Anda di halaman 1dari 24

Meet The Expert

AMNIOSINTESIS, AMNIOREDUKSI, AMNIOINFUSI

Oleh :

Yudi Putra Wardhana 1740312615

Try Mutiara Suci R 1840312432

Preseptor :

Prof. Dr. dr. Hj. Yusrawati, SpOG (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG


2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Diagnosis prenatal dan atau skrining prenatal merupakan teknik dan presedur
yang dilakukan selama kehamilan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas pada
struktur dan atau fungsi organ pada janin yang sedang tumbuh. Skrining prenatal
bertujuan untuk mengetahui apakah janin mempunyai risiko mengalami kelainan
genetik atau kelainan kongenital tertentu, sedangkan diagnosis prenatal bertujuan
untuk mengetahui secara pasti bahwa janin tersebut benar benar mengalami kelainan
genetik dan atau kelainan bawaan tertentu.1
Banyak kelainan pada janin dapat diidentifikasi saat prenatal dan kemajuan
teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk melakukan pengobatan
prenatal, sehingga saat ini diagnosis prenatal merupakan jembatan penting antara
obstetri dan pediatrik.Terapi prenatal saat ini meliputi optimalisasi lingkungan
intrauteri dan kondisi pada saat persalinan, transfusi darah, pemberian obat-obatan,
amnioreduksi, pemasangan shunt dan operasi. Untuk masa yang akan datang akan
memungkinkan untuk melakukan transplantasi hematopeitic stem cell dan metode
transfer gen yang lain.1,2
Diagnosis prenatal dilakukan bila pada skrining prenatal atau dari riwayat
medik terdapat risiko kelainan genetik dan atau kelainan bawaan tertentu. Saat ini
telah ada beberapa teknik untuk mendapatkan sampel yang diperlukan untuk
membuat suatu diagnosis prenatal.1

1.2 Batasan Masalah


1. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Amniosintesis.
2. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan
komplikasi Amnioinfusi.
3. Mengetahui definisi, indikasi, kontraindikasi, teknik pengambilan sampel, dan

2
komplikasi Amnioreduksi.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan sebagai dokter
muda mengenai Amniosintesis,Amnioinfusi, amnireduksi.

1.4 Metode Penelitian


Metode penulisan referat ini merupakan studi keperpustakaan yang merujuk
ke beberapa literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Amniosintesis
2.1.1 Definisi
Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji
abnormalitas kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan
amniosintesis ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Amniosintesis yang dilakukan
pada trimester II tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya
ELBW (Extremely Low Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very
Low Birth Weight, Less Than 1500 gr).3
Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan
jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari
amnion tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan tujuannya.3

Gambar 2.1 Amniosintesis

2.1.2 Klasifikasi
1. Amniosintesis Dini ( Trimester Pertama)
Amniosintesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu.
Tekniknya sama dengan teknik amniosentesis tradisional, meskipun

4
tidak adanya fusi membran ke dinding uterus menyebabkan fungsi kantong
amnion menjadi lebih sulit, lebih sedikit cairan yang didapat dikeluarkan
(biasanya 1ml untuk setiap minggu gestasi). Karena sebab-sebab yang belum
sepenuhnya dipahami, amniosintesis dini menimbulkan angka kematian janin
dalam angka penyulit yang secara bermakna lebih tinggi dari amniosintesis
biasa. Pada sebuah uji coba acak multisentra baru-baru ini, angka abortus
spontan setelah amniosintesis dini adalah 2,5 persen dibandingkan dengan 0,7
persen pada amniosintesis trimester kedua. Komplikasi lainnya adalah
clubfoot (tapiles) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4 persen setelah
amniosintesis tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi
menawarkan amniosintesis sebelum 15 minggu.4
2. Amniosintesis Trimester Kedua
Amnionsintesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis pranatal
dan biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound
digunakan sebagai penuntun untuk memasukan jarum spinal ukuran 20 atau
22 kedalam kantong amnion, sembari menghindari plasenta, tal pusat dan
janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml cairan dibuang untuk mengurangi
kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu, kemudian diambil sekitar 20 ml
cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan. Tempat pungsi diamati apakah
ada perdarahan, dan pasien diperlihakan denyut jantung janinnya. Angka
kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5 persen atau kurang (1 dari
200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup kebocoran air ketuban
dan bercak perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara pada 1 hingga 2
prsen dan korioaminionitis pada kurang dari per 1000 wanita diperiksa.
Cedera akibat jarum pada janin jarang terjadi.4

2.1.3 Tujuan Amniosentesis.


Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu:5
1. Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel
yang tercat lipid dan analisis surfaktan. Pada kehamilan lebih dari 37 minggu,

5
bilirubin dalam air ketuban sudah lenyap kecuali terdapat penyakit hemolitik.
Konsentrasi kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl. Jumlah sel-sel
yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan nile blue sulfate) lebih
dari atau sama dengan 15%.
2. Monitoring penyakit hemolitik.
3. Determinasi seks.
4. Diagnosis kelainan genetik.

