Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI ANALITIK

PERCOBAAN I
PENETAPAN KADAR AIR, KADAR SARI, KADAR ABU,
KADAR MINYAK ATSIRI,
SERTA PEMBUATAN AMILUM

Tanggal Percobaan : 23 Februari 2018


Tanggal Pengumpulan : 2 Maret 2018

Disusun oleh:
Neng Ernawati (10715073)
Kelompok J-1
Shift Jum’at

Asisten:
Fadhila Syifa Permata Sari (10714033)

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI
PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
PERCOBAAN I
PENETAPAN KADAR AIR, KADAR SARI, KADAR
ABU, KADAR MINYAK ATSIRI,
SERTA PEMBUATAN AMILUM

I. TUJUAN
1. Menentukan kadar abu total, kadar abu tidak larut dalam asam, dan
kadar abu larut air dari simplisia Hibisci sabdariffae flos (bunga
rosella).
2. Menentukan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol dari
simplisia Hibisci sabdariffae flos (bunga rosella) dengan metode
maserasi.
3. Menentukan kadar air dari simplisia Hibisci sabdariffae flos (bunga
rosella) dengan metode destilasi azeotrop.
4. Menentukan kadar minyak atsiri dari simplisia Syzygii aromatic flos
(bunga rosella) dengan metode destilasi stahl.
5. Menentukan hasil rendemen dan karakteristik dari Amylum oryzae
(pati beras) yang telah dibuat.

II. PRINSIP PERCOBAAN


Simplisia yang digunakan sebagai bahan jamu atau fitofarmaka
harus memenuhi syarat monografi yang telah ditentukan.
Kegunaannya adalah untuk menjaga agar mutu yang diharapkan
dapat terpenuhi. Beberapa karakteristik simplisia yang harus
dipenuhi syarat monografinya antara lain kadar abu total, abu tidak
larut asam, abu larut air, kadar sari larut air dan larut etanol.Abu
merupakan bahan sisa (residu) anorganik yang berasal dari proses
pembakaran atau oksidasi komponen organik suatu bahan. Oleh
karena itu, kadar abu dapat menunjukkan kadar mineral, kemurnian,
dan keberadaan kontaminan bahan simplisia. Penetapan kadar sari
merupakan metode kuantitatif untuk jumlah kandungan senyawa
dalam simplisia yang dapat tersari dalam pelarut tertentu.

2
Penetapannya dapat digunakan dua cara berdasarkan kelarutan
senyawa yang terkandung dalam simplisia, yaitu dengan
menggunakan pelarut air dan etanol. Kadar air merupakan salah
satu parameter standardisasi simplisia. Penentuan kadar air
dilakukan untuk menentukan apakah suatu simplisia masih memiliki
kadar air yang berada pada batasnya atau tudak. Jika kadar air
melebihi batas maka simplisia tersebut rentan terhadap pertumbuhan
mikroba.
Minyak atsiri merupakan campuran senyawa alami yang mudah
menguap. Komponen minyak atsiri sebagian besar terdiri dari
monoterpen, seskiterpen, aromatik aldehid atau alkohol. Penetapan
kada minyak atsiri berguna untuk penentuan mutu simplisia. Minyak
atsiri biasanya digunakan sebagai salah satu campuran pada bahan
baku pada industri kosmetik, sabun dan deterjen, farmasi, produk
makanan dan minuman, serta pengikat aroma pada industri kosmetik
dan farmasi.

Amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,


berwujud bubuk putih, tawar, dan tidak berbau. Amilum juga
merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk
menyimpan kelebihan glukosa dalam jangka panjang. Sumber
amilum antara lain biji-bijian serealia (jagung, gandum, sorgum,
beras), umbi (kentang), akar (singkong, ubi jalar, ganyong), dan
bagian dalam batang tanaman sagu. Dalam proses pembuatannya,
amilum harus dipisahkan dari komponen pengotor lain yang
bercampur, yaitu serat, protein, gula, dan garam.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat Bahan
Labu Erlenmeyer Simplisia Hibisci sabdariffae flos
Spatula Simplisia Syzygii aromatici flos
Plastic wrap Bahan baku amilum (beras)
Cawan porselen Aquadest
Oven Kloroform

3
Krus silika Etanol
Tanur Asam Klorida encer
Blender Kertas saring bebas abu
Corong Xilen
Gelas kimia Toluen
Timbangan digital Asam Kromat
Rangkaian distilasi Stahl
Rangkaian distilasi Azeotrop
Kaca arloji
Kain batis
Mikroskop dan mikrometer

