Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti
ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu
keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum
dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan
yang berkaitan dengan pembedahan.
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut. Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok
perifer. Spinal & anestesi epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi,
obstetri dan anggota tubuh bagian bawah operasi abdomen bagian bawah. Spinal
anestesi, diperkenalkan oleh Bier Agustus 1898, adalah teknik regional pertama
utama dalam praktek klinis. Operasi seksio sesaria memerlukan anestesi yang
efektif yaitu regional (epidural atau tulang belakang) atau anestesi umum.
Dengan epidural anestesi, obat anestesi yang dimasukkan kedalam ruang disekitar
tulang belakang ibu, sedangkan dengan spinal anestesi yaitu obat anestesi
disuntikkan sebagai dosis tunggal kedalam tulang belakang ibu. Dengan dua jenis
anestesi regional ini ibu terjaga dalam proses persalinan, tetapi mati rasa dari
pinggang kebawah.
Keuntungan dari spinal anestesi dibandingkan dengan anestesi epidural
adalah kecepatan onsetnya. Kerugian spinal anestesi adalah tingginya kejadian
hipotensi, ada mual-muntah intrapartum, kemungkinan adanya post spinal
headache, lama kerja obat anestesi terbatas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Disproporsi Kepala-Panggul


2.1.1. Definisi
Mekanisme kelahiran adalah suatu proses penyesuaian bayi terhadap
jalan lahir yang harus dilalui. Karena itu ukuran dan bentuk pelvis teramat
penting dalam obstetrik. Pada wanita maupun pria, pelvis merupakan
rangkaian tulang ekstremitas bawah, akan tetapi pada Wanita mempunyai
bentuk khusus yang disesuaikan pada proses persalinan.
Cephalopelvic Disproportion adalah ukuran pelvis yang tidak
proporsional dengan ukuran besar kepala bayi untuk dilalui bayi pada
proses persalinan. Disproporsi bisa terjadi akibat pelvis sempit dengan
kepala bayi normal, atau pelvis normal dengan bayi besar, atau kombinasi
antara bayi besar dan pelvis sempit.

2.1.2. Jenis-jenis Panggul Sempit


1. Kesempitan pintu atas panggul (pelvic inlet)
a. Pembagian tingkatan panggul sempit
 Tingkat I : C.V = 9-10 cm = borderline
 Tingkat II : C.V = 8-9 cm = relative
 Tingkat III : C.V = 6-8 cm = Ekstrim
 Tingkat IV : C.V = 6 cm =Mutlak (absolut)
b. Pembagian menurut tindakan
 C.V = 11 cm Partus Biasa
 C.V = 8-10 cm Partus percobaan
 C.V = 6-8 cm SC primer
 C.V = 6 cm SC mutlak (absolut)
Inlet dianggap sempit bila C.V kurang dari 10 cm atau diameter
transversa kurang dari 12 cm. Karena yang biasa diukur adalah
conjugata Diagonalis (C.D) maka inlet dianggap sempit bila C.D
kurang dari 11,5 cm.

2
2. Kesempitan Midpelvis Terjadi bila:
a. Diameter interspinarum 9 cm, atau
b. Kalau diameter transversa ditambahkan dengan diameter sagitalis
posterior kurang dari 13,5 cm. Kesempitan midpelvis hanya dapat
dipastikan dengan rontgen pelvimetri. Dengan pelvimetri klinik,
hanya dapat dipikirkan kemungkinan kesempitan midpelvis kalau:
spina menonjol, partus akan tertahan disebut midpevic arrest-side
walls konvergen ada kesempitan outlet Midpelvis contraction dapat
memberi kesulitan sewaktu partus sesudah kepala melewati pintu
atas panggul. Adanya kesempitan ini sebetulnya merupakan
kontraindikasi untuk forsep karena daun forsep akan menambah
sempitnya ruangan.
3. Kesempitan outlet adalah bila diameter transversa dan diameter sagitalis
posterior <15 cm. Kesempitan outlet, meskipun bisa tidak menghalangi
lahirnya janin, namun dapat menyebabkan perineal rupture yang hebat,
karena arkus pubis sempit sehingga kepala janin terpaksa melalui
ruangan belakang.