2.1.4 Prosedur amniosentesis.6


1. Persiapkan alat dan bahan
a. Kassa steril
b. Cairan antiseptic
c. Penutup probe steril
d. Gel steril
e. Jarum 20-22 G
f. 2 buah vaccutainer 10 ml

Gambar 2.2 Alat dan bahan


2. Ibu hamil pada posisi horizontal
3. Lakukan evaluasi USG sebelum amniosentesis dengan meletakkan probe di
perut ibu secara horizontal untuk menentukan lokasi plasenta, maximum

6
vertical pocket (MVP), posisi janin, dan pergerakan janin. Gambar pada layar
USG harus mencakup kulit perut ibu sehingga perlu dilakukan pembesaran
gambar dengan menurunkan kedalaman dari pada menggunakan Zoom.

Gambar 2.3 Teknik amniosintesis


4. Persiapan: operator dan asisten menggunakan mencuci tangan dan
menggunakan gaun steril. Perut ibu di bersihkan dengan cairan antiseptik
seperti povidone. Probe USG dituutp dengan tutup plastik steril.
5. Prosedur amniosentesis dilakukan dengan panduan USG. Bisa dilakukan oleh
1 orang (one-operator technique) atau dibantu oleh asisten ((two-operator
technique). Probe diletakkan tegak lurus di perut ibu untuk mendapatkan
potongan transversal dari perut ibu. Probe dapat dimiringkan hingga 45o
menjauh terhadap tempat insersi jarum.
6. Jarum diinsersi ke perut ibu dengan sudut 45o terhadap mid-sagital ibu, dan
kontralateral dari probe ssehingga antar probe dan jarum membentuk sudut
90o. Setelah memasuki rongga amnion, insersi dihentikan setelah masuk kira-
kira 2 cm sebelum mencapai dinding posterior uterus untuk mencegah
kontraktur dari dinding anterior dari kesalahan pencabutan atau kesalahan
peetakan jarum, dan untuk mencegah janin tertusuk.

7
Gambar 2.4 Teknik amniosintesis

Gambar 2.5 Teknik amniosintesis


7. Setelah jarum berada pada lokasi yang benar, pasang syringe atau vaccutainer
untuk mengambil 20 ml cairan amnion. Untuk mencegah kontaminasi darah
ibu 2 ml cairan amnion pertama di buang atau digunakan untuk pengukuran
kadar alfa fetoprotein.

8
Gambar 2.6 Teknik amniosintesis

2.1.5 Pemeriksaan Amniosintesis


Adapun pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai
berikut:3
1. Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi
pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan
penilaian terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka
amniosintesis ini gagal. Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500.
Tingginya resiko kegagalan ini, maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat
perlu dilakukan Informed Consent yang telah didahului dengan penjelasan
yang jelas.
2. Diagnosis neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk
diagnosis ini sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang
minim intervensi, yaitu melalui USG.
3. Menilai maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin.
4. Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil
yang cepat.
5. Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic
Villus Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down
Syndrome dan kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel

9
janin yang berasal dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua
pemeriksaan ini untuk mendiagnosa Down Syndrome lebih dari 99%.
Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang diperoleh dari kedua metode
tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap ukuran kromosom dan
model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21 pada kariotip
dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome (kelainan
genetik yang paling sering terjadi).
Teknik Pemeriksaan Amniosentesis
1. Penderita diminta untuk mengosongkan vesika urinarianya terlebih dahulu
karena sering yang terambil urin.
2. Pasien diminta berbaring telentang pada meja periksa
3. Raba fundus uteri diatas sympisis pubis, bersihkan tempat pengambilan
dengan antiseptic alcohol
4. Jarum amniosintesis ditusukan pada dinding abdomen ditempat yang sudah
ditempatkan sebelumnya, jarum diarahkan tegak lurus menuju pusat rongga
uterus, setelah masuk cavum uteri cairan amnion diaspirasi 20 ml.
5. Beberapa tetes cairan amnion yang diaspirasi diteteskan pada tes strip untuk
mennentukan urin, pH, protein dan glukosa. Biasanya ditemukan ph amnion
netral, protein dalam jumlah sedikit, kadar glukosa amnion biasanya lebih
kecil dari kadar dalam serum ibu, tetapi lebih besar dari kadar dalam urin..
6. Diambil kira-kira 1 ml cairan amnion harus dimasukan dalam tabung test
terppisah untuk pemeriksaan alpha-fetoprotein.
Umumnya tidak dianjurkan melakukan pengulangan amniosintesis lebih dari
2 kali punksi dalam tenggang waktu 7-14 hari interval

2.1.6 Hasil Tes Amniosentesis


Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan ketuban
yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium. Kebanyakan
hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa janin atau bayi
dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan kesehatan.

10
Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis menghasilkan nilai positif,
itu berarti janin atau bayi mungkin memiliki kelainan dan gangguan ksehatan
sehingga harus mendapat penanganan lebih serius.Cairan amnion normal bewarna
jernih hingga ke kuningan. Pada kehamilan lanjut cairan amnion mengandung bintik-
bintikvernik dan lanugo Bila cairan mengandung mekonium telah terjadi stres pada
janin. Cairan amnion berwarna coklat tembakau biasanya berkaitan dengan kematian
janin.3

2.1.7 Resiko Amniosentesis3


1. Keguguran
Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan
menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit
risiko keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu.
Untuk menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang
berkompetensi dan berpengalaman. Tidak bisa dipastikan mengapa bisa
terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis mengarahkan kepada keguguran.
Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan, atau kerusakan membrana
amniotik yang disebabkan oleh prosedur. Jika keguguran memang terjadi,
biasanya terjadi dalam 72 jam pasca amniosentesis. Namun, keguguran masih
bisa terjadi hingga dua minggu sesudahnya. Keguguran yang terkait prosedur
jarang terjadi setelah 3 minggu pasca amniosentesis.
2. Infeksi
Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu
hamil yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan
amniotik. Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:
a. Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur,
sehingga kuman yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.
b. Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam
rongga perut atau rahim.

11
c. Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam
rongga perut.
Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun,
infeksi biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi dilakukan
dengan benar.
3. Cedera pada janin
Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan
melakukan amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama
amniosentesis telah menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini
sangat jarang. Cedera pada plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya
tidak menyebabkan masalah apapun dan sembuh dengan sendirinya.
4. Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi
Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus
positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap
sel-sel darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan
bayi akan mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus
negatif, maka Anda akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D
setelah amniosentesis guna mencegah hal ini

2.2 Amnioinfusi
2.2.1 Pengertian
Amnioinfusi adalah suatu tindakan memasukkan cairan kristaloid ke dalam
rongga amnion untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang atau sudah tidak
ada, pertama kali dilakukan pada manusia oleh Miyazaki di Jepang pada tahun 1983.
Syarat dilakukan amnioinfusi, yaitu :
1. Usia kehamilan < 26 minggu atau 24-32 minggu
2. Jumlah cairan amnion : oligohidramnion (AFI < 5 cm atau < 5 persentil atau
AFI < 2 cm

12
2.2.2 Indikasi
Dibagi atas indikasi intrapartum dan antepartum, dengan tujuan diagnostik,
terapeutik atau profilaksis dan dapat dilakukan transervikal maupun transabdominal.
Transvagina infus amnion dilakukan pada tiga masalah klinik yaitu :8
1. Pengobatan dari variabel atau deselarasi denyut jantung janin yang
memanjang.
2. Profilaksis pada kasus – kasus yang diketahui oligohidroamnion dengan pecah
ketuban lama.
3. Untuk mendilusi atau membersihkan mekonium yang tebal.
Cara ini dilakukan dengan memberikan 500 sampai dengan 800 ml bolus
cairan normal salin yang hangat diikuti dengan pemberian infus secara kontinu
sebanyak 3 ml per jam.
1. Amnioinfusi antepartum
Dalam masa antepartum tindakan amnioinfusi bertujuan untuk menilai
struktur anatomi janin, dan juga untuk mengurangi komplikasi pada janin
akibat oligohidramnion, namun lebih jarang dilakukan.9-11
Dalam periode antepartum amnioinfusi dapat dilakukan transabdominal yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pencitraan sonografi, untuk
mendapatkan cairan bagi kultur dan pemeriksaan karyotyping dan mencapai
jumlah cairan amnion yang adekuat sehingga mencegah terjadinya hipoplasia
paru dan arthrogryposis. Pada kasus-kasus tertentu amnioinfusi dapat menjadi
sarana untuk memasukkan antibiotik profilaksis pada ketuban yang pecah
sebelum waktunya.11,12
Gembruch dan Hansmann pada tahun 1988 melakukan
Amnioinfusitransabdominal untuk dapat memperbaiki pencitraan
ultrasonografi, saat ini dapat dilakukan konfirmasi terhadap pecahnya ketuban
dengan menyuntikkan zat indigo carmin transabdominal dan dilihat apakah
ada pengeluaran cairan berwarna biru dari vagina.

