dan asupan susu adalah serupa antara kedua kelompok.17
Manfaat menyusui telah dipromosikan secara luas dan diterima di
banyak negara tetapi pemberian ASI eksklusif untuk pertama 6 bulan hidup
jauh dari norma di banyak negara. Dalam sebuah penelitian kohort antara
hubungan ibu dan anak di Crete, Yunani (studi 'Rhea'), kami menilai frekuensi
menyusui dan prediktor sosio-demografis. Informasi tentang menyusui yang

9
tersedia untuk periode 18 bulan pasca melahirkan untuk kohort dari 1181 ibu
dan 1208 bayi. Frekuensi pemberian ASI eksklusif dan dominan dalam bulan
pertama post partum adalah 17,8% dan 3,4%, masing-masing, dengan
hampir tiga-perempat dari perempuan (73,6%) berhenti menyusui apapun
setelah 4 bulan setelah melahirkan. Wanita cenderung kurang untuk memulai
menyusui jika mereka melahirkan secara seksio sesarea sedangkan mereka
lebih mungkin untuk memulai menyusui jika mereka memiliki pendidikan yang
lebih tinggi atau melahirkan sebuah klinik swasta. Faktor lain yang
mempengaruhi lama menyusui adalah pendidikan tinggi dan sedang cuti dari
pekerjaan dikaitkan dengan durasi yang lebih lama menyusui.18

3. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25 – 50% bayi baru lahir
menderita ikterus pada minggu pertama. Hiperbilirubinemia adalah
peningkatan kadar plasma bilirubin, standar deviasi atau lebih dari kadar
yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90 persen.
Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau
kadar bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus
fisiologis. Gejala paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan
sebagai kulit dan selaput lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila
terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. 15
Bayi dengan ikterus perlu diamati apakah fisiologis atau akan
berkembang menjadi ikterus patologis. Anamnesis kehamilan dan kelahiran
sangat membantu pengamatan klinik dan dapat menjadi petunjuk untuk
melakukan pemeriksaan yang tepat. Early feeding yaitu pemberian makanan
dini pada bayi dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik pada bayi.
Pemberian makanan yang dini ini akan menyebabkan terjadinya
pendorongan gerakan usus, dan mekonium lebih cepat dikeluarkan, sehingga
peredaran enterohepatik bilirubin berkurang. Makanan yang terbaik bagi bayi
baru lahir adalah ASI. ASI eksklusif (menurut WHO) adalah pemberian ASI

10
saja pada bayi sampai usia 6 bulan tanpa tambahan cairan ataupun makanan
lain.15
Pemberian ASI akan efektif apabila didukung oleh bagaimana cara
menyusui yang baik dan benar, karena menyusui sebenarnya tidak saja
memberikan kesempatan kepada bayi untuk tumbuh menjadi manusia yang
sehat secara fisik tetapi juga lebih cerdas, mempunyai emosional yang stabil,
perkembangan spiritual yang baik serta perkembangan sosial yang lebih baik.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan ibu menyusui dengan baik dan
benar di antaranya adalah pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, jumlah anak,
pola asuh dan sebagainya. Hambatan dalam praktek menyusui adalah
kurangnya pengetahuan dan pemahaman dalam cara menyusui dan
pentingnya ASI bagi bayi.5
Faktor resiko lain untuk timbulnya ikterus selain ASI adalah persalinan
dengan tindakan seksio sesarea. Tindakan operasi seksio sesarea dapat
menyebabkan resiko komplikasi pada bayi maupun pada ibu. Komplikasi
yang timbul setelah dilakukannya seksio sesarea pada ibu antara lain nyeri
pada daerah insisi, thrombosis, penurunan kemampuan fungsional,
penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul, perdarahan, infeksi,
luka kandung kemih, bengkak pada ekstremitas bawah, dan gangguan
laktasi, sehingga dampak nyeri yang dialami ibu setelah operasi seksio
sesarea adalah terganggunya Activity of Daily Living (ADL).19
Activity of Daily Living yang terganggu dapat mengakibatkan respon
ibu pada bayi berkurang sehingga ibu tidak dapat memberikan ASI secara
optimal atau pemberian ASI menjadi tertunda. Penundaan pemberian
makanan pada bayi dapat menyebabkan intensitas ikterus fisiologik
bertambah. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan
ada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan
gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Terdapat perbedaan
kecepatan pengeluaran ASI antara ibu setelah persalinan normal dengan ibu
setelah operasi seksio sesarea. Pengeluaran ASI lebih cepat pada ibu