2.1.3. Diagnosis
Kita selalu memikirkan kemungkinan panggul sempit, bila ada seorang
primigravida pada akhir kepala kehamilan anak belum masuk p.a.p dan ada
kesalahan letak janin. Diagnosis dapat kita tegakkan dengan:
a. Anamnesis Kepala tidak masuk P.A.P dan ada riwayat kesalahan letak
(LLi, letak bokong), partus yang lalu berlangsung lama, anak mati atau
persalinan ditolong dengan alat-alat (ekstraksi vakum atau forsep) dan
operasi
b. Inspeksi Ibu kelihatan pendek ruas tulang-tulangnya atau ada skoliosis,
kifosis, dll. Kelainan panggul luar (rachitis, dsb) kalau kepala belum
masuk P.A.P kelihatan kontur seperti kepala menonjol diatas simfisis.

c. Palpasi Kepala tidak masuk p.a.p atau masih goyang dan terdapat tanda
dari OSBORN, yaitu kepala didorong kearah p.a.p dengan satu tangan
diatas simpisis pubis sedang tangan lain mengukur tegak lurus pada

3
kepala yang menonjol. (+) = 3 jari (-) = masuk p.a.p (±) = antara
kesalahan-kesalahan letak.

d. Pelvimetri Klinis 1. Pemeriksaan panggul luar: apakah ukurannya


kurang dari normal 2. Pemeriksaan dalam (V.T): apakah promontorium
teraba, lalu diukur C.D dan C.V: linea innominata teraba seluruhnya atau
tidak, spina ischiadica dll.

e. Rontgen Pelvimetri Dari foto dapat kita tentukan ukuran-ukuran


C.V;C.O = apakah kurang dari normal; C.T; serta imbang kepala
panggul.
Diagnosis panggul sempit / disproporsi sefalopelvik Pemeriksaan umum
kadang-kadang sudah membawa pikiran ke arah kemungkinan kesempitan
panggul. Sebagaimana adanya tuberkulosis pada kolumna vertebra atau
pada panggul, luksasio koksa kongenitalis dan poliomielitis dalam
anamnesis memberi petunjuk penting , demikian pula ditemukannya kifosis,
ankilosis pada artikulosio koksa di sebelah kanan atau kiri dan lain-lain pada
pemeriksaan fisik memberikan isyarat-isyarat tertentu. Pada wanita yang
lebih pendek daripada ukuran normal bagi bangsanya , kemungkinan
panggul kecil perlu diperhatikan pula. Akan tetapi apa yang dikemukakan di
atas tidak dapat diartikan bahwa seorang wanita dengan bentuk badan
normal tidak dapat memiliki panggul dengan ukuran-ukuran yang kurang
dari normal, ditinjau dari satu atau beberapa segi bidang panggul. Dalam
hubungan ini beberapa hal perlu mendapat perhatian. Anamnesis tentang
persalinan-persalinan terdahulu dapat memberi petunjuk tentang keadaan
panggul. Apabila persalinan tersebut berjalan lancar dengan dilahirkannya
janin dengan berat badan normal, maka kecil kemungkinan bahwa wanita
yang bersangkutan menderita kesempitan panggul yang berarti. Pengukuran
panggul (pelvimetri) merupakan cara pemeriksaan yang penting untuk
mendapat keterangan lebih banyak tentang keadaan panggul. Cara
pelaksanaan pelvimetri sudah dibahas dengan lengkap pada fisiologi
kehamilan, disini hanya dikemukakan beberapa hal pokok saja. Pelvimetri
luar tidak banyak artinya, kecuali untuk pengukuran pintu bawah panggul

4
dan dalam beberapa hal yang khusus seperti panggul miring. Pelvimetri
dalam dengan tangan mempunyai arti yang penting untuk menilai secara
agak kasar pintu atas panggul serta panggul tengah , dan untuk memberi
gambaran yang jelas mengenai pintu bawah panggul. Dengan pelvimetri
rontgenologi diperoleh gambaran yang jelas tentang bentuk panggul dan
ditemuakn angka-angka mengenai ukuran-ukuran dalam ketiga bidang
panggul. Akan tetapi pemeriksaan ini pada masa kehamilan mengandung
bahaya, khusunya bagi janin . Oleh sebab itu tidak dapat dipertanggung
jawabkan untuk menjalankan pelvimetri rontgenologik secara rutin pada
masa kehamilan melainkan harus didasarkan atas indikasi yang nyata, baik
dalam masa antenatal, maupun dalam persalinan. Keadaan panggul
merupakan faktor penting dalam kelangsungan persalinan, tetapI yang tidak
kurang penting ialah hubungan antara kepala janin dengan panggul ibu.
Besarnya kepala janin dalam perbandingan dengan luasnya panggul ibu
menentukan apakah ada disproporsi sefalopelvik atau tidak. Masih ada
faktor-faktor lain yang ikut menentukan apakah persalinan pervaginam akan
berlangsung dengan baik, akan tetapi faktor-faktor ini baru dapat diketahui
pada saat persalinan , seperti kekuatan his dan terjadinya moulage kepala
janin. Besarnya kepala janin, khususnya diameter biparietalisnya dapat
diukur dengan menggunakan sinar rontgen ekan tetapi sefalometri
rontgenologi lebih sukar pelaksaannya dan mengandung bahaya seperti
pemeriksaan-pemeriksaan rontgenologik lainnya. Pengukuran diameter
biparietalis dengan cara ultrasonik yang sudah mulai banyak dilakukan
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Cara ini tidak berbahaya
dibandingkan dengan pemeriksaan rontgenologik. Pada hamil tua dengan
janin dalam presentasi kepala, dapat dinilai agak kasar adanya disproporsi
sefalopelvik dan kemungkinan mengatasinya.