13
2. Amnioinfusi intrapartum
Dalam periode intrapartum, Amnioinfusibertujuan untuk diagnostik (aspirasi
cairan untuk pemeriksaan mikrobiologi), terapeutik (mengurangi kompresi tali
pusat) atau profilaksis (mencegah aspirasi mekonium).11,13 Indikasi
Amnioinfusipada saat intrapartum adalah adanya:8
a. Deselerasi variabel dengan atau tanpa oligohidramnion
b. Mekonium dengan atau tanpa oligohidramnion
c. Oligohidramnion pada preterm atau aterm akibat pecahnya ketuban
d. Oligohidramnion dengan ketuban masih utuh
Pada korioamnionitis dapat dilakukan aspirasi cairan untuk pemeriksaan
pewarnaan gram, kultur dan tes sensitivitas sesuai indikasi, dengan
memasukkan cairan melalui kateter intrauteri kemudian dilakukan pembilasan
dapat menemukan pewarnaan mekonium yang tersembunyi (tidak nampak).11
Deselerasi variabel yang berulang dalam masa persalinan dapat menyebabkan
asidosis pada janin, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Amnioinfusiuntuk
mengembalikan volume cairan ketuban yang dapat mengurangi kompresi tali
pusat sehingga dapat mengurangi deselerasi.9
Still dkk melaporkan tindakan amnioinfusi profilaksis pada ketuban yang
pecah saat aterm dan oligrohidramnin (AFI < 5 cm) menurunkan kejadian
aspirasi mekonium, deselerasi variabel, bradikardia, seksio sesar karena gawat
janin dan pH darah arteri umbilkalis yang rendah. Para peneliti lain
melaporkan manfaat tindakan amnioinfusi pada persalinan yang
berkomplikasi dengan mekonium atau mekonium dan oligohidramnion.
Amnioinfusidapat menurunkan insiden :10,11
Apgar skor yang rendah ( < 7)
a. Mekonium di bawah pita suara dan orofaring
b. Mekonium yang kental
c. pH a.umbilikalis < 7,20
d. Gawat janin intrapartum
e. Partus tindakan atas indikasi gawat janin

14
f. Seksio sesaria
g. Pemberian ventilasi tekanan positif untuk bayi baru lahir

2.2.3 Kontraindikasi
Pada umumnya kontraindikasi untuk persalinan pervaginam seperti plasenta
previa, riwayat ruptura uteri juga merupakan kontraindikasi absolut untuk
amnioinfusi transervikal intrapartum.
Kondisi lain yang juga merupakan kontraindikasi adalah bila tidak
mempunyai manfaat untuk janin misalnya kelainan bawaan yang lethal dan kematian
janin dalam rahim. Pada keadaan yang sudah jelas ada kegawatan janin maka lebih
bijaksana untuk segera melahirkan bayi tersebut daripada mencoba dengan
amnioinfusi.
Kontraindikasi ibu pada tindakan amnioinfusi termasuk kelainan jantung
dengan klasifikasi fungional (NYHA) II atau lebih karena dapat menyebabkan
kelebihan cairan akibat ammnioinfusi yang cepat. Korioamnionitis masih menjadi
perdebtan apakah termasuk kontraindikasi, karena ada pendapat lain yang justru
memasukkannya sebagai indikasi.11
Yang termasuk kontraindikasi relatif untuk Amnioinfusiadalah :9-11
1. Anomali uterus
2. Korioamnionitis
3. Penyakit jantung ibu yang termasuk klasifikasi klas II, III dan IV
4. Petumbuhan janin terhambat
5. Malformasi janin
6. Gawat janin
7. Malpresentasi
8. Riwayat seksio sesar klasik, atau jenis seksio sesar sebelumnya tidak
diketahui
9. Solusio plasenta
10. Kehamilan ganda

