Anda di halaman 1dari 36

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian

2.1.1 Tekanan Darah

Tekanan darah ( BP= blood pressure ) yang dinyatakan dalam milimeter

(mm) merkuri (Hg) adalah besarnya tekanan yang dilakukan oleh darah pada

dinding arteri (McGowan, 2001). Desakan darah tersebut dipompa dari jantung ke

jaringan. Tekanan darah mirip dengan tekanan dari air (darah) di dalam pipa air

(arteri). Makin kuat aliran yang keluar dari keran (Jantung) makin besar tekanan

dari air terhadap dinding pipa. Jika pipa tertekuk atau mengecil diameternya

(seperti pada aterosklerosis), maka tekanan akan sangat meningkat (Hull, 1993).

Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih

tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), dan angka yang lebih

rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik) (Ruhyanudin, 2007).

Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah yang terjadi ketika otot jantung

berdenyut memompa darah sehingga darah terdorong ke luar dari jantung menuju

seluruh tubuh. Sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah saat darah

memasuki jantung (Widharto, 2009). Tekanan darah ditulis sebagai tekanan

sistolik garis miring tekanan diastolik, misalnya 120/80 mmHg dibaca seratus dua

puluh per delapan puluh (Ruhyanudin, 2007).

Tekanan darah sangat bervariasi tergantung pada keadaan. Tekanan darah

akan meningkat saat aktivitas fisik, emosi, dan stres (Gray dkk, 2003). Hal ini

berubah-ubah sepanjang hari dan setelah situasi tersebut berlalu, tekanan darah

Universitas Sumatera Utara


akan kembali menjadi normal (Hull, 1993). Tekanan darah biasanya paling tinggi

pada waktu pagi hari dan berkurang pada waktu malam hari, mencapai titik

terendah saat dini hari dan selama tidur (Ruhyanudin, 2007; Semple, 1992).

Pengukuran tekanan darah biasanya dilakukan secara tidak langsung dengan

sphygmomanometer air raksa atau alat noninvasif lainnya pada posisi duduk atau

telentang (Joewono, 2003). Saat melakukan pengukuran tekanan darah, dokter

atau perawat menggunakan alat bantu berupa stetoskop. Alat ini digunakan untuk

mendengar detak jantung melalui denyut nadi, umumnya nadi daerah lengan atas

(Widharto, 2009). Pengukuran tekanan darah, dilakukan minimal 2 kali setiap

kesempatan dalam jarak waktu cukup lama yaitu 5-10 menit, dengan tidak ada

perbedaan hasil pada kedua lengan. Jika terdapat perbedaan, lengan yang

mempunyai angka yang lebih tinggi digunakan sebagai patokan untuk pengukuran

berikutnya (Gray dkk, 2003).

Terdapat dua macam kelainan tekanan darah, antara lain dikenal sebagai

hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah. Pada

umumnya yang lebih banyak dihubungkan dengan kelainan tekanan darah adalah

hipertensi, sedangkan hipotensi sering kali dihubungkan dengan kasus syok

(Masud, 1989).

2.1.2 Pre Hipertensi

Menurut kriteria the seventh report of the joint national committe on

detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC VII), Tekanan

darah terdiri dari tekanan darah normal yaitu kurang dari 120/80 mmHg, pre

hipertensi berada pada interval 120-139 / 80-89 mmHg, dan hipertensi jika
tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (Depkes, 2013). Prehipertensi dan

hipertensi berhubungan dengan berbagai komplikasi pada hampir seluruh organ,

tetapi sering diabaikan oleh dewasa muda di daerah pedesaan (Widjaja dkk,

2013).

Pre hipertensi adalah tekanan darah jika angka sistolik antara 120 sampai

139 mmHg atau angka diastolik berada antara 80 sampai 89 mmHg (Sheps, 2005).

Pre hipertensi bukan kategori penyakit. Justru pre hipertensi adalah sebutan yang

dipilih untuk mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi terkena hipertensi.

Penderita pre hipertensi beresiko untuk terkena hipertensi lebih besar. Misalnya

orang yang masuk kategori pre hipertensi dengan tekanan darah antara 130/80

mmHg – 139/89 mmHg mempunyai kemungkinan dua kali lipat untuk mendapat

hipertensi dibandingkan dengan yang mempunyai tekanan darah lebih rendah

(Kaplan dan Joseph, 2006).

Tekanan darah pada orang dewasa populasi Amerika Serikat, jumlah orang

dengan prehipertensi bahkan lebih besar dibandingkan dengan hipertensi. Dimana

jumlah orang dengan prehipertensi yaitu sebesar 31% (atau 63 juta) sedangkan

orang dengan hipertensi yaitu sebesar 29% dari populasi orang dewasa (Kaplan

dan Joseph, 2006).

Apabila seseorang termasuk dalam pre hipertensi, belum dianjurkan untuk

meminum obat melainkan dianjurkan untuk melakukan penyesuaian pola hidup

yang dirancang untuk menurunkan tekanan darah menjadi normal atau

mengurangi resiko terkena hipertensi dimasa yang akan datang. Karena hipertensi
merupakan peningkatan dari pre hipertensi yang lebih berat dan berbahaya (WHO,

2013).

Setiap peningkatan tekanan darah dengan 20/10 mmHg pada orang dewasa,

dapat meningkatkan 2 kali lipat risiko terkena serangan jantung dan stroke.

Tekanan darah tinggi meningkatkan risiko terhadap serangan jantung, stroke,

coronary heart disease (Penyakit jantung koroner atau penyakit yang terjadi

apabila arteri koroner yang memberi suplai darah dan oksigen kepada otot jantung

mengalami pengerasan dan penyempitan akibat endapan lemak yang menumpuk

di dinding dalamnya), gagal jantung dan juga gagal ginjal (Kaplan dan Joseph,

2006).

2.1.3 Hipertensi

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan

tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan

(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Triyanto, 2014). Sedangkan

menurut Joint National Commite on Detection, Evaluation and Treatment of High

Blood Pressure (JNC VII) hipertensi didefinisikan sebagai tekanan yang lebih

tinggi atau sama dengan 140/90 mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat

keparahannya (Ruhyanudin, 2007).