2.1.4. Faktor Resiko


Faktor determinan adalah faktor—faktor yang memberikan resiko untuk
terjadinya CPD pada Ibu melahirkan. Terjadinya distosia pada jalan lahir

5
oleh karena CPD agak sulit didefenisikan penyebabnya oleh karena variasi
defenisi, beberapa faktor yang dapat dijadikan faktor resiko:
I. Faktor Mediko Obstetri.
a. Tinggi Badan.
Tinggi badan bisa dipengaruhi oleh faklor keturunan,
scbagaimana pengaruh genetik dari poliposisi familial, namun faktor
makanan dan kekurangan zat—zat gizi yang dibutuhkan oleh tulang
juga mempengaruhi pertumbuhan tulang menjadi lebih panjang.
Seorang wanita yang bertubuh kecil, atau wanita yang memiliki
ukurau tinggi badan yang lebih pendek daripada ukuran normal bagi
bangsanya, kemungkinan memiliki pelvis berukuran kecil.
Umumnya jika wanita tersebut mempunyai ukuran tinggi badan ≤
145 cm. Akan tetapi tidak dapat diartikan bahwa scorang wanita
dengan bentuk badan normal tidak dapat memiliki ukuran-ukuran
pelvis yang kurang dari normal, jika ditinjau dari satu atau beberapa
segi bidang pelvis.
b. Berat Badan Bayi.
Pada umumnya, pada ibu—ibu yang hamil dengan kondisi
kesehatan yang baik, dengan sistem reproduksi yang normal, tidak
sering menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi pada masa pra
hamil, akan menghasilkan bayi yang lebih besar. Konsumsi makanan
yang mengandung energi, protein, zat besi, seng dan asam folat
selama masa kehamilan dapat dapat mengoptimalkan pertumbuhan
bayi. Bayi yang terlalu besar dapat mempengaruhi jalannya
persalinan, karena ukuran berat badan bayi berpengaruh pada besar
ukuran lingkar kepala bayi, jika ukuran bayi besar maka ukuran
diameter lingkar kepala bayi juga akan lebar.
Pada penelitian sebelumnya di Amerika Serikat, berat badan janin
lebih besar dari 4000 gram meningkatkan resiko pada saat partus sebesar
10,2 kali. Pada penelitian di Yogyakarta menunjukkan berat badan bayi ≥
3500 gram meningkatkan resiko 4,19 kali. Resiko untuk mengalami
komplikasi persalinan 4,5 kali lebih besar pada ibu yang melahirkan bayi

6
dengan berat badan > 4000 gram, dibandingkan dengan ibu yang berat
badan bayinya ≤4000 gram.
c. Ukuran Pelvis Ibu.
Pada pelvis dengan ukuran normal, dengan berat badan janin yang
normal juga tidak akan mengalami mengalami kesukaran dalam
persalinan pervaginam. Akan tetapi karena pengaruh gizi, lingkungan
atau hal—hal yang lain, ukuran—ukuran pelvis dapat menjadi lebih
kecil dari standard normal, sehingga dapat terjadi kesulitan dalam
persalinan per vaginam. Selain itu kesempitan pada pelvis juga dapat
disebabkan oleh kelainan pada tulang pelvis, yakni :
 Kelainan karena gangguan pertumbuhan, yakni: Pelvis sempit
seluruh (semua ukuran pelvis kecil), Pelvis picak (ukuran muka
belakang sempit), Pelvis sempit picak (semua ukuran kecil, tapi
terlebih ukuran muka belakang), Pelvis Corong (pintu atas pelvis
biasa tetapi pintu bawah pelvis sempit).
 Kelainan karena penyakit tulang pelvis atau sendi-sendinya, yakni:
Pelvic Rachitis, Pelvic Osteomalaci dan radang articulation
sacroiliaca.
 Kelainan pelvis disebabkan kelainan tulang belakang, yakni :
Kyphose di daerah tulang pinggang menyebabkan pelvis corong dan
Scoliose di daerah tulang punggung menyebabkan pelvis sempit
miring.
 Kelainan pelvis disebabkan kelainan anggota tulang bawah tubuh,
yakni: Coxitis,Luxalio dan Atrofia.
Dan dapat juga dipengaruhi oleh bentuk jenis pelvis yang sudah
terbentuk secara genetik. Jenis Pelvis wanita Indonesia ( Djaka &
Moeljo) yakni : Ginekoid = 64,2 % Antropoid = 16,3 %, Platipeloid =
13,6 %, Android = 2,2%, Pelvis patologik = 3%.“; Dari jenis—jenis
pelvis diatas, pelvis yang normal untuk seorang wanita agar dapat
melahirkan dengan normal adalah Ginekoid, sedangkan untuk jenis
pelvis anthropoid, Platipeloid Android dan pelvis patologik adalah jenis

