Anda di halaman 1dari 26

KOMPLIKASI KRONIS PADA DIABETES MELITUS

REFERAT

Oleh
Ema Fawziyah Ulfah
142011101029

Pembimbing

dr. Ali Santoso, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
KOMPLIKASI KRONIS PADA DIABETES MELITUS

REFERAT
disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Ema Fawziyah Ulfah
142011101029

Pembimbing

dr. Ali Santoso, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1
BAB 2. KOMPLIKASI DIABETES MELITUS ................................. 2
2.1 Definisi DM ................................................................................ 2
2.2 Diagnosis DM.............................................................................. 3
2.3 Komplikasi DM........................................................................... 4
2.3.1 Patofisiologi........................................................................ 4
3.3.2 Komplikasi......................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan
penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus
Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak
disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes
meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang
dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia
usia lanjut. Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia
serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat
kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini
dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian
epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada
penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di Manado
didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan
prevalensi 5,7%. Melihat pola pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada
tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun
dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus sebesar 2 %, akan didapatkan
3,56 juta pasien Diabetes Mellitus, suatu jumlah yang besar untuk dapat
ditanggani sendiri oleh para ahli DM. 1,2

1
2

BAB 2. KOMPLIKASI DIABETES MELITUS

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015)
adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas.
kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara
absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin.
Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal
sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin
juga dapat terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin
untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan
oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan
sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes melitus Gestasional
Intoleransi glukosa berkembang selama trimester kedua atau ketiga
kehamilan diklasifikasikan sebagai diabetes mellitus gestasional (GDM).
Resistensi insulin terkait dengan perubahan metabolisme kehamilan, di mana
peningkatan permintaan insulin dapat menyebabkan IGT atau diabetes. The
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa diabetes yang
didiagnosis dalam trimester pertama diklasifikasikan sebagai diabetes
3

pregestasional yang sudah ada daripada GDM. ADA merekomendasikan bahwa


wanita dengan riwayat GDM menjalani skrining seumur hidup untuk
pengembangan diabetes atau prediabetes setidaknya setiap 3 tahun.[3,4]

2.2 Diagnosis
Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik seperti:
a) Keluhan klasik diabetes melitus berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
b) Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita

Gambar 2.1 rekomendasi diagnosis WHO[5]

Toleransi glukosa diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar:


homeostasis glukosa normal, gangguan homeostasis glukosa, atau DM. Toleransi
glukosa dapat dinilai menggunakan glukosa plasma puasa, respons terhadap
tantangan glukosa oral, atau hemoglobin A1c (HbA1c). GDP <5,6 mmol / L (100
mg / dL), glukosa plasma <7,9 mmol / L (140 mg / dL) mengikuti tes toleransi
glukosa oral, dan HbA1c <5,7% dianggap menentukan toleransi glukosa normal.
Pakar Internasional dengan anggota yang ditunjuk oleh ADA, Asosiasi Eropa
untuk Studi Diabetes, dan IDF telah mengeluarkan kriteria diagnostik untuk DM
(Tabel 2.2) berdasarkan pada premis berikut: (1) FPG, respons terhadap tantangan
glukosa oral (tes toleransi glukosa oral [OGTT]), dan HbA1c berbeda di antara
4

individu, dan (2) DM didefinisikan sebagai tingkat glikemia di mana komplikasi


spesifik diabetes terjadi daripada penyimpangan dari rata-rata berbasis populasi.[4]

Gambar 2.2 Kriteria diagnosis pada DM[4]


Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosa Diabetes Melitus. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut
dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥
126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah setelah
pembebanan ≥ 200 mg/dl.[4]

2.3 Komplikasi Diabetes Melitus


2.3.1 Patofisiologi
Komplikasi diabetes terkait dengan hiperglikemia (HG) merusak
metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan elektrolit, yang semuanya dapat
mengganggu sistem pembuluh darah. Banyak sel kapiler endotel rusak dalam
kondisi ini, termasuk yang ada di retina, glomerulus ginjal, dan saraf pusat dan
perifer, karena akumulasi glukosa yang berlebihan dan berbahaya dalam sel-sel
ini. Mekanisme penting yang terlibat dalam pengembangan komplikasi diabetes
terutama disebabkan oleh HG kronis, gangguan katabolisme lipid, produksi
berlebihan spesies oksigen reaktif (ROS) dan sistem perlindungan antioksidan
yang berkurang, yang semuanya mengarah pada resistensi insulin dan peningkatan
kerusakan beta- sel-sel di pancreas.[6]
Beberapa jalur terjadinya komplikasi DM yaitu
a) Jalur Poliol
5