Menurut Komisi Pakar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang

Pengendalian Hipertensi menjelaskan bahwa hipertensi merupakan gangguan

pembuluh darah jantung (kardiovaskular) paling umum yang merupakan

tantangan kesehatan utama masyarakat yang sedang mengalami perubahan

sosioekonomi dan epidemiologi. Dalam laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO),


hipertensi merupakan salah satu faktor utama risiko kematian karena gangguan

kardiovaskuler yang mengakibatkan 20-50% dari seluruh kematian.

Hipertensi merupakan penyakit kronik degeneratif yang banyak dijumpai

dalam praktek klinik sehari-hari (Simadibrata dkk, 2003). Penyakit hipertensi

salah satu faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap penyakit jantung dan

pembuluh darah. Namun sering sekali penyakit hipertensi ini tidak menunjukkan

gejala, sehingga baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ seperti

gangguan fungsi jantung atau stroke. Hipertensi yang juga disebut sebagai silent

killer ini adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat

secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras

memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh

(Kemenkes, 2014; Triyanto, 2014).

Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa

cara: (Ruhyanudin, 2007)

1. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan

pada setiap detiknya.

2. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga

tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui

arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa

untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan

menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut,

dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena

atherosklerosis.
3. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya

tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal

sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam

tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah

juga meningkat.

2.2. Klasifikasi Hipertensi

2.2.1 Berdasarkan Etiologi

Menurut Smeltzer dan Bare (2000), klasifikasi hipertensi berdasarkan

etiologi dibagi menjadi 2, yaitu : (Triyanto, 2014)

a. Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial)

Hipertensi esensial atau hipertensi primer adalah hipertensi yang

penyebabnya masih belum dapat diketahui. Terjadi pada sekitar 90% penderita

hipertensi. Hipertensi esensial kemungkinan disebabkan oleh beberapa perubahan

pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan

meningkatnya tekanan darah (Triyanto, 2014; Ruhyanudin, 2007).

Selama 75 tahun terakhir telah banyak penelitian untuk mencari etiologinya.

Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vascular sehingga

tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vascular perifer

bertambah, atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan

penyebab hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai

kondisi klinis biasanya diketahui beberapa tahun setelah kecenderungan ke arah

sana di mulai (Gray dkk, 2003).


Pada hipertensi yang baru mulai curah jantung biasanya sedikit meningkat

dan resistensi perifer normal. Pada tahap hipertensi lanjut, curah jantung

cenderung menurun dan resistensi perifer meningkat. Adanya hipertensi juga

menyebabkan penebalan dinding arteri dan arteriol. Banyaknya faktor yang

mempengaruhi dan mungkin berbeda antar individu menyebabkan penelitian

etiologinya semakin sulit (Gray dkk, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi

tersebut seperti umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik atau keturunan serta faktor

lingkungan yang meliputi obesitas, stres, konsumsi garam berlebih dan

sebagainya (Depkes, 2007).

b. Hipertensi Sekunder (Hipertensi non Esensial)

Hipertensi sekunder adalah jika penyebab diketahui. Pada sekitar 5-10%

penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,

penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya

pil KB) (Kemenkes, 2014; Ruhyanudin, 2007). Sekitar 5% prevalensi hipertensi

telah diketahui penyebabnya, dan dapat dikelompokkan seperti di bawah ini :

(Gray dkk, 2003)

b.1 Penyakit parenkim ginjal (3%). Setiap penyebab gagal ginjal

(glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) akan

menyebabkan kerusakan parenkim akan cenderung menimbulkan

hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan

ginjal.

b.2. Penyakit renovaskular (1%). Terdiri atas penyakit yang menyebabkan

gangguan pasokan darah ginjal dan secara umum dibagi atas


aterosklerosis, yang terutama mempengaruhi sepertiga bagian

proksimal arteri renalis dan paling sering terjadi pada pasien usia lanjut,

dan fibrodisplasia yang terutama mempengaruhi 2/3 bagian distal.

b.3. Endokrin (1%). Pertimbangan aldosteronisme primer (sindrom Conn)

jika terdapat hipokelemia bersama hipertensi. Tingginya kadar

aldosteron dan rennin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan

(overload) natrium dan air.

2.2.2 Berdasarkan Tinggi Rendahnya TDS dan TDD

Berdasarkan tingginya diastolik, hipertensi dikategorikan ringan apabila

tekanan diastoliknya antara 95-104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan

diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan

diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan

tekanan diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik (Padila,

2013; Irianto, 2014).

Sedangkan berdasarkan tingginya tekanan sistolik, The Seven Of The Joint

National Comitte on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High

Blood Pressure ( JNC 7) tahun 2003, membagi hipertensi sebagai berikut :

a. Normal bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan diastolik <80

mmHg,

b. Prehipertensi bila tekanan darah sistolik 120 – 139 mmHg dan/atau

diastolik 80 – 89 mmHg,

c. Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140 – 159 mmHg dan

diastolik 90 – 99 mmHg
d. Hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan

diastolik ≥ 100 mmHg.

Bila tekanan darah penderita hipertensi berbeda dengan klasifikasi, sebagai

contoh TDS 170 mmHg sedangkan TDD 90 mmHg maka derajat hipertensi

ditentukan dari tekanan sistolik (TDS) karena merupakan tekanan yang terjadi

ketika jantung berkontraksi memompakan darah (Irianto, 2014).

2.2.3 Berdasarkan Jenis Kelamin

Kaplan (1985) memberikan batasan hipertensi dengan memperhatikan usia

dan jenis kelamin sebagai berikut : (Udjianti, 2011)

a. Laki-laki, usia ≤ 45 tahun di katakan hipertensi apabila tekanan darah ≥

130/90 mmHg,

b. Laki-laki, usia > 45 tahun di katakan hipertensi apabila tekanan darah ≥

145/95 mmHg,

c. Perempuan, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah ≥ 160/95

mmHg.

2.3 Gejala Klinis

Tekanan darah tinggi seringkali tidak menimbulkan keluhan-keluhan

langsung, tetapi lama-kelamaan dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Tidak

ada tanda-tanda yang memperingatkan, namun lambat laun urat-urat nadi baik

besar maupun kecil dalam tubuh menjadi rusak (Dekker, 1996). Hanya kurang

dari sepersepuluh penderita tekanan darah tinggi yang menunjukkan adanya gejala

dan itu terjadi jika tekanan darah sangat tinggi (Semple, 1992). Hal ini lah yang

membuat hipertensi juga sering disebut sebagai “silent killer”, karena seringkali
penderita hipertensi bertahun-tahun tanpa merasakan sesuatu atau gejala

(Triyanto, 2014).