7
pelvis kurang dari ukuran nonnal yang terdapat kesempitan—kescmpitan
pada sisi-sisi rongganya.”
d. Ukuran Lingkar Kepala Bayi.
Dari seluruh bagian badan bayi, kepala merupakan bagian
terpenting dalam proses persalinan, jika kepala bayi dapai melewati
pelvis ibu, bagian badan lainnya pada umunmya akan dapat lewat pula
tanpa kesulitan. Kepala janin terdiri atas tulang—tulang tengkotak
(kranium) dan tulang-tulang dasar tengkorak (basis kranii) serta muka.
Kepala janin berbentuk ovoid yang lebih sempit di bagian depan dan
lebar di belakang. Ukuran-ukuran kepala yang berperan pada waktu
persalinan yang tercatat di kartu status, seperti: diameter biparietalis
yang merupakan ukuran lintang terbesar yang disebut parietalis kiri dan
kanan, ukuran diameter bitemporalis yang merupakan ukuran lintang
terkecil antara kedua os temporalis dan ukuran sirkumférensia
mentooksipitalis

2.1.5. Mekanisme persalinan


Cara penanggulangan persalinan adalah cara atau tehnik yang
dipergunakan pada saat proses persalinan pada pasien yang mengalami
CPD untuk membantu proses persalinan. Sekarang ada 2 cara yang dikenal
yang merupakan cara tindakan utama untuk menangani persalinan pada
CPD, yakni seksio sesarea dan partus percobaan pervaginam

Partus percobaan pervaginam


Pada pelvis yang sempit berdasarkan pemeriksaan yang diteliti pada
hamil tua diadakan penilaian tentang bentuk serta ukuran—ukuran pelvis
dan hubungan antara kepala janin dengan pelvis, dan setelah dicapai
kesimpulan bahwa ada harapan persalinan dapat berlangsung pervaginam
dengan selamat, dapat diambil keputusan untuk menyelenggarakan Partus
percobaan pervaginam. Terdapat beberapa kemungkinan hasil dari Partus
percobaan, yakni: Partus percobaan berhasil, dapat lahir secara
pervaginam, dan partus percobaan gagal, maka dilanjutkan dengan seksio
sesarea.

8
Seksio Sesarea
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram

2.1.6. Penatalaksanaan
Dewasa ini 2 tindakan dalam penanganan disproporsi sefalopelvik
yang dahulu banyak diselenggarakan lagi. Cunam tinggi dengan
menggunakan axis- traction forceps dahulu dilakukan untuk membawa
kepala janin yang dengan ukuran besarnya belum melewati atas panggul
kedalam rongga panggul dan terus keluar. Tindakan ini sangat berbahaya
bagi janin dan ibu, kini diganti oleh section sesaria yang jauh lebih aman.
Saat ini ada 2 cara yang merupakan tindakan utama untuk menangani
persalinan pada disproporsi sefalopelvik, yakni sectio sesaria dan partus
percobaan.
a. Sectio Sesaria
Sectio sesaria dapat dilakukan secara elektif atau primer, yakni
sebelum persalinan mulai atau pada awal persalinan, dan secara
sekunder yakni setelah persalinan berlangsung selama beberapa
waktu.. section sesaria elektif direncanakan lebih dahulu dan dilakukan
pada kehamilan cukup bulan karena kesempitan panggul yang cukup
berat, atau karena terdapat disproporsi sefalopelvik yang nyata. Selain
itu sectio tersebut diselenggarakan pada kesempitan ringan apabila ada
factorfactor lain yang merupakan komplikasi, seperti primigravida tua,
kelainan letak janin yang tak dapat diperbaiki, kehamilan pada wanita
yang mengalami infertilitas yang lama, penyakit jantung, dan lain-lain.
Sectio sesaria sekunder dilakukan karena persalinan percobaan
dianggap gagal, atau karena timbul komplikasi untuk menyelesaikan
persalinan selekas mungkin, sedang syarat-syarat untuk persalinan
pervaginam tidak atau belum dipenuhi.