11
setelah persalinan normal dibanding dengan setelah operasi seksio sesarea
sebagai akibat nyeri efek anestesi dan kurangnya ambulasi/mobilisasi dini. 20
Posisi menyusui berhubungan dengan waktu pengeluaran ASI pada
ibu setelah operasi seksio sesarea. Posisi yang tepat untuk bayi dan
kelekatannya pada payudara ibu sangat penting dalam keberhasilan
menyusui. Menyusui akan sukses bila posisi menyusui ibu benar. Empat
posisi menyusui yang umum digunakan yaitu posisi cradle hold, cross cradle
hold, football hold, dan lying down. Posisi lying down merupakan posisi
menyusui terbaik untuk kenyamanan ibu di hari-hari pertama melahirkan, bila
ibu telah yakin bayinya mampu menempel dengan tepat.21
Nyeri berat pada ibu setelah operasi seksio sesarea merupakan faktor
yang memperlambat keluarnya ASI. Semakin tinggi nyeri yang dialami ibu
setelah operasi seksio sesarea, semakin lambat pengeluaran ASI. Apabila
bayi disusui, gerakan menghisap yang berirama akan merangsang saraf yang
terdapat di dalam glandula pituitiari posterior. Rangsang refleks ini akan
mengeluarkan oksitosin dari pitutiari posterior. Hal ini akan menyebabkan sel-
sel mioepitel di sekitar alveoli akan berkontraksi dan mendorong air susu
masuk ke dalam pembuluh darah. Refleks ini dapat dihambat oleh adanya
rasa sakit, misalnya nyeri jahitan luka operasi pada ibu setelah operasi seksio
sesarea.21
Nyeri setelah operasi seksio sesarea menghambat produksi dan ejeksi
ASI, pelaksanaan tindakan rolling massage tidak dapat diberikan secara dini
sebagaimana halnya dengan ibu setelah persalinan normal karena ibu belum
dapat turun dari tempat tidur walaupun dengan bantuan. Selain itu, bayi juga
mengantuk dan kurang responsif untuk menyusu, terutama pada ibu yang
mendapatkan obat penghilang rasa sakit sebelum di operasi.22
Produksi dan ejeksi ASI lebih cepat pada ibu dengan IMD. Pada IMD
terjadi kontak kulit ke kulit antara bayi dan ibu. Semakin sering ibu melakukan
kontak fisik langsung (kontak kulit ke kulit) dengan bayi akan membantu
menstimulasi hormon prolaktin dalam memproduksi ASI. Karena itu pada
tahun 2005, American Academy of Pediatrics (AAP) mengeluarkan kebijakan

12
agar ibu dapat terus bersama bayinya di ruangan yang sama dan mendorong
ibu untuk segera menyusui bayinya kapanpun sang bayi menginginkannya.
Semua kondisi tersebut akan membantu kelancaran produksi dan
pengeluaran ASI. Keuntungan rawat gabung diantaranya untuk
menggalakkan penggunaan ASI sebagai kelanjutan IMD.23

Gambar 2.1 Hubungan persalinan normal dan seksio sesarea dengan


kejadian ikterus neonatorum24

13
4. Asfiksia neonatorum
Asfiksia adalah keadaan yang ditandai dengan hipoksemia
(penurunan paCO2), hiperkarbia (peningkatan paCO2), dan
asidosis/penurunan pH 7. Asfiksia neonatorum adalah keadaan yang
merupakan kelanjutan dari kegawatan janin atau fetal distress intrauterin
yang disebabkan oleh banyak hal. Kegagalan pernafasan asfiksia pada bayi
disebabkan karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor persalinan
yang meliputi partus lama, partus dengan tindakan seperti operasi seksio
sesarea, ekstraksi vakum, dan ekstraksi forcep. Kegagalan pernafasan pada
bayi baru lahir disebabkan oleh persalinan dengan tindakan, partus lama,
trauma kelahiran, infeksi serta penggunaan obat-obatan selama persalinan. 25
Bayi yang dilahirkan dengan seksio sesarea, terutama jika tidak ada
tanda persalinan, tidak mendapatkan manfaat dari pengeluaran cairan paru
dan penekanan pada toraks sehingga mengalami gangguan pernafasan yang
lebih persistan. Kompresi toraks janin pada persalinan kala II mendorong
cairan untuk keluar dari saluran pernafasan. Proses kelahiran dengan seksio
sesarea memicu pengeluaran hormon stress pada ibu yang menjadi kunci
pematangan paru-paru bayi yang terisi air. Tekanan yang agak besar seiring
dengan ditimbulkan oleh kompresi dada pada kelahiran per vaginam dan
diperkirakan bahwa cairan paru-paru yang didorong setara dengan
seperempat kapasitas residual fungsional. Jadi, pada bayi yang lahir dengan
seksio sesarea mengandung cairan lebih banyak dan udara lebih sedikit di
dalam parunya selama enam jam pertama setelah lahir. Kompresi toraks
yang menyertai kelahiran pervaginam dan ekspansi yang mengikuti kelahiran,
mungkin merupakan suatu faktor penyokong pada inisiasi respirasi.26
Penelitian di Norway tahun 2005 yang dilakukan oleh Kolas T dkk
membandingkan dampak persalinan secara sesar yang direncanakan dengan
persalinan normal yang direncanakan. Survei dilakukan pada 18.653
persalinan tunggal yang mewakili 24 unit bersalin selama periode 6 bulan.
Data yang diambil dari Medical Birth Registry of Norway dan dianalisis.
Dibandingkan dengan pengiriman pervagina yang direncanakan, persalinan

