Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, tubuh manusia memiliki sel darah putih
(limfosit) yang berguna sebagai pertahanan tubuh dari serangan virus
maupun bakteri. Virus HIV yang masuk tubuh manusia dapat melemahkan
bahkan mematikan sel darah putih dan memperbanyak diri, sehingga lemah
melemahkan sistem kekebalan tubuhnya (CD4). Dalam kurun waktu 5-10
tahun setelah terinfeksi HIV, seseorang dengan HIV positif jika tidak
minum obat anti retroviral (ARV), akan mengalami kumpulan gejala infeksi
opportunistik yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh akibat
tertular virus HIV, yang disebut AIDS. (Depkes RI. 2018)
Permasalahan HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai
dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433
(84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. (Depkes RI.
2018)
Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan
HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak
ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun
provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099),
diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa
Tengah (24.757). (Depkes RI. 2018)
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus meningkat setiap tahun,
sementara jumlah AIDS relatif stabil. Hal ini menunjukkan keberhasilan
bahwa semakin banyak orang dengan HIV /AIDS (ODHA) yang diketahui
statusnya saat masih dalam fase terinfeksi (HIV positif) dan belum masuk
dalam stadium AIDS. (Depkes RI. 2018)
Obat anti retroviral (ARV) dijamin ketersediaannya oleh pemerintah
dan gratis pemanfaatannya. Pelayanan ARV sudah dapat diakses di RS dan

1
Puskesmas di 34 provinsi, 227 kab/kota. Total saat ini terdapat 896 layanan
ARV, terdiri dari layanan yang dapat menginisiasi terapi ARV dan layanan
satelit. Dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan terdekat sangat
dibutuhkan agar ODHA tetap semangat dan jangan sampai putus obat.
(Depkes RI. 2018)
Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 mencatat dari 48.300 kasus
HIV positif yang ditemukan, tercatat sebanyak 9.280 kasus AIDS.
Sementara data triwulan II tahun 2018 mencatat dari 21.336 kasus HIV
positif, tercatat sebanyak 6.162 kasus AIDS. Adapun jumlah kumulatif
kasus AIDS sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai dengan
Juni 2018 tercatat sebanyak 108.829 kasus. (Depkes RI. 2018)
Virus HIV tidak mudah menular, karena hanya dapat ditularkan melalui
hubungan seksual yang tidak aman berisiko, berbagi jarum suntik, produk
darah dan organ tubuh, serta dari ibu hamil yang positif dengan HIV dapat
menularkan kepada bayinya. Perlu diketahui bahwa virus HIV tidak
menular melalui penggunaan toilet bersama, gigitan nyamuk/ serangga,
menggunakan alat makan bersama, bersalaman/ berpelukan, ataupun
tinggal serumah dengan ODHA. Karenanya, berperilaku hidup bersih dan
sehat dapat mencegah terjadinya penularan HIV dan tidak perlu menjauhi
ODHA. Untuk itu, menjadi ODHA Terinfeksi HIV bukanlah penghalang
untuk bersosialisasi, bekerja, dan berkeluarga. (Depkes RI. 2018)
Seseorang yang terinfeksi virus HIV berpotensi menularkan meski tidak
memiliki ciri yang dapat dilihat secara kasat mata (fisik). Status HIV
seseorang hanya dapat diketahui dengan melakukan cek/pemeriksaan darah
di laboratorium. Karena itu, Jika merasa pernah melakukan perilaku
berisiko atau merasa berisiko tertular segera lakukan tes HIV. (Depkes RI.
2018)
Upaya pencegahan dan pengendalian HIV -AIDS bertujuan untuk
mewujudkan target Three Zero pada 2030, yaitu: 1) Tidak ada lagi
penularan infeksi baru HIV, 2) Tidak ada lagi kematian akibat AIDS, dan
3) Tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV AIDS
(ODHA). Dalam rangka mencapai target Fast Track 90-90-90, Kementerian

2
Kesehatan juga menggaungkan strategi akselerasi Suluh, Temukan, Obati
dan Pertahankan (STOP) untuk mencapai target tahun 2030 tersebut. Tahun
ini, diluncurkan pula strategi Test and Treat, yaitu ODHA dapat segera
memulai terapi ARV begitu terdiagnosis mengidap HIV. (Depkes RI. 2018)
Selama menimba ilmu di jurusan kebidanan Poltekkes Denpasar pada
tingkat III semester VI, kami mendapatkan mata kuliah asuhan kebidanan
ODHA yang merupakan bekal untuk terjun di dunia medis. Untuk itu
seluruh mahasiswa D-IV Kebidanan Poltekkes Denpasar pada tingkat III
semester VI diwajibkan untuk mengikuti praktik mata kuliah di wahan
parktik.
Dengan adanya upaya terjun langsung di wahana praktik di Puskesmas
I Denpasar Utara dengan pasien sebagai subjek, diharapkan mahasiswa
mampu menerapkan ilmu yang diperoleh dari pembelajaran akademik dan
mampu mengaplikasikan pada situasi nyata. Dari pemaparan diatas laporan
pendahuluan ini disusun sebagai awal untuk pelaksanaan praktik Asuhan
Kebidanan ODHA yang akan dilaksanakan di Puskesmas I Denpasar Utara.

B. Tujuan Penulisan Laporan


Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah agar mahasiswa
mampu memahami system pelayanan test HIV/AIDS dan IMS di
Puskesmas Denpasar I Utara.

C. Metode Praktik
Dalam melakukan praktik di Puskesmas I Denpasar Utara terdapat
beberapa metode praktik yang digunakan, antara lain :
1. Studi Kepustakaan
Metode kepustakaan dilakukan melalui penelitian langsung ke
perpustakaan, guna mencari informasi dan teori-teori yang berkaitan
dengan asuhan kebidanan berupa buku-buku serta dokumen yang ada
relevansinya dengan asuhan kebidanan.
2. Observasi

3
Metode observasi merupakan suatu cara untuk memperoleh data dengan
mengadakan pengamatan yang sistematis, pengamatan yang dimaksud
bisa secara langsung pada dokumen atau catatan khusus. Dengan
metode observasi, mahasiswa melakukan pengamatan yang sistematis
terhadap asuhan kebidanan.
3. Studi Dokumentasi
Metode studi dokumentasi merupakan metode dengan mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar,
majalah, agenda dan sebagainya. Dalam metode ini mahasiswa mencari
data mengenai pelayanan yang diberikan oleh bidan dari catatan maupun
buku-buku yang ada.

