Pengaturan Kalori
Sistem Manajemen Berat Badan yang Kompleks
Otak dapat mengendalikan kita dalam mengatur perilaku makan kita. Otak akan
memberikan sinyal internal untuk mengetahui kapan kita membutuhkan makanan dan kapan
kita merasa kenyang. Selain otak, terdapat hormon yang mengatur rasa lapar dan kenyang yaitu
ghrelin dan leptin. Ghrelin akan merangsang rasa lapar secara langsung, merangsang sekresi
asam lambung, sekresi hormon dari pankreas, serta sekresi hormon pertumbuhan. Kadar
ghrelin dalam darah akan meningkat saat kita merasa lapar, dan akan menurun saat kita merasa
kenyang. Sedangkan leptin berfungsi dalam pengaturan berat badan dalam jangka waktu yang
panjang. Leptin bisa menjadi obat untuk membantu orang yang kelebihan berat dengan cara
mengontrol asupan makanan mereka. Saat kadar leptin meningkat, maka kita akan makan
dengan jumlah yang sedikit dan saat kadar leptin menurun, maka kita akan makan dengan
jumlah yang banyak.
Otak membutuhkan glukosa dalam darah untuk menjalankan kerja otak sebagai bahan
bakar. Otak membutuhkan 100 gram glukosa per hari untuk dapat menjalankan metabolisme
dalam tubuh. Saat kita tidur atau tidak makan, otak tetap membutuhkan glukosa melalui enzim
yang memecah glikogen di hati menjadi glukosa. Jika simpanan glikogen dalam hati berkurang,
maka terjadi pembongkaran glikogen di otot. Protein dan lemak dalam tubuh akan terurai
menjadi asam amino dan asam lemak yang akan digunakan untuk energi. Penguraian yang
melepaskan bagian asam amino dan bagian lemak gliserol dapat digunakan untuk membuat
glukosa. Penguraian ini akan melepaskan air sehingga terjadi penurunan berat badan. Setelah
beberapa hari puasa, maka tubuh akan memecah asam amino dan gliserol lebih cepat untuk
menjadi glukosa, kemudian ginjal akan mengeluarkan garam. Ekskresi garam disertai oleh
ekskresi air, sehingga terjadi penurunan berat badan. Ketika glukosa darah menurun dan lemak
turun dengan cepat, reaksi metabolik yang menghasilkan energi terlalu lambat untuk mengikuti
masuknya asam lemak yang dilepaskan dari pemecahan lemak. Untuk meredakan tekanan
metabolik ini, enzim di hati dan ginjal mengubah kelebihan asam lemak menjadi senyawa yang
disebut keton. Ketika kadar keton meningkat dalam darah, otak secara bertahap beradaptasi
untuk menggunakannya sebagai bahan bakar. Setelah satu hingga tiga minggu tidak makan,
tubuh akan mengalami penurunan berat badan secara melambat, tekanan darah turun, merasa
mual, dan menjadi pusing ketika mereka berdiri. Setelah empat minggu tidak makan, simpanan
lemak dan protein dalam tubuh akan habis, sehingga mereka menjadi buta dan mengigau.
Akhirnya, mereka mengalami koma. Setelah otot jantung dan diafragma menjadi lemah, orang
yang kelaparan tidak lagi dapat membersihkan cairan dari paru-paru. Hal ini membuat mereka
semakin rentan terhadap infeksi paru-paru, seperti pneumonia.
Pada anak-anak masalah malnutrisi lebih rentan terjadi, misalnya manutrisi protein.
Malnutrisi protein pada anak-anak menyebabkan penyakit kwashiorkor dan marasmus. Anak-
anak yang mengalami malnutrisi akan lebih mudah terkena penyakit seperti diare dan penyakit
menular lainnya. Stunting paling sering terjadi pada beberapa bulan pertama kehidupan di
antara anak-anak yang tidak minum ASI yang lebih lama dan mendapatkan asupan gizi yang
seimbang, sehingga rentan mengalami gangguan imunitas dan penyakit menular. Hal ini
disebabkan karena kemiskinan, politik, sosial, ekonomi, dan kondisi hidup yang buruk dan
akses yang tidak memadai terhadap air bersih, sanitasi, pendidikan, dan perawatan medis.