Menurut Edward K Cung (1995), tidak ada gejala spesifik yang dapat

dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri

oleh dokter yang memeriksa (Padila, 2013). Namun secara umum gejala yang

dikeluhkan oleh penderita hipertensi yaitu kegelisahan, jantung berdebar-debar,

pening, nyeri dada, sakit kepala, depresi dan lesuh (Wolff, 1984).

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala

berikut yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah,

pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata,

jantung, dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan

kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan di otak (Ruhyanudin,

2007).

2.4 Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit hipertensi dapat timbul komplikasi somatik

berupa gangguan jantung, gangguan peredaran serebral dan perifer, dan gangguan

ginjal. Namun sering kali dianggap sebagai gejala awal penyakit pada saat pasien

pertama kali ke dokter, padahal sebenarnya merupakan gejala komplikasi

hipertensi (Sudoyo dkk, 2010).

Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka dalam

jangka panjang akan terjadi komplikasi serius pada organ-organ sebagai berikut,

yaitu:
a. Jantung

Pengaruh tekanan darah tinggi, proses penumpukan zat-zat lemak di dalam

urat-urat nadi besar makin cepat. Hal itu mengakibatkan pengapuran pembuluh

darah (arteriosclerosis) (Dekker, 1996).

Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan

penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, otot jantung bekerja lebih

keras dari biasanya karena arteri menyempit akibat mengapurnya dinding

pembuluh darah. Ketika otot jantung bekerja lebih keras, otot jantung tidak

mendapat pasokan darah dan oksigen yang cukup. Keadaan ini membuat rasa

sakit di dada yang biasa disebut dengan angina atau miokardinal iskemia. Jika

arteri koronaria menyempit dan kemudian darah menggumpal, otot jantung yang

langsung berhubungan dengan arteri ini menjadi mati. Keadaan ini disebut

serangan jantung (Widharto, 2009).

b. Otak

Tekanan darah tinggi dapat membawa perubahan pada jaringan pembuluh

nadi yang ada pada otak sehingga mengakibatkan serangan pada orak (attack).

Serangan ini dapat menimbulkan kelumpuhan atau gangguan-gangguan organ

tubuh (stroke) (Dekker, 1996).

Penelitian yang dilakukan selama 35 tahun dalam Framingham Heart Study

menunjukkan bahwa 56% stroke pada pria dan 66% stroke pada wanita

berhubungan langsung dengan hipertensi. Namun, bila hipertensi tersebut diobati,

risikonya turun 42% dalam 5 tahun (Sheps, 2005).


Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan dua jenis stroke, yaitu stroke

iskemik dan stroke haemoragik. Stroke iskemik merupakan stroke yang paling

sering terjadi, meliputi 70-80% dari semua kejadian stroke. Stroke ini terjadi

karena penyumbatan pembuluh darah akibat menumpuknya plak dalam arteri.

Plak tersebut kemudian membentuk gumpalan dan lokasinya menetap dalam

arteri-arteri antara jantung dan otak. Stroke haemoragik, kejadiannya meliputi 20-

30 % dari semua kejadian stroke. Stroke ini terjadi jika pembuluh darah bocor

atau pecah dalam otak. Penyebab utamanya adalah tekanan darah tinggi yang

persisten. Hal ini menyebabkan darah meresap ke ruang di antara sel-sel otak.

Walaupun stroke hemoragik tidak sesering stroke iskemik, namun komplikasinya

dapat menjadi lebih serius (Sheps, 2005).

c. Ginjal

Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah

menuju ginjal. Penyumbatan ini berakibat pada fungsi ginjal yaitu sebagai

penyaring darah terganggu. Ginjal berfungsi menyaring kotoran-kotoran yang

terbawa oleh aliran darah. Gangguan pada ginjal mengakibatkan kotoran-kotoran

ini tidak tersaring sehingga darah yang penuh kotoran ini beredar ke seluruh

tubuh. Lama kelamaan produk sisa akan menumpuk dalam darah, ginjal akan

mengecil dan berhenti fungsi, keadaan ini disebut gagal ginjal (Widharto, 2009;

Sheps, 2005).

d. Mata

Tekanan darah tinggi dapat mempersempit atau menyumbat arteri di mata,

sehingga mengganggu aliran darah di dalam vena (Sheps, 2005). Mata akan lebih
banyak terkena resiko. Daya penglihatan terganggu karena kerusakan pada

pembuluh selaput mata (Dekker, 1996). Pada keadaan berat, saraf yang membawa

sinyal-sinyal dari mata ke otak (saraf optik) akan mulai membengkak. Hal ini

dapat menyebabkan kebutaan (Sheps, 2005).

2.5 Epidemiologi Hipertensi

2.5.1 Distribusi dan Frekuensi Hipertensi

a. Orang

Pada populasi umum kejadian tekanan darah tinggi tidak terdistribusi secara

merata. Hingga usia 55 tahun lebih banyak ditemukan pada pria. Namun setelah

terjadi menopause (biasanya setelah usia 50 tahun), tekanan darah pada wanita

meningkat terus, hingga usia 75 tahun tekanan darah tinggi lebih banyak

ditemukan pada wanita daripada pria (Bustan, 2007).

Dalam Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi,

penderita hipertensi umumnya terjadi pada manusia yang berusia setengah umur

(Iebih dari 40 tahun). Namun banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya

menderita hipertensi. Hal ini disebabkan gejalanya tidak nyata dan pada stadium

awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatannya. Boedi

Darmoyo dalam penelitiannya menemukan bahwa antara 1,8% -28,6% penduduk

dewasa adalah penderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di seluruh dunia

diperkirakan antara 15-20%. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini

lebih banyak menyerang pria daripada wanita (Depkes, 2006).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013

menunjukan prevalensi hipertensi pada penduduk umur > 18 tahun ke atas secara
nasional mencapai 25,8%. Berdasarkan kelompok umur yang paling tinggi

terdapat pada kelompok umur diatas 75 tahun yaitu 63,8% dan pada kelompok

umur 65-74 tahun yaitu 57,6%. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi hipertensi

pada laki-laki sebesar 22,8% dan pada perempuan 28,8% (Depkes, 2013).

b. Tempat

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) Balitbangkes tahun 2013 menurut provinsi, Prevalensi hipertensi di

Provinsi Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat

(29,4%), Gorontalo (29,0%), Sulawesi Tengah (28,7%), Kalimantan Barat

(28,3%), Sulawesi Selatan (28,1%), Sulawesi Utara (27,1%), Kalimantan Tengah

(26,7%), Jawa Tengah (26,4%), Jawa Timur (26,2%) dan Sumatera Selatan

(26,1%), merupakan provinsi yang mempunyai prevalensi hipertensi lebih tinggi

dari angka nasional (25,8%) (Depkes, 2013).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, pada analisis hasil

pengukuran tekanan darah penduduk umur > 18 tahun menunjukkan penderita

hipertensi yang bertempat tinggal di Perkotaan (26,1%) dan di Pedesaan (25,%1).