D. Sistematika Penulisan Laporan


Dalam laporan akhir praktik terintegrasi ini terdiri dari lima BAB,
antara lain BAB I Pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang yang
mengangkat mengenai pentingnya praktikum di wahana praktik kepada
mahasiswa kebidanan mengenai asuhan kebidanan ODHA di Puskesmas I
Denpasar Utara, bagian selanjutnya yaitu tujuan penulisan laporan, metode
praktik dan sistematika penulisan laporan. BAB II berisikan tentang
tinjauan teori mengenai pelayanan terkait HIV/AIDS di lahan praktik. BAB
III berisikan tentang tinjauan kasus yang didapat di lahan praktik. BAB IV
berisikan tentang pembahasan dari tinjauan kasus dengan penyamaan
persepsi dari tinjauan teori. BAB V terdiri dari simpulan dan saran dari
laporan akhir ini. Selain itu juga disertakan dengan Daftar Pustaka yang
memuat sumber pustaka yang diambil atau digunakan dalam laporan.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pelayanan Terkait HIV/AIDS Pada Ibu Hamil Dan Orang Dewasa


1. Ibu Hamil
Penyelenggaraan Eleminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
dilakukan melalui kegiatan:
a. Promosi Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan dengan strategi
advokasi,pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan yang ditujukan
untuk:
1) Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat deteksi dini
penularan HIV,sifilis dan Hepatitis B secara inklusif terpadu dalam
pelayanan antenatal sejak awal kunjungan pemeriksaan trimester
pertama (K1)
2) Meningkatkan pengetahuan dan tanggung jawab ibu hamil sampai
menyusui, pasangan seksual,keluarga, dan masyarakat perihal
kesehatan dan keselamatan anak, termasuk perilaku hidup bersih dan
sehat serta pemberian makanan pada bayi.\
3) Meningkatkan peran serta masyarakat untuk turut serta menjaga
keluarga sehat sejak dari kehamilan.
Dalam kegiatan promosi kesehatan dipastikan tersosialisasikannya
peraturan dan pedoman ini bagi setiap ibu hamil, masyarakat dan
pelaksana serta pengambil kebijakan disetiap jenjang pemerintahan,
dengan cara sebagai berikut:
1) Meningkatkan pengetahuan, peran dan tanggung jawab tenaga
kesehatan pada umumnya dalam menjamin kelahiran anak yang
sehat dan bebas dari penyakit serta ancaman kecacatan dan kematian.
2) Meningkatkan peran dan tanggung jawab penyelenggara pelayanan
kesehatan dalam memenuhi standar pelayanan, standar prosedur
operasional, serta standar profesi.

5
Secara khusus pesan promosi kesehatan utama bagi ibu hamil antara lain:
1) Ibu hamil dan bayi yang dikandungnya berhak tetap sehat dan makin
sehat
2) Pelayanan antenatal terpadu 10T bermanfaat bagi kesehatan ibu
hamil dan bayi yang dikandungnya
3) Pencegahan penularan dari ibu ke anak
4) Deteksi dini penyakit baik menular maupun tidak menular wajib
ditangani secara dini pada ibu hamil
5) Rujukan dan pendampingan dapat dilakukan tenaga kesehatan untuk
memastikan kehamilan berlangsung dengan baik dan janin yang
dikandung sejahtera
6) Masyarakat dapat mendukung secara pribadi ataupun kelompok
agar setiap ibu/perempuan hamil tetap sehat
b. Surveilans kesehatan
Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis
dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian
penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan
untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan efektif dan efisien
1) Surveilans kesehatan pada eliminasi penularan ini dilaksanakan
dengan melakukan pencatatan, pelaporan, dan analisis terhadap data
ibu hamil dan anak yang terinfeksi HIV, Sifilis dan/atau Hepatitis B
sebagai dasar pelaksanaan Eliminasi Penularan
2) Pencatatan,pelaporan dan analisis data dapat menggunakan system
informasi.
Penyelenggaraan surveilans kesehatan merupakan prasayarat
program kesehatan, dilakukan secara pasif maupun aktif untuk
menyediakan informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan
faktor risikonya serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya secara objektif, terukur, dapat diperbandingkan

6
antar waktu, antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat sebagai
bahan pengambilan keputusan.
c. Deteksi dini
Deteksi dini adalah upaya untuk mengenali secepat mungkin gejala
atau tanda atau ciri risiko atau ancaman atau kondisi yang
membahayakan. Deteksi dini atau skrining atau penapisan kesehatan
pada ibu hamil dilaksanakan pada saat pelayanan antenatal agar seorang
ibu hamil mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan
selamat, serta melahirkan bayi yang sehat, bersalin dengan selamat,
serta melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas. Deteksi dini dilakukan
sejak masa konsepsi hingga sebelum mulainya proses persalinan,
sifatnya wajib melalui pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mewujudkan deteksi
dini yang paripurna tersebut maka dilakukan:
1) Deteksi dini kehamilan dalam pelayanan antenatal terpadu
berkualitas dan lengkap dilakanakan oleh tenaga kesehatan di setiap
fasilitas pelayanan kesehatan
2) Deteksi dini risiko infeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B dilakukan
melalui pemeriksaan darah paling sedikit 1 (satu) kali pada masa
kehamilan.
Pada “triple” eliminasi HIV,Sifilis dan Hepatitis B dari ibu ke anak,
deteksi dini penulara infeksi hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan
laboratorium sampel darah pada ibu hamil dan deteksi dini pada bayi
yang dilakukan oleh ibu terinfeksi.
Pemeriksaan laboratorium sebagai deteksi dini ‘triple’ eleminasi
penularan dilakukan secara inklusif bersama pemeriksaan rutin lainnya
yang dilakukan ibu hamil sesuai dengan T8 pada pelayanan antenatal
terpadu lengkap. Pemeriksaan laboratorium pada ibu hamil dan bayinya
merupakan misi Negara sehingga ditetapkan dalam peraturan dilakukan
dalam prosedur operasional standar bagi setiap perempuan hamil di
fasilitas pelayana kesehatan pemerintah maupun swasta.