9
b. Persalinan Percobaan.
Setelah pada panggul sempit berdasarkan pemeriksaan yang teliti
pada hamil tua diadakan penilaian tentang bentuk serta ukuran- ukuran
panggul dalam semua bidang dan hubunga antara kepala janin dan
panggul, dan setelah dicapai kesimpulan bahwa ada harapan bahwa
persalinan dapat berlangsung pervaginam dengan selamat, dapat
diambil keputusan untuk menyelenggarakan persalinan percobaan.
Dengan demikian persalinan ini merupakan suatu test terhadap
kekuatan his dan daya akomodasi, termasuk moulage kepala janin, kedua
factor ini tidak dapat diketahui sebelum persalinan berlangsung beberapa
waktu. Pemelihan kasus-kasus untuk persalinan percobaan harus dilakukan
dengan cermat. Diatas sudah dibahas indikasi- indikasi untuk section
sesaria elektif, keadaan- keadaan ini dengan sendirinya menjadi kontra
indikasi untuk persalinan percobaan. Selain itu beberapa hal perlu pula
mendapat perhatian. Janin harus berada dalam presentasi kepala dan
lamanya kehamilan tidak lebih dari 42 minggu.

2.1.7. Prognosa
Apabila persalinan dengan disproporsi sefalopelvik dibiarkan
berlangsung sendiri tanpa – bilamana perlu – pengambilan tindakan yang
tepat,timbul bahaya bagi ibu dan janin.
Bahaya pada ibu :
a. Partus lama yang seringkali disertai pecahnya ketuban pada
pembukaan kecil dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis, dan
infeksi intrapartum.
b. Dengan his yang kuat, sedang kemajuan janin dalam jalan lahir
tertahan, dapat timbul peregangan segmen bawah uterus dan
pembentukan lingkaran retraksi patologik (Bundl). Keadaan ini
terkenal dengan ruptur uteri mengancam, apalagi bila tidak segera
diambil tindakan untuk mengurangi reganggan akan timbul ruptur
uteri.

10
c. Dengan persalinan tidak maju karena disproporsi sefalopelvik, jalan
lahir pada suatu tempat mengalami tekanan yang lama antara kepala
janin dan tulang panggul. Hal itu menimbulkan gangguan sirkulasi
dengan akibat terjadinya iskemia dan kemudian nekrosis pada tempat
tersebut. Beberapa hari post partum akan terjadi fistula
vesikoservikalis , atau fistula vesicovaginalis, atau fistula
rectovaginalis.
Bahaya pada janin :
a. Partus lama dapat meningkatkan kematian perinatal, apalagi jika
ditambah dengan infeksi intrapartum.
b. Prolapsus funikuli apabila terjadi mengandung bahaya yang sangat
besar bagi janin dan memerlukan kelahiran segera, apabila ia masih
hidup.
c. Dengan adanya disproporsi sefalopelvik, kepal janin dapat melewati
rintangan pada panggu dengan mengadakan moulage. Moulage dapat
dialami oleh kepala janin tanpa akibat yang jelek sampai batas-batas
tertentu, akan tetapi apabila batas –batas tersebut dilampaui, terjadi
sobekan pada tentorium serebeli dan perdarah intrakranial.
d. Selanjutnya tekanan oleh promontorium atau kadang-kadang oleh
simpisis pada panggul picak menyebabkan perlukaan pada jaringan
diatas tulang kepala janin, malahan dapat pula menimbulkan fraktur
pada os parietalis.

2.2. Sectio Caesarea


2.2.1. Definisi
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus.
2.2.2. Indikasi5,6
a. Indikasi ibu
 Panggul sempit
 Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
 Stenosis serviks uteri atau vagina

11
 Perdarahan ante partum
 Disproporsi janin dan panggul
 Bakat ruptura uteri
 Preeklampsia / hipertensi
 Induksi persalinan yang gagal
 Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)
 Bedah sesar elektif berulang
 Penyakit ibu
b. Indikasi janin
 Kelainan letak
 Letak lintang
 Letak dahi dan letak muka dengan dagu di belakang
 Presentasi ganda
 Kelainan letak pada gemelli anak pertama
 Malpresentasi janin
 Makrosomia
 Kelainan janin
 Gawat janin
c. Indikasi waktu / profilaksis
 Partus lama
 Partus macet / tidak maju
d. Kontra indikasi
 Infeksi intra uterin
 Janin mati (kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan
kurangnya fasilitas.
 Syok / anemia berat yang belum diatasi
 Kelainan kongenital berat

2.2.3. Komplikasi Seksio Sesarea


Pernoll (2009) menyatakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
kasus seksio sesarea.