Sedangkan pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC

VII 2003 didapatkan prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan

perempuan 4,7%), perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%) (Depkes,

2013).

Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai lebih rentan terhadap

penyakit hipertensi karena tingkat mengonsumsi garam lebih tinggi dibandingkan


daerah pegunungan yang lebih banyak mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-

buahan.

c. Waktu

Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%

penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004

(Rahajeng dan Tuminah, 2009). Di Jawa Tengah, berdasarkan laporan rumah sakit

dan puskesmas, proporsi kasus hipertensi dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Dibandingkan dengan jumlah kasus penyakit tidak menular secara

keseluruhan, pada tahun 2004 proporsi kasus hipertensi sebesar 17,34%,

meningkat menjadi 29,35% di tahun 2005. Kemudian pada tahun 2006 mengalami

peningkatan menjadi 39,47% (Sugiharto, 2007).

2.5.2 Faktor Risiko Hipertensi

a. Faktor Risiko Hipertensi Yang Tidak Dapat Diubah

1. Genetika

Faktor genetik berperan penting dalam tekanan darah tinggi. Karena

susunan saraf seseorang menentukan seberapa besar kecenderungannya

untuk menderita tekanan darah tinggi (Mervin, 1995). Pada kasus hipertensi

essensial, didapat sekitar 70-80% kasus hipertensi essensial, yang memiliki

riwayat hipertensi didalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan

pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi esensial lebih besar.

Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu

telur) apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan inilah yang


menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam terjadinya

hipertensi (Hayens et al, 1998).

Dalam laporan WHO, sekitar 20-40% variasi tekanan darah di antara

individu disebabkan oleh faktor genetik. Penelitian menunjukkan bahwa

tekanan darah seorang anak akan lebih mendekati tekanan darah

orangtuanya bila mereka memiliki hubungan darah dibanding dengan anak

adopsi. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya

faktor lingkungan (seperti makanan dan status sosial), berperan besar dalam

menentukan tekanan darah (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Kemungkinan seseorang menderita tekanan darah tinggi lebih kurang

satu berbanding tiga, jika salah satu orang tua menderita tekanan darah

tinggi atau pernah mendapat stroke sebelum usia 70 tahun. Risiko ini

meningkat menjadi tiga berbanding lima jika kedua orang tua

mengalaminya (Semple, 1992).

2. Umur

Usia adalah faktor risiko nomor satu. Lebih dari 60% orang Amerika

yang berusia 65 hingga 74 tahun mengidap tekanan darah tinggi (Hoffman

dkk, 1996). Jumlah individu yang mengalami hipertensi meningkat sejalan

dengan meningkatnya usia (Tierney dkk, 2002).

Tekanan darah cenderung rendah pada bayi dan mulai meningkat pada

masa kanak-kanak. Kemudian akan meningkat lebih nyata selama masa

pertumbuhan dan pematangan fisik di usia remaja (Semple, 1992). Menurut

Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, kejadian


hipertensi paling tinggi pada usia 30-40 tahun (Pusat Pendidikan Tenaga

Kesehatan Departemen Kesehatan, 1993).

3. Jenis Kelamin

Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang adanya perbedaan

tekanan darah antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, mulai pada masa

remaja, pria cenderung menunjukkan aras rata-rata yang lebih tinggi.

Perbedaan ini lebih jelas pada orang dewasa muda dan orang setengah baya

(Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Perubahan normal dan pematangan fisik cenderung lebih nyata pada

laki-laki dari pada wanita terlebih sebelum wanita mengalami masa

menopause (Semple, 1992). Menurut Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan

Departemen Kesehatan, komplikasi hipertensi meningkat pada laki-laki

(Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, 1993).

4. Ras atau Suku Bangsa

Kajian populasi selalu menunjukkan bahwa aras tekanan darah pada

masyarakat kulit hitam lebih tinggi ketimbang aras pada golongan suku

lain. Suku mungkin berpengaruh pada hubungan antara umur dan tekanan

darah, seperti yang ditunjukkan oleh kecenderungan tekanan darah yang

meninggi bersamaan dengan bertambahnya umur secara progresif pada

orang Amerika berkulit hitam keturunan Afrika ketimbang orang Amerika

berkulit putih (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Sementara itu ditemukan variasi antar suku di Indonesia. Di lembah

Baliem Jaya, Papua kejadian hipertensi terendah yaitu 0,6%, sedangkan


yang tertinggi terdapat di Jawa Barat pada suku Suku Sunda yaitu 28,6%

(Bustan, 2007).

5. Status sosioekonomi

Di negara-negara yang berada pada tahap pasca-peralihan perubahan

ekonomi dan epidemiologi selalu dapat ditunjukkan bahwa aras tekanan

darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan

sosioekonomi rendah. Hubungan yang terbalik itu ternyata berkaitan

dengan tingkat pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan. Akan tetapi, dalam

masyarakat yang berada dalam masa peralihan atau pra-peralihan, aras

tinggi tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih tinggi terdapat pada

golongan sosioekonomi yang lebih tinggi (Laporan Komisi Pakar WHO,

2001).