7
Deteksi dini dan atau diagnosis HIV, sifilis dan hepatitis B
dilaksanakan dengan tes cepat (rapid diagnostic test). Untuk menjamin
hasil pemeriksaaan yang akurat, setiap hasil yang reaktif pada deteksi
dini wajib dirujuk kepada dokter di puskesmas untuk penegakan
diagnosis. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dengan sarananya
harus melaksanakan pengukuran, penetapan, dan pengujian terhadap
bahan yang berasal dari manusia untuk penentuan jenis penyakit,
penyebaran penyait, kondisi kesehatan, atau faktor yang berpengaruh
pada kesehatan perorangan dan masyarakat
Pemeriksaan laboratorium selama kehamilan, persalinan dan nifas
merupakan salah satu komponen penting dalam pelayanan antenatal
dalam identifikasi risiko dan komplikasi dan dilakukan mengikuti
langkah sebagai berikut :

Langkah kerja Darah vena Darah tepi/kapiler


1. Persiapan 1. Melengkapi seluruh informasi yang diperlukan
pada formulir pemeriksaan laboratorium yang
diminta
2. Menerakan SOP dan kewaspadaan standar
(menggunakan sarung tangan, jas laboratorium)
3. Membaca manual kit insert
4. Persipan alat dan bahan
2. Alat dan bahan  Sarung tangan  Sarung tangan
 Tabung vakum  Tabung
EDTA atau mikrotainer EDTA
tabung serologi (250=500uL)
 Jarum dan holder  Lancet blade
 Sentrifus (bila (2,0mm) berpentup
ada) steril
 Wadah jarum  Wadah jarum
(tahan tusuk) (tahan tusuk)
 Kapas alcohol  Kapas alcohol

8
 Plester  Plester
 Label  Label
 Mikropipet 5-50
ul tip kuning
 Torniquet
3 Lokasi pengambilan Vena fossa cubiti Jari ke 3 atau jari ke 4
Tangan non dominan tangan non dominan
4. Pelaksanaan Puskesmas, rumah sakit Jaringan puskesmas dan
dan fasyankes lain fasyankes tanpa sarana
dengan sarana laboratorium
laboratorium

d. Penanganan Kasus
Penanganan kasus adalah proses atau cara menangani atau
mengatasi kasus atau keadaan yang tidak dharapkan atau berisiko
membahayakan agar berubah menjadi tidak berisiko atau tidak
membahayakan. Dalam hal risiko atau bahaya infeksi HIV, Sifilis dan
Hepatitis B pada ibu hamil agar tidak menular kepada anak maka:
1) Penanganan diberikan sesuai kebutuhan kesehatan masing-masing
ibu hamil dan bayi ang lahir dari ibu tersebut.
2) Penanganan bagi ibu hamil dilaksanakan sesuai tata laksana
kedokteran
3) Penanganan bagi bayi yang dilahirkan sesuai kondisi kesehatan bayi
tersebut.
Penanganan kasus terbagi atas:
1) Penanganan pada ibu hamil terinfeksi
Apabila ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis atau Hepatitis B
maka dilakukan penanganan kesehatan melalui asuhan klinis medis,
asuhan keperawatan termasuk konseling kesehatan sesuai kebutuhan
ibu hamil dan asuhan kebidanan sesuai kebutuhan. Asuhan klinis
medis asuhan kebidanan, dan asuhan keperawatan pada ibu hamil

9
terinfeksi dilakukan sesuai dengan tata laksana keprofesian
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Konseling kesehatan pada ibu hamil HIV, Sifilis dan atau Hepatitis
Pada pelayanan antenatal maupun pemeriksaan laboratorium
HIV, Sifilis dan Hepatitis B pemberitahuan hasil pemeriksaan
laboratorium sama seperti pada pemeriksaan laboratorium pada
umumnya yaitu dilakukan oleh yang meminta pemeriksaan, disertai
penjelasan atas hasil pemeriksaan disertai dengan rencana tindak
lanjut disebut konseling kesehatan pasca tes. Penyampaian hasil tes
dan konseling kesehatan diberikan secara individual sesuai
ketentuan. Bilamana pasien masih memerlukan konseling tambahan
dapat dirujuk kepada psikolog klinis atau dokter spesialis kedokter
jiwa, atau pada HIV dapat dirujuk ke konselor bila stigma dan
diskriminasi petugas kesehatan masih tinggi.
a) Konseling ksehatan untuk ibu hamil negative (tidak HIV,Sifilis
dan Hepatitis B)
(1) Pesan mempertahankan hasil tetap negative,pencegahan agar
tidak terinfeksi di kemudian hari
(2) Anjuran masuk kelas ibu hamil
(3) Ajakan agar pasangan juga diperiksa HIV, Sifilis dan
Hepatitis B
(4) Jadwalkan untuk tes ulang bila ada IMS, atau termasuk
populasi kunci dari anamnesa
(5) Hindari perilaku berisiko
b) Konseling untuk ibu hamil positif(HIV atau Sifilis atau Hepatitis)
(1) Kepatuhan pengobatan
(2) Pilihan cara persalinan
(3) Pilihan pemberian makanan bayi
(4) Penanganan pada bayi
(5) Menurunkan factor risiko penularan HIV, Sifilis dan
Hepatitis B
(6) Penanganan bagi pasangan seksualnya

10
Gejala ibu hamil dengan HIV/AIDS pada umumnya sama dengan
penderita wanita lainnya yang tidak hamil. Kematian pada ibu hamil dengan
HIV (+) kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunistik yang
menyertainya, terutama Pneumocytis carinii pneumonia. Kehamilan dapat
menutupi sebagian gejala nonspesifik infeksi HIV, misalnya rasa lelah,
anemia dan sesak nafas. Kemuncuan gejala HIV dapat dipercepat oleh
kehamilan. Pada ibu hamil dengan HIV/AIDS sering disertai defisiensi
antioksidan vitamin dan mineral.
IHDHA mempunyai resiko malnutrisi yang dapat mengancam
kelangsungan kehamilan maupun persalinan. Penelitian Friis (2001) di
Zimbabwe menyatakan bahwa dari 1700 IHDHA 31,5 % mengalami
defisiensi asam folat, ferritin, Zn, dan hemoglobin. Defisiensi Zn dapat
berpengaruh pada sistem imun. Defisiensi Fe atau minimalnya deposit firritin
pada IHDHA mendorong diperlukan tambahan 6 mg/ hari terutama pada
trimester dua dan tiga untuk memenuhi kebutuhan ibu, plasenta dan janin.
a. Progresivitas infeksi HIV
Kehamilan tidak mempengaruhi progresivitas infeksi HIV kearah
AIDS. Penurunan CD4+memang terjadi pada ibu hamil dengan HIV,
tetapi penurunan tersebut lebih diakibatkan karena faktor dilusi. Pada
kehamilan yang tidak dengan HIV ,presentase CD4+ akan meningkat
kembali mulai trimester tiga hingga 12 bulan setelah melahirkan,
sedangkan pada IHDHA penurunan tetap terjadi pada awal kehamilan
sampai setelah melahirkan. Kehamilan hanya sedikit menaikan kadar
virus HIV (viral load). Kadar HIV meningkat terutama setelah 2 tahun
persalinan, walaupun secara sistematis tidak bermakna. Pada kondisi ibu
hamil HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik, kehamilan dapat
memperberat infeksi oportunistik yang diderita ibu maupun sebaliknya,
infeksi oportunistik yang diderita ibu dapat mempengaruhi progresifitas
HIV ibu maupun janin yang dikandungnya.