Review Article (6)_(Nutrition Socioantropology)_(472016031)
Kezia Elian Devina
472016031
Dalam bayak kebudayaan menyebutkan bahwa makanan dapat dijadikan perantara untuk
dapat berhubungan baik dengan para dewa-dewa mereka. Orang Yunani Kuno akan
mempersembahkan makanan sebagai sarana untuk mendamaikan dewa-dewa mereka.
Makanan tersebut akan dijadikan sebagai ritual untuk memohon kepada para dewa atau roh
mereka. Dalam ritual pemberian makanan untuk dewa, para perempuan yang akan memasak
dan menyiapkan makanan tersebut. Mereka akan menyiapkan semua makanan untuk para
leluhur mereka. Oleh karena itu perempuan dapat dijadikan agen untuk pengetahuan ritual dan
agama serta persembahan makanan. Dalam agama Budha, seorang bhikkhu tidak
diperbolehkan untuk memakan daging karena terdapat larangan Buddha untuk membunuh.
Namun ada beberapa perempuan yang tetap menawarkan daging kepada para bhikkhu,
perempuan mengganggap bahwa daging merupakan makanan yang dibeli dengan harga yang
mahal sehingga tidak boleh disia-siakan.
Ada beberapa fakta yang menyebutkan bahwa perempuan Eropa dan Amerika akan
menolak makanan yang digunakan untuk pencapaian dan penguasaan di dunia. Mereka akan
berpuasa untuk mencapai Tuhan. Perempuan menolak makan tidak hanya untuk ritual namun
juga digunakan sebagai cara agar mereka tidak terlihat gemuk. Hal tersebut dapat membuat
perempuan lebih rentan terkena anoreksia.
Tugas Individu (Artikel)_(Nutrition Socioantropology)_(472016031)
Kezia Elian Devina
472016031
Makanan merupakan identitas suatu bangsa yang memiliki corak yang khas, sehingga
makanan tidak dapat terlepas dari aspek budaya suatu bangsa. Makanan memiliki makna bagi
suatu kelompok masyarakat, dimana tradisi, adat istiadat, dan nilai-nilai sampai letak geografis
akan menentukan hidangan jenis apa yang diletakan dalam sebuah piranti saji. Makanan dapat
dijadikan sebagai sarana komunikasi non verbal untuk mengubah persepsi publik internasional
dan mempromosikan suatu negara di panggung global. Bagi banyak warga dunia yang tidak
bepergian ke luar negeri, pendekatan kuliner dapat dijadikan sebagai daya tarik untuk mengenal
dan mengunjungi bagian-bagian lain dari dunia yang belum mereka ketahui melalui rasa
makanan negara lain. Diplomasi ini memberi gambaran budaya suatu negara dalam hal
makanan, bagaimana makanan tersebut dibuat, disajikan, dan menjadi simbol identitas budaya.
Ini menjadi instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dengan harapan
meningkatkan interaksi dan kerja sama internasional. Kekuatan dan koneksi makanan dan
nasionalisme telah menjadikan makanan sebagai salah satu alat hubungan internasional.