12
a. Kematian Ibu. Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-
80/100.000, meningkat sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada
persalinan per vaginam.
b. Kesakitan Ibu selama Operasi. Komplikasi pembedahan selama seksio
sesarea berkisar di atas 11% (kira-kira 80% minor dan 20% mayor).
Komplikasi mayor meliputi trauma pada kandung kemih, laserasi
sampai serviks atau vagina, laserasi korpus uteri, laserasi melalui ismus
ke ligamentum latum, laserasi pada kedua arteri uterina, trauma usus
dan trauma pada bayi dengan sekuele. Komplikasi minor meliputi
transfusi darah, trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor pada
isus dan kesulitan melahirkan.
c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira
sebesar 15 % dan sekitar 90% di antaranya disebabkan oleh infeksi
(endometitis, infeksi saluran kemih, sepsis karena luka). Komplikasi
lebih banyak terjadi pada kasus seksio darurat kira kira 25% sedangkan
pada kasus elektif hanya 5%. Predisposisi terjadi kesakitan pasca
operasi adalah lamanya pecah selaput ketuban sebelum operasi, lama
persalinan sebelum operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non
infeksi pasca bedah yang lazin (< 10% total komplikasi) meliputi ileus
paralitik, perdarahan intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis
dan gangguan paru
2.3. Anestesi Umum
2.3.1. Definisi Anestesi Umum
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.Anestesi umum yang
sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.

2.3.2. Stadium Anestesia Umum


Guedel (1920) membagi anestesia umum dalam 4 stadium, sedangkan
stadium ke-3 dibedakan lagi atas 4 tingkat.
Stadium I (Analgesia)

13
Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri
(analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah. Pada
stadium ini dapat dilakukan tindakan pembedahan ringan seperti mencabut
gigi dan biopsi kelenjar.
Stadium II (Eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya
pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium
pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak mengalami delirium dan
eksitasi dengan gerakan-gerakan di luar kehendak, pernapasan tidak teratur,
kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meninggi,
pasiennya meronta-ronta, kadang sampai mengalami inkontinesia, dan
muntah. Ini terjadi karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini
dapat terjadi kematian, maka stadium ini harus diusahakan cepat dilalui.1
Stadium III (Pembedahan)
Stadium III dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan yang teratur
dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Keempat tingkat dalam
stadium pembedahan ini dibedakan dari perubahan pada gerakan bola mata,
refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot, dan lebar pupil yang
menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.
Tingkat 1
Pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara pernapasan dada dan
perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis, sedangkan
tonus otot rangka masih ada.1
Tingkat 2
Pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak
bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas, dan refleks
laring hilang sehingga pada tingkat ini dapat dilakukan intubasi.1
Tingkat 3
Pernapasan perut lebih nyata daripada pernapasan dada karena otot
interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih
lebar tetapi belum maksimal.1

14
Tingkat 4
Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan
darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang.
Pembiusan hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini sebab pasien akan
mudah sekali masuk dalam stadium IV yaitu ketika pernapasan spontan
melemah. Untuk mencegah ini, harus diperhatikan benar sifat dan
dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal,
dan turunnya tekanan darah.
Stadium IV (Depresi Medula Oblongata)
Stadium IV dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding
stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh
darah kolaps, dan jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera
disusul kematian, kelumpuhan napas di sini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan, bila tidak didukung alat bantu napas dan sirkulasi.
Selain dari derajat kesadaran, relaksasi otot, dan tanda-tanda di atas,
ahli anestesia menilai dalamnya anestesia dari respons terhadap rangsangan
nyeri yang ringan sampai yang kuat. Rangsangan yang kuat terjadi sewaktu
pemotongan kulit, manipulasi peritoneum, kornea, mukosa uretra terutama
bila ada peradangan. Nyeri sedang terasa ketika terjadi manipulasi pada
fasia, otot dan jaringan lemak, sedangkan nyeri ringan terasa ketika terjadi
pemotongan dan penjahitan usus, atau pemotongan jaringan otak

Klasifikasi Status Klinik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesia, karena dampak
samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan.
 Kelas I : Tidak ada gangguan organik, biokimia, dan psikiatri; misalnya
penderita dengan hernia inguinalis tanpa kelainan lain, orang tua sehat
dan bayi muda yang sehat.
 Kelas II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan
disebabkan oleh penyakit yang akan dibedah; misalnya penderita
dengan obesitas, penderita bronkitis, dan penderita diabetes melitus
ringan yang akan mengalami apendektomi.