11
2. Orang Dewasa
Perawatan pelayanan paliatif terhadap penderita HIV/AIDS adalah
perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh diberikan
terhadap penderita melalui pendekatan multidisiplin keahlian yang
terintegrasi. Tujuan pelayanan perawatan HIV/AIDS di rumah sakit adalah
untuk mengurangi penderitaan, memperpanjang umur, meningkatkan
kualitas hidup, juga memberikan support kepada keluarga, meski pada
akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah
siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit
yang dideritanya (Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU
Dr.Soetomo, 2008). Paliatif yang dikembangkan mempunyai prinsip
sebagai berikut:
a. Menghargai setiap kehidupan
b. Menganggap kematian sebagai proses yang normal
c. Tidak mempercepat atau menunda kematian
d. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan
e. Menghilangkan nyeri
f. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam
perawatan pasien dan keluarga
g. Menghindari tindakan medis yang sia-sia
h. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai
dengan kondisinya sampai akhir hayat
i. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita (Pusat
Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo,2008).

a. Asuhan ODHA dengan Infeksi Oportunistik


1) Pengertian Infeksi Oportunistik ( IO )
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang ambil kesempatan
(‘opportunity’) yang disediakan oleh kerusakan pada sistem
kekebalan tubuh untuk menimbulkan penyakit. Kerusakan pada
sistem kekebalan tubuh ini adalah salah satu akibat dari infeksi HIV,

12
dan menjadi cukup berat sehingga IO timbul rata-rata 7-10 tahun
setelah kita terinfeksi HIV.
Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh kita dapat dihindari
dengan penggunaan terapi antiretroviral (ART) sebelum kita
mengalami IO. Namun, karena kebanyakan orang yang terinfeksi
HIV di Indonesia tidak tahu dirinya terinfeksi, timbulnya IO sering
kali adalah tanda pertama bahwa ada HIV di tubuh kita. Jadi,
walaupun ART tersedia gratis di Indonesia, masalah IO tetap ada,
sehingga adalah penting kita mengerti apa itu IO dan bagaimana IO
dapat diobati dan dicegah
Dalam tubuh anda terdapat banyak kuman – bakteri, protozoa,
jamur dan virus. Saat sistim kekebalan anda bekerja dengan baik,
sistim tersebut mampu mengendalikan kuman-kuman ini. Tetapi bila
sistim kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau oleh beberapa
jenis obat, kuman ini mungkin tidak terkuasai lagi dan dapat
menyebabkan masalah kesehatan. Infeksi yang mengambil manfaat
dari lemahnya pertahanan kekebalan tubuh disebut "oportunistik".
Kata "infeksi oportunistik" sering kali disingkat menjadi "IO".

B. Strategi Pencegahan Melalui Upaya Preventif Dan Promotif HIV/AIDS


Pada Ibu Hamil Dan Orang Dewasa
Strategi penanggulangan HIV dan AIDS: Strategi ditujukan untuk
mencegah dan mengurangi risiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup
ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS
pada individu, keluarga dan masyarakat, agar individu dan masyarakat menjadi
produktif dan bermanfaat untuk pembangunan. Skenario strategi dan rencana
aksi ini pada tahun 2014 adalah bahwa 80% populasi kunci terjangkau oleh
program yang efektif dan 60% populasi kunci berperilaku aman. Strategi yang
perlu ditempuh adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan
a. Program pencegahan menjangkau sedikitnya 70% populasi kunci.
b. Sedikitnya 40% ODHA mengetahui status HIV

13
c. Mengurangi jumlah infeksi baru hingga 50% dari proyeksi tahun 2014
bila tidak ada intervensi
d. Perubahan perilaku melalui penggunaan kondom konsisten pada 80%
transmisi seks berisiko
e. 86% Penasun menggunakan alat suntik steril secara konsisten
f. Penurunan prevalensi IMS hingga 25% dari 2014
g. Pendekatan khusus untuk remaja populasi kunci dan populasi umum
2. Meningkatkan dan memperluas cakupan perawatan, dukungan dan
pengobatan
a. Meningkatkan cakupan pengobatan ARV hingga 70%
b. Meningkatkan cakupan pengobatan ARV untuk pasien TB
c. Mengurangi kematian akibat AIDS hingga 50%
d. Meningkatkan kualitas layanan ARV (jumlah dan ketersediaan ARV
untuk anak) Adherance ARV
e. Layanan HIV, kesehatan seksual dan reproduksi, dukungan sebaya,
kekerasan dan TB terintegrasi dalam struktur layanan
3. Mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan meningkatkan akses
program mitigasi social
a. Mengeliminasi infeksi HIV pada bayi yang terlahir dari ibu HIV positif
b. Meningkatkan akses informasi dan layanan KSR pada perempuan usia
reproduksi
c. Agar semua perempuan hamil melakukan test HIV
d. Semua perempuan hamil dengan HIV positif dan anak mereka di
kabupaten/ kota prioritas mendapat ARV profilaksis, dan ibu mereka
menerima ART seumur hidup
e. Pelibatan laki-laki dalam program pencegahan infeksi HIV vertical
4. Perluasan cakupan mitigasi dampak
Orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak, janda, WBP yang
membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi dampak termasuk kesehatan,
pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi.
5. Menciptakan lingkungan yang mendukung