15
2.2.4 Teknik Amnioinfusi 13
Amnioinfusi dapat dilakukan dengan cara transbdominal atau transservikal
(transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusi dilakukan dengan bimbingan
ultrasonografi (USG). Cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat dimasukkan melalui
jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion yang terlihat dengan
ultrasonografi. Pada cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang
dipasang ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri.
Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan
alat kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin.Mula-
mula dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau Ringer laktat selama 20-30
menit.Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah
tetesan infusi disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG.Apabila deselerasi
variabel menghilang, infusi dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan
dihentikan, kecuali bila deselerasi variabel timbul kembali.Jumlah maksimal cairan
yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah 800-1000 ml cairan yang
dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka tindakan dianggap gagal.
Selama amnioinfusi dilakukan monitoring denyut jantung janin, dan tonus
uterus.Bila tonus meningkat, infusi dihentikan sementara sampai tonus kembali
normal dalam waktu 5 menit.Bila tonus uterus terus meningkat sampai 15-30 mm/Hg
di atas tonus basal, maka tindakan harus dihentikan.Selama tindakan amnioinfusi
seringkali terjadi kebocoran cairan dari kavum uteri.

16
Gambar 2.7 Amnioinfusi

2.2.5 Komplikasi
Dari survei yang dilakukan ada 26% senter yang melaporkan paling sedikit
satu komplikasi, yang paling sering adalah hipertonus uteri (14%) kemudian denyut
jantung yang anormal (9%), namun komplikasi yang berat jarang terjadi. Untuk
mencegah terjadinya overdistensi uterus uterus maka pemberian cairan harus diawasi
dengan baik, telah dilaporkan kejadian overdistensi pada pemberian 4 liter cairan
salin secara kontinu.9,1
Posner dkk melaporkan 2 kasus polihidramnion yang terjadi sesudah
amnioinfusion, satu disangka solusio plasenta dan yang satunya terjadi bradikardi
janin dan peningkatan tonus uteri, namun keduanya membaik setelah dilakukan
pengeluaran cairan amnion. Miyazaki dan Taylor melaporkan satu kasus bradikardi
janin pada saat memberikan amnioinfusi yang cepat (400 ml dalam 8 menit.
Strong dkk melaporkan perpanjangan lama persalinan dari 10,1 + 6,5 jam
menjadi 16,8 + 12,1 jam sedang Schimmer dkk melaporkan pemendekan lama
persalinan pada pasien yang diberikan amnioinfusi. Dibble dan Elliott melaporkan 2
kasus emboli air ketuban pasca amnioinfusi, namun merupakan emboli ringan karena

17
adanya efek dilusi dari cairan yang diberikan terhadap partikel. Penulis lain
melaporkan adanya distres pernafasan ibu yang berhubungan dengan amnioinfusi.11

2.3 Amnioreduksi
2.3.1 Definisi
Amnioreduksi adalah Pengangkatan sejumlah besar cairan amniotik dari
kantung kehamilan. Amnioreduksi dibutuhkan saat kehamilan dipersulit oleh
polihidramnion. Polihidramnion adalah peningkatan jumlah cairan amnion yang
dapat ditemukan pada sekitar 1% kehamilan. Karena tekanan ketuban meningkat
dengan polihidramnion, kehamilan ini berisiko tinggi untuk ibu dan janin.
Dasar pemikiran di balik amnioreduksi adalah mengembalikan volume dan
tekanan cairan ketuban normal. Pengurasan mengurangi ketidaknyamanan ibu,
meningkatkan perfusi ke uterus dan plasenta, dan memperpanjang kehamilan dengan
membatasi risiko persalinan prematur dan pecahnya membran.14