Determinan sosial kesehatan, misalnya pendapatan, pendidikan dan

kondisi di rumah (status pernikahan) berdampak pada faktor-faktor risiko

perilaku sehingga mempengaruhi perkembangan hipertensi. Misalnya,

pengangguran atau takut pengangguran mungkin memiliki dampak pada

tingkat stres yang pada akhirnya akan membuat tekanan darah menjadi

tinggi. Kondisi di rumah dan kondisi di tempat kerja juga dapat

mempengaruhi tekanan darah misalnya pekerjaan yang berat akan

menguras pikiran lebih berat, pertengkaran yang terjadi di rumah atau

kebutuhan ekonomi dalam keluarga yang harus terpenuhi membuat individu

harus berpikir keras juga sehingga kemungkinan meningkatkan tekanan

darah. Sibuk bekerja dan kondisi / suasana yang tidak baik juga dapat
menunda deteksi tepat waktu dan pengobatan karena kurangnya akses ke

diagnosa dan pengobatan. Ditambah lagi dengan urbanisasi yang cenderung

mendorong konsumsi cepat makanan, penggunaan tembakau dan

penggunaan alkohol akhirnya, meningkatkan risiko hipertensi (WHO,

2013).

b. Faktor Risiko Hipertensi Yang Dapat Diubah

1. Obesitas

Anak dan dewasa yang kegemukan menderita lebih banyak hipertensi

dan penambahan berat badan biasanya diikuti oleh kenaikan tekanan darah.

Walaupun kalori tambahan yang bertanggung jawab bagi kenaikan berat

badan, namun dapat menginduksi hipertensi karena ia membawa natrium

tambahan (Kaplan dan Stamler, 1991).

Berdasarkan laporan Komisi Pakar WHO pada kebanyakan kajian,

kelebihan berat badan berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan risiko mendapat

hipertensi. Pada populasi Barat, jumlah kasus hipertensi yang disebabkan

oleh kelebihan berat badan diperkirakan 30-65%. Dari data pengamatan

WHO tahun 1996, regresi multivariat tekanan darah menunjukkan kenaikan

TDS 2-3 mmHg dan TDD 1-3 mmHg utuk setiap kenaikan 10 kg bobot

tubuh (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001). Indeks massa tubuh digunakan

untuk mengukur kadar kegemukan kombinasi atau perbandingan antara

berat badan dan tinggi badan. Perhitungannya adalah sebagai berikut :


2
Dimana dikatakan BB kurang bila IMT < 18,5 kg/m , BB normal bila IMT
2 2
18,5-24,9 kg/m , BB berlebih bila IMT 25-29,9 kg/m , Obes Derajat I bila
2 2
30,0-34,9 IMT kg/m , Obes Derajat II bila 35,0-39,9 kg/m , dan Obes
Derajat III bila IMT > 40,0 kg/m ( MB, 2011).
2

2. Stres

Penelitian tentang faktor psikososial dan faktor sosiokultural hingga

saat ini telah mendapatkan hubungan yang lebih nyata bahwa perubahan

hemodinamik, peningkatan tekanan darah berhubungan dengan faktor

psikososial lain, seperti white coat hypertention. Penelitian di Amerika

Serikat pada orang Negro didapatkan angka hipertensi tinggi, yang

berhubungan dengan adanya rasa permusuhan (hostilitas), rasa tertekan

sebagai akibat diskriminasi dan kemiskinan serta masalah psikososial lain,

yang merupakan model psikosomatik agresi yang tertekan (Sudoyo dkk,

2010).

Stres memang tidak diragukan lagi dapat meningkatkan tekanan darah

dalam jangka pendek dengan cara mengaktifkan bagian otak dan sistem

saraf yang biasanya mengendalikan tekanan darah secara otomatis. Namun

stres sulit untuk diberi batasan atau diukur, karena pristiwa yang

menimbulkan stres pada seseorang belum tentu menimbulkan stres pada

orang lain (Semple, 1992).

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Stres

atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas, berdebar-


debar, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang

kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung

berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan

meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan

penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis.

Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.

Berdasarkan hasil penelitian Hasurungan di Kota Depok (2002) dengan

menggunakan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa OR

hipertensi pada responden yang mengalami stres psikologis jika

dibandingkan dengan yang tidak stres psikologis adalah 2,99 (Hasurungan,

2002).

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengukur tingkat stress

adalah dengan DASS 42. DASS 42 (Depression Anxiety Stress Scale 42)

adalah kuesioner yang terdiri dari 42-item pertanyaan yang mencakup tiga

laporan diri skala dirancang untuk mengukur keadaan emosional negatif dari

depresi, kecemasan dan stres. DASS mempunyai tingkatan discrimant

validity dan mempunyai reliabilitas sebesar 0,91 yang diolah berdasarkan

penilaian Cronbach’s Alpha. Tingkatan stress pada instrumen DASS 42

(lovibond, 1995) dikategorikan menjadi Normal : 0-14, Stres Ringan : 15-

18, Stres Sedang : 19-25, Stres Berat : 26-33, dan Stres Sangat Berat : ≥ 34

(Lovibond & Lovibond, 2003 dalam S.Yessy, 2012)


3. Asupan Garam

Penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium yang

berlebihan dengan tekanan darah tinggi pada beberapa individu. Asupan

natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan, yang

meningkatkan volume darah. Di samping itu, diet tinggi garam dapat

mengecilkan diameter dari arteri. Jantung harus memompa lebih keras untuk

mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang sempit. Akibatnya

adalah hipertensi. Hal ini sebaliknya juga terjadi, ketika asupan natrium

berkurang maka begitu pula volume darah dan tekanan darah pada beberapa

individu (Hull, 1993).

Pada hasil pengamatan di beberapa kelompok kecil yang tersebar di

seluruh dunia yang menjalani cara hidup tradisional, aktif dan suka berburu.

Kelompok-kelompok ini mempunyai tekanan darah yang rendah dan sangat

sedikit meningkat dengan bertambahnya usia. Mereka tidak menggunakan

garam dan makanannya mengandung kadar natrium yang sangat rendah.

Satu dari kelompok ini adalah orang Indian Yanomano di pedalaman hutan

brasilia (Semple, 1992).

Kebutuhan minimal tubuh manusia akan garam hanyalah 69 miligram

per hari. Petunjuk diet rendah garam dari Amerika menyarankan untuk

orang normal membatasi jumlah konsumsi garam per hari tidak melebihi

2.300 miligram per hari. Sedangkan untuk usia 51 tahun keatas atau

mempunyai penyakit seperti tekanan darah tinggi, penyakit ginjal, atau

diabetes, maka dibatasi tidak melebihi 1.500 miligram per hari. Sebagai
gambaran, 1 sendok teh garam dapur setara dengan 2.300 miligram natrium

(Irawati, 2013).