14
a. Meningkatnya komitmen (implementasi kebijakan dan anggaran)
pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada upaya
penanggulangan HIV yang mandiri dan berkelanjutan.
b. Memastikan adanya kebijakan yang mendukung penanggulangan
HIV/AIDS yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan
memperhatikan kebutuhan lakilaki, perempuan, waria (responsif
gender); memastikan mereka memiliki akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat dari kebijakan yang dibuat. (Masuk DO)
c. Pemerintah bersama dengan masyarakat sipil berperan secara
signifikan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, mengubah
aturan perundangan yang bersifat menghukum, kontraproduktif,
menghambat akses seperti batas usia, serta permasalahan Hak Asasi
Manusia dan ketidaksetaraan jender, stigma dan diskriminasi pada
populasi kunci, ODHA dan anak yang terinfeksi HIV, orang terdampak
HIV dan AIDS dan kelompok rentan lainnya (warga binaan laki-laki,
perempuan, waria, buruh migran laki-laki, perempuan, waria, anak
jalanan, pasangan dari populasi kunci, orang dengan disabilitas, kaum
etnis minoritas, masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di
daerah pedesaan).
d. Memastikan adanya sistem penanganan korban kekerasan pada
populasi kunci (ODHA, perempuan dengan HIV, pekerja seks
perempuan dan waria, GWL, perempuan penasun), anak dengan HIV
dan anak dari ODHA, serta korban kekerasan lainnya yang rentan
terhadap infeksi HIV melalui integrasi layanan kesehatan dan bantuan
hukum.
e. Memastikan pelibatan aktif masyarakat sipil, termasuk orang yang
terinfeksi dan terdampak HIV, orang muda termasuk orang muda
populasi kunci dan organisasi berbasis komunitas, serta kelompok
perempuan dan waria yang lebih strategis dalam perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan, monitoring dan evaluasi program.

15
f. Memperkuat program multi-sektor di kementerian/lembaga, termasuk
memperluas program pencegahan HIV melalui pendidikan di sekolah
dan luar sekolah serta di tempat kerja.
g. Memastikan program pencegahan HIV melalui pendidikan formal dan
informal serta pembangunan kesadaran menggunakan pendekatan yang
mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat terutama kelompok
populasi kunci, kelompok rentan, kelompok perempuan dan waria,
termasuk melalui media sosial dan ICT secara efektif untuk
mempromosikan penanggulangan HIV.
h. Meningkatnya kapasitas, kualitas dan efektivitas sumber daya manusia
terkait HIV, memasukkan HIV dan AIDS dalam kurikulum di semua
jenjang pendidikan dan pengembangan pusat-pusat pelatihan untuk
pembelajaran horizontal.
i. Memastikan adanya peningkatan kapasitas dan kesadaran pemerintah,
penyedia layanan, media dan stakeholder lainnya tentang prinsip-
prinsip HAM dan kesetaraan gender di dalam pencegahan dan
penanganan HIV dan AIDS.
j. Memperbaiki kualitas, penggunaan dan mekanisme berbagi data yang
terpilah berdasarkan umur, jenis kelamin dan gender.
k. Adanya sistem surveilans yang berfungsi dan data yang terharmonisasi
dari berbagai sumber. Monitoring dan evaluasi program difokuskan
pada (1) penanganan masalah dalam proses dan kualitas layanan, (2)
memantau riam (cascade) layanan HIV, (3) kesenjangan berdasarkan
kelompok umur, jenis kelamin dan gender.
l. Penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kabupaten/kota diperkuat
melalui pengembangan kapasitas, penguatan koordinasi, integrasi
layanan kesehatan dan masyarakat, dan desentralisasi layanan serta
mobilisasi sumber daya yang tersedia di daerah.
6. Meningkatkan keberlanjutan program
a. Mengidentifikasi dan menggunakan upaya-upaya program yang
efektif secara biaya, termasuk rasionalisasi layanan, pengalihan tugas
dan efisiensi biaya diagnosis, obat-obatan dan komoditas lainnya.

16
b. Meningkatkan proporsi pengeluaran pemerintah pusat, daerah dan
swasta untuk upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
c. Meningkatkan peran sektor swasta dalam hal pendanaan dan layanan
kesehatan dalam kerangka PPM (public private mix).

C. Pelayanan PITC Pada Ibu Hamil Dan VCT Pada Orang Dewasa Dengan
HIV/AIDS
1. VCT
VCT (Voluntary Counselling and Testing ) diartikan sebagai
Konseling dan Tes Sukarela (KTS) HIV. Konseling HIV dan AIDS
merupakan komunikasi bersifat rahasia antara klien dan konselor yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menghadapi stress dan
mengambil keputusan berkaitan HIV dan AIDS. Jadi, VCT adalah
konseling tes HIV sebagai upaya untuk memberikan dukungan secara
psikologis dan emosional yang dapat dilakukan melalui dialog personal
antara sesorang ‘konselor’ dan seorang ‘klien’ atau antara seorang
konselor bersama klien dan pasangan (couple counceling).
Proses konseling termasuk evaluasi resiko personal peneluran HIV,
fasilitas pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuain diri ketika klien
memperoleh hasil tes HIV positif. Testing HIV adalah pengambilan darah
untuk pemeriksaan HIV yang dapat dilakukan dirumah sakit, klinik,
labolatorium dan lembaga swadaya masyarakat yang menyediakan
pelayanan VCT.
Prinsip VCT :
a. Atas Persetujuan (Informed Consent)
b. Kerahasiaan
c. Tidak Diskriminatif
d. Mutu Terjamin
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam konseling VCT:

a. Pasien akan mendapatkan pengetahuan mengenai HIV dan AIDS.


b. Pasien bisa menceritakan permasalahan yang dihadapi.

