ASAM BORAT
Disusun Oleh :
472016031
SALATIGA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Adanya kasus penambahan boraks pada produk makanan seperti pada bakmi, bakso, dan
tempura sungguh memprihatinkan. Dibalik nikmatnya makanan tersebut, terdapat zat kimia
berbahaya yang ikut menyelinap masuk ke tubuh kita. Sebagai konsumen sulit untuk
menentukan apakah makanan yang kita santap mengandung boraks atau tidak. Kandungan
boraks dalam makanan sulit dibedakan jika hanya dilihat dengan panca indera. Kandungan
boraks hanya bisa diketahui melalui uji laboratorium. Oleh karena itu praktikum ini perlu
dilakukan untuk mengetahui uji kandungan boraks pada beberapa produk makanan.
1.2. Tujuan
Tujuan dalam pratikum ini adalah agar praktikan mampu mengidentifikasi kandungan
borat dalam makanan/jajanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
pangan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas pangan, mempunyai atau tidak
mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam pangan untuk maksud
teknologi pada pembuatan, pengolahan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau
pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas
pangan tersebut. BTP adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan
bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat
atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,
pemucat dan pengental.
Boraks adalah salah satu bahan tambahan pangan yang merupakan senyawa berbentuk
kristal putih yang tidak berbau dan stabil pada suhu ruangan. Boraks merupakan senyawa kimia
yang bernama natrium tetraborat (NaB4O7.10H2O). Jika larut dalam air boraks akan menjadi
hidroksida dan asam borat (H3BO3). Boraks atau asam boraks biasanya digunakan untuk bahan
pembuat deterjen dan antiseptik. Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak
berakibat buruk secara langsung, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit karena
diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Larangan penggunaan boraks juga diperkuat
dengan adanya Permenkes RI No 235/Menkes/VI/1984 tentang bahan tambahan makanan,
bahwa natrium tetraborate yang lebih dikenal dengan nama boraks digolongkan dalam bahan
tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan, tetapi pada kenyatannya masih banyak
bentuk penyalahgunaan dari zat tersebut (Tubagus, I, dkk. 2013).
Sifat kimia senyawa boraks adalah jarak lebur sekitar 171°C, larut dalam air dingin, air
mendidih, dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam
klorida, asam sitrat atau asam tetrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu
molekul airnya pada suhu 100°C yang secara perlahan berubah menjadi asam metaborat
(HBO2). Boraks merupakan asam lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Boraks tidak
tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksidaa. Efek boraks yang diberikan pada makanan
dapat memperbaiki struktur dan tekstur makanan. Seperti contohnya bila boraks diberikan pada
bakso dan lontong akan membuat bakso/lontong tersebut sangat kenyal dan tahan lama,
sedangkan pada kerupuk yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan
empuk serta memiliki tekstur yang bagus dan renyah (Cahyadi, W. 2008). .
BAB III
METODOLOGI
Identifikasi Masalah
No Sampel
Tumeric Paper Kunyit
1 Bakmi − −
2 Bakso kemasan − −
3 Tahu − −
4 Gendar − −
5 Bakso pasar − −
6 Tempura − −
Keterangan :
+ : Jika terjadi perubahan warna.
Pada praktikum ini sampel yang digunakan adalah bakmi, bakso kemasan, tahu, gendar,
bakso pasar, dan tempura. Uji yang dilakukan dalam praktikum ini yaitu uji kualitatif yang
berupa uji warna dengan menggunakan kertas tumerik dan kunyit. Pada sampel bakmi
perlakuan pertama yaitu pemanasan dengan air yang dilakukan agar semua bahan yang
terkandung dalam bakmi bisa keluar setelah larut dengan air. Sampel bakmi kemudian
ditambahkan larutan HCl yang berguna untuk meningkatkan kelarutan boraks dan
mempermudah identifikasi, sehingga apabila pada sampel mengandung boraks maka
kandungan boraks akan menjadi lebih larut. Kertas tumerik dicelupkan pada sampel bakmi dan
hasilnya kertas tumerik tidak mengalami perubahan warna. Sampel bakmi juga dicampur
dengan larutan kunyit dan sampel bakmi tidak mengalami perubahan warna. Tidak adanya
perubahan warna dari kertas tumerik dan tidak adanya perubahan warna sampel setelah
dicampur larutan kunyit maka sampel bakmi tidak mengandung boraks. Bakmi basah
merupakan bakmi yang mengalami perebusan air mendidih sebelum dipasarkan, bakmi ini
memiliki kadar air sekitar 52%. Kandungan gizi dalam setiap 100 gram bakmi yaitu energi
sebanyak 86 kalori, protein 0,6 gram, lemak 3,3 gram, karbohidrat 14 gram, kalsium 14
miligram, fosfor 13 miligram, besi 0,8 miligram, dan air 80 gram (Purnawijayanti, H. 2009).