14
secara seksio sesarea yang direncanakan meningkatkan bayi yang dirawat di
NICU dari 5,2% menjadi 9,8% (p<0,001). Risiko gangguan paru (takipnea
transien bayi baru lahir dan respiratory distress syndrome) naik dari 0,8%
menjadi 1,6% (P=0,01). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam risiko
untuk skor Apgar rendah dan gejala neurologis. Didapatkan kesimpulan
bahwa operasi seksio sesarea yang direncanakan meningkatkan risiko
perawatan NICU risiko untuk gangguan paru, dibandingkan dengan
persalinan pervaginam direncanakan.27
Penelitian oleh Hansen yang mengamati kelahiran dari tahun 1998
sampai 2006 di Denmark terhadap 34.458 kelahiran mendapatkan adanya
peningkatan risiko gangguan pernapasan pada bayi yang dilahirkan dengan
cara seksio sesarea emergensi jika dibandingkan dengan melalui persalian
pervaginam. Risiko akan meningkat menjadi 3,9 kali lebih tinggi pada seksio
sesarea emergensi jika dibandingkan dengan melalui persalinan
pervaginam.28
Hasil serupa juga didapatkan oleh Zanardo, peneliti mendapatkan
risiko 2,6 kali untuk mengalami risiko kelainan pernapasan pada bayi yang
dilahirkan melalui operasi seksio sesarea jika dibandingkan melalui
persalinan pervaginam. Peneliti menggunakan 1284 responden dengan
operasi seksio sesarea elektif tanpa komplikasi yang diikuti 3 tahun sebelum
melahirkan. Risiko ini meningkat jika analisis gangguan pernapasan dipisah
berdasarkan jenis kelainannya. Risiko untuk terjadi respiratory distress
syndrome meningkat menjadi 5,6 kali dan transient takipneu of newborn
menjadi 2,8 kali.29
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. Dr.R.D.Kandou Manado
yang dilakukan pada periode Juli 2010 – Juli 2012 secara analitik retrospektif,
didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis persalinan dan asfiksia
neonatorum (P=0,00), dimana persalinan seksio sesarea dengan presentase
terbesar pada bayi asfiksia yakni 31 bayi (62%). 5

15
5. Kejadian alergi/dermatitis atopi saat remaja
Komposisi flora usus pada anak-anak, jika tidak menguntungkan,
dapat meningkatkan kerentanan terhadap gangguan alergi. mikroba usus
yang bermanfaat berasal dari saluran vagina ibu dan dengan demikian lebih
mungkin untuk ditransfer selama proses kelahiran pervaginam daripada
kelahiran secara seksio sesarea. 30
Ada bukti yang meyakinkan dari kedua studi manusia dan hewan
menunjukkan bahwa mikrobiota usus bayi memainkan peran penting dalam
mengatur respon imun yang terkait dengan perkembangan penyakit alergi.
Sampai saat ini ada, namun, masih ada bakteri tertentu atau himpunan
bagian tertentu dari mikrobiota yang telah secara konsisten dikaitkan dengan
penyakit alergi, yang terutama disebabkan perbedaan-perbedaan metodologi
antara studi. Dengan demikian ada kebutuhan untuk menerapkan konsep-
konsep metodologis yang berbeda untuk meningkatkan pemahaman yang
lebih dalam dan lebih halus dari hubungan antara mikrobiota usus dan alergi.
Dalam studi terbaru kami melaporkan bahwa kolonisasi oleh Clostridia pada
awal masa bayi meningkatkan risiko dermatitis atopik. Menggunakan analisis
mediasi berikutnya, kami menunjukkan bahwa modus lahir dan memiliki
saudara yang lebih tua sangat berdampak pada mikrobiota bayi yang pada
gilirannya mempengaruhi risiko dermatitis atopik. Hasil mediasi ini analisis
kontribusi bukti kuat untuk hubungan sebab akibat dari modus lahir dan
urutan kelahiran pada risiko alergi melalui modulasi komposisi mikrobiota. 31,32
Pengetahuan tentang interaksi dari kolonisasi bakteri dengan bakteri
patogen dan non-patogen dan sistem kekebalan tubuh manusia mengarah ke
spekulasi tentang efek potensial pada kesehatan dan penyakit. Kemajuan
terbaru dalam teknologi sequencing dan kemungkinan bioinformatika baru
sekarang memungkinkan menyelidiki mikroba yang menghuni usus manusia,
kulit dan saluran udara secara lebih rinci. Mengingat hipotesis kebersihan,
dampak dari komposisi mikroba individu dengan sensitisasi alergi dan / atau
penyakit atopik, yaitu, asma alergi atau eksim atopik, diselidiki dalam
beberapa uji klinis. Keragaman diubah dari usus mikrobiota pada masa bayi