17
c. Konselor akan membantu untuk mencari jalan keluar atau membantu
menentukan keputusan, dalam hal ini tentang HIV/AIDS.
d. Konseling sifatnya menjelaskan pilihan pasien.
e. Orang yang memberikan konseling tidak boleh memaksakan
kehendak atau nilai-nilai pribadi pada pasien.
f. Dalam konseling, kerahasiaan pasien harus dijunjung tinggi.
g. Jika konselor atau dokter harus mendiskusikan permaslahan pasien ke
konselor atau doker lain, sifatnya adalah pembahsan kasus dan bukan
tentang pribadi pasien.
Konseling dalam VCT ini dimaksudkan memberikan informasi
factual dan dukungan kepada ODHA dan keluarganya,karena itu
diperlukan materi-materi yaitu (Depkes,2003):
a. Kebutuhan primer untuk mencegah infeksi dan infeksi ulang.
b. Informasi dasar tentang infeksi HIV dan penyakit terkait dan cara
penularan.
c. Penilaian tingkat risiko infeksi HIV.
d. Mengkaji kemungkinan sumber infeksi klien.
e. Informasi khusus untuk menurunkan risiko dengan perubahan
perilaku berisiko.
2. Provider Initiated Testing and Counseling (PITC)
Ada perbedaan antara PITC dan VCT, seperti yang tertera dalam Tabel,
perbedaan utama antara keduanya terutama adalah pada fokus kegiatan.
PITC dilakukan terutama untuk menemukan dan melakukan penanganan
lanjutan pada pasien HIV positif pada pasien TB. Berbeda dengan PITC,
VCT memang difokuskan untuk pencegahan penularan HIV. Prinsip 3 C
pada hakekatnya tetap ada dikeduanya, hanya pada PITC kegiatan konseling
dan testing HIV diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan rutin di fasilitas
kesehatan.
VCT PITC
Klien/pasien Datang ke UPK khusus Datang ke klinik karena
untuk test HIV, sudah TB atau simpton TB.

18
siap untuk test HIV, Tidak selalu siap untuk
biasanya asimptomatik test HIV
Provider Biasanya adalah konselor Petugas kesehatan yang
terlatih, tidak harus sudah dilatih tentang
petugas kesehatan di PITC
UPK
Tujuan utama Pencegahan penularan Mendiagnosis HIV
konseling dan test HIV melalui untuk manajemen klinis
HIV pemeriksaan resiko, TB dan HIV secara tepat
pengurangan resiko dan
test
Pre-tes  Konseling yag  Provider
berpusat pada klien merekomendasikan
 One on one dan menwarkan test
 Sama-sama pada semua pasien
pentingnya bagi klien TB
untuk mengetahui  Penjelasan singkat
hasil HIV positif atau tentang pentingnya
negatif melaukan test HIV
 Watu lebih singkat
untk pasien dengan
test HIV negatif
 Fokus pada mereka
dengan hasil test HIV
positif
Follow-up HIV positif dirujuk untuk Penatalaksanaan klinis
mendapatkan pelayanan antara provider TB dan
medis dan pendukung HIV, dirujuk untuk
lannya. Tidak pelayanan pendukung
memandang hasil yang lain
testnya, klien dapat
dirujuk ke PCT untuk

19
mendapatkan konseling
dan dukungan psikologis

20
a. Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pelayanan PITC adalah sebagai berikut
1) Informasi pre-test dan informed consent
PITC memberikan sesi pendidikan dan pengkajian risiko dengan
fokus konseling pencegahan untuk klien sebelum dan sesudah
menerima hasil tes. Informed consent seharusnya diberikan secara
individual dan pribadi pada klien di pelayanan kesehatan. Informasi
minimum yang perlu klien ketahui sebelum informed consent adalah:
a) Alasan konseling dan tes HIV disarankan;
b) Keuntungan klinis dan potensial risiko, seperti diskriminasi,
penelantaran dan kekerasan;
c) Pelayanan yang tersedia dengan hasil tes negatif atau positif HIV,
termasuk ART (Anti Retroviral Terapi);
d) Fakta tentang hasil tes HIV yang tidak akan diberitahukan kepada
orang lain;
e) Fakta bahwa pasien berhak menerima atau menolak konseling dan
tes HIV;
f) Kesempatan klien untuk bertanya kepada penyelenggara pelayanan.
2) Post-test konseling
Post-test konseling adalah bagian integral dari komponen proses tes
HIV. Semua individu yang akan melakukan tes HIV harus dikonseling
ketika tes diberikan, dengan tanpa melihat hasil tes. Hasil tes
seharusnya diberikan kepada klien secara personal oleh pemberi
pelayanan. Idealnya, post-test konseling seharusnya dilakukan dengan
konselor yang sama saat pre-test konseling dan tes HIV dilakukan.
Hasil seharusnya tidak diberikan dalam kelompok. Meskipun klien
dapat menolak untuk menerima hasil dari tes, konselor seharusnya
dapat memberikan alasan yang tepat untuk meyakinkan klien dapat
menerima dan mengerti hasil tes secara rahasia Post-test konseling
bertujuan untuk menyiapkan klien untuk dapat menerima hasil,
membantu klien memahami dan menyesuaikan diri akan hasil
tes,menyediakan informasi lebih lanjut, jika dimungkinkan, kemudian

21
merujuk kepada layanan lainnya ketika diperlukan dan mendiskusikan
kepada klien strategi pengurangan penularan HIV.
3) Petunjuk pelayanan HIV yang lain
Hasil tes HIV harus disampaikan dengan penjelesan-penjelasan
tentang pencegahan, terapi, pelayanan, dan pelayanan pendukung yang
diperlukan oleh klien. Petunjuknya tediri dari informasi siapa dan kapan
yang akan dihubungi, dan bagaimana cara menghubungi.
4) Frekwensi tes yang dilakukan
Tes ulang setiap 6-12 bulan lebih diperlukan untuk individu yang
terpapar HIV dengan risiko tinggi, seperti individu dengan riwayat STI
(Sexual Transmitted Infection), PSK dan kliennya, pasangan
homoseksual, IDU (injection drug user), dan pasangan dengan HIV.
Hal yang perlu diingat bahwa tes HIV rutin tidak menjadi subsitusi
untuk pencegahan perilaku berisiko. Penyelenggara pelayanan
kesehatan seharusnya menekankan pada klien untuk tetap
mempertahankan perilaku yang aman.