Enzim penting dalam jalur poliol termasuk aldosa reduktase dan


sorbitol dehidrogenase. Peningkatan kadar glukosa darah atau HG meningkatkan
aktivitas aldosa reduktase yang mengubah glukosa menjadi sorbitol. Akumulasi
sorbitol intraseluler meningkatkan cedera osmotik seluler, dan melebih-lebihkan
stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase akhirnya mengubah sorbitol menjadi
fruktosa. Tindakan yang diperkuat dari kedua enzim dalam jalur poliol akan
menghabiskan lebih banyak NADPH yang dibutuhkan untuk reformasi dari co-
factor antioksidan glutathione yang berkurang, yang pada gilirannya
memperburuk tekanan oksidatif. Selanjutnya, jalur Protein Kinase-C (PKC)
dirangsang di bawah pengaruh aldose reductase, melalui produksi diacylglycerol.
[6]

b) Peningkatan aktifitas jalur Hexosamine


Ketika kadar glukosa darah meningkat, jalur glikolisis normal
bergeser ke jalur heksosamin. Ini, pada gilirannya, memperburuk komplikasi
diabetes dan meningkatkan beban stres oksidatif melalui produksi kelebihan
uridin difosfat-N-asetil glukosamin (UDP-GlcNAc). Kelebihan produksi UDP-
GlcNAc meningkatkan O-glikosilasi faktor transkripsi Sp1. Sp1 yang rusak akan
merangsang produksi gen yang berperan dalam pengembangan komplikasi DM
jangka panjang. Bahkan, peningkatan kadar UDP GlcNAc terlihat pada jaringan
subyek diabetes dengan komplikasi jangka panjang yang parah. Peningkatan
glikosilasi SP1 juga telah terbukti meningkatkan tingkat jaringan mengubah faktor
pertumbuhan-1 (TGF-1) dan inhibitor aktivator plasminogen-1 (PAI-1), yang pada
gilirannya menginduksi ekspresi beberapa gen berbahaya yang bertanggung jawab
untuk pengembangan Angiopati. Peningkatan ekspresi PAI-1 atau TGF-1
mengarah pada stimulasi aterosklerosis vaskular, fibrosis dan pengurangan
diferensiasi sel mesangial, masing-masing. Selain jalur heksosamin, efek ganda
oleh jalur PKC terjadi, menghasilkan peningkatan ekspresi PAI-1, yang
memperburuk komplikasi diabetes. Selain itu, metabolisme glukosa normal
terganggu pada DM karena pembentukan N-Acetylglucosamine (GlcNAc)
berlebih melalui jalur heksosamin, meningkatkan produksi hidrogen peroksida,
6

radikal bebas yang dapat menekan ekspresi gen transporter glukosa 2, glukokinase
dan insulin.[6]
c) Aktivasi Protein C Kinase (PKC)
Selama peningkatan kadar glukosa darah yang berkepanjangan, jalur
PKC adalah elemen tambahan dalam komplikasi diabetes. Hiperglikemia
menginduksi produksi diasilgliserol, yang mendorong aktivasi jalur PKC.
Stimulasi jalur PKC memperburuk cedera diabetes melalui kelebihan produksi
protein angiogenik, seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), protein
aterogenetik, seperti metilglioksal (MGO), serta protein lain, seperti mengubah
faktor pertumbuhan-1, fibronektin , faktor nuklir- Kappa B, PAI-1 dan faktor
lainnya. PKC juga mempromosikan permeabilitas vaskuler yang abnormal,
hipoksia, induksi gen proinflamasi, dan peningkatan resistensi insulin dengan
pengurangan elemen anti aterosklerotik.[6]
d) Diabetes dan stres oksidatif
Peningkatan kadar glukosa intraseluler kronis pada DM dapat
menyebabkan peningkatan pembentukan spesies dicarbonyl reaktif termasuk
methylglyoxal (MGO), yang mengikat molekul protein dan menghasilkan produk
glycationend (AGEs). Akumulasi AGEs dalam sel mengganggu aktivitas
metabolisme normal mereka dan mengubah ekspresi gen DNA. Selain itu,
peningkatan penyebaran AGEs ke matriks ekstraseluler dapat mengganggu
pensinyalan seluler, dan dapat menstimulasi pengikatan reseptor AGEs. Reseptor-
ligasi berlebihan AGEs menginduksi ekspresi yang lebih besar dari faktor nuklir-
Kappa B, yang merangsang banyak kaskade seluler yang terlibat dalam produksi
faktor inflamasi dan penanda termasuk faktor nekrosis tumor (TNF) dan
interleukin berbeda yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Selain itu,
peningkatan pengikatan reseptor oleh AGEs memperburuk stres oksidatif melalui
kelebihan produksi ROS.[6]
HG yang berkepanjangan merangsang produksi ROS yang berlebihan,
menghasilkan stres oksidatif, yang pada DM, terutama disertai dengan sistem
antioksidan pelindung yang berkurang. Oleh karena itu, peningkatan produksi
ROS mengatasi kemampuan pertahanan antioksidan tubuh. Stres oksidatif
7