15
 Kelas III : Penyakit sistemik berat; misalnya penderita diabetes melitus
dengan komplikasi pembuluh darah dan datang dengan apendisitis akut.
 Kelas IV : Penyakit atau gangguan sistemik berat yang membahayakan
jiwa yang tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan; misalnya
insufisiensi koroner atau infark miokard.
 Kelas V : Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil,
pembedahan dilakukan sebagai pilihan terakhir; misalnya penderita
syok berat karena perdarahan akibat kehamilan di luar rahim yang
pecah.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

Anestesi Spinal
Definisi
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi
karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi
blok saraf spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris,
motoris dan otonom. Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula
spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan,
lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-
fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya
terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang
lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla
spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad. Serabut saraf
yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan
kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi
tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut. Level blokade
otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi kulit,
sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level
analgesi.
Anestesi spinal (subarachnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal/subarachnoid disebut juga sebagai analgesi/ blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita

16
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah
antara vertebra L2 - L3 atau L3 - L4 atau L4-L5. Jarum spinal hanya dapat
diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas atas
ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2,
karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka
spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3.
Ruangan epidural berakhir di vertebra S2. Ligamen-ligamen yang
memegang kolumna vertebralis dan melindungi medulla spinalis, dari
luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.

Indikasi Spinal Anestesi


Morgan (2006) menyatakan beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal.
1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh
darah.
2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.

17
3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis.
4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi
spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua
pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.
5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).
6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

2.5.2 Kontra Indikasi Absolut


Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal (Gwinnut,2009):
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk
pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla
spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila
terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum
spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa,
neurosyphilys, dan porphiria.
7. Fasilitas resusitasi minim
8. Kurang pengalaman atau / tanpa didampingi konsultan anestesi.
9. Hipotensi, sistolik di bawah 80 – 90 mmHg, syok hipovolemik
10. Blok simpatis menyebabkan hilangnya mekanisme kompensasi utama.

Kontra Indikasi Relatif


Gwinnutt (2009), menyatakan beberapa kontraindikasi relatif dalam
pemberian anestesi spinal.
1. Pasien dengan perdarahan
2. Problem di tulang belakang
3. Anak-anak

18
4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.
5. Infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
6. Infeksi sekitar tempat suntikan
7. Nyeri punggung kronis
8. Kelainan neurologis
9. Penyakit saluran nafas
Blok spinal medium atau tinggi dapat menurunkan fungsi
pernafasanDistensi
10. Distensi abdomen
Anestesi spinal menaikkan tonus dan kontraktilitas usus yang
dikhawatirkan dapat mengakibatkan perforasi usus.
11. Bedah lama
12. Penyakit jantung
Teknik Spinal Anestesi
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang
sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan
resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk
blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah
dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbuka, cairan
preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang
dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien.
Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut :
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu
dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2. Posisi pasien :
a. Posisi Lateral.
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha
fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b. Posisi duduk.

19
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada
pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan
diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh.
Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
c. Posisi Prone
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan
posisi Jack Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi
komplikasi sakit kepala (PSH= post spinal headache), dianjurkan dipakai
jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan
keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila
likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila
keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah
likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila
masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor
harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat
menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

Pengaturan Level Analgesia


Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut:
level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level

20
analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari
zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :
1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal
bawah dan sakral.
2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan
termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.
3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.
4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
Komplikasi
1. Komplikasi tindakan
 Hipotensi berat
 Bradikardi
 Hipoventilas
 Trauma saraf
 Mual - muntah
 Gangguan pendengaran
 Blok spinal tinggi atau spinal total
2. Komplikasi pasca tindakan
 Nyeri tempat suntikan
 Nyeri punggung
 Nyeri kepala karena kebocoran liquor
 Retensio urine
 Meningitis

2.5.3 Obat-obat yang dipakai


Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain,
bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Berat jenis obat anestetik
lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi
spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka
akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil
(hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama
(isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.

21
1. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat
memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5%
dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2
menit dan lama kerjanya 1 - 2 jam. Dosis rata-rata 40-50 mg untuk
persalinan, 75-100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian
bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1
jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.
2. Bupivacain konsentrasi 0,5% tanpa adrenalin, analgesiknya sampai 8 jam.
Voluma yang digunakan < 20 ml.3 Bupivakain adalah obat anestetik lokal
yang termasuk dalam golongan amino amida. Bupivakain diindikasi pada
penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf,
anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupivakain kadang diberikan pada
injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat
tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi
rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan
fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivakain
adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan
tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut.
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intraselular dengan
natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa
nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin,
maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.