Indonesia memiliki berbagai masakan khas yang dapat dijadikan sebagai potensi kuliner
yang diminati oleh negara-negara lain. Indonesia juga memiliki kekayaan alam berupa rempah-
rempah yang dapat dijadikan ciri khas Bangsa Indonesia. Rempah-rempah sangat diminati oleh
negara lain, terbukti dari peristiwa penjajahan yang dialami Indonesia, dimana Bangsa Eropa
ingin menguasi rempah-rempah Indonesia. Saat ini Indonesia sedang melakukan implementasi
gastrodiplomasi melalui penetapan program 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (30 IKTI)
sebagai platform awal dalam pengembangan kuliner tradisional Indonesia agar lebih dikenal
dan diakui di mata internasional. Cara yang dilakukan Indonesia antara lain diundangnya chef
Indonesia dalam acara pameran makanan yang bernama Summer Fancy Food Show yang
diadakan di New York. Chef yang merupakan perwakilan dari Indonesia telah mengubah arti
diplomat yang sekarang tidak lagi hanya perwakilan dari negara secara resmi saja, namun chef
ini juga memiliki fungsi yang sama dengan diplomat resmi yaitu sama-sama mempromosikan
Indonesia. Selain itu Indonesia memiliki perusahaan nasional yang bernama PT. Indofood yang
mempunyai produk bernama Indomie, dimana saat ini Indomie sudah dikenal oleh negara-
negara lain. Pemerintah Indonesia juga melakukan gastrodiplomasi melalu pertemuan-
pertemuan negara. Contohnya pada tanggal 22 November 2014 saat Jokowi mengadakan
pertemuan dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dengan meyantap nasi lemak
dan roti prata.
Saat ini upaya gatrodiplomasi yang dilakukan Indonesia masih lemah dalam daya tarik
kulinernya, potensi kuliner Indonesia juga belum dioptimalkan dengan baik. Namun
pemerintah sudah mulai melakukan gastrodiplomasi pada beberapa pertemuan pemerintahan.
Daftar Pustaka :
Baskoro, R. 2017. Konseptualisasi dalam Gastro Diplomasi : Sebuah Diskusi Kontemporer
dalam Hubungan Internasional. Jurnal Insignia, 4(2).
Pujayanti, A. 2017. Gastrodiplomasi – Upaya Memperkuat Diplomasi Indonesia. Jurnal
Politica, 8(1).
Wibisono, N. 2016. Politik Kuliner dan Diplomasi di Atas Meja Makan. https://tirto.id/politik
kuliner-dan-diplomasi-di-atas-meja-makan-b5yy (Artikel diakses pada tanggal 17 Juni
2018 pukul 15 : 20 WIB)
Tugas Individu (Mini Project)_(Nutrition Socioantropology)_(472016031)
Kezia Elian Devina
472016031
Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Makan Pada Ibu Hamil dan Bayi
Latar Belakang
Makhluk hidup memerlukan asupan makanan untuk dapat memenuhi kelangsungan
hidupnya. Manusia membutuhkan makanan tersebut agar selalu hidup sehat sehingga dapat
melaksanakan berbagai pekerjaan atau kegiatan selama hidupnya. Untuk itu dibutuhkan
berbagai jenis makanan yang mengandung zat gizi yang cukup sebagai sumber tenaga, zat
pembangun, dan zat pengatur. Untuk memenuhi zat gizi yang cukup, harus mempunyai
kebiasaan makan yang baik. Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan
kualitas sumber daya manusia di masa depan, karena tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh
kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Pada masa kehamilan pola makan yang baik
perlu dibentuk sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi, terutama ibu hamil yang
membutuhkan gizi yang baik (Rumdasih, 2004).
Kebiasaan makan merupakan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makan
dan makanan, seperti tata krama makan, pola makanan yang dimakan, frekuensi dan porsi
makanan, kepercayaan dan penerimaan terhadap makanan (misalnya pantangan dan rasa suka
atau tidak suka terhadap makanan), distribusi makanan di antara anggota keluarga, dan cara
pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Kebiasaan makan seseorang dapat diketahui
dengan melihat konsumsi makanan sehari-hari orang tersebut. Apabila tidak terpenuhinya
asupan makanan yang cukup gizi pada ibu hamil maka cenderung akan kekurangan zat gizi
tertentu pada ibu tersebut seperti Kurang Energi Kronis (KEK). Kekurangan energi kronik
adalah keadaan dimana ibu menderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun
(kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan. KEK pada ibu hamil berdampak
terhadap ibu dan bayi yang akan dilahirkan, seperti pertumbuhan janin yang kurang,
meningkatnya risiko kematian neonatal, meningkatnya risiko terjadinya stunting, dan berat
badan lahir rendah (BBLR).