22
BAB III
TINJAUAN KASUS

Sesuai dengan pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan di


Puskesmas I Denpasar Utara, pelayanan pemeriksaan HIV-AIDS dan IMS yang
dilaksanakan berupa pelayanan Voluntary Counselling Test (VCT) dan Provider
Inciative Test and Counselling (PITC). Puskesmas I Denpasar Utara menyediakan
loket, poli umum, poli gigi, poli anak, poli KIA, poli KB, poli KTR dan poli TB,
dan laboraturium yang berkaitan khusus dengan pemeriksaan HIV-AIDS dan IMS
itu sendiri. Tinjauan kasus yang penulis ambil adalah alur pelayanan pemeriksaan
HIV-AIDS dan IMS pada Puskesmas I Denpasar Utara.
A. Alur Pelayanan
Alur pelayanan pasien ke poli-poli yang ada di Puskesmas I Denpasar Utara
yaitu mulai dari pendaftaran pasien di loket, dimana pasien akan mendapatkan
buku rekam medik yang berisikan biodata pasien dan alasan kunjungan, yang
kemudian buku rekam medik tersebut akan dibawa ke poli sesuai dengan alasan
kunjungan pasien tersebut.
1. PITC (provider iniciative test and counselling)
Ibu hamil yang datang untuk kontol kehamilan di Puskesmas I
Denpasar Utara maupun ibu hamil yang dirujuk ke Puskesmas I Denpasar
Utara dari Bidan Praktik, Dokter Praktik, atau Klinik swasta, dari Polindes,
Pustu untuk melakukan pemeriksaan HIV akan melakukan registrasi
pendaftaran di loket dan nantinya akan di kirim ke poli KIA di Puskesmas I
Denpasar Utara untuk mendapatkan pelayanan ANC terpadu yaitu meliputi
anamnese dan pemeriksaan 10 T pelayanan kebidanan dalam ANC.
Pemeriksaan tersebut meliputi : mengukur tinggi dan berat badan, ukur
tensi, status gizi (LILA), mengukur TFU, menghitung DJJ, skrining status
TT, pemberian tablet FE, Tes lab, tatalaksana kasus dan temu wicara. Pada
saat mendapatkan pelayanan ANC terpadu tersebut, bidanm enawarkan tes
HIV bersamaan dengan tes laboratorium rutin lainnya meliputi Hb, Sifilis,
Hepatitis B, glukosa Urine dan protein urin dilakukan yang dilakukan oleh
petugas laboratorium. Apabila pasien tidak setuju, maka akan ditawarkan

23
kembali saat kunjungan ulang ANC dan apabila pasien tetap menolak pada
kunjungan selanjutnya maka akan diberikan pengenalan KTS. Sedangkan
apabila pasien setuju maka akan arahkan ke laboratorium untuk melakukan
tes HIV bersamaan dengan tes laboratorium lainnya. Apabila hasilnya
negatif maka akan dilakukan konseling setelah tes, sedangkan apabila
hasilnya positif maka ibu hamil akan rujuk ke klinik VCT Puskesmas 1
Denpasar Utara untuk ditandaklanjuti oleh konselor. Bidan sebagai tenaga
kesehatan memiliki peran sebagai pelaksana program PITC atau provider
iniciative test and counselling dalam penapisan dan deteksi dini HIV-AIDS
pada ibu hamil. Dalam permeriksaan HIV-AIDS ini, Bidan menganjurkan
ibu hamil yang datang ANC pada kunjungan awal dan bagi ibu hamil yang
belum pernah melakukan pemeriksaan laboratorium lengkap.

Ibu

Bidan/dokter/klin Polindes/Po Pasien datang


k praktek swasta skesdes/Pus sendiri
tu

Pelayanan ANC Terpadu: Loket


1. Anamnesa
2. Pemeriksaan : Poli KIA
 Tinggi dan berat badan
 Ukur tensi
 Status gizi (LILA) Kunjungan antenatal
 TFU
 DJJ Penawaran Tes HIV bersamaan
 Status TT dengan laboraturium rutin lainnya
 Tablet Fe (TIPK)
 Tes Lab : Hb, Golda,
Protein Urin, HIV Setuju Tidak Setuju
 Tatalaksana kasus
 Temuwicara Rujuk ke Tawarkan
Lab kembali saat
kunjungan
Test HIV
ulang ANC
Tetap menolak
HIV HIV
Positif Negatif Perkenalkan KTS
Rujuk ke ruang VCT Konseling setelah tes
Puskesmas I
Denpasar Utara
24
2. VCT (Voluntary Counselling Test)
Pasien yang memiliki inisiatif dan ingin melakukan pemeriksaan
HIV-AIDS dan IMS, datang langsung ke loket pendaftaran untuk
mendaftarkan diri, kemudian dari loket akan ditentukan terlebih dahulu
pasien tersebut akan masuk ke poli umum, poli gigi, poli anak, poli KIA,
Poli KB, KTR, atau pun ruang TB sesuai dengan keluhan pasien. Jika tujuan
pasien ke poli KB maka bidan dan tenaga kesehatan yang bertugas di poli
KB akan melakukan pemeriksaan yang diperlukan dan akan melakukan
rujukan internal ke ruang konseling VCT untuk mendapatkan informasi
mengenai tes HIV-AIDS oleh konselor. Ada pun pasien yang memang
datang dengan sukarela untuk melakukan konseling dan tes HIV tanpa ada
keluhan datang langsung ke loket untuk mendaftarkan diri dan kemudian
langsung menuju ke ruang VCT. Setelah itu pasien di ruang VCT akan
diberikan konseling pra tes, kemudian tes HIV dan konseling pasca tes.

MASYARAKAT

KADER

LOKET

POLI
UMUM, GIGI, ANAK,
KIA, KB, KTR, TB

P
RUANG KONSELING
U
(VCT)
L
A
N LAB TEST
G

HASIL

25
Hasil Kegiatan VCT Angsoka Puskesmas I Denpasar Utara Januari –
Desember 2018
Sasaran VCT PITC Non Reaktif Reaktif
Ibu Hamil 0 1196 1193 3
TBC 0 18 16 2
IMS 53 0 53 0
LSL 584 0 489 95
Waria 20 0 19 1
WPS 145 0 142 3
Pelanggan PS 37 0 34 3
Pasangan 383 0 369 14
Resti
Jumlah 1222 1214 2315 121

B. Pencatatan dan Pelaporan


1. Pencatatan
Infeksi HIV merupakan penyakit kronis yang memerlukan
pengobatan ARV secara teratur dan seumur hidup. Pemantauan penyakit
kronis seperti infeksi HIV berbeda dengan pemantauan penyakit-penyakit
yang bersifat akut. Data pasien dengan infeksi HIV harus terdokumentasi
secara akurat dan lengkap. Puskesmas dan klinik layanan ARV perlu
memiliki perangkat alat pencatatan standar. Semua formulir pencatatan HIV
dan IMS merupakan bagian rekam medis. Formulir pencatatan yang terkait
dengan layanan HIV dan IMS tertera pada tabel di bawah ini.