2.3.2 Kontraindikasi14
1. Gangguan pendarahan ibu atau janin
2. Persalinan premature
3. Dugaan korioamnionitis

2.3.3 Prosedur15
1. Pendidikan dan Persetujuan Pasien
Persetujuan tertulis harus diperoleh dari pasien. Ringkasan yang jelas tentang
risiko, manfaat, dan alternatif harus disediakan, dan pasien harus
menyuarakan pemahaman. Khususnya, risiko seperti persalinan prematur (dan
persalinan), infeksi (misalnya, korioamnionitis), abrupsi plasenta
(perdarahan), dan kematian janin harus dijelaskan kepada pasien. Risiko
keseluruhan 1,5-3,1% dicatat dalam literatur.
2. Perencanaan Praprosedural

18
Langkah-langkah kenyamanan subjektif rutin harus digunakan. Jika
kehamilan viabel, sumber daya yang akan memungkinkan kelahiran sesar jika
perlu harus segera tersedia. Persiapan ini harus mencakup menempatkan
pasien pada nil per os (NPO) dan, berpotensi, pemberian kortikosteroid
antenatal seperti yang ditunjukkan dan sesuai dengan pedoman standar. Ahli
anestesi harus standby (untuk dukungan mulai dari sedasi intravena [IV]
hingga anestesi umum).
3. Peralatan
Prosedur ini dapat dilakukan secara manual atau dengan perangkat yang
dibantu vakum (misalnya, tabung vakum dan botol vakum). Bahan yang
diperlukan untuk amnioreduction termasuk yang berikut :
a. Beberapa kontainer evakuasi 500 mL
b. Baki Amniosentesis
c. Tubing arteri berdinding keras dengan penghenti 3 arah (3 way-tap)
d. Wadah penampung specimen
e. Jarum, biasanya 18 atau 20 gauge
f. Syringe, 50 mL
g. Duk steril
h. Anestesi local
i. Sarung tangan dan handuk steril
j. Peralatan pemantauan janin dan USG
4. Persiapan Pasien
Sedasi ibu dengan benzodiazepin dapat mengurangi gerakan dan
meningkatkan kenyamanan. Anestesi lokal (misalnya, lidocaine) disuntikkan
ke kulit dan jaringan subkutan untuk mengurangi rasa sakit yang terkait
dengan penyisipan jarum. Posisi pasien yang tepat dan mekanisme
pengeringan akan mengurangi komplikasi. Pasien harus terlentang dalam
posisi miring lateral kiri untuk mengurangi kompresi vena cava, dan bantal
pendukung harus digunakan untuk meningkatkan kenyamanan ibu.
5. Ultrasonografi

19
Penempatan jarum dipandu dengan ultrasound adalah standar untuk
amnioreduction. Prosedur transplasental harus dihindari jika memungkinkan.
Situs bedah dibuat dengan scrub kulit yang tepat duk steril. Biasanya, lokasi
yang dipilih untuk amnioreduction adalah ventral ke janin — yaitu antara
lutut dan siku. Sebelum penyisipan jarum, kaliper sonografi dapat digunakan
untuk menghitung kedalaman perkiraan di mana jarum harus ditingkatkan.
Praktek saat ini adalah melakukan penempatan jarum di bawah bimbingan
ultrasonografi langsung, dengan jarum yang berdekatan dengan ultrasound
transduser dan penutup steril (lihat gambar di bawah). Jarum diamati dalam
gambar 2-dimensi yang dihasilkan oleh transduser ketika bergerak ke lokasi
target.
Cairan amnion dikeluarkan dengan kecepatan 100-125 ml/menit. Volume
cairan yang dikeluarkan tergantung pada operator dan kondisi klinis (misalnya
aktivitas uterus maternal, posisi janin), namun secara umum dibatasi tidak
melebihi 2000-2500 ml per prosedur. Amnioreduksi mungkin berguna pada
kehamilan tunggal dengan polihidramnion. Jika sejumlah besar cairan harus
dibuang, pengurangan ukuran uterus mungkin cukup untuk mengubah
orientasi anatomi. Sebagai langkah prefentif dalam keadaan ini, memasukkan
jarum ke arah cephalic mungkin bijaksana. Sewaktu drainase berlanjut, jarum
akan diarahkan ke arah kaudal dan dengan demikian akan lebih kecil
kemungkinannya untuk keluar dari rongga ketuban.
Jika kehamilan viabel, tes nonstress dapat dilakukan pada saat penyelesaian
amnioreduksi untuk mendokumentasikan kesejahteraan janin. Pengujian dapat
terus dilakukan mingguan atau dua kali seminggu sesudahnya, termasuk profil
biofisik yang sesuai, tergantung pada indikasi untuk prosedur. Jika
amnioreduksi dilakukan untuk sindrom transfusi kembar-kembar (TTTS),
prosedur amnioreduksi tambahan mungkin diperlukan. Dalam kasus sindrom
cermin yang terkait dengan TTTS, amnioreduksi sendiri atau dengan feticide
selektif dapat menyebabkan komplikasi seperti eksaserbasi anemia dan
hemodilusi yang dapat menyebabkan komplikasi maternal yang parah.12