Indonesia merupakan suatu bangsa yang terdiri atas berbagai pulau dan mempunyai
kebudayaan yang beraneka ragam. Indonesia tersusun atas berbagai kelompok etnis yang
memiliki ragam budaya dan adat istiadat. Budaya yang ada di Indonesia dapat mempengaruhi
berbagai perilaku masyarakatnya, salah satunya adalah perilaku makan. Perilaku makan pada
ibu hamil dapat dipengaruhi oleh faktor budaya karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan
pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Kepercayaan bahwa ibu hamil pantang
mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan kondisi ibu kehilangan zat gizi yang
berkualitas. Pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat
dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan
janin. Kemiskinan masyarakat akan berdampak pada penurunan pengetahuan dan informasi,
dengan kondisi ini ibu akan mengalami resiko kekurangan gizi, dan dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan (Arisman, M. 2009).
Persoalan pantangan atau tabu dalam mengkonsumsi makanan tertentu terdapat secara
universal di seluruh dunia. Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi
jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya terhadap barang siapa yang
melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis, yaitu adanya kekuatan
superpower yang berbau mistik yang akan menghukum orang-orang yang melanggar
pantangan atau tabu tersebut. Tampaknya berbagai pantangan atau tabu pada mulanya
dimaksudkan untuk melindungi kesehatan anak-anak dan ibunya, tetapi tujuan ini bahkan ada
yang berakibat sebaliknya, yaitu merugikan kondisi gizi dan kesehatan. Pantangan-pantangan
pada ibu hamil juga kerap dirasakan oleh masyarakat Jawa. Di masyarakat Jawa Tengah, ada
kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan
pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji pemaknaan masyarakat Jawa terhadap
makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Tujuan khusus penelitian ini yaitu :
1) Mengkaji pantangan dan makna simbolis tentang perilaku makan ibu hamil masyarakat
Jawa dan pengaruh serta manfaatnya bagi kesehatan.
2) Mengkaji pantangan dan makna simbolis tentang perilaku makan pada bayi masyarakat
Jawa dan pengaruh serta manfaatnya bagi kesehatan.
Mini project yang akan dilakukan adalah meneliti dengan cara mewawancarai dan
mengobservasi responden yang terdiri dari 2 orang ibu yang sedang hamil dan 2 orang ibu yang
memiliki bayi sekitar umur 1-2 tahun. Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan
pertanyaan yang berkaitan dengan pantangan dan makna simbolis tentang perilaku makan pada
ibu hamil dan bayi. Pantangan terhadap perilaku makan yang dilakukan oleh ibu hamil dan
bayi akan dikaitkan dengan pengaruh dan manfaatnya bagi kesehatan ibu hamil dan bayi.
Penelitian dilakukan pada masyarakat Jawa yang masih menjalankan budaya berupa
pantangan-pantangan. Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara
yang disusun berdasarkan tujuan yang hendak dicapai serta mengacu pada teori-teori
pendukung yang berhubungan pada fokus penelitian.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus (case study) tentang analisis kebiasaan yang dilakukan oleh ibu hamil
dan bayi. Sampel diambil dengan purposive sampling yaitu pemilihan responden dilakukan
secara sengaja sesuai dengan persyaratan responden yang diperlukan. Responden dalam
penelitian ini adalah ibu yang sedang hamil dan ibu yang memiliki bayi sekitar umur 1-2 tahun.
Responden akan dipilih 4 orang, 2 orang ibu yang sedang hamil dan 2 orang ibu yang memiliki
bayi sekitar umur 1-2 tahun untuk dilakukan wawancara secara mendalam dan observasi.
Daftar Pustaka
Arisman, M. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC.
Rumdasih. 2004. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC