Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifetasi


berupa unilateral, nyeri dermatom, dan ruam merah akibat reaktivasi dan
multiplikasi endogen virus varisela zoster yang telah bertahan dalam bentuk laten
di dalam ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion
saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf ke dalam kulit.1,2,3
Kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan host dengan virus. Salah satu faktor risiko kuat adalah usia yang lebih
tua. Insiden herpes zoster adalah 1,5-3,0 per 1000 orang/tahun disemua umur dan
7-11 per 1000/tahun pada orang lebih dari 60 tahun di Eropa dan Amerika Utara.
Faktor risiko utama lainnya adalah disfungsi sel imun. Pasien imunokompremais
memiliki 20-100 kali lebih berisiko terjadi herpes zoster.2,3,4
Selama infeksi VZV (varicella zoster virus) primer, virus menginfeksi ganglia
sensoris, setelah itu VZV bertahan dalam fase laten dalam ganglia untuk
kehidupan individu dan bila fungsi kekebalan tubuh berkurang, maka VZV
mengaktifkan kembali didalam ganglia sensoris, menurunkan saraf sensoris dan
bereplikasi di kulit.4
Herpes zoster bermanifestasi dalam tiga tahap klinis yang berbeda yaitu
prodromal, infeksiatif dan nyeri paska herpes.4
Diagnosis banding pada penyakit herpes zoster antara lain herpes simpleks
zosteriform, dermatitis kontak, gigitan seragga dan luka bakar.2
Komplikasi herpes zoster berupa kutaneus, visceral dan neurologis Pada
komplikasi neurologis yang paling sering nyeri paska herpetik.2,4,5 Sindrom
Ramsay Hunt hasil dari keterlibatan saraf wajah dan pendengaran oleh VSV
herpetik peradangan pada genikulata ganglion menjadi penyebab sindrom ini.3,5
Pengobatan pada pasien herpes zoster dibagi atas dua yaitu pengobatan topical
dan sistemik. Selama fase akut herpes zoster diberikan kompres dingin, losion
kalamin atau emolien dapat membantu meringankan gejala lokal dan

1
mempercepat pengerikan lesi vesikel tetapi pada kasus herpes zoster pengobatan
topikal tidak efektif. Sedangkan pengobatan sistemik diberikan anti virus, anti
inflmasi dan analgetik.2,3,4,5
Vaksin zoster tujuannya untuk mencegah reaktivasi dan penyebaran VZV
pada fase laten. Pemberian vaksin booster varisela terhadap orangtua untuk
meningkatkan kekebalan spesifik terhadap VZV.1,5

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. L
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 74 tahun
Pendidikan Terakhir : SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Lembasada Kec. Banawa Selatan
Tanggal masuk rumah sakit : 7 Desember 2018

B. ANAMNESIS
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama: Bentol-bentol berisi cairan

Anamnesis Terpimpin:
Pasien masuk ke RS dengan keluhan bentol-bentol berisi cairan di daerah dahi
sebelah kiri sampai mata dan kepala yang dirasakan sejak 6 hari yang lalu.
Disertai rasa nyeri, kebas didaerah tersebut, gatal sudah berkurang, rasa terbakar
sudah berkurang dan nyeri kepala sebelah kiri. Tidak ada demam. Awalnya
muncul diawali dengan demam setelah itu muncul warna kemerahan lalu menjadi
bentol berisi cairan yang berkelompok lalu pecah menjadi kerepeng-kerepeng.
Tetapi masih ada bentol-bentol disekitarnya. Awalnya muncul di dahi lalu
menyebar sedikit kearah mata dan kepala. pasien tidak memiliki riwayat minum
obat dan pemakaian salep. Pasien memiliki riwayat penyakit cacar saat berusia 10
tahun dan belum pernah mengeluh keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada
alergi terhadap obat-obatan dan makanan. Tidak ada keluarga yang menderita
seperti ini. Disekitar lingkungan rumah tidak ada yang mempunyai keluhan seperti
ini.

3
C. Status Presens
a. Status Generalis :
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Baik
Higiene : Baik
b. Tanda-tanda Vital
TD :120/80 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,9 0C
c. Kepala
Sklera : Ikterik (-/-)
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Bibir : Sianosis (-/-)
d. Jantung/Paru : Dalam batas normal
e. Abdomen : Dalam batas normal
f. Ekstremitas : Akral hangat keempat ekstremitas, udem (-),
deformitas (-)
g. Kelenjar limfe : Pembesaran (-)

D. Status Lokalisasi : Regio frontalis sinistra dan periorbital sinistra

E. Status Dermatologis :
 Lokasi : Regio frontalis dan periorbital sinistra
 Ukuran : Lentikular
 Efloresensi :Vesikel berkelompok, dasar eritema, krusta

F. Laboratorium
 Kerokan :-
 Dan lain-lain :-

4
G. Resume
Seorang laki-laki usia 74 tahun masuk ke RS dengan keluhan muncul vesikel
berkelompok di regio frontalis sinistra sampai periorbital dan cephal yang
dirasakan sejak 6 hari yang lalu. Disertai rasa nyeri, parastesia didaerah tersebut,
pruritus dan rasa terbakar sudah berkurang dan cephalgia daerah sinistra. Tidak
ada demam. Awalnya muncul demam setelah itu muncul eritema lalu menjadi
vesikel yang berkelompok lalu pecah menjadi krusta. Tetapi masih ada vesikel
disekitarnya. Awalnya muncul di frontalis sinistra lalu menyebar sedikit kearah
periorbital dan cephal. Pasien memiliki riwayat penyakit varisela saat berusia 10
tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 80x/ menit, respirasi 20 x/menit, Suhu 36,9 0C
Pemeriksaan status dermatologi didapatkan distribusi lokalisata, unilateral,
regio frontalis dan periorbital sinistra. Ukuran lentikular. Efloresensi vesikel
berkelompok, dasar eritema dan krusta.

H. Diagnosa
Herpes zoster ophtalmica

I. Anjuran Pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium: darah rutin
Pemeriksaan Tzank tes

J. Diagnosis Banding
Dermatitis venerate, dermatitis kontak

K. Terapi
Sistemik : Acyclovir 5x800 mg, gabapentin 1x300 mg, neurodex 2x1
Topikal : Fuson cr 10 gr

5
L. Edukasi
a) Memberi penjelasan kepada penderita bahwa penyakit ini memiliki
komplikasi yaitu nyeri paska penyakit
b) Menjaga kesehatan untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
c) Menjelaskan kepada penderita untuk menaati aturan terapi.
d) Memperbaiki higene dalam kehidupan sehari-hari.

M. Prognosis
Qua ad vitam : Dubia ad bonam
Qua ad functionam : Dubia ad bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad bonam
Qua ad cosmetikam : Dubia ad bonam

6
FOLLOW UP

Perawatan Hari I
S Nyeri (+), parastesia (+), pruritus dan rasa terbakar berkurang dan
cephalgia daerah sinistra
O TD: 120/80 mmHg
N: 80 x/menit
S: 36,9oC
R: 20 x/menit
Status status dermatologi:
 Regio: Frontalis dan periorbital sinistra
 Efloresensi: Vesikel berkelompok, dasar eritema, krusta
A Herpes zoster ophtalmica
P Sistemik : Acyclovir 5x800 mg, gabapentin 1x300 mg, neurodex 2x1
Topikal : Fuson cr 10 gram
Dokumentasi Kasus :

Gambar 1. Tampak vesikel berkelompok, dasar eritema dan krusta di


regio frontalis dan periorbital sinistra

7
Perawatan Hari 2
S Nyeri (+) dan parastesia (+) berkurang, pruritus dan rasa terbakar (-) dan
cephalgia daerah sinistra berkurang
O TD: 110/80 mmHg
N: 80 x/menit
S: 36.8oC
R: 20 x/menit
A Herpes zoster ophtalmica
P Sistemik : Acyclovir 5x800 mg, gabapentin 1x300 mg, neurodex 2x1
Topikal : Fuson cr 10 gram

Dokumentasi Kasus :

Gambar 2. Vesikel berkelompok sudah pecah menjadi krusta tetapi


krusta sudah berkurang dan dasar eritema di regio frontalis dan
periorbital sinistra

8
Perawatan hari 3
S Nyeri (-) dan parastesia (-), pruritus dan rasa terbakar (-) dan cephalgia
daerah sinistra (-)
O TD: 120/70 mmHg
N: 80x/menit
S: 36,5oC
R: 20x/menit
A Herpes zoster ophtalmica
P Sistemik : Acyclovir 5x800 mg, gabapentin 1x300 mg, neurodex 2x1
Topikal : Fuson cr 10 gram

Dokumentasi Kasus :

Gambar 3. Dasar masih eritema dan krusta di regio frontalis dan


periorbital sinistra sudah berkurang dari sebelumnya.

Pulang

9
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki usia 74 tahun masuk ke RS dengan keluhan muncul vesikel


berkelompok di regio frontalis sinistra sampai periorbital dan cephal yang
dirasakan sejak 6 hari yang lalu. Disertai rasa nyeri, parastesia didaerah tersebut,
pruritus dan rasa terbakar sudah berkurang dan cephalgia daerah sinistra. Tidak
ada demam. Awalnya muncul demam setelah itu muncul eritema lalu menjadi
vesikel yang berkelompok lalu pecah menjadi krusta. Tetapi masih ada vesikel
disekitarnya. Awalnya muncul di frontalis sinistra lalu menyebar sedikit kearah
periorbital dan cephal. Pasien memiliki riwayat penyakit varisela saat berusia 10
tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 80x/ menit, respirasi 20 x/menit, Suhu 36,9 0C.
Pemeriksaan status dermatologi didapatkan distribusi lokalisata, unilateral,
regio frontalis dan periorbital sinistra. Ukuran lentikular. Efloresensi vesikel
berkelompok, dasar eritema dan krusta.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat ditegakkan diagnosis


pasien ini adalah herpes zoster oftalmika.

10
Herpes zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifetasi
berupa unilateral, nyeri dermatom, dan ruam merah akibat reaktivasi dan
multiplikasi endogen virus varisela zoster yang telah bertahan dalam bentuk laten
di dalam ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion
saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf ke dalam kulit.1,2,3 Pada pasien
ini mengeluh muncul ruam merah dan nyeri di bagian ruam tersebut.
Herpes zoster terjadi secara sporadik sepanjang tahun tanpa prevalensi
musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan
tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster didapatkan melalui kontak
dengan orang lain dengan varisela atau herpes zoster. Sebaliknya, kejadian herpes
zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host dengan
virus. Salah satu faktor risiko kuat adalah usia yang lebih tua. Insiden herpes
zoster adalah 1,5-3,0 per 1000 orang/tahun disemua umur dan 7-11 per
1000/tahun pada orang lebih dari 60 tahun di Eropa dan Amerika Utara. Faktor
risiko utama lainnya adalah disfungsi sel imun. Pasien imunokompremais
memiliki 20-100 kali lebih berisiko terjadi herpes zoster. Kondisi
imunokompremais yang berhubungan dengan risiko tinggi terkena herpes zoster
termasuk infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang, leukemia dan limfoma,
penggunaan kemoterapi, kanker dan penggunaan kortikosteroid. Faktor-faktor lain
dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya herpes zoster termasuk jenis kelamin
perempuan, trauma fisik mempengaruhi dermatom, gen polimorfisme IL-10, dan
ras kulit putih. Paparan terhadap anak-anak dan kontak dengan kasus varisela
telah dilaporkan meningkat VZV (varicella zoster virus) - CMI memberi
perlindungan terhadap dirinya. Episode kedua herpes zoster jarang terjadi orang
yang imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang didapatkan. Orang yang
menderita lebih dari satu episode mungkin imunokompremais. Pasien dengan
herpes zoster kurang menular daripada varisela tingkat dimana rentan kontak host
dengan varisela setelah terpapar herpes zoster tampaknya sekitar sepertiga dari
angka tersebut diamati setelah terpapar varisela. Virus bisa diisolasi dari vesikel
dan pustula hingga 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk periode yang lebih
lama pada individu yang imunokompremais. Pasien dengan dermatom muncul

11
menyebarkan infeksi oleh sarana kontak langsung dengan lesi mereka dan
transmisi udara. Pasien dengan herpes zoster juga penyebarannya dapat melalui
aerosol, sehingga tindakan pencegahan udara dan pencegahan kontak
diperlukan.2,3,4 Pada pasien ini memiliki usia 74 tahun dan memiliki riwayat
penyakit varisela pada usia 10 tahun.
Virus varisela zoster adalah anggota keluarga virus herpes. Yang lainnya
anggota patogen untuk manusia termasuk herpes simpleks, virus tipe 1 (HSV-1)
dan tipe 2 (HSV-2), cytomegalovirus (CMV), Epstein barr virus (EBV), virus
herpes 6 manusia (HHV-6) dan herpes virus 7 manusia (HHV-7), yang
menyebabkan roseola dan sarkoma Kaposi terkait virus herpes, juga disebut virus
herpes manusia tipe 8. Semua virus herpes secara morfologi tidak dapat dibedakan
dan berbagai sejumlah properti, termasuk kapasitasnya untuk membuat infeksi
laten yang bertahan seumur hidup. Genom VZV mengkode sekitar 70 gen unik,
sebagian besar memiliki urutan DNA dan fungsional homolog terhadap gen-gen
virus herpes lainnya. Produk gen immediate (IE) mengatur replikasi VZV. Produk
gen awal, seperti virus spesifik timidin kinase dan polimerase virus DNA,
replikasi virus. Akhir gen menyandi struktural protein virus yang berfungsi
sebagai target untuk menetralisir antibdi dan respon imun seluler.2,4
Selama varisela, VZV lolos dari lesi di kulit dan permukaan mukosa menjadi
berdekatan ujung saraf sensoris dan diangkut secara sentrifugal serat sensoris ke
ganglia sensorik. Sel T yang terinfeksi juga dapat membawa virus ke ganglia
sensoris secara hematogen. Di ganglia, virus terbentuk infeksi laten yang
berlangsung seumur hidup. Herpes zoster paling sering terjadi pada dermatom
dimana ruam dari varisela mencapai kepadatan tertinggi yang dalam. Seperti saraf
trigeminal dan oleh ganglia sensoris tulang belakang dari T1 ke L2. Meskipun
virus laten di ganglia mempertahankan potensi infektivitas penuh, reaktivasi
sporadik dan jarang, dan infeksi virus tampak tidak hadir selama fase laten.
Mekanisme yang telibat dalam reaktivasi VZV laten tidak jelas, tetapi reaktivasi
telah dihubungkan dengan imunosupresi, emosional, tumor, serabut ganglion
dorsal atau struktural yang berdekatan, trauma lokal, manipulasi bedah tulang
belakang, dan sinusitis frontalis (sebagai endapan dari zoster optalmik). Meskipun

12
penurunan imunitas seluler VZV spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia.
VZV juga dapat aktif kembali tanpa menghasilkan penyakit. Jumlah kecil antigen
virus dirilis selama reaktivasi seperti yang diharapkan untuk merangsang dan
mempertahankan kekebalan host untuk VZV. Ketika kekebalan seluler spesifik
VZV turun sampai level kritis, virus diaktifkan kembali. Virus beralih dan
menyebar ke dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan
hebat, suatu proses yang disertai neuralgia berat. VZV menular kemudian
menyebar secara cepat ke saraf sensorik menyebabkan neuritis kronik, dan
dilepaskan dari ujung saraf sensorik kulit sehingga memberikan karakteristik
vesikel zoster berkelompok. Penyebaran infeksi ganglion proksimal sepanjang
akar saraf posterior ke menings dapat menyebabkan leptomeningitis lokal,
pleositosi cairan serebrospinal dan mieliosis segmental. Infeksi neuron motorik di
tanduk anterio dan radang dari akar saraf anterior untuk local yang dapat
menyertai erupsi kulit, dan perluasan infeksi didalam sistem nervus sentral dapat
menyebabkan komplikasi yang jarang terjadi.2,4

1. Varisela 2. Fase laten 3. Herpes zoster


Gambar 1. Varisela dan Herpes Zoster4

1. Selama infeksi VZV primer (varisela atau cacar air), virus menginfeksi ganglia
sensoris.4
2. VZV bertahan dalam fase laten dalam ganglia untuk kehidupan individu.4

13
3. Dengan berkurangnya fungsi kekebalan tubuh, VZV mengaktifkan kembali
didalam ganglia sensoris, menurunkan saraf sensoris dan bereplikasi di kulit.4
Herpes zoster bermanifestasi dalam tiga tahap klinis yang berbeda yaitu
prodromal, infeksiatif dan nyeri paska herpes.4
Gejala prodromal antara lain nyeri dan parastesia pada dermatom yang terlibat
sering mendahului pecah beberapa hari dan bervariasi gatal superfisial, kesemutan
atau rasa terbakar hingga nyeri yang berat, memar, demam, sakit kepala, malaise
yang terlokalisasi pada satu area atau lebih yang berhubungan dengan radiks
nervus dorsal. Rasa nyeri konstan atau intermiten dan disertai hiperestesi kulit
bagian yang terlibat. Rasa nyeri dilokalisasi dengan rasa tajam ke area yang sama
tetapi lebih difus.2,4,5 Pada pasien ini mengeluh nyeri dan hilang rasa pada daerah
lesi, gatal, rasa terbakar dan sakit kepala.

Gambar 2. Dermatom bidang kulit saraf sensorik perifer4

14
Lesi dermatom dimulai dari papul 24 jam setelah itu vesikel-bula 48 jam
menjadi pustule 96 jam pecah menjadi krusta 7 sampai 10 hari. Lesi bar uterus
muncul hingga 1 minggu. Dasar eritematosa dengan vesikel jernih superimposid
terkadang hemoragik. Biasanya sembuh dalam 2 hingga 4 minggu.4
Distribusi dermatom unilateral. Dua atau lebih dermatom yang berdekatan
mungkin terlibat.4
1. Kulit pada herpes zoster
Ciri herpes zoster yaitu lokalisasi dan distriasi ruam, yang hampir selalu unilateral
dan umumnya terbatas pada area kulit yang dipersarafi oleh ganglion sensorik
kranial atau spinal. Dermatoma yang paling sering terkena adalah thoraks (55%),
kranial (20%), dengan saraf trigeminal yang paling sering terlibat terutama bagian
oftalmik (15%) dan dari T3 ke L2, lumbar (15%), dan sakral (5%). Dermatom
paling sering terlibat pada semua umur, tetapi relatif frekuensi zoster oftalmik
meningkat di usia tua. Lesinya jarang bilateral. Meskipun lesi individu herpes
zoster dan varisela tidak dapat dibedakan, yaitu herpes zoster cenderung
berevolusi lebih lambat dan biasanya terdiri dari vesikel yang berkelompok
dengan dasar eritmatosa, daripada yang lebih diskrit, didistribusikan secara
tersebar vesikel varisela. Perbedaan ini mencerminkan intramural penyebaran
virus ke kulit di herpes zoster. Lesi herpes zoster mulailah sebagai makula dan
papul eritematosa yang sering pertama kali muncul pada cabang dangkal yang
terkena saraf sensorik, misalnya posterior dan cabang lateral dan anterior dari
bagian utama anterior saraf tulang belakang. Vesikel terbentuk dalam 12-24 jam
dan berevolusi menjadi pustul pada hari ketiga. Setelah itu kering dan menjadi
krusta dalam 7-10 hari. Krusta umumnya bertahan selama 2-3 minggu. Pada orang
normal, lesi baru muncul 1-4 hari (rata-rata 7 hari). Lama durasi erupsi kulit
tergantung pada ketiga faktor yaitu usia, tingkat keparahan erupsi dan adanya
penekanan imun yang mendasari. Pada pasien yang lebih muda, total durasi
adalah 2 hingga 3 minggu, sedangkan pada pasien usia lanjut lesi kulit zoster
mungkin membutuhkan 6 minggu atau lebih untuk sembuh. Pada orang tua,
kurang gizi dan imunosupresi sering terjadi erupsi lokal menjadi nekrotik, dan
penyembuhan yang mungkin membutuhkan beberapa minggu, mungkin diikuti

15
oleh jaringan parut yang parah. Pada orang yang mengalami imunosupresi,
terutama karena infeksi HIV, herpes zoster dapat terjadi berlarut-larut, dengan
jumlah kecil lesi berkembang menjadi nodul verukosa atau krusta. Antara 10%
dan 15% dari kasus herpes zoster yang dilaporkan melibatkan saraf oftalmika.
Ruam herpes zoster oftalmika mungkin membentang dari tingkat mata ke titik
puncak tengkorak, tetapi berhenti di garis tengah dahi. Ketika hanya terlibat
cabang supratroklear dan supraorbital, mata biasanya terhindar. Keterlibatan
cabang nasosiliaris, yang menginervasi mata juga sebagai ujung dari sisi hidung,
yang membuat VZV dengan langsung ke struktur intraokuler. Jadi ketika herpes
zoster oftalmika melibatkan ujung dan sisi hidung, hati-hati perhatian harus
diberikan pada kondisi mata tersebut. Mata terlibat 20%-70% pada pasien herpes
zoster oftalmika. Sensasi kornea umumnya terganggu dan ketika gangguan hebat
dapat menyebabkan keratitis neurotropik dan ulserasi kronik. Herpes zoster
mempengaruhi bagian kedua dan ketiga saraf trigeminal serta saraf kranial lainnya
dapat menghasilkan gejala dan lesi di mulut, telinga, faring, atau laring. Sindrom
ramisay hunt (fasial palsy dalam kombinasi dengan herpes zoster telinga eksternal
atau membran timpani, dengan atau tanpa tinnitus, vertigo dan tuli), hasilnya dari
keterlibatan saraf wajah dan pendengaran.2,3,4,5 Pada pasien ini didapatkan pada
pemeriksaan status dermatologi efloresensi lesinya berupa vesikel berkelompok
dengan dasar eritema dan krusta lokasi unilateral, regio frontalis dan periorbital
sinistra dengan ukuran lentikular. Pada pasien ini mengalami pada bagian
dermatom oftalmik.

Gambar 3. Herpes zoster3

16
Gambar 4. Herpes zoster, distribusi dermatomal thoraks3

Gambar 5. Herpes zoster, keterlibatan dermatom V1 (N. oftalmika)3

Gambar 6. Herpes zoster nekrotik pada pasien usia lanjut3

17
2. Nyeri pada herpes zoster
Nyeri adalah masalah utama yang ditimbulkan. Herpes zoster terutama pada
orang tua. Kebanyakan pasien mengalami nyeri atau ketidaknyamanan dermatom
selama fase akut (30 hari pertama setelah onset ruam) itu berkisar dari ringan
sampai berat. Pasien menggambarkan rasa sakitnya atau ketidaknyamanan seperti
rasa terbakar, sakit yang mendalam, kesemutan, gatal atau menusuk. Untuk
beberapa pasien, intensitas rasa sakitnya seperti mengerikan dan menyiksa
digunakan untuk menggambarkan pengalaman. Nyeri herpes zoster akut
berhubungan dengan penurunan fungsi fisik, tekanan emosional dan penurunan
fungsi sosial.2,4
3. Herpes zoster pada pasien yang imunokompremais
Nyeri paska herpes merupakan komplikasi yang serius terjadi pada orang-
orang yang tidak berkompromi. Komplikasi ini termasuk nekrosis kulit dan
jaringan parut dan diseminasi kutaneus dengan insiden 25%-50%. Pasien dengan
disemiasi kutan bermanifestasi luas, sering fatal, diseminasi visceral, terutama ke
paru-paru, hati, dan otak. Pasien yang terinfeksi HIV cukup unik untuk
mengalami beberapa kekambuhan herpes zoster saat infeksi HIV berkembang,
herpes zoster mungkin terulang pada dermatom yang sama atau berbeda atau
dalam beberapa dermatom berdekatan atau tidak berdampingan. Herpes zoster
pada pasien dengan AIDS mungkin berat, dengan penyebaran kutaneus dan
visceral. Penderita AIDS dapat juga berkembang menjadi veruka kronis,
hyperkeratosis, atau lesi kulit ektimousus yang disebabkan oleh resisten
asiklovir.2,4
Pada tahap preerupsi, nyeri prodromal herpes zoster sering bingung dengan
penyebab lain dari lokalisasi rasa nyerinya. Begitu pecah, karakteristik dan lokasi
ruam dermatomal, ditambah dengan nyeri dermatomal atau kelainan sensoris
lainnya, biasanya membuat diagnosis jelas. Sekelompok vesikel, terutama di dekat
mulut atau alat kelamin, dapat mewakili herpes zoster, tetapi mungkin juga infeksi
HSV berulang. Herpes simpleks sering tidak mungkin dibedakan dari herpes
zoster atas dasar klinis. Riwayat rekuren ganda di tempat yang sama sering terjadi
pada herpes zoster jika tidak ada defisiensi imun yang jelas dan secara klinis jelas.

18
Tahap gejala klinis yang muncul pada herpes zoster sebagai berikut:4
1. Tahap Prodromal. Zoster curiga pada orang yang lebih tua atau
imunokompremais dengan nyeri unilateral.
2. Vesikulasi aktif. Temuan klinis biasanya memadai dapat dikonfirmasikan
dengan tes Tzanck, DFA, atau kultur virus untuk menyingkirkan infeksi HSV.
3. Sindrom Nyeri paska herpes. Berdasarkan sejarah dan temuan klinis
Pada pasien ini sudah melewati tahap prodromal dan masih dalam tahap
vesikulasi aktif tetapi belum masuk kedalam tahap nyeri paska herpes.
Lesi herpes zoster tidak dapat dijelaskan secara histopatologi. Didapatkan sel
raksasa multinuclear dan sel epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear
asidofilik yang membedakan lesi kulit yang dihasilkan oleh VZV dari semua
erupsi vesikuler lainnya (misalnya, yang disebabkan oleh variola dan virus pox
lainnya, dan oleh coxsackie virus dan echovirus) kecuali yang diproduksi oleh
HSV. Sel-sel ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan pewarnaan Tzank, bahan
dikerok dari dasar vesikel lalu disebar ke kaca objek diwarnai dengan
hematoksilin eosin, giemsa, papanicolaou atau paragon multipel.2,4
Diagnosis pasti infeksi VZV serta diferensial VZV dari HSV, tercapai oleh
isolasi virus dalam kultur sel yang inokulasi cairan vesikel, darah, cairan
serebrospinal atau infeksi jaringan, atau dengan identifikasi langsung antigen
VZV atau asam nukleat dalam spesimen ini. Isolasi virus adalah hanya teknik
yang menghasilkan VZV menular untuk lebih lanjut analisis, seperti tes kepekaan
terhadap obat anti virus. Namun VZV sangat labil, dan hanya 30%-60% dari
kultur kasus yang terbukti positif. Untuk memaksimalkan pemulihan virus,
specimen harus diinokulasi ke dalam kultur sel segera. Ini penting untuk memilih
vesikel baru yang mengandung cairan bening untuk aspirasi, karena kemungkinan
mengisolasi VZV berkurang dengan cepat karena lesi menjadi pustul. VZV
hamper tidak pernah terisolasi dengan kerak. Efek sitopatik yang disebabkan oleh
virus reparasi dalam kultur sel seperti ini ditandai oleh pembentukan asidofilik
intrenuklear inklusi badan dan multinuclear sel raksasa yang mirip dengan yang
terlihat pada lesi kulit penyakit. Perubahan ini tidak dapat dibedakan dari yang
dihasilkan oelh HSV, tetapi HSV dengan cepat menyebar untuk menginfeksi sel-

19
sel yang tersisa, efek sitopatik dari VZV umumnya tidak terjadi sampai beberapa
hari setelah specimen inokulasi. Pewarnaan imunoflurosensi atau imunopiroksida
seluler dari vesikel baru atau lesi prevesikel telah menjadi metode pilihan
diagnosis dapat mendeteksi VZV secara signifikan lebih sering dan cepat dari
virus, bahkan relatif terlambat dalam penyakit ketika tidak positif. Enzim
imunoesay menyediakan cepat dan metode sensitive deteksi antigen. Deteksi
DNA VZV pada specimen klinis yang mengikuti amplifikasi oleh PCR
memberikan uji terbesar sensitivitas, spesifitas sangat tinggi.2,4
Tes serologi memungkinkan diagnosis retrospektif varisela dan herpes zoster
ketika akut dan konvalens serta untuk perbandingan. Teknik yang sering
digunakan adalah tes ELISA tetapi kurang sensitif dan spesifik, gagal untuk
deteksi antibodi pada orang yang resisten dan kadang-kadang menghasilkan hasil
positif palsu pada individu yang resisten. Teknik imunofluresensi untuk antibodi
tubuh terhadap antigen membran VZV [fluoresen antibodi terhadap membran
antigen (FAMA)] yang bagus membedakan kekebalan tubuh dari orang dewasa
yang rentan dan uji aglutinasi lateks yang sebanding dalam sensitivitas dan
spesifitas terhadap uji FAMA, tetapi jauh lebih baik untuk dilakukan.2,4
Diagnosis banding pada penyakit herpes zoster antara lain:2
1. Mendekati: herpes simpleks zosteriform, dermatitis kontak, gigitan seragga
dan luka bakar.
2. Dipertimbangkan: urtikaria papular, multiform eritema, erupsi obat, skabies.
3. Dikesampingkan: pempigoid bulosa, vulgaris pemfigus vulgaris, dermatitis
herpetiformis, epidermolisis bulosa herpetiformis.
Penatalaksanaan pada pasien herpes zoster dibagi atas 2 yaitu terapi topikal
dan sistemik. Pada terapi topical, selama fase akut herpes zoster diberikan
kompres dingin, losion kalamin, tepung maisena, atau soda kue dapat membantu
meringankan gejala local dan mempercepat pengerikan lesi vesikel. Salep oklusif
harus dihindari dank rim atau losion yang mengandung glukokortikoid.
Superinfeksi bakteri lesi local tidak umum dan harus diperlakukan dengan
berendam air hangat, selulitis bacterial memerlukan terapi antibiotic sistemik.
Perawatan topical dengan obat anti virus tidak afektif.2

20
Pemberian terapi anti virus tujuan utama terapi pada pasien dengan herpes
zoster yaitu membatasi perluasan, durasi dan keparahan nyeri dan ruam dermatom
primer, mencegah penyakit di tempat lain dan pra PHN.2
Pada pasien normal alur rekomendasi untuk pengobatan herpes zoster.
Asiklovir oral (800 mg 5 kali sehari selama 7-10 hari), famsiklovir (250 atau 500
mg 3 kali sehari selama 7 hari), dan valasiklovir (1 gr 3 kali sehari selama 7 hari)
untuk menyembuhkan ruam. Asiklovir oral efektif untuk mencegah komplikasi
okular. Famsiklovir dan valasiklovir sebanding dengan asiklovir dalam
pengobatan herpes zoster oftalmika.2,3,4,5
Pada pasien berusia diatas 50 tahun, famsiklovir (500-750 mg 3 kali sehari
selama 7 hari) dimulai dalam 72 jam timbulnya herpes zoster terbukti menurunkan
durasi neuralgia paska herpes sekitar 2 bulan.2,4,5
Pada pasien yang imunokompremais ringan dengan herpes zoster terapi sama
seperti diatas hingga 10 hari. Asiklovir 10 mg/Kg IV setiap 8 jam selama 7 hingga
10 hari. Tahansiklovir IV foskarnet 40 mg/kg IV setiap 8 jam sampai resolusi.2,4
Pada pasien yang imunokompremais diberikan asiklovir IV (500 mg selama 7
hari) pada pasien dengan herpes zoster lokal maupun disimunisasi kutan sebelum
perawatan. Asiklovir membersihkan virus dari vesikel dan mengurangi visceral
dan progresif diseminata kulit. Nyeri cepat mereda dan mengurangi terjadinya
PHN serta tidak toksik.2,4
Pemberian terapi anti inflamasi seperti glukokortikoid selama fase akut
herpes zoster untuk mengurangi rasa sakit akut dan mencegah PHN.
Glukokortikoid dikombinasikan dengan anti virus efektif dapat membaik motorik
dan nyeri akut pada wajah yang diinduksi VZV.2,4
Pemberian terapi analgetik, pada sebuah studi mengatakan gabapentin atu
pregbalin dengan dosis tunggal 900 mg diberikan selama fase akut herpes zoster
dapat meredakan nyeri. Gabapentin (neurontin) diberikan mulai dari 100 mg tiga
kali sehari dan meningkat hingga dosis target 1800 hingga 3600 mg/hari efektif
sebagai dosis tunggal dan bermanfaat tambahan pada pasien yang diobati dengan
antidepresan trisiklik. Trisiklik, seperti amitriptilin atau nortriptilin (atau
klomipramin atau doksepin) dan desipramine, dimulai dengan 25 mg/malam (atau

21
10 mg untuk mereka yang berusia di atas 65-70). Dosis ditingkatkan dengan
jumlah yang sama setiap malam sampai kontrol nyeri (hiperestesia dan nyeri
terbakar) yang konstan tercapai atau dosis maksimum tercapai. Dosis akhir adalah
antara 25 dan 100 mg dalam dosis malam tunggal. Penggunaan awal amitriptilin
mampu mengurangi prevalensi nyeri pada 6 bulan, menunjukkan bahwa intervensi
dini optimal. Velafaksin (Efeksor) dapat digunakan pada pasien yang tidak
mentolerir trisiklik. Dosis awal 25 mg/malam, dosis secara bertahap dititrasi
sesuai kebutuhan. Untuk rasa sakit menusuk diberikan natrium valproat (atau
antikonvulsan lainnya, misalnya klonazepam atau karbamazepin). Terutama pada
usia lanjut, dosis harus rendah pada awalnya dan ditingkatkan setiap beberapa
hari. Jika nyeri tetap tidak adekuat, anastesi saraf regional atau blok lokal untuk
mengontol nyeri akut. Anestesi lokal, seperti anastesi topikal seperti krim, 10%
lidokain dalam bentuk gel, 5% Iidokain-prilokain, atau lidokain tempel
(lidoderm).2,3,4,5
Pada pasien ini diberikan pengobatan berupa terapi sistemik dan topikal.
Terapi sistemik berupa acyclovir 5x800 mg selama 7 hari, gabapentin 1x300 mg
dan neurodex 2x1. Asiklovir merupakan obat antivirus yang berguna untuk
menyembuhkan ruam yang diakibatkan oleh virus. Gabapentin digunakan untuk
meredakan nyeri pada fase akut. Neurodex merupakan salah satu merek suplemen
vitamin B kompleks yang mengandung vitamin B1, B6 dan B12. Sebagai vitamin
neurotropik atau nutrisi sel saraf sehingga digunakan untuk melindungi dan
menjaga fungsi saraf agar berjalan normal (meredakan kebas dan kesemutan).
Sedangkan terapi topikal berupa fuson kream 10 gram. Fuson merupakan nama
dagang dari asam fusidat yang merupakan jenis obat antibiotik.
Gejala sisa herpes zoster termasuk kulit, komplikasi okuler, neurologis dan
visceral. Kebanyakan komplikasi herpes zoster terkait dengan penyebaran VZV
dari saraf sensorik yang awalnya terlibat ganglion, saraf atau kulit, baik melalui
aliran darah atau ekstensi saraf langsung. Ruam mungkin memburuk setelah
erupsi dermatom awal telah terjadi. Ketika pasien imunokompremais di rawat,
memiliki setidaknya beberapa vesikel di daerah yang jauh dari yang telibat dan
dermatom yang berdampingan. Lesi biasanya muncul dalam waktu 1 minggu