NO JENIS PELAYANAN JENIS FORMULIR PENCATATAN


1 Layanan Konseling dan Tes Formulir KT
HIV
2 LAYANAN IMS FORMULIR IMS

26
3 Layanan Perawatan 1) Ikhtisar perawatan HIV dan
Dukungan Dan Pengobatan perawatan terapi antiretroviral
(PDP) (ART)
2) Register pra ART
3) Register ART
6 Layanan PPIA Formulir PPIA

Pada program penanggulangan HIV dan IMS terdapat berbagai rekam


medis standar program antara lain layanan tes HIV, layanan IMS, layanan
PDP dan layanan PPIA.
2. Pelaporan
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan pelaporan yang telah
ditentukan sesuai standar nasional.
Formulir Pelaporan terkait Program HIV dan IMS
NO JENIS LAYANAN JENIS PELAPORAN
1 Layanan Konseling dan Tes HIV Laporan Bulanan Layanan
Konseling dan Tes HIV serta
SIHA
2 Layanan IMS Laporan Bulanan Layanan IMS
dan SIHA
3 Layanan Perawatan Dukungan 1) Laporan Bulanan Perawatan
Dan Pengobatan (PDP) HIV dan ART (LBPHA)
2) Laporan Kohort
3) Laporan TB HIV
4) SIHA
6 Layanan PPIA Laporan Bulanan Layanan PPIA

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilihat dari tinjauan kasus yang ada di Puskesmas I Denpasar Utara yang
telah dipaparkan pada BAB III, sudah terlihat bagaimana alur pelayanan pada
pasien ODHA yang dilakukan berdasarkan inisatif dari tenaga kesehatan PITC
maupun pemeriksaan HIV-AIDS dan IMS berdasarkan keinginan dari pasien itu
sendiri atau VCT. Mulai dari ibu hamil datang ke ruang KIA kemudian ibu
ditawarkan test HIV bersamaan dengan laboratorium rutin lainnya (TIPK). Bila ibu
bersedia dilakukan test ibu akan diarahkan ke laboratorium untuk pemeriksaan
darah lengkap sedangkan jika ibu tidak bersedia mengikuti test ibu akan ditawarkan
kembali saat kunjungan ulang ANC, jika ibu masih menolak untuk di test , ibu akan
diperkenalkan dengan KTS (konseling tes sukarela) oleh konselor.
Pada pasien yang memiliki inisiatif dan ingin melakukan pemeriksaan HIV-
AIDS dan IMS atau VCT maka pasien yang sudah mendaftarkan diri di loket akan
langsung diarahkan ke ruang VCT untuk mendapatkan informasi mengenai tes
HIV-AIDS dan akan dilakukan konseling pra tes dimana akan dilakukan informed
consent tentang tindakan yang akan dilakukan dan biaya administrasi yang
diperlukan dalam tes tersebut serta konseling sesuai kebutuhan pasien. Setelah itu
pasien akan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuktes HIV, dan setelah
mendapatkan hasilnya maka pasien akan kembali ke ruang konseling untuk
dikalukan konseling setelah tes atau konseling pasca tes. Jika hasil pemeriksaan
menunjukan positif akan diberikan konseling pasca test dan dilakukan rujukan ke
fasilitas yang lebih tinggi untuk mendapatkan ARV dan pemeriksaan lebih lengkap.
Jika hasil test negative ibu tetap akan diberi konseling pasca test. Hal tersebut sudah
sesuai dengan konsep alur pelayanan pada pasien ODHA agar mendapatkan terapi
ARV segera bila diketahui hasil tes positif.
Puskemas I Denpasar Utara juga menerapkan pelayanan VCT. Kegiatan
VCT dalam pelayanan dilakukan secara sukarela atas dasar persetujuan dari klien
itu sendiri. Jadi secara keseluruhan Puskesmas I Denpasar Utara sudah menerapkan
pelayanan VCT dan PITC dengan baik dan sudah sesuai standar yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah.

28
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Alur pelayanan pada pasien ODHA yang dilakukan di Puskesmas I
Denpasar Utara dilakukan berdasarkan inisatif dari tenaga kesehatan PITC
maupun pemeriksaan HIV-AIDS dan IMS berdasarkan keinginan dari pasien
itu sediri atau VCT.
Jika hasil pemeriksaan menunjukan positif akan diberikan konseling
pasca test dan dilakukan rujukan ke fasilitas yang lebih tinggi utuk mendapatkan
ARV dan pemeriksaan lebih lengkap. jika hasil test negative ibu tetap akan
diberi konseling pasca test. Hal tersebut sudah sesuai dengan konsep alur
pelayanan pada pasien ODHA agar mendapatkan terapi ARV segera bila
diketahui hasil test positif. PITC (Provider Iniciative Test and Counceling) yaitu
pelayanan konseling yang diberikan pada klien dengan inisiatif dari provider itu
sediri, jadi provider terus menawarkan klien untuk setuju melakukan test HIV.
Jadi secara keseluruhan Puskesmas I Denpasar Utara sudah menerapkan
pelayanan VCT dan PITC dengan baik dan sudah sesuai standar yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah.
B. Saran
Pelayanan VCT dan PITC di puskesmas sangat penting untuk penapisan
dan deteksi dini kejadian HIV-AIDS dan IMS pada masyarakat terutama pada
ibu hamil dan wanita yang beresiko mengalami HIV-AIDS. Dengan adanya
laporan ini diharapkan bisa menambah wawasan bagi para pembaca dan bagi
tenaga kesehatan diharapkan dapat kualitas pelayanan VCT dan PITC dalam
penapisan dan deteksi dini HIV-AIDS.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adler MW, 1993. Peunjuk Penting AIDS edisi 3. Jakarta : EGC pp. 1-92
Adhiyanti, Yulrina.dkk. 2015. Bahan Ajar AIDS Pada Asuhan Kebidanan.
Jakarta: Budi Utama.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD,
2005. Obstetri. Williams edisi 21 vol I, Jakarta : EGC.
Daili, 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP. pp. 932-933
Depkes RI, 2004. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV (Voluntary
Counselling and Testing = VCT). Jakarta.
Departemen Kesehatan R.I. 2018. Hari AIDS Sedunia Moment STOP Peularan
HIV. http://www.depkes.go.id/article/view/18120300001/hari-aids-
sedunia-momen-stop-penularan-hiv-saya-berani-saya-sehat-.html (diakses
tanggal 5 Mei 2019)
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Pedoman Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan
Hepatitis B dari Ibu ke Anak.
Nelso; Berhrman; Klegman&Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. .
Jakarta: EGC.
Nursalam, dkk. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.
Jakarta:Salemba Medika.

30

Anda mungkin juga menyukai