IV. METODOLOGI PERCOBAAN


1. Penetapan kadar abu total
Krus yang digunakan untuk meletakkan simplisia dipanaskan
diatas penangas kira-kira 30 menit sampai terlihat asap. Setelah
itu, krus dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit lalu
ditimbang berat krus kosong dan dicatat beratnya. Simplisia yang
akan ditetapkan kadar abunya ditimbang dikertas timbang.
Setelah ditimbang, simplisia dimasukkan kedalam krus lalu
dipanaskan diatas penangas dengan tutup terbuka sampai
simplisia berwarna hitam. Krus ditutup menggunakan penutupnya
kemudian dimasukkan ke tanur kira-kira seharian. Setelah
ditanur, krus yang berisi simplisia dimasukkan kedalam desikator
selama 15 menit lalu ditimbang beratnya dan dicatat. Simplisia
beserta krusnya dimasukkan kembali ke tanur selama 1 jam,
kemudian dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit, lalu
ditimbang beratnya dan dicatat. Langkah tersebut diulangi sampai
didapat berat yang tetap. Setelah itu kadar abu total dapat
dihitung dengan cara selisih dari bobot tetap dan bobot krus
kosong dibagi bobot simplisia lalu dikali 100 %.

2. Penetapan kadar abu tidak larut asam


Abu yang didapat dari penetapan kadar abu total ditambah
beberapa ml HCl encer lalu dipanaskan kembali diatas penangas
selama 5 menit setelah cairannya mendidih. Simplisia disaring

4
menggunakan kertas saring bebas abu. Filtrat yang didapat
dibuang lalu abu dan kertas saringnya dimasukkan ke dalam krus
untuk dipanaskan kembali diatas penangas sampai menjadi
arang. Krus dimasukkan kembali ke dalam tanur kira-kira
setengah hari. Setelah ditanur, krus yang berisi simplisia
dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang
beratnya dan dicatat. Simplisia beserta krusnya dimasukkan
kembali ke tanur selama 1 jam, kemudian dimasukkan kedalam
desikator selama 15 menit, lalu ditimbang beratnya dan dicatat.
Langkah tersebut diulangi sampai didapat berat yang tetap.
Setelah itu kadar abu tidak larut asam dapat dihitung dengan cara
selisih dari bobot tetap dan bobot krus kosong dibagi bobot
simplisia lalu dikali 100 %.

3. Penetapan kadar abu larut air


Abu yang didapat dari penetapan kadar abu total ditambah beberapa ml
air lalu dipanaskan kembali diatas penangas selama 5 menit setelah
cairannya mendidih. Simplisia disaring menggunakan kertas saring
bebas abu. Filtrat yang didapat dibuang lalu abu dan kertas saringnya
dimasukkan ke dalam krus untuk dipanaskan kembali diatas penangas
sampai menjadi arang. Krus dimasukkan kembali ke dalam tanur kira-
kira setengah hari. Setelah ditanur, krus yang berisi simplisia
dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang
beratnya dan dicatat. Simplisia beserta krusnya dimasukkan kembali ke
tanur selama 1 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator selama
15 menit, lalu ditimbang beratnya dan dicatat. Langkah tersebut
diulangi sampai didapat berat yang tetap. Setelah itu kadar abu larut air
dapat dihitung dengan cara selisih dari bobot tetap abu total dan bobot
tetap abu tidak larut air dibagi bobot simplisia lalu dikali 100 %.

4. Penetapan kadar sari larut air


Simplisia yang telah ditimbang dimasukan ke dalam labu
erlenmeyer berisi air-kloroform. Kemudian campuran simplisia

5
dikocok selama 6 jam dan dimaserasi selama 18 jam. Setelah
didiamkan, simplisia disaring menggunakan kain batis dan
filtratnya dipindahkan ke dalam cawan penguap yang telah
ditimbang terlebih dahulu. Pelarut dibiarkan menguap dengan
menggunakan waterbath sampai tersisa kerak pada cawan
penguap. Cawan penguap lalu dioven selama 1 jam dan
didesikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Tahap tersebut
diulang sampai didapat bobot tetap. Jika bobot sudah tetap,
kadar sari larut air dihitung dari simplisia tersebut.

5. Penetapan kadar sari larut etanol


Simplisia yang telah ditimbang dimasukan ke dalam labu
erlenmeyer berisi etanol. Kemudian campuran simplisia dikocok
selama 6 jam dan dimaserasi selama 18 jam. Setelah didiamkan,
simplisia disaring menggunakan kain batis dan filtratnya
dipindahkan ke dalam cawan penguap yang telah ditimbang
terlebih dahulu. Pelarut dibiarkan menguap dengan
menggunakan waterbath sampai tersisa kerak pada cawan
penguap. Cawan penguap lalu dioven selama 1 jam dan
didesikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Tahap tersebut
diulang sampai didapat bobot tetap. Jika bobot sudah tetap,
kadar sari larut etanol dihitung dari simplisia tersebut.

6. Penetapan kadar air simplisia


Rangkaian alat distilasi azeotrop dipasang, labu bersumbat
disimpan diatas penangas, masukkan batu didih ke dalam labu.
Toluen dijenuhkan terlebih dahulu dengan air ( 200 ml toluena : 4
ml air ) dalam labu dengan pemanasan pada distilasi azeotrop.
Volume air (a) dicatat setelah penjenuhan selesai. Setelah
toluena jenuh, simplisia bunga rosella dimasukkan kedalam labu.
Alat destilasi dihubungkan kembali dan dipanaskan sampai

6
volume air (b) pada tabung penerima tetap. Jumlah air yang
terkandung pada simplisia adalah b-a.

7. Penetapan kadar minyak atsiri


Serbuk simplisia cengkeh ditimbang dan dimasukkan ke dalam
labu bundar. Selanjutnya ditambahkan akuades hingga semua
serbuk simplisia terendam. Batu didih dimasukkan ke dalam labu
tersebut. Akuades dimasukkan ke dalam tabung pengaman
hingga ketinggian air pada tiga tabung sejajar. Xilen dimasukkan
ke dalam tabung yang tersambung dengan tabung pengaman.
Ditentukan ketinggian xilen yang ditambahkan. Pemanas
dinyalakan dan perubahan ketinggian xilen diamati hingga tidak
ada penambahan ketinggian volume xilen. Perubahan volume
xilen dicatat dan ditentukan kadar minyak atsiri (%v/b) pada
serbuk simplisia cengkeh.

8. Pembuatan dan karakterisasi amilum


Beras dimasukkan kedalam blender dan ditambahkan sejumlah
air hingga cukup merendam beras secara keseluruhan.
Kemudian, campuran beras dan air diblender hingga terbentuk
bubur. Setelah itu, dilakukan penyaringan pada bubur beras
tersebut menggunakan kain batis. Setelah semuanya tersaring,
filtrat yang diperoleh ditetesi dengan lima tetes kloroform dan
disimpan dilemari es selama kurang lebih satu hari. Jika
terbentuk endapan, pisahkan endapan tersebut dari filtrat.
Endapan tersebut dikeringkan dengan menggunakan hairdryer.
Endapan yang telah kering disebut sebagai amilum beras
(Amylum orizae)
V. DATA DAN PENGOLAHAN DATA
1. Penetapan kadar abu total
Berat krus kosong 1 = 35,6291 gram
Berat krus kosong 2 = 34,2407 gram

7
Berat krus kosong 3 = 37,8598 gram
Berat krus kosong 4 = 31,9048 gram
Berat abu + krus 1 = 35,7273 gram
Berat abu + krus 2 = 34,3569 gram
Berat abu + krus 3 = 37,9651 gram
Berat abu + krus 4 = 32,0011 gram
Berat abu 1 = 35,7273 g - 35,6291 g = 0,0982 gram
Berat abu 2 = 34,3569 g - 34,2407 g = 0,1162 gram
Berat abu 3 = 37,9651 g - 37,8598 g = 0,1053 gram
Berat abu 4 = 32,0011 g - 31,9048 g = 0,0963 gram
Berat abu rata – rata = 0,104 gram
Kadar abu total =

= 5,2 %

2. Penetapan kadar abu tidak larut asam

3. Penetapan kadar abu larut air

4. Penetapan kadar sari larut air


Bobot simplisia yang digunakan = 2 g
Volume etanol yang digunakan = 50 mL
Volume filtrat yang diambil = 20 mL
Kadar sari Massa cawan Massa setelah Bobot tetap
(gram) pengeringan (gram) (gram)
1 41,825 42,0473 0,222
2 64,771 65,0059 0,235

Bobot tetap rata-rata = 0,2285 gram

Kadar sari larut etanol (%) =

8
=

= 28,5625%

5. Penetapan kadar sari larut etanol


Bobot simplisia yang digunakan = 2 g
Volume etanol yang digunakan = 50 mL
Volume filtrat yang diambil = 20 mL
Kadar sari Massa cawan Massa setelah Bobot tetap
(gram) pengeringan (gram) (gram)
1 41,6935 41,7807 0,0872
2 49,0586 49,1769 0,1183

Bobot tetap rata-rata = 0,10275 gram

Kadar sari larut etanol (%) =

= 12,844%

6. Penetapan kadar air simplisia


Bobot simplisia yang digunakan = 2 g
Volume air awal = 5,2 mL
Volume air akhir = 6 mL
Jumlah air pada simplisia = 6 mL – 5,2 mL = 0,8 mL

Kadar air (%) = x 100 %

= x 100 %

= 40 %

7. Penetapan kadar minyak atsiri

No Jenis Pengamatan Hasil pengamatan


1 Jumlah simplisia bunga cengkeh 2 gram
2 Skala awal volume xilen 0,11 mL

9
3 Volume xilen akhir (xilen + minyak
atsiri) 0,3 mL

Kadar minyak atsiri =

=
= 9,5 %

8. Pembuatan dan karakterisasi amilum


Berat beras = 100 gram
Berat cawan kosong = 46,6686 gram
Berat cawan dan amilum = 65,0741 gram
Berat amilum = (65,0741 – 46,6686) gram
= 16,4055 gram

Kadar amilum =

= 16,4055 %
Pengamatan makroskopis : serbuk halus, bewarna putih, tidak
berbau
Pengamatan mikroskopis : polygonal, ukuran 2 – 10 µm, amilum
tunggal dan majemuk, hilum tidak
jelas, kadang terdapat rekahan
ditengah.
Perhitungan kalibrasi okuler micrometer :
- Skala okuler berhimpit pada 1 dan 2, skala okuler = 2 -1 = 1.
- Skala kalibasi berhimpit pada 1 dan 2,5 , skala kalibrasi =
2,5-1 = 1,5.
- Satu garis skala okuler memiliki ukuran
1,5 . 0,1 mm = 1 . x
X = 0,15 mm

10
Ukuran amilum beras adalah 0,1 skala okuler, maka ukuran
amilum adalah
0,1 x 0,15 mm = 0,015 mm = 15 µm

Gambar 3.1 Pengamatan Mikroskopik Amylum oryzae yang dibuat pada


percobaan

VI. PEMBAHASAN
Standardisasi adalah proses atau kegiatan merumuskan
menetapkan menerapkan merevisi standar yang dilaksanakan
secara tertib dan kerjasama semua pihak (SSN, 1998). Tujuan dari
standardisasi adalah untuk menjamin keseragaman produk yang
berujung pada tegaknya safety, efficacy, dan quality. Simplisia yang
akan digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi
spesifikasi umum yang telah ditentukan yakni identitas, kemurnian,
dan analisis senyawa kimia. Identitas adalah suatu ciri khas dari
simplisia sehingga dapat dibedakan dengan jenis yang lain.
Kemurnian adalah parameter yang dapat menentukan bahwa suatu
simplisia bebas dari pengotor atau kontaminan. Analisis senyawa
kimia adalah analisis dengan tujuan untuk mengetahui kandungan
suatu senyawa yang terkandung didalam simplisia seperti flavonoid.
Paramater untuk simplisia dibagi menjadi dua yakni parameter
spesifik dan non spesifik. Parameter spesifik adalah parameter khas
dari suatu simplisia untuk mengetahui identitas kimia seperti kadar
minyak atsiri dan kadar flavonoid total. Sedangkan parameter non

11
spesifik adalah parameter yang diuji pada semua jenis simplisia
seperti kadar air, kadar abu, dan susut pengeringan. Selain simplisia,
ekstrak juga mempunyai suatu parameter yang harus terpenuhi.
Parameter ekstrak umumnya sama dengan simplisia, namun ada
beberapa perbedaan, yakni terdapat parameter penentuan bobot
jenis dan residu pelarut pada ekstrak dan juga tidak ada parameter
mikroskopik pada ekstrak. Untuk melakukan standardisasi simplisia,
buku literatur yang dapat digunakan adalah Farmakope Herbal
Indonesia (FHI), Materia Medika Indonesia (MMI), WHO, USP, AHP,
Indian Pharmacopoeia (IP), dan lain-lainnya.

1. Penetapan kadar abu total, abu tidak larut asam, dan abu
larut air
Abu adalah bahan sisa (residu) berupa oksida logam yang
berasal dari proses pemijaran atau oksidasi komponen anorganik
suatu bahan. Contoh oksida logam adalah NaO, CaO, dan MgO.
Tujuan dari penentuan kadar abu yakni untuk mengetahui kadar
mineral, kemurnian, dan keberadaan kontaminan pada simplisia.
Kadar abu total adalah kadar total residu (oksida logam)
komponen anorganik yang mengalami pemijaran dalam bahan
simplisia. Abu dibagi menjadi 2 macam yakni abu fisiologis dan abu
nonfisiologis. Abu fisiologis merupakan oksida logam yang berasal
dari mineral dalam tumbuhan dan abu nonfisiologis merupakan
oksida logam yang berasal dari luar tumbuhan seperti silica yang
berasal dari tanah. Setelah dilakukan penetapan kadar abu total,
dilakukan penetapan kadar abu tidak larut asam dan kadar abu larut
air. Kadar abu tidak larut asam ditujukan untuk mengetahui kadar
abu nonfisiologis dan kadar abu larut air ditujukan untuk mengetahui
kadar abu fisiologis. Kadar abu total tidak sama dengan penjumlahan
dari kadar abu larut air dan kadar abu tidak larut asam.
Penetapan kadar abu total dilakukan dengan memijarkan
simplisia serbuk hingga terbentuk abu. Pemijaran dilakukan pada

12
suhu 4000-6000 C karena diatas suhu 6000 C, abu akan
terdekomposisi. Abu yang dihasilkan kemudian ditimbang dan
ditentukan kadar berdasarkan bobot awal simplisia. Sebagian abu ini
kemudian dilarutkan dalam asam pada kondisi pendidihan dan
dilakukan penyaringan untuk mendapatkan komponen yang tidak
larut asam. Residu tersebut dikeringkan dan ditimbang pada bobot
tetapnya. Sebagian abu yang lain dididihkan dalam air, disaring,
dikeringkan lalu ditimbang bobot tetapnya. Bobot tetap adalah bobot
yang dihasilkan dari penimbangan yang dilakukan berulang kali
menghasilkan bobot yang sama atau dengan galat 0,05% (0,05 mg /
gram simplisia).
Berdasarkan standar yang ditetapkan FHI suplemen II, kadar
abu total simplisia Hibisci sabdariffae flos tidak boleh lebih dari 7,9%
dan kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1,9%.
Hasil pengamatan menunjukkan kadar abu total simplisia Hibisci
sabdariffae flos sebesar 5,2%, kadar abu tidak larut asam sebesar
…..%, dan kadar abu larut air sebesar …..%. Kadar abu total
simplisia bunga rosella telah memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan.

2. Penetapan kadar sari yang larut dalam air dan etanol


Penetapan kadar sari merupakan metode kuantitatif untuk
mengetahui jumlah kandungan senyawa dalam simplisia yang dapat
tersari dalam pelarut tertentu. Penetapan kadar sari juga memiliki
tujuan untuk mengetahui pelarut yang dapat digunakan untuk
ekstraksi yang paling efektif dan efisien. Menurut WHO terdapat 2
cara yang dapat digunakan untuk penentuan kadar sari yakni
maserasi (cara dingin) dan refluks (cara panas). Menurut Farmakope
Herbal Indonesia, penentuan kadar sari hanya dapat ditentukan
dengan metode maserasi. Maserasi adalah metode penetapan kadar
sari dengan cara merendam simplisia dalam cairan penyari, dikocok
selama 6 jam, dan didiamkan selama 18 jam. Sedangkan refluks

13
adalah metode penyarian dengan cara pemanasan pelarut untuk
mempercepat proses tanpa mengurangi volume pelarut karena
ketika pelarut menguap akan didinginkan kembali oleh kondensor
dan kembali menjadi bentuk cair. Cairan penyari yang diperbolehkan
menurut Farmakope Herbal Indonesia air, etanol, dan campuran air
dan etanol.
Percobaan yang dilakukan adalah penentuan kadar sari larut air
dan kadar sari larut etanol. Penentuan kadar sari dilakukan dengan
metode maserasi yakni direndam dengan air dan direndam dengan
etanol. Pada penentuan kadar sari larut air, ditambahkan kloroform
dengan perbandingan air : kloroform = 1000 : 2,5. Tujuan
penambahan kloroform adalah untuk mencegah pertumbuhan
mikroba karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
mikroba. Campuran air dan kloroform dibuat dengan cara
menambahkan air 900 mL pada 2,5 mL kloroform lalu digenapkan
dengan air sampai 1000mL.
Pada percobaan ini diperoleh hasil kadar sari larut air adalah
28,5625% dan kadar sari larut etanol adalah 12,844%. Berdasarkan
FHI suplemen II, persyaratan kadar sari larut air Hibisci sabdariffae
flos adalah tidak kurang dari 15,5% dan kadar sari larut etanol tidak
kurang dari 16,3%. Kadar sari larut air yang diperoleh dari percobaan
telah memenuhi persyaratan, sedangkan kadar sari larut etanol
belum memenuhi persyaratan, hal ini dikarenakan etanol yang
menguap, pada saat pengocokan banyak etanol yang keluar dari
wadah yang mengurangi volume etanol, dan terdapat simplisia
bunga rosella yang menempel pada dinding sehingga tidak terendam
etanol.

3. Penetapan kadar air simplisia


Tujuan penetapan kadar air adalah untuk menentukan jumlah air
yang terdapat dalam simplisia, karena jika jumlahnya melebihi kadar
maksimal yang diperbolehkan, maka simplisia tersebut akan

14
menjadi media yang baik untuk petumbuhan mikroba. Menurut
Materia Medika Indonesia, kadar air maksimal yang diperbolehkan
terkandung dalam simplisia adalah 10% sedangkan kadar air yang
boleh terkandung dalam ekstrak adalah 15-25%.
Kadar air berbeda dengan susut pengeringan. Kadar air adalah
jumlah air yang terkandung dalam simplisia dibandingkan dengan
massa simplisianya, sedangkan susut pengeringan adalah semua
kandungan dalam simplisia yang dapat menguap setelah
dikeringkan. Jadi kadar air akan lebih kecil nilainya dari susut
pengeringan karena yang dihitung hanya air saja.
Penetapan kadar air dapat digunakan tiga cara yakni destilasi
azeotrop, gravimetri, dan metode Karl Fischer. Destilasi azeotrop
adalah destilasi dengan menggunakan senyawa azeotrop yakni
gabungan 2 senyawa yang sulit dipisahkan dan memiliki titik didih
yang lebih rendah atau lebih tinggi dibanding senyawa-senyawa
penyusunnya. Karena senyawa azeotrop memiliki titik didih rendah,
maka penguapan akan terjadi lebih cepat. Azeotrop dibagi menjadi 2
macam, yakni azeotrop positif dan azeotrop negative adalah
senyawa azeotrop yang memiliki titik didih yang lebih tinggi
dibanding senyawa-senyawa penyusunnya dan azeotrop negative
adalah senyawa azeotrop yang memiliki titik didih yang lebih rendah
dibanding senyawa-senyawa penyusunnya. Gravimetri adalah
metode penentuan kadar air dengan cara penguapan dengan
pemanasan pada suhu 1050C lalu bobot ditimbang sampai bobot
tetap. Metode ini kurang efektif karena terdapat juga senyawa lain
yang dapat menguap dengan pemanasan seperti minyak atsiri. Jika
metode gravimetri akan digunakan, maka simplisia tidak boleh
mengandung senyawa yang akan menguap dengan pemanasan.
Karl Fischer adalah metode penentuan kadar air dengan titrasi
menggunakan pereaksi Karl Fischer yang terdiri atas sulfur oksida,
I2, methanol dan piridin. Metode Karl Fischer jarang digunakan
karena reagen yang digunakan berbahaya dan simplisia yang

15
digunakan harus terbebas dari kandungan yang dapat bereaksi
dengan reagen Karl Fischer.
Pada destilasi azeotrop, senyawa azeotrop yang dapat
digunakan adalah toluena, xilen dan benzene. Senyawa azeotrop
yang akan digunakan harus dijenuhkan terlebih dahulu agar
senyawa tersebut tidak menyerap air dari simplisia. Cara
menjenuhkan senyawa azeotrop dapat dilakukan dengan 2 cara
yakni destilasi dan ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair jarang
digunakan karena prinsipnya partisi sehingga kejenuhan dari
senyawanya sulit untuk diketahui.
Penentuan kadar air pada percobaan ini dilakukan dengan
metode azeotrop karena terdapatnya beberapa kekurangan pada
metode gravimetric dan metode Karl Fischer. Senyawa azeotrop
yang digunakan adalah toluena karena memiliki titik didih yang
rendah dan tidak bercampur dengan air. Sebelum digunakan,
toluena harus dijenuhkan terlebih dahulu. Penjenuhan toluen ini
bertujuan agar air dari sampel atau simplisia yang telah
terkondensasi tidak diikat oleh toluen, apabila toluen belum
dijenuhkan maka air dalam simplisia dapat terikat dan kadar air yang
terukur akan berkurang. Kejenuhan dari toluen dapat dilihat dengan
cara menambahkan air ke dalam bejana, jika air yang ditambahkan
volumenya tidak berkurang berarti toluen sudah terjenuhkan. Pada
saat pemanasan, air akan menguap dan terkondensasi lalu berada
pada bagian bawah karena bobot jenis air (1 g/mL) lebih besar
daripada toluen (0,87 g/mL). Jumlah air yang terkondensasi adalah
jumlah dari air sisa penjenuhan toluena dan air dari simplisia.
Sehingga jumlah air yang terkandung dalam simplisia adalah hasil
pengurangan dari jumlah total dengan air sisa dari penjenuhan
toluena.

Pada hasil penentuan kadar air simplisia Hibisci sabdariffae flos,


diperoleh jumlah air yang terkondensasi dari simplisia adalah 0,8 ml
dari 2 gram simplisia. Dari hasil perhitungan kadar air, diperoleh

16
kadar air pada simplisia adalah 40 % (v/b). Menurut MMI, kadar air
dalam simplisia tidak boleh lebih dari 10%. Hasil yang diperoleh ini
tidak memenuhi syarat yang diperbolehkan. Pada saat percobaan,
penjenuhan toluena tidak dilakukan sampai volume air yang
ditambahkan pada toluena tetap karena keterbatasan waktu, jadi
kemungkinan kadar air dalam simplisia ada yang terikat dengan
toluena. Namun ada kemungkinan juga bahwa kadar air yang besar
pada simplisia bunga rosella berasal dari alat (tabung kondensor)
yang masih menyimpan air karena sebelum digunakan untuk
percobaan, alat tersebut masih menyimpan air pada dindingnya dan
tidak dikeringkan terlebih dahulu.

4. Penetapan kadar minyak atsiri


Minyak atsiri adalah metabolit sekunder pada tumbuhan yang
bersifat mudah menguap. Penentuan kadar minyak atsiri adalah
untuk mengetahui seberapa banyak minyak atsiri yang terkandung
dalam tumbuhan tertentu.
Minyak atsiri dapat dipisahkan dari tanaman melalui metode
destilasi Stahl. Prinsip dari destilasi Stahl adalah terpisahnya minyak
atsiri dari simplisia dengan penguapan dan terbentuk destilat air
pada kondensor yang akan mengalami kondensasi menjadi air
kembali. Minyak atsiri yang menguap akan mengalami kondensasi
menjadi bentuk cair lagi dan terpisah ke tabung yang berbeda.
Pada percobaan, simplisia bunga cengkeh yang telah ditimbang
di masukan ke dalam labu bundar berserta batu didih. Penambahan
batu didih ini berfungsi untuk mengurangi adanya bumping.
Penentuan kadar minyak atsiri dilakukan dengan metode distilasi
Stahl dengan prinsip steam distillation. Pada destilasi ini digunakan
xilen yang berfungsi untuk mengikat minyak atsiri agar memudahkan
dalam pengukuran karena memiliki kemampuan untuk mengikat
minyak atsiri. Pada dasarnya, beberapa jenis minyak atsiri ada yang
memiliki berat jenis sama dengan air sehingga penambahan xilen ini

17
bertujuan untuk mencegah tercampurnya minyak atsiri dengan air
yang akan membentuk emulsi. Penentuan kadar minyak atsiri ini
didasarkan pada penambahan volume xilen akibat pengikatan
minyak atsiri. Air dan xilen dimasukan ke dalam bejana berhubungan
sehingga didapat permukaan sejajar dan xilen dapat terukur pada
dengan skala yang terdapat pada tabung bejana. Jumlah minyak
atsiri yang terkandung dalam simplisia adalah jumlah total minyak
atsiri-xilen dikurangin jumlah awal xilen yang digunakan.
Menurut European Pharmacopoeia, kadar minyak atsiri pada
Syzygii aromatici flos tidak boleh kurang dari 15% (v/b). Dari hasil
percobaan, kadar minyak atsiri yang diperoleh adalah 9,5% (v/b).
Kadar minyak atsiri hasil percobaan tidak memenuhi syarat yang
telah ditentukan, hal ini dikarenakan percobaan hanya dilakukan
sekitar 3 jam sehingga ada kemungkinan masih ada minyak atsiri
yang belum terdestilasi dan ada kemungkinan juga minyak atsiri
yang didapat menguap karena tabung penampung minyak atsiri
terbuka sedangkan minyak atsiri memiliki sifat mudah menguap.

5. Pembuatan dan karakterisasi amilum


Amilum adalah senyawa hasil fotosintesis berupa polisakarida
yang tidak larut dalam air serta mengandung amilosa dan
amilopektin. Penetapan kadar amilum bertujuan untuk mengetahui
seberapa banyak amilum yang terkandung dalam suatu tumbuhan.
Tepung berbeda dengan amilum, karena tepung hanya mengalami
proses penggilingan menjadi serbuk yang masih mengandung
senyawa lain didalamnya. Sedangkan amilum, setelah dihaluskan,
mengalami proses filtrasi untuk memisahkan amilum tersebut dari
senyawa lain.
Terdapat perbedaan antara amilosa dan amilopektin. Amilosa
terdiri dari 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α-1,4
glikosidik sehingga molekulnya merupakan rantai lurus, larut dalam
air panas, dan bereaksi dengan iodin menghasilkan warna biru.

18
Sedangkan amilopektin tidak larut dalam air, bereaksi dengan iodin
menghasilkan warna merah keunguan, dan terdiri atas molekul D-
glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,6-glikosidik dan
20-26 ikatan 1,4-glikosidik di mana adanya molekul 1,6-glikosidik ini
menyebabkan rantai bercabang.
Amilum yang dibuat dalam percobaan adalah Amylum oryzae.
Pembuatan amilum dilakukan dengan cara menambahkan air pada
beras, di haluskan menggunakan blender, lalu disaring
menggunakan kain batis. Filtrat hasil penyaringan didiamkan selama
beberapa hari dalam lemari pendingin agar amilum mengendap
karena amilum tidak larut dalam air dingin serta untuk mencegah dari
pertumbuhan mikroba. Penambahan air pada proses menghaluskan
beras bertujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa lain, sehingga
senyawa selain amilum dapat dipisahkan dengan amilum setelah
mengendap. Ampas yang didapat dari filtrasi adalah dinding sel yang
telah rusak serta protein yang tidak larut dalam air.
Amilum yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam keadaan
terbuka di suhu ruangan untuk menghilangkan kadar airnya. Amilum
yang belum mengering sepenuhnya berbentuk gumpalan-gumpalan
besar berwarna putih, namun setelah dikeringkan dan dihaluskan,
amilum berbentuk serbuk halus berwarna putih. Pengeringan amilum
tidak dapat dilakukan dengan pemanasan, karena amilum akan
menjadi lengket. Hal ini disebabkan karena amilum akan pecah pada
suhu gelatinasinya.
Pada percobaan, diperoleh amilum beras sebesar 16,045%.
Analisis makroskopik menunjukan bahwa amilum berbentuk serbuk
halus, berwarna putih, dan tidak berbau. Sedangkan analisis
mikroskopik amilum menunjukkan amilum berbentuk polygonal,
berukuran 2-10 µm, butir pati tunggal dan majemuk, lamela tidak
terlihat jelas, hilum tidak terlihat jelas, kadang terdapat rekahan
ditengah butir pati. Pemerian pati beras menurut Farmakope
Indonesia edisi IV adalah serbuk halus, berwarna putih dengan

19
mikroskopik butir bersegi banyak ukuran 2 – 5 µm, tunggal atau
majemuk bentuk bulat telur ukuran 10-20 µm, hilus ditengah tidak
terlihat jelas, tidak ada lamela konsentris. Pemerian Amylum oryzae
hasil percobaan sesuai dengan pemerian pada FI IV, dan
pengamatan mikroskopik pada percobaan terdapat perbedaan pada
ukuran serta keberadaan lamela.

VII. KESIMPULAN
1. Kadar abu total simplisia Hibisci sabdariffae flos hasil percobaan
adalah 5,2%, kadar abu tidak larut asam simplisia Hibisci
sabdariffae flos adalah …% , kadar abu larut air simplisia Hibisci
sabdariffae flos adalah …%.
2. Kadar sari larut air dari simplisia Hibisci sabdariffae flos adalah
528,5625% dan kadar sari larut etanol dari simplisia Hibisci
sabdariffae flos adalah 12,844%.
3. Kadar air yang diperoleh pada simplisia Hibisci sabdariffae flos
adalah 40 % (v/b)
4. Kadar minyak atsiri yang diperoleh pada simplisia Syzygii
aromatic flos adalah 9,5% (v/b)
5. Kadar amilum dalam beras (Amylum oryzae) adalah 16,4055%
dengan pemerian serbuk halus, warna putih, tidak berbau.
Amilum yang teramati secara mikroskopis berbentuk polygonal,
berukuran 2-10 µm, butir pati tunggal dan majemuk, lamela
tidak terlihat jelas, hilum tidak terlihat jelas, kadang terdapat
rekahan ditengah butir pati.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Cahyono, B., dan Suzery, M.2011. Aspek Praktis Metode Pemisahan
Bahan Alam Organik. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Halaman 15-20.

20
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Halaman `107-109.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Farmakope
Herbal Indonesia Suplemen II. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Halaman 63-66, 104.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Halaman 108.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia Medika
Indonesia Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Halaman 179.
Komisi Farmakope Eropa. 2005. European Pharmacopoeia 5.0.
Uppsala : Dewan Eropa. Halaman 1334.
Kusmardiyani, Siti. Tanpa tahun. Analisis Makroskopik dan
Mikroskopik Simplisia Versi 22SK004. Bandung: Sekolah
Farmasi Institut Teknologi Bandung. Halaman 190-200.

21

Anda mungkin juga menyukai