22
sejak permulaan erupsi segmental. Penyebaran lesi luas (25-50 lesi atau lebih),
menghasilkan erupsi varisela (generalisasi herpes zoster), terjadi pada 2%-10%
dari pasien yang tidak dengan herpes zoster lokal, kebanyakan memiliki cacat
imunologik sebagai hasil imunodefisiensi didapat, seperti pada infeksi HIV,
keganasan yang mendasari (terutama limfoma) atau penggunaan imunosupresi.
Mata terlibat dalam 20%-70% pasien dengan herpes zoster oftalmika dengan
berbagai kemungkinan komplikasi.2,4
Pada komplikasi neurologis yang paling sering nyeri paska herpetik. Dapat
bervariasi sebagai rasa sakit setelah penyembuhan ruam atau rasa sakit 1 bulan, 3
bulan, 4 bulan atau 6 bulan setelah onset ruam. Nyeri paska herpetik meningkat
seiring bertambahnya usia. Pasien dengan PHN mungkin menderita nyeri konstan
(dijelaskan sebagai rasa terbakar, sakit, berdenyut-denyut), nyeri intermiten
(menusuk, menembak) dan atau stimulus membangkitkan nyeri, termasuk alodinia
(lembut, membakar, menikam) yang dapat bertahan selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun pada sebagian kecil pasien. Alodinia adalah rasa nyeri yang
ditimbulkan oleh rangsangan yang normal tidak menyakitkan biasanya pada 90%
dari pasien dengan PHN. Pasien dengan alodinia nmungkin menderita sakit parah
bahkan setelah sentuhan ringan seperti kulit yang tersentuh angina tau sepotong
pakaian. Sehingga menyebabkan tidur yang tidak teratur, depresi, anoreksi,
penurunan berat badan dan kelelahan.2,4,5
Sindrom Ramsay Hunt hasil dari keterlibatan saraf wajah dan pendengaran
oleh VSV herpetik peradangan pada genikulata ganglion menjadi penyebab
sindrom ini. Termasuk zoster telinga eksternal atau membran timpani, herpes
aurikularis dengan kelumpuhan wajah ipsilateral atau herpes aurikularis,
kelumpuhan wajah, dan gejala pendengaran. Kompresi vestibulokoklearis saraf
dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural dan keterlibatan nervus
intermedius atau ganglion genikulata akan merusak sensasi rasa dari dua pertiga
anterior lidah dan mengubah lakrimasi. Gejala pendengaran termasuk tinitus
ringan hingga berat, tuli, vertigo, mual dan muntah, dan nistagmus.3,5
Hemiparesis kontralateral adalah komplikasi herpes zoster yang jarang namun
serius yang terjadi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan (rata-rata 7 minggu)

23
setelah episode zoster mempengaruhi cabang pertama saraf trigeminal. Dengan
perluasan langsung sepanjang cabang intrakranial saraf trigeminal, VZV
memperoleh akses ke sistem saraf pusat (SSP) dan menginfeksi arteri serebral
sehingga gejala klinis berupa sakit kepala dan hemiplegia.3,4

Tabel 1. Komplikasi dari Herpes Zoster2

Kutaneus Visceral Neurologik


Superinfeksi bakterial Pneumonitis Neuralgia paska herpetik
Scarring Hepatitis Ensefalitis atau
meningioensefalitis
Ganggrenosa zoster Esofagitis Sindrom Guiilain Barred an
mielitis transversal
Diseminasi kutaneus Gastritis Palsi nervus perifer
Perikarditis Motorik
Cistitis Otonomik
Artritis Palsy nervus kranialis
Hilang sensorik
Tuli
Komplikasi okuler
Angilitis granulomatosa
(kasus hemiparesis
kontralateral)

Vaksin zoster tujuannya untuk mencegah reaktivasi dan penyebaran VZV


pada fase laten mengurangi terkena penyakit hingga > 60% dan insiden zoster
sebesar 51%. Pemberian vaksin booster varisela terhadap orangtua untuk
meningkatkan kekebalan spesifik terhadap VZV.1,5 Pada pasien ini diberikan
edukasi berupa penjelasan untuk memberi informasi kepada keluarga dekat yang
usia lanjutr untuk melakukan vaksin varisela booster, dan penjelasan bahwa
penyakit ini memiliki komplikasi yaitu nyeri paska penyakit, menjaga kesehatan
untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh, menaati aturan terapi serta
memperbaiki higene dalam kehidupan sehari-hari.

24
BAB IV
KESIMPULAN

Dilaporkan bahwa terdapat pasien dengan diagnosis herpes zoster ophtalmica


pada Tn. L berusia 74 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan keluhan muncul vesikel
berkelompok di regio frontalis sinistra sampai periorbital dan cephal yang
dirasakan sejak 6 hari yang lalu. Disertai rasa nyeri, parastesia didaerah tersebut,
pruritus dan rasa terbakar sudah berkurang dan cephalgia daerah sinistra. Awalnya
muncul demam setelah itu muncul eritema lalu menjadi vesikel yang berkelompok
lalu pecah menjadi krusta. Tetapi masih ada vesikel disekitarnya. Awalnya
muncul di frontalis sinistra lalu menyebar sedikit kearah periorbital dan cephal.
Pasien memiliki riwayat penyakit varisela saat berusia 10 tahun.
Dari pemeriksaan status dermatologi didapatkan distribusi lokalisata,
unilateral, regio frontalis dan periorbital sinistra. Ukuran lentikular dengan
efloresensi vesikel berkelompok, dasar eritema dan krusta.
Pada kasus diatas pasien mendapat terapi sistemik berupa acyclovir 5x800 mg,
gabapentin 1x300 mg, neurodex 2x1. Terapi topikal berupa fuson cream 10 gr.
Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Herpes
zoster. Ed 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. p. 121-
4.
2. Schmader KE, Oxman MN. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Varicella and herpes zoster. 8th ed. United States of America Mc Grow Hill
2012. p. 2383-400.
3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical
Dermatology.10th ed. Sauders Elsevier; 2006. P. 379-84.
4. Wolff K, Johnson R A, Saavedra A P. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. VZV: Herpes zoster. Seventh ed. United States of
America Mc Grow Hill; 2012. p. 675-82.
5. Bunker CB, Gotch F. Rook’s textbook of dermatology. Varicella zoster virus.
Eighth ed. Singapura: Wiley-Blackwell; 2010. p. 33.22-26.

26

Anda mungkin juga menyukai