20
Dalam meta-analisis database Cochrane intervensi pengobatan untuk
meningkatkan luaran ibu-janin pada TTTS, peneliti tidak menemukan
perbedaan antara amnioreduction dan koagulasi laser endoskopi pembuluh
anatomi dan antara amnioreduction dan septostomy pada keadaan berikut:
kematian keseluruhan, kematian pada setidaknya satu bayi per kehamilan,
atau kematian kedua bayi per kehamilan. Antara amnioreduksi dan
septostomy, juga tidak ada perbedaan dalam usia kehamilan saat lahir. Dalam
jangka panjang, meskipun bayi yang lebih bertahan secara neurologis utuh
pada usia 6 tahun pada kelompok laser dibandingkan pada kelompok
amnioreduksi, tidak ada perbedaan signifikan yang terlihat antara bayi yang
bertahan hidup pada 6 tahun yang memiliki kelainan neurologis utama yang
diobati dengan intervensi ini. (laser atau amnioreduksi).12

2.3.4 Komplikasi
Komplikasi amnioreduksi yaitu:14
1. Kontraksi
2. Persalinan premature
3. Ketuban pecah dini spontan
4. Abrupsi plasenta yang mungkin hadir sebagai pendarahan vagina
5. Chorioamnionitis (infeksi pada selaput janin)

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Diagnosis prenatal dan atau skrining prenatal merupakan teknik dan presedur
yang dilakukan selama kehamilan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas
pada struktur dan/atau fungsi organ pada janin dengan risiko kelainan genetik
dan atau kelainan bawaan tertentu.

2. Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas


kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus.

3. Amnioinfusion adalah suatu tindakan memasukkan cairan kristaloid ke dalam


rongga amnion untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang atau sudah
tidak ada,

4. Amnioreduksi adalah Pengangkatan sejumlah besar cairan amniotik dari kantung


kehamilan.

22
DAFTAR PUSTAKA
1 Purwaka BT, Aditiawarman. Diagnosis pranatal dan teknik inovatif pemantauan
janin. Dalam: Saifuddin AB editor. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirhardjo; 2010. p. 736-50
2 Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors.
Clinical maternal-fetal medicine 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group;
2000. p. 783-98
3 Irianti, Bayu, Dkk. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta: CV Sagung Seto;
2014.
4 Leven, Kenneth J, dkk. Obstetri William. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2013.
5 Kusmiyanti, Yuni. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitra Maya; 2009.
6 Lemini MC, Saavedra MP, Borobio V, Bennasar M, Gonce A, Martinez JM et al.
How to perform an amniocentesis. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology.
2014;44(6):727-31.
7 Pranoto I. Peranan amniosentesis untuk menetapkan kelainan genetic. Berkala
ilmu kedokteran. 1991;23(2):51-56
8 Siswodarmo R. Obstetri Fisiologis Edisi 1. Yogyakarta: Andi Offset; 1992
9 Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Ilmu Kebidanan Edisi kelima
.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirhardjo; 2007.
10 Ouzounian J, Paul R. Role of Amnioinfusiin contemporary obstetric practice.
Contemporary OB/GYN. 41(8):36-57

11 Weismiller D. Transcervical amnioinfusion. Am Fam Physician. 1998;57(3):504-


510.
12 Amon E, Kerns J, Winn H. Amnioinfusion. In: Winn H, Hobbins J, editors.
Clinical maternal-fetal medicine 1st ed. New York: The Parthenon Publishing
Group; 2000. p. 833 - 839.
13 Katz VL, Bowes JA Jr. Meconium aspiration syndrome; Reflection on a murky
subject. Am J Obstet Gynecol. 1992;166:171-83.

23
14 Mount sinai hospital (2008). Amnioreduction.
http://womensandinfantshealth.ca/treatments_therapies/amnio-reduction/ -
diakses Juni 2019
15 Halfhill JE (2019). Amnioreduction. Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/2047080-overview – diakses Juni 2019

24

Anda mungkin juga menyukai