16
serta kolonisasi bakteri patogen dan apathogenic tertentu telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko alergi. Ada upaya terus menerus untuk
membangun strategi intervensi yang bertujuan memodifikasi pola kolonisasi
awal pada awal kehidupan.33
Faktor genetik tidak dapat menjelaskan peningkatan pesat baru-baru
ini dalam kejadian penyakit atopik. Fenomena ini telah dijelaskan oleh faktor
lingkungan, dan ada data untuk dan terhadap hipotesis bahwa penurunan
tekanan stimulasi mikroba awal kehidupan bisa berada di balik epidemi alergi.
Perubahan juga terjadi dalam perawatan bersalin, di antaranya kenaikan
tingkat operasi seksio sesarea, yang bisa mengurangi paparan mikroba awal
dan dengan demikian mengubah sel T-helper 1/ T-helper 2 perkembangan
sel dan mempengaruhi risiko mengembangkan atopi. Dalam studi ini, kami
berusaha untuk menentukan apakah jenis kelahiran mempengaruhi
perkembangan asma atopik. Finlandia 1987 Medical Birth Register (n=59.927
kelahiran hidup) informasi itu terkait antara beberapa register kesehatan
nasional untuk memperoleh informasi tentang asma dan cara persalinan
pada anak-anak yang terdaftar. Data disesuaikan dengan usia ibu, riwayat
persalinan sebelumnya, jenis kelamin anak, dan ukuran lahir. Atopi dievaluasi
dalam studi kedua (Turku Birth Cohort), yang melibatkan 219 anak yang lahir
dengan persalinan pervaginam (n=106) atau operasi seksio sesarea (n=113);
riwayat gejala atopik ditegakkan dari kuesioner dan pemeriksaan klinis
dilakukan, termasuk uji tusuk kulit dan penentuan total alergen-IgE spesifik
dalam serum. Studi terdahulu menunjukkan kejadian kumulatif asma pada
usia tujuh secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak yang lahir melalui
operasi seksio sesarea (4,2%) dibandingkan pada mereka yang lahir
pervaginam (3,3%) (OR=1,21 (1,08-1,36), p <0,01. Dalam studi kedua, tes
alergi secara signifikan lebih positif dilaporkan di kuesioner di seksio sesarea
(22%) dibandingkan dengan kelompok persalinan pervaginam (11%), OR
2,22 (1,06-4,64), p <0,01, dan tren ke arah yang lebih positif reaksi menusuk
kulit didokumentasikan pada pemeriksaan klinis; 41% berbanding 29%, OR
1,31 (0,65-2,65), p=0,11. Kesimpulannya, hasil ini menunjukkan bahwa

17
pengiriman operasi caesar mungkin berhubungan dengan peningkatan
prevalensi atopik asma.34,35,36

Gambar 2.2 Efek tidak langsung dari cara kelahiran dan risiko menderita
penyakit alergi melalui pengaruh pembentukan komposisi usus mikrobiota
pada awal kehidupan. 37

Penelitian studi kohort retrospektif dilakukan oleh Renz-Polster H dkk


terhadap 8.953 anak-anak berusia 3-10 tahun yang didiagnosis dengan
rhinoconjunctivitis alergi (AR), asma, dermatitis atopik (AD), atau alergi
makanan yang diketahui dari rekam medis Kaiser Permanente Northwest
Region sedangkan data dasar yang lain diambil dari rekam medis ibu.
Didapatkan hasil bahwa kelahiran secara seksio sesarea dikaitkan dengan
diagnosis dari asma (OR=1,24%, 95% CI = 1,01-1,53) dengan hubungan
yang bermakna pada jenis kelamin perempuan (OR=1.53%, 95% CI=1.11-
2.10) sedangkan pada anak laki-laki (OR=1.08%, 95% CI=0.81-1.43). Resiko
untuk diagnosis AR juga meningkat pada kelahiran secara seksio
(OR=1.37%, 95% CI=1.14-1.63).38
Debley JS dkk39 melakukan studi kasus-kontrol pada data rekam
medis di Washington Amerika untuk menentukan apakah kelahiran seksio
sesarea pada bayi cukup bulan dan bayi prematur meningkatkan risiko
kejadian rawat inap anak dengan asma. Pada penelitian ini kelahiran secara
seksio sesarea dihubungkan dengan peningkatan risiko rawat inap asma
(OR, 1,20; 95% CI, 1,04-1,39). Namun, jika dianalisis secara terpisah, hanya
terdapat hubungan antara kelahiran seksio sesarea dengan rawat inap asma

18
pada bayi prematur (OR, 1,90; 95% CI, 1,09-3,02) tetapi tidak pada bayi
cukup bulan (OR, 1,15; 95% CI, 0.97- 1,34).
Sebuah penelitian di Milan yang dilakukan antara tahun 1976-1982
memberikan hasil yang tidak bermakna antara cara persalinan dengan
kejadian asma pada anak. Karena efek dari cara persalinan pada risiko
terjadinya asma bervariasi dari waktu ke waktu, pemilihan subyek penelitian
sesuai dengan usia mereka mungkin telah mempengaruhi temuan penelitian
sebelumnya dengan masa tindak lanjut yang lebih pendek.40
Sebuah metaanalisis oleh Thavagnanam S dkk41 ditemukan bahwa
terdapat peningkatan 20 % dalam kejadian risiko asma pada anak yang
dilakukan operasi seksio sesarea. Meta analisis dari 23 studi menunjukkan
peningkatan risiko asma pada anak-anak yang disampaikan melalui operasi
seksio sesarea (OR=1,22, 95% CI 1,14-1,29). Namun, dalam analisis ini, ada
bukti heterogenitas (I(2)=46%) yang signifikan secara statistik (P<0,001).
Membatasi analisis studi kecil, heterogenitas ini nyata menurun (I(2)=32%)
dan tidak lagi mencapai signifikansi statistik (P=0,08). Dalam studi ini, ada
juga bukti peningkatan (P <0,001) dalam risiko asma setelah operasi seksio
sesarea (OR = 1,20, 95% CI 1,14, 12,6).
Eggesbø M dkk melakukan penelitian untuk menguji apakah kelahiran
secara seksio sesarea dan penggunaan antibiotik yang terkait dengan alergi
makanan berikutnya. Hasil dari penelitian ini didapatkan pada anak-anak
yang ibunya alergi, kelahiran secara seksio sesarea dikaitkan dengan risiko
tujuh kali lipat peningkatan reaksi alergi terhadap telur, ikan, atau kacang-
kacangan (OR=7,0; CI 1,8-28; P=0,005) dan 4 kali lipat peningkatan risiko
alergi telur (OR=4,1; CI 0,9-19; P=0,08). Di antara anak dengan ibu yang
tidak alergi, hubungan itu jauh lebih lemah dan tidak signifikan. Penggunaan
antibiotik pada ibu atau bayi tidak berhubungan dengan peningkatan risiko
alergi makanan.42
Sebuah meta analisis oleh Bager P dkk43 mengatakan bahwa
kelahiran dengan seksio sesarea dikaitkan dengan peningkatan risiko
moderat untuk rhinitis alergi, asma, rawat inap untuk asma, dan mungkin