menonjol di bawah peningkatan kadar glikolipid darah, glikoprotein, dan


hipertensi, yang semuanya berhubungan dengan DM. Perkembangan komplikasi
diabetes dapat ditunda dan dikurangi dengan penggunaan yang tepat dari
perawatan hipoglikemik dan aktivitas fisik rutin (olahraga) yang menjaga kadar
glukosa darah dalam kisaran normal. Sistem antioksidan pelindung mencakup
enzim seperti glutathione peroksidase, katalase dan superoksida dismutase, yang
menentang efek berbahaya dari stres oksidatif. Sistem pertahanan ini juga terdiri
dari beberapa molekul non-enzimatik termasuk beta-karoten, glutathione, reduksi
glutathione, flavonoid, bilirubin dan vitamin E dan C. Penekanan sistem
antioksidan meningkatkan kerentanan DNA seluler, protein dan lipid di bawah
tekanan oksidatif. Produksi berlebihan radikal bebas di DM telah terbukti merusak
aktivitas mitokondria dengan menembus membran mitokondria dan
menghancurkan DNA mitokondria yang menyebabkan hilangnya sitokrom C dan
masuknya protein Bax ke dalam mitokondria. Semua ini pada akhirnya akan
menyebabkan kematian sel. Kerusakan sel-sel beta terutama terkait dengan HG
pada DM tipe 2, yang menyebabkan penurunan produksi dan sekresi insulin
dalam jumlah yang memadai yang diperlukan untuk mempertahankan
normoglikemia. Selain itu, HG juga menekan perbaikan sel beta pankreas yang
akan diperlukan untuk mengimbangi peningkatan permintaan insulin. Ekspresi
gen insulin juga ditekan di bawah efek toksik HG pada DM.[6]
e) Diabetes Melitus dan Sistem Imun
Infeksi semakin lazim pada pasien diabetes karena defisiensi sistem
kekebalan tubuh. Pasien diabetes dengan kadar glukosa darah normal mampu
memulihkan fungsi seluler, karena organisme menular kurang aktif dalam keadaan
normoglikemia, tetapi beberapa kali lipat lebih aktif dalam HG. Kerentanan
terhadap infeksi di antara pasien diabetes dengan infeksi saluran kemih,
pernapasan dan penyakit kulit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat.
[6]

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan respons


inflamasi terhadap sel beta pankreas. Kerentanan genetik sangat diduga dalam
etiopatogenesis DM tipe 1. Produksi autoantibodi anti-insulin, seperti yang
8

ditunjukkan pada DM tipe 1, adalah penyebab utama. Penghancuran sel beta


adalah titik akhir dari proses inflamasi kronis di pulau pankreas Langerhans.
Seiring waktu, sel T menyerang pulau pankreas dan menghancurkan sel beta. Pada
DM tipe 2, ada hubungan yang kuat antara peradangan kronis dan penyembuhan
luka yang tertunda, infeksi berkepanjangan, obesitas, aterosklerosis, resistensi
insulin, dan peningkatan produksi imunositokin. DM tipe 1 juga dikaitkan dengan
penurunan yang signifikan dalam jumlah limfosit dan neutrofil dalam darah
pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang cocok dengan usia yang sehat.
Selain itu, kedua jenis sel melepaskan kalsium bebas intraseluler secara signifikan
lebih sedikit pada saat stimulasi dengan secretagog dan agonis.[6]

Gambar 2.4 Jalur Mekanisme Komplikasi DM.[6]

2.3.2 Komplikasi
Diabetes Melitus (DM) dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi
sehingga menyebabkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas akibat kelainan
tersebut. Komplikasi yang dapat terjadi akibat DM umumnya dibagi menjadi dua,
a. Akut :
1) Hipoglikemi
2) Ketoasidosis ( Diabetik Ketoasidosis )
9

3) Koma Hiperosmolar Nonketotik


b. Kronik :
1) Retinopati Diabetik
2) Penyakit Jantung Koroner
3) Neuropati Diabetik
4) Rentan Infeksi
5) Kaki Diabetik
1) Retinopati diabetikum
a. Definisi
Retinopati diabetes dapat didefinisikan sebagai adanya lesi mikrovaskular
pada retina pasien dengan diabetes. Mikroangiopati merupakan komplikasi
vaskular jangka panjang yang sering ditemukan. Defek pada pembuluh-pembuluh
darah kecil ini dapat menyebabkan perubahan permeabilitas pembuluh darah,
mikroaneurisma kapiler, degenerasi kapiler, dan pembentukan pembuluh darah
baru yang berlebihan (neovaskularisasi). Retina saraf juga disfungsional dengan
kematian beberapa sel, yang mengubah elektrofisiologi retina dan menghasilkan
ketidakmampuan untuk membedakan warna.[7]
DM adalah penyebab utama kebutaan antara usia 20 dan 74 di Amerika
Serikat. Beratnya masalah ini disorot oleh temuan bahwa individu dengan DM 25
kali lebih mungkin menjadi buta secara hukum daripada individu tanpa DM.
Kehilangan penglihatan yang parah terutama disebabkan oleh retinopati diabetik
progresif yang menyebabkan edema makula yang signifikan dan pembentukan
pembuluh darah baru.[7]
b. Patofisiologi
Retinopati diabetes adalah salah satu komplikasi mikrovaskular dari
diabetes melitus (DM). Penurunan penglihatan yang terjadi akibat masalah
vaskularisasi retina terjadi secara progresif. Retinopati merupakan gejala DM
yang paling utama pada mata. Gejala subjektif yang umumnya ditemukan dapat
berupa kesulitan membaca, penglihatan kabur, penglihatan tiba-tiba menurun pada
satu mata, melihat lingkaran-lingkaran cahaya atau bintik gelap. Secara objektif,
pada RD dapat ditemukan adanya mikroaneurisma terutama pada daerah vena,
10