Garam bukanlah satu-satunya sumber natrium yang masuk ke dalam

aliran darah, walaupun kandungan natrium dalam garam dapur cukup tinggi

yaitu 40%. Mono Sodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan merk

dagang vetsin juga merupakan sumber natrium. Konsumsi MSG yang

berlebihan juga berdampak pada penaikan tekanan darah (Widharto, 2009).

Berikut ini adalah daftar makanan yang termasuk memiliki kandungan

natrium yang tinggi : (Irawati, 2013 ; Almatsier, 2010)

a. Garam dapur: 1 sendok teh garam dapur mengandung 2300 mg Na

b. Kaldu bubuk atau kaldu blok: 5 gram atau 1 blok kaldu

mengandung 1200 mg natrium.

c. 1 Lembar daging burger mengandung 416 mg natrium

d. Mie instan: dalam 1 bungkus mie instan terdapat 1140 mg natrium.

e. 1 butir telur ayam terdapat 50,56 mg Natrium dan 1 butir telur

bebek terdapat 95,5 mg natrium

f. 1 sdm kecap asin terdapat 1024 mg natrium, 1 sdm kecap manis

terdapat 558 mg natrium dan 1 sdm saos terdapat 690 mg natrium.

Dalam memudahkan penggunaan bahan makanan, daftar makanan

dinyatakan dengan alat ukur yang lazim terdapat di rumah tangga

(disingkat urt). Cara ini terbukti cukup teliti dan praktis dalam

penyusumam diet. Dibawah ini dicantumkan persamaan antara ukuran

rumah tangga dengan gram : (Almatsier, 2010)


1 ptg sdg ikan asin (6x5 cm) = 12,5 gram

1 sdm gula pasir = 8 gram

1 sdm minyak goreng, margarin = 10 gram

1 sdm = 3 sdt = 10 ml

1 gls = 24 sdm = 240 ml

1 ckr = 1 gls = 240 ml

Ket : sdm = Sendok makan gls = gelas


ptg = Potong ckr = cangkir

4. Aktivitas Fisik

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena

olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan

menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas

pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan

kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah

akan memudahkan timbulnya hipertensi. Kurangnya aktivitas fisik

meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko

kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai

frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus

bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot

jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.

(Sheps, 2005)

Aktitivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi risiko

terhadap penyakit seperti cardiovaskuler disease (CVD), stroke, diabetes


mellitus, dan kanker kolon. Selain itu juga memberikan efek positif terhadap

penyakit seperti kanker payudara, hipertensi, osteoporosis, dan risiko jatuh.

Makin besar intensitas latihan, makin besar pula efek latihan tersebut.

Intensitas latihan jasmani sebaiknya 60-80% dari kapasitas aerobik yang

maksimal. Olahraga atau aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur setiap

hari atau 3 kali seminggu minimal 30 menit setiap berolahraga. (Fatmah dan

Ruhayati, 2011)

Metode yang sering digunakan untuk mengukur aktivitas fisik

seseorang dalam suatu penelitian instrumen adalah recall dan pemberian

kuesioner. Metode tersebut sering digunakan karena murah dan lebih cepat.

Namun, Keragaman dalam ukuran tubuh, komposisi tubuh dan aktivitas

fisik kebiasaan di antara populasi orang dewasa dengan latar belakang

geografis, budaya dan ekonomi yang berbeda membuat aktivitas fisik sulit

untuk diukur sehingga untuk menjelaskan perbedaan dalam aktivitas fisik,

FAO memperkirakan melalui perhitungan faktorial yang dikombinasikan

antara waktu yang dialokasikan untuk kegiatan kebiasaan dan besar energi

kegiatan-kegiatan. Sekaligus untuk menjelaskan perbedaan ukuran tubuh

dan komposisi baik pria maupun wanita, besar energi kegiatan dihitung

sebagai kelipatan BMR per menit juga disebut sebagai rasio aktivitas fisik

(PAR), dan kebutuhan energi 24 jam adalah dinyatakan sebagai kelipatan

dari BMR per 24 jam dengan menggunakan nilai PAL (James dan Schofield

dalam FAO, 2001). Berikut ini tabel estimasi standar faktorial dari total

pengeluaran energi berdasarkan FAO, 2001 :


Tabel 2.1 Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi
Waktu/ Physical
No Jenis Kegiatan Durasi Activity Total
(Jam) Ratio/ satuan (PAL)
waktu
Gaya Hidup atau Aktivitas Ringan
1 Tidur 8 1,0 8,0
2 Perawatan Pribadi (Berpakaian, 1 2,3 2,3
mandi)
3 Makan 1 1,5 1,5
4 Memasak 1 2,1 2,1
5 Duduk (Pekerjaan kantor, menjual 8 1,5 12,0
produk, cenderung berbelanja)
6 Pekerjaan rumah tangga umum 1 2,8 2,8
7. Mengendarai mobil dari/ke kerja 1 2,0 2,0
8. Berjalan tanpa beban 1 3,2 3,2
9. Kegiatan ( menonton tv, 2 1,4 2,8
mengobrol)
Total 24 36,7/24= 1,53
Gaya hidup aktif atau cukup aktif
1. Tidur 8 1,0 8,0
2. Perawatan Pribadi (Berpakaian, 1 2,3 2,3
mandi)
3. Berdiri, membawa beban ringan 8 2,2 17,6
(menunggu di meja, mengatur
barang dagangan)
4. Berangkat ke/dari kerja dengan 1 1,2 1,2
bus
5. Berjalan tanpa beban 1 3,2 3,2
6. Intensitas rendah latihan aerobik 1 4,2 4,2
7. Kegiatan (menonton tv, 3 1,4 4,2
mengobrol)
Total 24 42,2/24=1,76
Gaya hidup yang berat atau aktif
1. Tidur 8 1,0 8,0
2. Perawatan Pribadi (Berpakaian, 1 2,3 2,3
mandi)
3. Makan 1 1,4 1,4
4. Memasak 1 2,1 2,1
5. Kerja pertanian (Menanam, 6 4,1 24,6
menyiang)
6. Mengumpulkan air/kayu 1 4,4 4,4
7. Pekerjaan rumah tangga 1 2,3 2,3
(menyapu, mencuci pakaian,
mencuci piring)
8. Berjalan tanpa beban 1 3,2 3,2
9. Kegiatan (menonton tv, 4 1,4 5,6
mengobrol)
Total 24 53,9/24= 2,25
(Sumber : FAO, 2001)

Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu 24

jam dinyatakan dalam PAL (physical activity level) atau tingkat aktivitas

fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan dalam kkal per

kilogram berat badan dalam 24 jam. Rumus yang digunakan untuk

menentukan PAL yaitu : (FAO, 2001)

Keterangan :

PAL : Physical Activity Level ( tingkat aktivitas fisik )

PAR : Physical Activity Ratio ( jumlah energi yang dikeluarkan

untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu )

Berikut ini tabel kategori aktivitas fisik standar berdasarkan nilai Physical

Activity Level (PAL) : (Laporan Komisi Pakar WHO, 1996; FAO, 2001)
Tabel 2.2 Kategori Aktivitas Fisik Standar Berdasarkan Nilai Physical Activy
Level (PAL)

No. Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai Nilai PAL


Physical Activity Level (PAL)
1 Sangat Ringan 1.20 – 1.39

2 Ringan 1.40 – 1.69

3 Sedang 1.70 – 1.99

4 Berat 2.00 – 2.40

(Sumber : FAO, 2001)

5. Kebiasaan Merokok

Rokok menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan

juga menyebabkan pengapuran sehingga volume plasma darah berkurang

karena pengaruh nikotin dalam peredaran darah (Dekker, 1996).

Meningkatnya tekanan darah ini, lebih nyata pada penderita tekanan darah

tinggi. Merokok dapat menyebabkan terjadinya ateroma dalam arteri dan

dapat mengenai ginjal. Akibat penyempitan arteri ini, terjadi penyakit

tekanan darah tinggi yang berat dan keadaan ini cenderung terjadi pada

penderita lanjut usia (Semple, 1992).

Merokok dapat meningkatkan tekanan darah secara temporer yaitu

tekanan darah sistolik yang naik sekitar 10 mmHg dan tekanan darah

diastolik naik sekitar 8 mmHg. Merokok juga dapat menghapuskan

efektivitas beberapa obat antihipertensi. Misalnya, pengobatan hipertensi

yang menggunakan terapi betablocker dapat menurunkan risiko penyakit

jantung dan stroke hanya bila pemakainya tidak merokok karena merokok
merupakan faktor risiko utama untuk munculnya penyakit kardiovaskular

(Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

6. Konsumsi Alkohol

Alkohol juga mempengaruhi tekanan darah. Orang-orang yang minum

alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan darah yang

lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit

alkohol (Hull, 1993). Lebih dari dua minuman keras sehari akan

menimbulkan peningkatan signifikan. Diperkirakan 5-10% hipertensi pada

laki-laki Amerika disebabkan langsung oleh konsumsi alkohol (McGowan,

2001).

Berdasarkan laporan Komisi Pakar WHO mengatakan bahwa pada

beberapa populasi, konsumsi minuman keras selalu berkaitan dengan

tekanan darah tinggi. Jika minuman keras diminum sedikitnya dua kali per

hari, TDS naik kira-kira 1,0 mmHg dan TDD kira-kira 0,5 mmHg per satu

kali minum. Peminum harian ternyata mempunyai aras TDS dan TDD lebih

tinggi, berturut-turut 6,6 mmHg dan 4,7 mmHg dibandingkan dengan

peminum sekali seminggu (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Pada umumnya orang dengan tekanan darah tinggi harus menjaga agar

konsumsi alkoholnya rendah. Batas yang masih aman mungkin berkisar

antara 2 unit sehari (satu unit dapat berupa satu seloki minuman keras atau

segelas anggur atau seperempat liter bir), dengan satu unit atau satu gelas

berukuran 125 ml dengan besar kandungan alkoholnya tidak lebih dari 5%

(Semple, 1992). Menurut peraturan Menteri Kesehatan No 86 tahun 1997,


minuman beralkohol dibedakan menjadi tiga (3) golongan. Golongan A

dengan kadar alkohol 1-5 % misalnya bir. Golongan B dengan kadar

alkohol 5-20 % misalnya anggur dan Golongan C dengan kadar alkohol 20-

55 % misalnya whisky dan brandy. Berikut ini beberapa pengelompokkan

minuman keras : (MuslimDaily, 2014)

Tabel 2.3 Pengelompokkan minuman keras

No Nama Bahan Baku Kadar Alkohol (%)


1 Tuak Fermentasi dari nira, beras, atau 4
bahan minuman/buah yang
mengandung gula
2 Beer Barley, Gandum 5
3 Buah anggur atau jenis
Anggur 12
lainnya
4 Brandy Anggur yang didestilasi 40-45
5 Whisky Barley,jagung dan lainnya 45-55
6 Rum Tetes tebu 45
7 Vodka Kentang 40-50
(Sumber : MuslimDaily, 2014)

2.6 Pencegahan Hipertensi

2.6.1 Pencegahan Premordial

Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor

predisposisi terhadap hipertensi dimana belum tampak adanya faktor yang

menjadi risiko. Upaya ini dimaksudkan dengan memberikan kondisi pada

masyarakat yang memungkinkan pencegahan terjadinya hipertensi yang dapat

dilakukan melalui pendekatan populasi ataupun perorangan. Pendekatan populasi

secara khusus mengandalkan program untuk mendidik masyarakat (Laporan

Komisi Pakar WHO, 2001).

Pendidikan masyarakat yakni masyarakat harus diberi informasi mengenai

sifat, penyebab, dan komplikasi hipertensi, cara pencegahan, gaya hidup sehat,
dan pengaruh faktor risiko kardiovaskular lainnya. Sasaran pencegahan tingkat

dasar ini terutama kelompok masyarakat usia muda dan remaja, dengan tidak

mengabaikan orang dewasa (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

2.6.2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor resiko atau mencegah

berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan patologis dengan

tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit. Tahap primer

penatalaksanaan penyakit hipertensi merupakan upaya awal pencegahan sebelum

seseorang menderita hipertensi melalui program penyuluhan dan pengendalian

faktor-faktor resiko kepada masyarakat luas dengan memprioritaskan pada

kelompok risiko tinggi (Triyanto, 2014).