19
alergi makanan / atopi makanan, tapi tidak dengan atopi inhalansi atau
dermatitis atopik. Kelahiran seksio sesarea dikaitkan dengan kenaikan OR
alergi makanan / atopi makanan (OR 1,32;95% CI 1,12-1,55; enam studi),
rhinitis alergi (OR 1,23;95% CI 1,12-1,35; tujuh studi), asma (OR 1,18, 95%
CI 1,05-1,32; 13 studi), dan rawat inap untuk asma (OR 1,21;95% CI 1,12-
1,31; tujuh studi), sedangkan tidak ada hubungan dengan atopi inhalan (OR
1,06;95% CI 0,82- 1,38; empat penelitian) dan dermatitis eksim / atopik (OR
1,03;95% CI 0,98-1,09; enam studi).

6. Kejadian Transient Tachypnoea of the Newborn (TTN)


Transient Tachypnea of the Newborn (TTN) atau sering juga disebut
Transient Respiratory Distress of the Newborn (TRDN) adalah penyakit self-
limited disease yang terjadi pada banyak bayi di seluruh dunia dan dihadapi
oleh semua dokter yang merawat bayi baru lahir. Angka kejadian sekitar 1-2
% kelahiran hidup.44,45 Hal ini disebabkan adanya penumpukan cairan yang
berlebihan dalam paru akibat gangguan mekanik pada saat lahir yang biasa
terjadi pada pasien yang dilahirkan secara operasi sesar, terlambatnya
penyerapan kembali karena tekanan vena sentral meningkat dan
terganggunya penyerapan cairan melalui sistem limfatik.44,46
Persalinan dengan operasi sesar meningkat dengan indikasi medis ;
indikasi pada ibu dan bayi dan non medis.47 Bayi yang sering mengalami TTN
adalah bayi yang dilahirkan secara operasi sesar sebab mereka kehilangan
kesempatan untuk mengeluarkan cairan paru mereka. 44 Bayi yang dilahirkan
lewat persalinan per vaginam mengalami kompresi dada saat melewati jalan
lahir. Hal inilah yang menyebabkan sebagian cairan paru keluar. Kesempatan
ini tidak didapatkan bagi bayi yang dilahirkan operasi sesar.
Segera setelah janin lahir dan mulai menarik napas terjadi inflasi paru
yang mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolik yang menyebabkan cairan
berpindah ke interstitial. Volume darah paru juga meningkat pada saat bayi
menarik napas, tetapi cairan dalam paru belum mulai berkurang sampai 30-
60 menit post natal dan lengkap diabsorbsi dalam 24 jam. 45,48

20
Cairan dalam lumen paru mengandung protein kurang dari 0,3 mg/ml,
cairan dalam interstitial paru mengandung protein kurang lebih 30 mg/ml.
Perbedaan kandungan protein ini menyebabkan perbedaan tekanan osmotik
lebih dari 10 cm H2O, yang mengakibatkan cairan berpindah dari lumen ke
interstitial. Peningkatan aktivitas Na-K, ATP ase epitel paru selama proses
persalinan menyebabkan peningkatan absorbsi cairan ke interstitial.
Masuknya udara ke paru saat menarik napas tidak hanya mendorong cairan
ke interstitial tetapi juga mengakibatkan tekanan hidrostatistik dalam sirkulasi
paru menurun dan meningkatkan aliran darah paru sehingga secara
keseluruhan akan meningkatkan luas permukaan vaskular yang efektif untuk
mendrainase cairan. Pernapasan spontan juga akan menurunkan tekanan
intra thorakal sehingga menurunkan tekanan vena sistemik yang akhirnya
meningkatkan drainase melalui sistem limfe. 45,48
Penyebab TTN belum diketahui secara pasti namun dicurigai melalui 3
proses :45,48
1. Penyerapan cairan paru janin terganggu disebabkan oleh gangguan
penyerapan cairan paru janin dari sistem limfatik paru dan gangguan
mekanik, pada bayi yang lahir secara sesar karena kurangnya pemerasan
toraks yang normal vagina, yang memaksa cairan paru keluar. Volume
cairan yang meningkat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru dan
meningkatkan resistensi saluran napas menyebabkan takipnea dan
retraksi dinding dada.
2. Pulmonary immaturity . Beberapa penelitian mencatat bahwa derajat
ringan imaturitas paru merupakan faktor utama dalam penyebab TTN.
Para penulis menemukan rasio L-S matang tanpa fosfatidilgliserol (
Adanya fosfatidilgliserol mengindikasikan selesai pematangan paru). Bayi
yang lahir dengan usia kehamilan 36 minggu resiko lebih tinggi kena TTN
dibandingkan dengan usia 38 minggu.
3. Kekurangan surfaktan ringan. Salah satu penelitian kekurangan surfaktan
ringan merupakan penyebab terjadinya TTN.

21
Gejala klinis Transient Tachypnea of the Newborn berupa kesulitan
bernapas, ditandai dengan napas cepat (frekuensi >60 kali permenit),
sianosis perifer dan sentral, merintih, retraksi sternal, napas cuping hidup,
hingga apneu periodik kumpulan gejala tersebut disebut Respiratory Distress
Syndrome (RDS) 45,48 gejala tersebut dapat dialami pada bayi baru lahir
seperti HMD akibat paru yang belum matang, aspirasi mekonium dan
neonatal pneumonia.44-46
Pemeriksaan radiologi dalam hal ini pemeriksaan foto thorax penting
untuk menegakkan diagnosis TTN dan membedakan dengan penyakit
distress pernapasan lainnya pada bayi baru lahir. Gambaran foto thorax TTN
ditemukan adanya hiperinflasi paru , garis-garis perihiller yang prominen dan
bilateral, gambaran ini akibat adanya penumpukan cairan dalam system limfe
perivaskuler sepanjang bronkovaskuler, adanya cairan di fissura minor dan
pleura space, dan Prominent pulmonary vascular markings. Gambaran
tersebut dapat hilang dalam 72 jam.49
Derbent dkk50 melakukan penelitian tentang kejadian TTN yang
berhubungan dengan tipe persalinan. Dari penelitian ini didapatkan 85 kasus
persalinan yang menderita TTN yang dilakukan antara Januari 2006 – Maret
2009 pada RS Universitas Fatih. Sebanyak 73 kasus (86 %) dari kejadian
TTN dilahirkan secara sesar. Risiko TTN juga meningkat pada bayi yang
dilahirkan sebelum usia 38 minggu (95%CI OR= 2.81-18.18).
Tutdibi dkk51 juga melakukan penelitian serupa. Mereka
menganalisa bayi yang lahir di atas usia kehamilan 37 minggu antara Januari
2011 hingga Desember 2005di Jerman. TTN didiagnosa menurut
International Classification of Diseases, 10 th Revision codes. Dari sebanyak
total 275.459 kelahiran, 239.971 memenuhi kriteria inklusi kehamilam lebih
sama dengan 37 minggu dan kelahiran tunggal hidup. Diantaranya, 13.346
bayi dirawat di ruang nicu dan 1.423 bayi didiagnosa TTN. Angka kejadian
TTN padapenelitian ini sebesar 5,9 kasus dari 1.000 kelahiran hidup pada
studi ini. Operasi sesar elektif, kelahiran kurang bulan, jenis kelamin laki-laki
dan berat badan rendah dikaitkan dengan kejadian TTN.

22
BAB III

KESIMPULAN

1. Bayi baru lahir menerima rangsangan yang bersifat kimiawi, mekanik dan
termik seperti perubahan metabolisme karbohidrat, perubahan suhu
tubuh, perubahan sistem pernafasan dan perubahan sistem sirkulasi
2. Menurut cara persalinan dibagi menjadi 2 yaitu persalinan biasa atau
normal (eutosia) dan persalinan abnormal (persalinan pervaginam
dengan bantuan alat-alat maupun melalui dinding perut dengan operasi
sektio caesarea)
3. Banyak perbedaan antara bayi yang lahir pervagina dan yang lahir secara
section cesarean meliputi lama rawat inap (length of stay), inisiasi
menyusui dini (IMD), kejadian hiperbilirubinemia, kejadian asfiksia
neonatorum dan kejadian alergi/dermatitis atopi saat remaja
4. Lama rawat inap pada bayi lahir normal maupun lahir secara seksio
sesarea adalah 48 jam namun biasanya bayi pulang lebih lama karena
harus menunggu ibunya yang post seksio sesarea yang mana lama
perawatan 3-5 hari.
5. Kelahiran secara seksio sesarea dikenal mengurangi terjadinya inisiasi
menyusui dini daripada kelahiran secara normal.
6. Kejadian hiperbilirubinemia lebih tinggi pada ibu yang melakukan
persalinan secara seksio sesarea karena nyeri yang mengakibatkan
terganggunya Activity of Daily Living (ADL) sehingga pemberian ASI
kurang optimal.
7. Bayi yang dilahirkan dengan seksio sesarea tidak mendapatkan manfaat
dari pengeluaran cairan paru dan penekanan pada toraks seperti pada
kelahiran normal sehingga mengalami gangguan pernafasan yang lebih
persistan.
8. Kejadian alergi/dermatitis atopi saat remaja pada bayi yang lahir secara
seksio sesarea lebih tinggi karena pada waktu lahir tidak terpapar flora

23
normal yang ada di vagina sehingga daya tahan yang dibentuk lebih
rendah daripada bayi yang lahir secara normal.
9. Kejadian TTN pada bayi yang lahir seksio sesar lebih tinggi karena tidak
mengalami kompresi dada saat melewati jalan lahir. Hal inilah yang
menyebabkan sebagian cairan paru tidak keluar.

DAFTAR PUSTAKA

1 Gondo HK, Sugiharta K. Profil operasi seksio sesarea di SMF Obstetri & Ginekologi
RSUP Sanglah Denpasar, Bali Tahun 2001 dan 2006. CDK 2010;37:97-101.
2 Patted S. Caesarean section on maternal request (CDMR). Recent Res in Sci and
Technol. 2011;3:100-101.
3 Toledo SF, Simões R, Bernardo LS, Bernardo WM, Salomão AJ, Baracat EC.
Cesarean on request. Rev Assoc Med Bras. 2015;61:296-307.
4 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Pedoman pewawancara petugas
pengumpul data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013
5 Zainuddin Z, Wilar R, Mantik MFJ. Hubungan jenis persalinan dengan kejadian
asfiksia neonatorum di RSUP Prof. Dr. Kandou Manado. E-jurnal Unsrat. Diunduh dari:
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/3237. Diakses 15 Juli 2016.
6 Jesmin E, Chowdhury RB, Begum S, Shapla NR, Shahida SM. Postnatal support
strategies for improving rates of exclusive breastfeeding in case of caesarean baby.
Mymensingh Med J. 2015;24:750-5.
7 Orün E, Yalçin SS, Madendağ Y, Ustünyurt-Eras Z, Kutluk S, Yurdakök K. Factors
associated with breastfeeding initiation time in a baby-friendly hospital. Turk J Pediatr.
2010;52:10-6.
8 Damanik SM. Klasifikasi berat badan dan usia kehamilan. Dalam : Kosim MS,
Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-
3. Jakarta;Badan penerbit IDAI. 2012. h.11-12.
9 Killion MM. Correct use of the apgar score. Am J Matern Child Nurs. 2016;41:123.

24
10 Wiknjosastro H. Bayi baru lahir. Dalam : Sarwono Prawirohardjo, penyunting. Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Yayaan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009. h.
523-9.
11 World Health Organization. Maternal and newborn health/safe motherhood unit care
in normal birth: a practical guide. Available at :
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/who_frh_msm_9624/en/.
Diakses 15 Juli 2016.
12 Schuller RC, Surbek D. Sectio caesarea: actual controversy. Ther Umsch.
2014;71:717-22.
13 Nofitasari ST, Mahawati E. Analisis lama perawatan (los) partus seksio caesarea
pada pasien jamkesmas rawat inap berdasarkan ina–cbg’s di rumah sakit islam sultan
agung semarang tahun 2010. FIKI. 2013;1:1.
14 Mikarni DJ, Berry PR, Elison EC. Surgery in pregnant patient. In: Beauchamp, Evers,
Mattox. Sabiston Textbook of Surgery. 19 thed. Philadepphia: Elsevier;2012. p. 2003-29.
15 Roesli U. Inisiasi menyusui dini plus ASI eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda. 2008.
16 Stevens J, Schmied V, Burns E, Dahlen H. Immediate or early skin-to-skin contact
after a caesarean section: a review of the literature. Matern Child Nutr. 2014;10:456-73.
17 Sakalidis VS, Williams TM, Hepworth AR, Garbin CP, Hartmann PE, Paech MJ, et al.
A comparison of early sucking dynamics during breastfeeding after cesarean section
and vaginal birth. Breastfeed Med. 2013;8:79-85.
18 Vassilaki M, Chatzi L, Bagkeris E, Papadopoulou E, Karachaliou M, Koutis A, et al.
Smoking and caesarean deliveries: major negative predictors for breastfeeding in the
mother-child cohort in crete, greece (rhea study). Matern Child Nutr. 2014;10:335-46.
19 Pratiwi, Ratna. Penurunan intensitas nyeri akibat luka post sectio caesarea setelah
dilakukan latihan teknik relaksasi pernapasan menggunakan aromaterapi lavender
rumah sakit islam bandung. Bandung: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Padjajaran. 2012;1:1.
20 Desmawati. Perbedaan waktu pengeluaran ASI ibu post sectio caesarea dengan post
partum normal. Jurnal Bina Widya Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
2010; 22:11-6.