Pada sampel kedua yaitu bakso kemasan dilakukan perlakuan yang sama dengan sampel
sebelumnya. Kertas tumerik dicelupkan pada sampel bakso kemasan dan hasilnya kertas
tumerik tidak mengalami perubahan warna. Sampel bakso kemasan juga dicampur dengan
larutan kunyit dan sampel bakso kemasan tidak mengalami perubahan warna. Tidak adanya
perubahan warna dari kertas tumerik dan tidak adanya perubahan warna sampel setelah
dicampur larutan kunyit maka sampel bakso kemasan tidak mengandung boraks. Bakso adalah
jenis makanan yang berupa bola-bola yang terbuat dari daging, tepung, dan bumbu tambahan
lainnya. Kandungan gizi dalam setiap 100 gram bakso adalah 77,85% air, 0,31% lemak, 6,95%
protein, dan 1,75% kadar abu (Wibowo, S. 2009).
Pada sampel ketiga yaitu tahu dilakukan perlakuan yang sama dengan sampel
sebelumnya. Kertas tumerik dicelupkan pada sampel tahu dan hasilnya kertas tumerik tidak
mengalami perubahan warna. Sampel tahu juga dicampur dengan larutan kunyit dan sampel
tahu tidak mengalami perubahan warna. Tidak adanya perubahan warna dari kertas tumerik
dan tidak adanya perubahan warna sampel setelah dicampur larutan kunyit maka sampel tahu
tidak mengandung boraks. Kandungan gizi pada tahu adalah energi sebesar 63 kal, air 86,7
gram, protein 7,9 gram, karbohidrat 0,4 gram, lemak 4,1 gram, serat 0,1 gram, abu 0,9 gram,
kalium 150 miligram, dan besi 0,2 miligram. Selain itu tahu juga mengandung vitamin A,
vitamin B1 0,004 miligram, vitamin B2 0,02 miligram, niasin 0,4 miligram, dan vitamin C
(Puspaningtyas, dkk. 2014).
Pada sampel keempat yaitu gendar dilakukan perlakuan yang sama dengan sampel
sebelumnya. Kertas tumerik dicelupkan pada sampel gendar dan hasilnya kertas tumerik tidak
mengalami perubahan warna. Sampel gendar juga dicampur dengan larutan kunyit dan sampel
gendar tidak mengalami perubahan warna. Tidak adanya perubahan warna dari kertas tumerik
dan tidak adanya perubahan warna sampel setelah dicampur larutan kunyit maka sampel gendar
tidak mengandung boraks. Gendar merupakan makanan yang terbuat dari nasi dan memiliki
kandungan gizi yaitu energi sebanyak 37,7 kkal, protein 0,7 gram, lemak 0,1 gram, dan
karbohidrat 8,2 gram (Puspaningtyas, dkk. 2014).
Pada sampel kelima yaitu bakso pasar dilakukan perlakuan yang sama dengan sampel
sebelumnya. Kertas tumerik dicelupkan pada sampel bakso pasar dan hasilnya kertas tumerik
tidak mengalami perubahan warna. Sampel bakso pasar juga dicampur dengan larutan kunyit
dan sampel bakso pasar tidak mengalami perubahan warna. Tidak adanya perubahan warna
dari kertas tumerik dan tidak adanya perubahan warna sampel setelah dicampur larutan kunyit
maka sampel bakso pasar tidak mengandung boraks.
Pada sampel keenam yaitu tempura dilakukan perlakuan yang sama dengan sampel
sebelumnya. Kertas tumerik dicelupkan pada sampel tempura dan hasilnya kertas tumerik tidak
mengalami perubahan warna. Sampel tempura juga dicampur dengan larutan kunyit dan
sampel tempura tidak mengalami perubahan warna. Tidak adanya perubahan warna dari kertas
tumerik dan tidak adanya perubahan warna sampel setelah dicampur larutan kunyit maka
sampel tempura tidak mengandung boraks. Tampura merupakan makanan yang terbuat dari
tepung dan daging. Kandungan gizi pada 1 potong tempura yaitu energi 16 kkal, lemak 0,31
gram, protein 2 gram, karbohidrat 1,14 gram, sodium 47 miligram, dan kalium 19 miligram
(Puspaningtyas, dkk. 2014).
Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang
terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin sebanyak 10% dan bisdesmetoksikurkumin sebanyak
1-5% dan zat- zat bermanfaat lainnya seperti minyak atsiri yang terdiri dari keton sesquiterpen,
turmeron, tumeon 60%, zingiberen25%, felandren, sabinen, borneol dan sineil. Kunyit juga
mengandung lemak sebanyak 1-3%, karbohidrat sebanyak 3%, protein 30%, pati 8%, vitamin
C 45-55%, dan garam-garam mineral, yaitu zat besi, fosfor, dan kalsium. Salah satu zat yang
dapat mendeteksi adanya boraks adalah kurkumin, yakni zat warna yang terkandung dalam
umbi tanaman kunyit (Curcuma domestica val). Kurkumin dapat berfungsi sebagai indikator
karena terjadinya perubahan warna dari kuning muda menjadi coklat pada pH sekitar 4,5 – 9,9.
Kurkumin dapat mendeteksi adanya kandungan boraks pada makanan karena kurkumin
mampu menguraikan ikatan-ikatan boraks menjadi asam borat dan mengikatnya menjadi
kompleks warna rosa atau yang disebut kelat rosasianin atau senyawa kompleks Boron Cyano
Kurkumin yaitu suatu zat yang berwarna merah. Sehingga kompleks warna tersebut yang
dimanfaatkan untuk mengukur kadar boraks (Ginting, J. 2016). Selain itu, di dalam rimpang
kunyit terdapat kandungan minyak atsiri kurkumin yang merupakan indikator bagi natrium
tetraboraks atau asam boraks yang memberikan warna merah oranye dan diubah menjadi hijau
gelap oleh penambahan ammonia, tetapi menjadi merah oranye bila ditambahkan asam (Astuti,
E. 2017).
Boraks bersifat toksik bagi sel, berisiko terhadap kesehatan manusia yang mengonsumsi
makanan mengandung boraks. Keracunan kronis akibat boraks karena absorpsi dalam waktu
lama. Akibat yang dapat ditimbulkan antara lain anoreksia, berat badan turun, muntah, diare,
ruam kulit, kebotakan (alopesia), anemia, dan konvulsi. Konsumsi terus menerus dapat
mengganggu peristaltik usus, kelainan susunan saraf, depresi, dan gangguan mental. Dosis
tertentu mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan, ginjal, hati, dan
kulit karena boraks cepat diabsorpsi oleh saluran pernafasan dan pencernaan, kulit yang luka,
atau membran mukosa. Boraks dapat mempengaruhi sel dan kromosom manusia, dan dapat
mengakibatkan abnormalitas kromosom manusia serta menyebabkan cacat genetik.
Peningkatan dosis boraks dapat mengakibatkan edema, inflamasi sel, neovaskularisasi, dan
dosis sangat tinggi mengakibatkan kematian mendadak (Istiqomah, S, dkk. 2016).
Seseorang yang mengkomsumsi makanan yang mengandung boraks tidak akan langsung
mengalami dampak buruk bagi kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara
kumulatif. Selain melalui saluran pencernaan, boraks dapat diserap melalui kulit. Dosis yang
cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan munculnya gejala pusingpusing, muntah dan
kram perut. Pada anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram atau lebih
dapat menyebabkan kematian, sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi pada dosis 10
sampai 20 gram (Tubagus, I, dkk. 2013). Batas aman penggunaan boraks dalam makanan
adalah 1 gram/kg pangan. Tetapi Pemerintah melalui Badan POM RI telah melarang
penggunaan boraks pada makanan. Larangan penggunaan boraks juga diperkuat adanya
Permenkes RI No. 11688/MENKES/X/1999 yang menyatakan bahwa salah satu bahan
tambahan pangan yang dilarang digunakan dalam makanan adalah boraks. Hal ini dikarenakan
fungsi boraks yang sebenarnya adalah digunakan dalam dunia industri non pangan sebagai
bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik, dan pengontrol kecoa (Suhanda,
dkk. 2012).