Upaya pencegahan primer yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya

hipertensi adalah dengan cara merubah faktor risiko yang ada. Upaya-upaya

tersebut antara lain : (Triyanto, 2014)

a. Mengubah pola makan dengan mengurangi asupan garam dan lemak

tinggi, meningkatkan makan sayur dan buah.

b. Mengubah gaya hidup dengan berolahraga secara teratur dan terkontrol

seperti senam aerobik, berhenti merokok, dan mengurangi atau

membatasi konsumsi alkohol.

c. Mengurangi kelebihan berat badan bagi yang kelebihan berat badan

lebih dan kegemukan.


2.6.3 Pencegahan Sekunder

Pencegahan tahap sekunder adalah upaya pencegahan hipertensi yang sudah

terjadi akibat serangan berulang atau untuk mencegah menjadi berat terhadap

timbulnya gejala-gejala penyakit secara dini melalui deteksi dini (early detection

serta memberikan pengobatan yang cepat dan tepat. Pencegahan ini ditujukan

untuk mengobati para penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius

dari penyakit, yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan (Triyanto,

2014).

Dalam pencegahan tahap sekunder ini, upaya yang dapat dilakukan adalah

sebagai berikut : (Triyanto, 2014)

a. Diagnosis dini

Diagnosis dini dapat dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah secara

teratur sebagai bentuk skrining. Seperti lazimnya pada penyakit lain, diagnosis

hipertensi ditegakkan berdasarkan data anamnese (konsultasi dokter),

pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan penunjang.

Pada 70-80 % kasus hipertensi esensial, didapat riwayat hipertensi didalam

keluarga, walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosis hipertensi esensial.

Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan

hipertensi esensial lebih besar (Dalimartha dkk, 2008).

Kesulitan utama selama proses diagnosis adalah menentukan sejauh mana

pemeriksaan harus dilakukan. Pemeriksaan yang secara dangkal saja tidak dapat

diterima karena hipertensi merupakan penyakit seumur hidup dan terapi yang

dipilih dapat memberi implikasi yang serius untuk pasien (Laporan Komisi Pakar
WHO, 2001). Untuk itu pada saat pasien diperiksa oleh dokter, pasien perlu

memberitahukan hal-hal berikut : (Dalimartha dkk, 2008)

1. Riwayat hipertensi orang tuanya

2. Pengobatan yang sedang dijalaninya saat itu, karena ada beberapa obat-

obatan yang dapat menimbulkan hipertensi seperti golongan obat

kortikosteroid.

3. Pada perempuan, keterangan mengenai hipertensi pada kehamilan,

riwayat eklampsia (keracunan kehamilan), riwayat persalinan dan

penggunaan pil kontrasepsi.

4. Data mengenai penyakit yang diderita, seperti diabetes mellitus kencing

manis), penyakit ginjal, serta faktor resiko terjadinya hipertensi,

misalnya rokok, alkohol, stres, dan data berat badan.

b. Pengobatan

Keputusan untuk mulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan

beberapa faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya

kerusakan organ target, dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit

kardiovaskuler atau faktor risiko lain. Terapi dengan pemberian obat

antihipertensi terbukti dapat menurunkan tekanan sistolik dan mencegah

terjadinya stroke pada pasien usia 70 tahun atau lebih (Triyanto, 2014).

Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan

kemungkinan seumur hidup. Terapi farmakologis dilakukan dengan

pemberian obat-obatan seperti berikut di bawah ini : (Triyanto, 2014)


1. Golongan Diuretik, Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama

yang diberikan untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal

membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan di

seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah.

2. Penghambat Adrenergik, merupakan sekelompok obat yang terdiri dari

alfa-blocker, beta-blocker, dan alfa-beta-blocker labetalol, yang

menghambat efek sistem saraf simpatis.

3. ACE-Inhibitor, Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-

inhibitor) menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara

melebarkan arteri.

4. Angiotensin-II-bloker, menyebabkan penurunan tekanan darah dengan

suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-inhibitor.

5. Antagonis kalsium, menyebabkan melebarnya pembuluh darah.

6. Vasodilator, langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah.

7. Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna) memerlukan obat

yang menurunkan tekanan darah dengan cepat dan sebagian besar

diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah) : diazoxide,

nitroprusside, nitroglycerin, labetalol.

2.6.4 Pencegahan Tersier

Pencegahan tahap tersier yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang

lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan penyakit

ke arah berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki

kualitas hidup pasien. Pencegahan tersier difokuskan pada rehabilitasi dan


pemulihan setelah terjadi sakit untuk meminimalkan kesakitan, kecacatan, dan

meningkatkan kualitas hidup (Triyanto, 2014).

Upaya yang dilakukan pada pencegahan tersier ini yaitu : (Triyanto, 2014)

a. Menurunkan tekanan darah sampai batas yang aman dan mengobati

penyakit yang dapat memperberat hipertensi.

b. Mem-follow up penderita hipertensi yang mendapat terapi dan

rehabilitasi. Follow up ditujukan untuk menentukan kemungkikan

dilakukannya pengurangan atau penambahan dosis obat.

c. Melakukan rehabilitasi yang tidak hanya difokuskan pada fisik, tetapi

juga kebutuhan spritual dan psikologi untuk mengembalikan keutuhan

individu. Rehabilitasi dan usaha meningkatkan kesejahteraan termasuk

didalamnya adalah pengobatan, pemberian nutrisi, latihan,

penyembuhan psikologi dan spiritual, dan kelompok dukungan sosial.

Upaya penting dalam pencegahan tersier adalah menggali sumber-sumber

kekuatan yang ada pada individu. Sumber kekuatan bisa dalam bentuk kekuatan

fisik, ketahanan psikologi, dukungan sosial, konsep diri yang positif, energi,

pengetahuan dan pemahaman, motivasi, dan sistem keyakinan. Membangun kerja

sama dengan keluarga dalam proses pencegahan tersier juga sangat penting

sebagai dasar promosi kesehatan (Triyanto, 2014).


2.7 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik :

1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Suku
4. Pendidikan
5. Pekerjaan
6. Status Pernikahan

Kejadian
Pre Hipertensi
Faktor Risiko :

1. Riwayat keluarga
yang menderita hipertensi
2. Status Gizi
3. Stress
4. Asupan Garam
5. Aktivitas Fisik
6. Kebiasaan Merokok
7. Konsumsi Alkohol

Anda mungkin juga menyukai