perdarahan dalam bentuk titik, garis maupun bercak, dilatasi pembuluh darah
balik dengan lumen ireguler, hard exudate, soft exudates, neovaskularisasi, edema
retina dan hiperlipidemia pada retina.[7]
Menurut American Academy of Ophtamology, retinopati diabetes
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu retinopati diabetes non-proliferatif dan
retinopati diabetes proliferatif. Retinopati diabetik nonproliferatif biasanya
muncul pada akhir dekade pertama atau awal dekade kedua penyakit dan ditandai
oleh mikroaneurisma vaskuler retina, pendarahan bercak, dan bintik kapas-wol.
Retinopati nonproliferatif ringan dapat berkembang menjadi penyakit yang lebih
luas, ditandai dengan perubahan kaliber pembuluh vena, kelainan mikrovaskuler
intraretinal, dan lebih banyak mikroaneurisma dan perdarahan.[7]

Gambar 2.3 Diabetik retinopati

Prevalensi terjadinya retinopati diabetes proliferatif, karena retinopati


diabetes proliferasi terjadi akibat peningkatan kadar glukosa dalam darah diatas
normal yang telah terjadi lama sehingga terjadi kelainan metabolisme pada retina.
Pada pasien retinopati diabetes proliferative setidaknya 50% pasien akan
mengalami kebutaan stelah 5 tahun.[7]
Mekanisme terjadinya retinopati diabetes masih belum bisa dipahami
dengan sempurna. Beberapa penelitian pun telah dilakukan untuk mengetahui
patogenesis terjadinya retinopati diabetes. Mekanisme terjadinya penyakit ini pun
11

diketahui terdapat bermacam-macam. Mekanisme retinopati diabetes ini dapat


ditinjau dari beberapa aspek seperti lesi anatomi dan mekanisme biokimia yang
terlibat. Berdasarkan lesi anatomis dari retinopati diabetes, setidaknya ada 2
bagian yang terlibat yaitu membrana basalis dan sel perisit yang terdapat dalam
pembuluh kapiler retina. Membrana basalis kapiler bertindak seperti rangka pada
retina. Membrana basalis member struktur yang kaku pada organ seperti
pembuluh darah. Selain bertindak sebagai rangka, membrana basalis retina juga
memiliki fungsi diferensiasi dan proliferasi sel dan mengikat faktor-faktor
pertumbuhan, khususnya fibroblast growth factor (FGFs). Pada retinopati
diabetes, membrana basalis mengalami penebalan akibat proses glikasi (baik
enzimatik maupun non-enzimatik) dan jalur sorbitol (sorbitol pathway).
Penebalan membrana basalis dari kepiler retina ini menyebabkan fungsi sirkulasi
dari retina terganggu. Mikroaneurisma juga dapat ditemukan dalam patogenesis
retinopati diabetes. Mikroaneurisma tumbuh dari dinding pembuluh darah yang
lemah akibat hilangnya perisit intramural, untuk kontraksi dinding arteriol, akibat
jalur sorbitol. Mikroaneurisma juga dapat terjadi karena apoptosis dari sel-sel
endotel. Adanya mikroaneurisma dapat diidentifikasi dengan bintik merah dari
hasil oftalmoskopi. Mikroaneurisma akan terlihat seperti struktur anggur bila
dilihat dibawah mikroskop. Terdapat dua jenis mikroaneurisma dalam RD, yaitu
mikroanuerisma aselular dan mikroaneurisma selular. Mikroaneurisma aselular
tejadi akibat apoptosis yang ekstensif dari sel-sel endotel dan perisit, sedangkan
mikroaneurisma selular terjadi akibat proliferasi sel endotel dan efek
antiproliferasi akibat hilangnya perisit. Menurunnya fungsi retina akan selaras
dengan penurunan fungsi makula. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dengan menggunakan adaptometer, fungsi makula pada retinopati diabetes
mengalami penurunan dibandingkan dengan orang normal.[7]
c. Terapi
Terapi yang paling efektif untuk retinopati diabetik adalah pencegahan.
Kontrol glikemik dan tekanan darah yang intensif akan menunda perkembangan
atau memperlambat perkembangan retinopati pada individu dengan DM tipe 1
atau tipe 2. Paradoksnya, selama 6-12 bulan pertama peningkatan kontrol
12

glikemik, retinopati diabetik yang telah mapan dapat memburuk secara sementara.
Untungnya, perkembangan ini bersifat sementara, dan dalam jangka panjang,
peningkatan kontrol glikemik dikaitkan dengan retinopati diabetes yang lebih
sedikit. Individu dengan retinopati yang dikenal mungkin menjadi kandidat untuk
fotokoagulasi laser profilaksis ketika memulai terapi intensif. Setelah retinopati
lanjut hadir, peningkatan kontrol glikemik memberikan manfaat lebih sedikit,
meskipun perawatan oftalmologis yang memadai dapat mencegah sebagian besar
kebutaan. Fenofibrate, meskipun tidak mengurangi kejadian kardiovaskular pada
individu dengan diabetes dan dislipidemia, memang mengurangi perkembangan
retinopati.[7]
Pemeriksaan mata yang teratur dan komprehensif sangat penting untuk
semua individu dengan DM. Kebanyakan penyakit mata diabetes dapat berhasil
diobati jika terdeteksi dini. Pemeriksaan mata rutin, non dilatasi oleh penyedia
perawatan primer atau spesialis diabetes tidak cukup untuk mendeteksi penyakit
mata diabetes, yang memerlukan pemeriksaan mata melebar yang dilakukan oleh
dokter mata atau dokter spesialis mata, dan manajemen selanjutnya oleh spesialis
retina untuk perawatan optimal gangguan ini. Tiga perawatan ini termasuk laser
fotokoagulasi, injeksi steroid triamcinolone, dan yang lebih baru adalah antagonis
faktor pertumbuhan endotel pembuluh darah (VEGF) ke mata, dan vitrektomi,
untuk menghilangkan cairan vitreus. Pengobatan retinopati proliferatif atau edema
makula dengan fotokoagulasi laser dan / atau terapi anti-VEGF (injeksi mata)
biasanya berhasil dalam mempertahankan penglihatan.[7]

2) Neuropati diabetik
a. Definisi
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi
saraf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain Diabetes Melitus (DM)
(setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya). Apabila dalam jangka yang lama
glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan
dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf
sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetic.[7]
13

b. Neuropati otonom
Individu dengan DM tipe 1 atau 2 yang sudah lama dapat mengalami
tanda-tanda disfungsi otonom yang melibatkan sistem kolinergik, noradrenergik,
dan peptidergik (peptida seperti polipeptida pankreas, zat P, dll.). Neuropati
otonom terkait DM dapat melibatkan beberapa sistem, termasuk sistem
kardiovaskular, gastrointestinal (GI), genitourinari, sudomotor, dan metabolisme.
[7]

Neuropati kardiovaskular otonom, tercermin oleh penurunan


variabilitas detak jantung, takikardia istirahat dan hipotensi ortostatik dikaitkan
dengan peningkatan CVD. Laporan kematian mendadak pada DM juga telah
dikaitkan dengan neuropati otonom kardiovaskular. Kelainan gastroparesis dan
pengosongan kandung kemih sering disebabkan oleh neuropati otonom yang
terlihat pada DM. Hiperhidrosis ekstremitas atas dan anhidrosis ekstremitas
bawah terjadi akibat disfungsi sistem saraf simpatis. Anhidrosis kaki dapat
menyebabkan kulit kering dengan retak, yang meningkatkan risiko borok kaki.
Neuropati otonom dapat mengurangi pelepasan hormon pengaturan (terutama
katekolamin), yang menyebabkan ketidakmampuan untuk merasakan
hipoglikemia secara tepat, dengan demikian menjadikan pasien risiko
hipoglikemia berat dan mempersulit upaya untuk meningkatkan kontrol glikemik.
[7]

c. Mononeuropati dan / atau Radiculopathy / Polyradiculopathy


Mononeuropati (disfungsi saraf kranial atau perifer yang terisolasi)
lebih jarang terjadi dibandingkan dengan polineuropati pada DM dan
menunjukkan nyeri dan kelemahan motorik dalam distribusi saraf tunggal.
Mononeuropati dapat terjadi di lokasi jebakan seperti terowongan karpal atau
tidak kompresif. Keterlibatan saraf kranial ketiga adalah yang paling umum dan
ditandai oleh diplopia. Pemeriksaan fisik menunjukkan ptosis dan oftalmoplegia
dengan penyempitan pupil normal terhadap cahaya. Terkadang saraf kranial lain,
seperti IV, VI, atau VII (Bell's palsy), terpengaruh. Mononeuropati perifer atau
keterlibatan simultan lebih dari satu saraf (mononeuropati multipleks) juga dapat
terjadi.[7]
14

Radiculopathy diabetes atau polyradiculopathy adalah suatu sindrom


yang ditandai dengan nyeri yang melumpuhkan yang parah dalam distribusi satu
atau lebih akar saraf. Mungkin disertai dengan kelemahan motorik. Radikulopati
interkostal atau truncal menyebabkan nyeri di dada atau perut. Keterlibatan
pleksus lumbalis atau saraf femoralis dapat menyebabkan nyeri hebat pada paha
atau pinggul dan mungkin berhubungan dengan kelemahan otot pada fleksor atau
ekstensor pinggul (amyotrophy diabetik). Untungnya, radiculopathies diabeticpoly
biasanya sembuh sendiri dan sembuh lebih dari 6-12 bulan.[7]
d. Terapi
Pencegahan neuropati diabetes sangat penting melalui peningkatan
kontrol glikemik. Modifikasi gaya hidup (olahraga, diet) memiliki beberapa
kemanjuran pada DSPN pada DM tipe 2 dan hipertensi dan hipertrigliseridemia
harus diobati. Upaya untuk meningkatkan kontrol glikemik pada diabetes lama
dapat dikacaukan oleh ketidaksadaran hipoglikemia. Menghindari neurotoksin
(alkohol) dan merokok, suplementasi dengan vitamin untuk kemungkinan
defisiensi. Pasien harus dididik bahwa kehilangan sensasi di kaki meningkatkan
risiko ulserasi dan gejala sisa dan bahwa pencegahan masalah tersebut sangat
penting. Pasien dengan gejala atau tanda-tanda neuropati atau LOPS harus
memeriksa kaki mereka setiap hari dan mengambil tindakan pencegahan (alas
kaki) yang ditujukan untuk mencegah kapalan atau ulserasi.[7]
Neuropati diabetes kronis dan menyakitkan sulit diobati dengan hanya
pengobatan simtomatik yang tersedia; bukti efektivitas peningkatan kontrol
glikemik dalam neuropati diabetes yang menyakitkan masih kurang. Dua agen,
duloxetine dan pregabalin, telah disetujui oleh Badan Pengawasan Obat dan
Makanan AS (FDA) untuk rasa sakit yang terkait dengan neuropati diabetes.
Tapentadol, opioid yang bekerja secara terpusat, juga disetujui oleh FDA, tetapi
hanya memiliki kemanjuran yang sederhana dan menimbulkan risiko kecanduan,
menjadikannya dan opioid lain kurang diinginkan dan bukan terapi lini pertama.
Neuropati diabetik dapat merespons antidepresan trisiklik, gabapentin,
venlafaxine, carbamazepine, tramadol, dan capsaicin topikal, walaupun tidak ada
yang disetujui oleh FDA untuk indikasi ini. Tidak ada perbandingan langsung
15

agen yang tersedia, dan masuk akal untuk mengganti agen jika tidak ada respons
atau jika efek samping berkembang. Rujukan ke pusat manajemen nyeri mungkin
diperlukan. Karena nyeri neuropati diabetes akut dapat sembuh dari waktu ke
waktu, obat dapat dihentikan karena kerusakan neuron progresif dari DM terjadi.
Terapi hipotensi ortostatik sekunder akibat neuropati otonom juga sulit. Manuver
nonfarmakologis (asupan garam yang memadai, menghindari dehidrasi dan
diuretik, selang penyangga ekstremitas bawah, dan aktivitas fisik) dapat
menawarkan beberapa manfaat. Berbagai agen memiliki keberhasilan yang
terbatas (midodrine dan droxidopa disetujui oleh FDA untuk hipotensi ortostatik
dari setiap etiologi). Pasien dengan takikardia istirahat dapat dipertimbangkan
untuk terapi beta-blocker dengan hati-hati dilakukan jika ada hipoglikemia
ketidaksadaran.[7]

3) Nefropati Diabetik
a. Definisi
Nefropati diabetik adalah penyebab utama penyakit ginjal kronis
(CKD), ESRD, dan CKD yang membutuhkan terapi penggantian ginjal. Selain itu,
prognosis individu dengan diabetes pada dialisis buruk. Albuminuria pada
individu dengan DM dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular. Individu dengan nefropati diabetik umumnya menderita retinopati
diabetik.
b. Patogenesis
Seperti komplikasi mikrovaskular lainnya, patogenesis nefropati
diabetik berhubungan dengan hiperglikemia kronis. Mekanisme dimana
hiperglikemia kronis menyebabkan nefropati diabetik, meskipun didefinisikan
secara tidak lengkap, melibatkan efek faktor terlarut (faktor pertumbuhan,
angiotensin II, endotelin, produk akhir glikasi lanjut [AGE]), perubahan
hemodinamik pada mikrosirkulasi ginjal (hiperfiltrasi atau hiperperfusi
glomerulus, peningkatan tekanan kapiler glomerulus), dan perubahan struktural
dalam glomerulus (peningkatan matriks ekstraseluler, penebalan membran
16

basement, ekspansi mesangial, fibrosis). Beberapa efek ini dapat dimediasi


melalui reseptor angiotensin II.[7]
Perkembangan nefropati diabetik sangat kompleks mengingat
keragaman populasi sel yang ada di dalam ginjal dan berbagai peran fisiologis
organ ini. Memang, selain dari penyaringan racun dari darah untuk ekskresi, sulit
untuk menentukan aspek fungsional lain dari ginjal yang paling terpengaruh oleh
diabetes. Ini termasuk pelepasan hormon seperti erythropoietin, aktivasi vitamin
D, dan kontrol akut hipoglikemia, selain menjaga keseimbangan cairan dan
tekanan darah melalui reabsorpsi garam. Konsentrasi glukosa tinggi menginduksi
efek seluler spesifik, yang memengaruhi berbagai sel ginjal residen termasuk sel
endotel, sel otot polos, sel mesangial, podosit, sel tubular dan sistem saluran
pengumpul, serta sel inflamasi dan myofibroblast.[7]
Perubahan hemodinamik, terkait dengan perubahan tekanan darah
baik secara sistemik dan di dalam ginjal, telah dilaporkan terjadi pada awal
diabetes dan ditandai oleh hiperfiltrasi glomerulus. Hiperfiltrasi glomerulus pada
awalnya didalilkan sebagai kontributor utama kerusakan komponen filtrasi ginjal,
glomerulus, serta pembuluh preglomerular. Perubahan hemodinamik ini dianggap
terjadi sebagai akibat dari perubahan dalam lingkungan metabolik, pelepasan
faktor vasoaktif, perubahan transduksi sinyal serta cacat intrinsik dalam arteriol
glomerulus termasuk kopling elektromekanis. Proteinuria, yang termasuk protein
albumin sebagai komponen utama, sering mencerminkan perubahan hemodinamik
ginjal dan terkait dengan perubahan penghalang filtrasi glomerulus, khususnya
perubahan dalam sel epitel glomerulus, disebut podosit. Albuminuria untuk
merujuk pada peningkatan ekskresi protein urin (melihat rasio albumin terhadap
kreatinin urin) > 30 mg / g Cr). Albuminuria adalah faktor risiko penyakit
kardiovaskular (CVD) dan CKD. Penyakit ginjal diabetik mengacu pada
albuminuria dan penurunan GFR (<60 mL / mnt / 1,73 m2) .[7]
Selain terjadi perubahan hemodinamik, terjadi juga pembesaran ginjal
melalui kombinasi hiperplasia dan hipertrofi. Hipertrofi terlihat di dalam
glomeruli, yang disertai dengan ekspansi mesangial dan penebalan membran dasar
glomerulus. Namun, tubulus proksimal, yang merupakan lebih besar dari 90%
17

massa kortikal di ginjal, menyumbang perubahan terbesar dalam pertumbuhan


diabetes. Ketika tubulus tumbuh, lebih banyak filtrat glomerulus (kemih) yang
diserap kembali, yang meningkatkan laju filtrasi glomerulus (GFR) melalui loop
umpan balik dari tubulus. Sebagai konsekuensi dari hiperfiltrasi dan lingkungan
diabetes, ginjal menyaring peningkatan jumlah glukosa, asam lemak, protein dan
asam amino, faktor pertumbuhan, dan sitokin yang bebas untuk memicu sejumlah
jalur patologis seperti ketidakseimbangan energetik, abnormalitas redoks,
fibrosis , dan peradangan. Pada akhirnya, pengendapan matriks ekstraseluler
dalam komponen tubulus ginjal (tubulointerstitial fibrosis) dipostulatkan sebagai
penentu utama perkembangan penyakit ginjal pada diabetes.[7]
Nefropati yang berkembang pada DM tipe 2 berbeda dari DM tipe 1
dalam hal berikut: (1) albuminuria dapat ditemukan ketika DM tipe 2 didiagnosis,
yang mencerminkan periode asimtomatik yang panjang; (2) hipertensi lebih sering
menyertai albuminuria; dan (3) albuminuria mungkin kurang dapat memprediksi
penyakit ginjal diabetik. Akhirnya, harus dicatat bahwa albuminuria pada DM tipe
2 dapat menjadi faktor sekunder yang tidak berhubungan dengan DM, seperti
hipertensi, gagal jantung kongestif (CHF), penyakit prostat, atau infeksi. Sebagai
bagian dari perawatan diabetes komprehensif, albuminuria harus dideteksi pada
tahap awal ketika terapi yang efektif dapat dilakukan. Karena beberapa individu
dengan DM tipe 1 atau tipe 2 mengalami penurunan GFR tanpa adanya
albuminuria, penilaian harus mencakup rasio albumin terhadap kreatinin urin spot
dan perkiraan GFR. Pengukuran protein urin dengan urinalisis rutin tidak
mendeteksi tingkat ekskresi albumin yang rendah. Skrining untuk albuminuria
harus dimulai 5 tahun setelah onset DM tipe 1 dan pada saat diagnosis DM tipe 2.
[7]

c. Terapi
Terapi optimal untuk nefropati diabetik adalah pencegahan dengan
mengontrol glikemia. Intervensi yang efektif dalam memperlambat perkembangan
albuminuria termasuk (1) peningkatan kontrol glikemik, (2) kontrol tekanan darah
yang ketat, dan (3) pemberian inhibitor ACE atau ARB. Dislipidemia juga harus
diobati. Kontrol glikemik yang lebih baik mengurangi tingkat di mana
18

albuminuria muncul dan berkembang pada DM tipe 1 dan tipe 2. Namun, setelah
ada sejumlah besar albuminuria, tidak jelas apakah peningkatan kontrol glikemik
akan memperlambat perkembangan penyakit ginjal. Selama fase selanjutnya dari
penurunan fungsi ginjal, kebutuhan insulin dapat turun karena ginjal adalah
tempat degradasi insulin. Ketika GFR berkurang dengan nefropati progresif,
penggunaan dan dosis agen penurun glukosa harus dievaluasi kembali.[7]
Beberapa obat penurun glukosa (sulfonilurea dan metformin)
dikontraindikasikan pada insufisiensi ginjal lanjut. Banyak orang dengan DM tipe
1 atau tipe 2 mengalami hipertensi. Sejumlah penelitian pada DM tipe 1 dan tipe 2
menunjukkan efektivitas kontrol tekanan darah yang ketat dalam mengurangi
ekskresi albumin dan memperlambat penurunan fungsi ginjal.[7]
4) Kaki Diabetes
a. Definisi
Kaki diabetes merupakan luka terbuka pada permukaan kulit akibat adanya
penyumbatan pada pembuluh darah di tungkai dan neuropati perifer akibat kadar
gula darah yang tinggi, luka terbuka dapat berkembang menjadi infeksi
disebabkan bakteri aerob maupun anaerob. .[7]
b. Patofisiologi
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM. Terjadinya
kaki diabetes diawali dengan hiperglikemia yang menyebabkan kelainan
neuropati dan pembuluh darah. Neuropati akan menyebabkan berbagai perubahan
pada kulit dan otot kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi
tekanan pada telapak kaki dan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya
kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah meluas. .[7]
Kaki diabetik terjadi sebagai interaksi dari struktur abnormal dan fungsi
pembuluh darah dan saraf yang menyebabkan berkurangnya angiogenesis,
hilangnya sensasi, infeksi luka sekunder yang tidak sembuh, ulserasi dan
selanjutnya amputasi kaki. Ulserasi kaki diabetik terutama disebabkan oleh
neuropati dan iskemia yang terjadi bersamaan. Kaki diabetes dikaitkan dengan
peningkatan insiden trauma kaki karena penurunan proprioception. Iskemia yang
19

mendasari mengakibatkan gangguan penyembuhan luka di area yang cedera, dan


infeksi yang ditimbulkan menyebabkan ulserasi.[7]
Semua tahapan kaskade penyembuhan luka kompleks dirusak pada DM
dan diperparah oleh banyak faktor termasuk peradangan, proliferasi, angiogenesis,
apoptosis, berkurangnya kemotaksis dan pembentukan matriks, berkurangnya
resistensi bakteri, dan kemunduran sistem perlindungan antioksidan. Semua ini
menyebabkan kegagalan penyembuhan luka. Juga, penyakit pembuluh darah
perifer lazim pada kaki pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol karena
aterosklerosis yang pada akhirnya dapat menyebabkan amputasi kaki.[7]
c. Tatalaksana
Setiap pasien dengan diabetes perlu dilakukan pemeriksaan kaki secara
lengkap, minimal sekali setiap satu tahun meliputi inspeksi, perabaan pulsasi
arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior, dan pemeriksaan neuropati sensorik.
Deteksi Dini Kelainan Kaki dengan Risiko Tinggi dapat dilakukan melalui
pemeriksaan karakteristik kelainan kaki:
- Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku.
- Rambut kaki yang menipis.
- Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh,
ingrowing nail).
- Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.
- Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki
yang menonjol.
- Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari.
- Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.
- Kaki yang terasa dingin.
- Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau kehitaman).
Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera
mungkin. Komponen penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus
adalah :
20

- Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan


metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah,
lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya.
- Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vaskular
(dengan operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada keadaan
ulkus iskemik.
- Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis
infeksi harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya
kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap namun tidak
terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi)
- Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan
nekrosis secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol
infeksi, dengan konsep TIME:
Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
Moisture Balance (menjaga kelembaban)
Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
- Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada kaki,
karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga
harus dihindari. Mengurangi tekanan merupakan hal sangat penting
dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai
sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi
tekanan.
- Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh
pasien dengan diabetes perlu diberikan edukasi mengenai perawatan
kaki secara mandiri.[8]

Kaki diabetik memiliki patogenesis yang multifaktorial dari ulkus


ekstremitas bawah, manajemen lesi ini bersifat multidisiplin dan sering menuntut
keahlian dalam ortopedi, bedah vaskular, endokrinologi, podiatri, dan penyakit
menular. Permukaan plantar kaki adalah lokasi ulserasi yang paling umum. Ulkus
21

mungkin terutama neuropatik (tidak ada infeksi yang menyertai) atau mungkin
memiliki selulitis atau osteomielitis di sekitarnya. Selulitis tanpa borok harus
diobati dengan antibiotik yang memberikan cakupan spektrum luas, termasuk
anaerob.[7]
22

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Aziz Rani , dkk. tahun 2008 . Buku Panduan Pelayanan Medik . PB


PAPDI : Jakarta .
2. Hirlan, Theo soehardjono, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, cetak ulang, UI,
Jakarta, 1996.
3. Soemohardjo S dan Gunawan S. 2014. Hepatitis B Kronis. Dalam: Setiawati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, Editor.
Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid II. Ed VI. Jakarta: InternaPublishing
Pusat Penerbitan Penyakit Dalam
4. Dienstag JL. 2017. Harrison’s principles of internal medicine, 20th ed.
USA: McGraw Hill Medical.
5. Infodatin. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes Melitus. Pusat data dan
Informasi. Kementrian Kesehatan Republik Indoneisa.
6. Lotfy, M., J. Adeghate, H Kalasz, J. Singh, Ernest Adeghate. 2017. Chronic
Complications of Diabetes Mellitus: A Mini Review. Current Diabetes
Reviews. 13: 3-10
7. Josephine M. Forbes and Mark E. Cooper. 2013. Mechanisms of diabetic
complications. Physiol Rev 93: 137–188.
8. PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PERKENI.

Anda mungkin juga menyukai