Identifikasi kandungan asam borat pada suatu bahan makanan dapat dilakukan melalui
metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif dapat menggunakan uji nyala, uji
warna, titrasi langsung dengan basa kuat, dan titrasi dengan asam. Prosedur kerja pada uji nyala
adalah sampel ditimbang sebanyak 10 gram dan dipotong-potong kecil lalu dimasukkan dalam
oven pada suhu 120oC selama 6 jam. Sampel yang sudah dioven selanjutnya dimasukkan ke
dalam cawan porselin. Sampel dimasukkan ke dalam tanur dan dipijarkan pada suhu 800oC.
Sisa pemijaran ditambahkan 1-2 tetes asam sulfat pekat dan 5-6 tetes metanol, kemudian
dibakar. Bila timbul nyala hijau, maka menandakan adanya boraks. Prosedur kerja pada uji
warna adalah sampel dihaluskan dengan menggunakan kurs porselin sebanyak 10 gram.
Sampel ditambahkan 10 ml natrium karbonat 10% dan diaduk rata. Sampel diuapkan di atas
tangas air sampai kering atau mengarang. Sampel dimasukkan ke dalam tanur dan dipijarkan
pada suhu 550oC sampai pengabuan sempurna. Sampel yang sudah dingin ditambahkan HCl
sampai asam, kemudian disaring sampai didapatkan filtratnya. Filtrat dubagi menjadi dua
untuk uji dengan kertas tumerik dan ekstrak kunyit. Kertas tumerik dicelupkan ke dalam
sebagian filtrat. Jika kertas tumerik berubah warna menjadi merah maka sampel positif
mengandung boraks. Sisa filtrat dicampur dengan ekstrak kunyit. Jika terjadi perubahan warna
menjadi merah maka sampel positif mengandung boraks. Pada uji titrasi langsung dengan basa
kuat yaitu di dalam larutan air boraks yang merupakan campuran natrium metaborat dan asam
borat yang sangat lemah sehingga tidak dapat ditritasi langsung. Dengan adanya senyawa poli-
ol sepertu gliserol dan manitol asam borat dapat membentuk kompleks yang mempunyai
keasaman yang lebih tinggi. Oleh karena itu, boraks dapat ditritasi dengan adanya gliserol atau
manitol menggunakan fenolfalen sebagai indikator. Pada uji titrasi dengan asam penetapan
kadar dilakukan dengan menggunakan HCl untuk membentuk asam borat dan menggunakan
merah metal sebagai indikator. Metode kuantitatif pada identifikasi asam borat dapat
menggunakan uji spektofotometri UV-Vis dan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric).
Pada metode spektofotometri UV-Vis dapat digunakan untuk penetapan sampel dengan kadar
yang sangat kecil dan beberapa laboratorium banyak memiliki alat tersebut. Pada metode AAS
digunakan untuk menetapkan sampel dengan kadar yang sangat kecil namun jarang
laboratorium yang memiliki alat tersebut (Nurma. 2017).
BAB VI
KESIMPULAN
Astuti, E. 2017. Kemampuan Reagen Curcumax Mendeteksi Boraks dalam Bakso yang
Direbus. Jurnal Sain Veteriner, 35(1).
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT. Bumi Aksara
: Jakarta.
Ginting, J. 2016. Strip Tes Berbasis Kurkumin untuk Deteksi Boraks pada Sampel Makanan.
(Skripsi). Universitas Jember : Jember.
Istiqomah, S, dkk. 2016. Penambahan Boraks dalam Bakso dan Faktor Pendorong
Penggunaannya Bagi Pedagang Bakso di Kota Bengkulu. Jurnal Sain Veteriner, 34(1).
Nurma. 2017. Studi Analisis Boraks Menggunakan Kurkumin Hasil Ekstrak Rimpang Kunyit
(Curcuma domestica val.) Secara Spektrofotometri Ultraungu-Tampak. (Skripsi).
Universitas Lampung : Bandar Lampung.
Purnawijayanti, H. 2009. Mie Sehat. Kanisius : Yogyakarta.
Puspaningtyas, dkk. 2014. Enak Sih, Tapi .... . FMedia : Jakarta.
Suhanda, dkk. 2012. Higiene Sanitasi Pengolahan dan Analisa Boraks pada Bubur Ayam yang
Dijual di Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2012. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara
: Medan.
Tubagus, I, dkk. 2013. Identifikasi dan Penetapan Kadar Boraks Dalam Bakso Jajanan di Kota
Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi, 2(4) : 142-148.
Wibowo, S. 2009. Membuat Bakso Sehat dan Enak. Penebar Swadaya : Jakarta.
LAMPIRAN FOTO
Hasil setelah penambahan esktak kunyit Sampel sebelum dan sesudah dicampur ekstrak
kunyit