25
21 Bobak, Irene M. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;2005.
22 Afifah DN. Faktor yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian ASI eksklusif
(studi kualitatif). Semarang: Universitas Diponegoro;2007. Diakses tanggal 15 Juli 2016.
Tersedia di: http://eprints.undip.ac.id/1034/1/artikel_ASI.pdf.
23 Arifah IN. Perbedaan waktu keberhasilan inisiasi menyusui dini antara persalinan
normal 2009. Semarang: Universitas Diponegoro;2009. Diakses tanggal 15 Juli 2016.
Tersedia di : http://eprints.undip.ac.id/10501/1/artikel.pdf.
24 Rosmawaty. Kejadian icterus neonatorum pada persalinan normal dan persalinan
section caesarea di rumah sakit umum nene mallomo kabupaten sidenreng rappang
tahun 2015. (Tesis). Makassar: Universitas Hasanuddin;2015.
25 Oxorn H. Patologi dan fisiologi persalinan. Jakarta: Yayasan Essentia Medika;2010.
h.25-30.
26 Cunningham GF, Leveno, Kenneth J. Obstetri Williams. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC;2005. h.230-9
27 Kolås T, Saugstad OD, Daltveit AK, Nilsen ST, Øian P. Planned cesarean versus
planned vaginal delivery at term: comparison of newborn infant outcomes. Am J Obstet
Gynecol. 2006;195:1538-43.
28 Hansen A K, Wisborg K, Uldbjerg N. Elective caesarean section and respiratory
morbidity in the term and near-term neonate. Acta Obstet Gynecol. 2011;86:389–94.
29 McDonnell S, Chandraharan. Determinants and outcomes of emergency caesarean
section following failed instrumental delivery: 5-year observational review at a tertiary
referral centre in london. J Pregnancy. 2015;15:627-810.
30 Renz-Polster H, David MR, Buist AS, Vollmer WM, O'Connor EA, Frazier EA, et al.
Caesarean section delivery and the risk of allergic disorders in childhood. Clin Exp
Allergy. 2005;35:1466-72.
31 Penders J, Gerhold K, Thijs C, Zimmermann K, Wahn U, Lau S, et al. New insights
into the hygiene hypothesis in allergic diseases. Gut Microbes. 2014; 5:239–44.
32 Liu AH. Hygiene theory and allergy and asthma prevention. Paediatr Perinat
Epidemiol. 2007;21:2-7.

26
33 Bendiks M, Kopp MV. The relationship between advances in understanding the
microbiome and the maturing hygiene hypothesis. Curr Allergy Asthma Rep.
2013;13:487-94.
34 Kero J, Gissler M, Grönlund MM, Kero P, Koskinen P, Hemminki E, et al. Mode of
delivery and asthma - is there a connection? Pediatr Res. 2002;52:6-11.
35 Bager P, Melbye M, Rostgaard K, Benn CS, Westergaard T. Mode of delivery and
risk of allergic rhinitis and asthma. J Allergy Clin Immunol. 2003;111:51-6.
36 Rook GA, Lowry CA, Raison CL. Hygiene and other early childhood influences on the
subsequent function of the immune system. Brain Res. 2015;1617:47-62.
37 Marsland BJ. Influences of the microbiome on the early origins of allergic asthma.
Ann Am Thorac Soc. 2013;10:165-9.
38 Renz-Polster H, David MR, Buist AS, Vollmer WM, O'Connor EA, Frazier EA, et al.
Caesarean section delivery and the risk of allergic disorders in childhood. Clin Exp
Allergy. 2005;35:1466-72.
39 Debley JS, Smith JM, Redding GJ, Critchlow CW. Childhood asthma hospitalization
risk after cesarean delivery in former term and premature infants. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2005;94:228-33.
40 Juhn YJ, Weaver A, Katusic S, Yunginger J. Mode of delivery at birth and
development of asthma: a population-based cohort study. J Allergy Clin Immunol.
2005;116:510-6.
41 Thavagnanam S, Fleming J, Bromley A, Shields MD, Cardwell CR. A meta-analysis
of the association between caesarean section and childhood asthma. Clin Exp Allergy.
2008;38:629-33.
42 Eggesbø M, Botten G, Stigum H, Nafstad P, Magnus P. Is delivery by cesarean
section a risk factor for food allergy? J Allergy Clin Immunol. 2003;112:420-6.
43 Bager P, Wohlfahrt J, Westergaard T. Caesarean delivery and risk of atopy and
allergic disease: meta-analyses. Clin Exp Allergy. 2008;38:634-42.
44 Tutdibi E, Gries K, Bücheler M, Misselwitz B, Schlosser RL, Gortner L. Impact of labor
on outcomes in transient tachypnea of the newborn: population-based study. Pediatrics.
2010;125:e577-83.

27
45 Gomella TL. Transient Tachypnea of the Newborn. Neonatology: Management,
Prosedur, On-cal problems Disease and Drugs. Edisi ke-7. Lange: Mc-Graw Hill
Education. 2013. p.919-25.
46 Kicklighter SD. Transient Tachypnea of the Newborn. A P N. 2008;6:2.
47 Gerten KA, Coonrod DV, Bay RC, Chambliss LR. Cesarean delivery and respiratory
distress syndrome: does labor make a difference?. Am J Obstet Gynecol.
2005;193:1061-4.
48 Hermansen C, Lorah K. Respiratory Distress in the Newborn. Am Fam
Physician. 2007;76:987-94.
49 Wood J, Thomas L. Imaging of Neonatal Lung Disease. J Am Osteopath coll Radiol.
2015;4:12–8.
50 Derbent A, Tatli MM, Duran M, Tonbul A, Kafali H, Akyol M, et al. Transient
tachypnea of the newborn: effects of labor and delivery type in term and preterm
pregnancies. Arch Gynecol Obstet. 2011;283:947-51.
51 Tutdibi E, Gries K, Bücheler M, Misselwitz B, Schlosser RL, Gortner L. Impact of labor
on outcomes in transient tachypnea of the newborn: population-based study. Pediatrics.
2010;125:e577-83.

28

Anda mungkin juga menyukai