Tabel Perbedaan Bupivakain dan Lidokain

Nama Mulai
Durasi Efek Samping
Obat Kerja Obat
Lidokain Cepat 10 – 20 Kardiovaskuler: aritmia, bradikardi,
menit spasme arteri, kolaps

22
kardiovaskuler, ambang defibrilasi
meningkat, udem, flushing, blok
jantung, hipotensi, supresi simpul
SA, insufisiensi vaskuler (injeksi
periartikuler). SSP: agitasi, cemas,
koma, bingung, disorientasi,
pusing, mengantuk, eforia,
halusinasi, sakit kepala,
hiperestesia, letargi, kepala terasa
ringan, cemas, psikosis, seizure,
bicara tidak jelas, somnolens, tidak
sadar. Dermatologi: angioedema,
memar, dermatitis kontak,
depigmintasi, udem kulit, gatal,
petekia, pruritis, ruam, urtikaria.
Anxietas, gangguan pendengaran,
Bupivak visus turun, depresi cardiovaskuler,
Lambat 4 – 8 jam
ain sakit kepala, hipotensi, bradikardi,
mual dan muntah.

3. Midazolam adalah obat golongan benzodiazepine yang larut air. Midazolam


mempunyai sifat ansiolitik, sedative, antikonvulsif, dan amnesia retrogard.
Mula kerjanya 2 menit (iv) hingga 15 menit (oral dan im) dengan durasi 2,5
jam, kira-kira dua kali lebih cepat dan singkat daripada diazepam. Eliminasi
waktu paruh antara 1,5-5 jam sehingga termasuk golongan benzodiazepin
kerja singkat. Metabolisme utama di hepar berupa hidroksilasi dengan
metabolit utama berupa α-hydorxymethylmidazolam yang tidak bermakna
secara klinis dan diekskresi melalui ginjal. Midazolam bekerja pada reseptor
benzodiazepin yang spesifik yang terkonsentrasi pada korteks serebri,
hipokampus, dan serebelum.
Mekanisme kerja midazolam adalah sebagai agonis benzodiazepin yang
terikat dengan spesifisitas yang tinggi pada reseptor benzodiazepin, sehingga
mempertinggi daya hambat neurotransmitter susunan saraf pusat di reseptor

23
GABA sentral. Midazolam sebagian besar (95%) terikat protein plasma,
hanya sekitar 5% berada dalam bentuk fraksi bebas.
Midazolam saat ini lebih popular sebagai obat premedikasi dengan dosis
yang biasa diberikan adalah 0,007-0,1 mg/kgBB im. Pemberian preinduksi
(0,02-0,04 mg/kgBB) secara intravena biasa diberikan sebagai premedikasi
atau sebagai coinduction bersama obat anestesi intravena lain.
Midazolam menyebabkan depresi ringan vaskuler sistemik dan curah
jantung. Laju jantung biasanya tidak berubah. Perubahan hemodinamik yang
berat dapat terjadi jika pemberian dilakukan secara cepat dalam dosis besar
atau bersama-sama dengan narkotik. Pemberian midazolam juga
menyebabkan depresi ringan pada volume tidal, laju napas, dan sensitivitas
terhadap CO2. Hal ini makin nyata bila digunakan bersama dengan opioid
dan pada pasien dengan penyakit jalan napasobstruktif. Pada pasien yang
sehat, midazolam tidak menyebabkan bronkhokonstriksi. Midazolam tidak
memiliki efek iritasi setelah penyuntikan intravena. Hal ini terlihat dari tidak
adanya nyeri saat penyuntikan dan tidak ada gejala-gejala sisa pada vena.
4. Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/ kgBB. Suntikan profol intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/ kgBB
secara intravena.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : Ny. F
Umur : 28 Tahun
BB : 64 Kg
TB : 153 cm
Jenis kelamin : Perempuan

24
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku bangsa : Sarmi
Ruangan : VK Bersalin

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : mules-mules sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Ibu hamil 9 bulan. HPHT 25/01/2015  TP 01/11/2015 kontrol sejak awal
kehamilan di Dokter Sp. OG selama 1 kali, USG (+) bulan ke-7 dikatakan
janin lintang dalam keadaan baik. Mules-mules sejak 8 jam sebelum masuk
rumah sakit. Keluar lendir darah sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit.
Keluar air- air dari jalan lahir disangkal. Gerakan janin dirasakan aktif.
Keputihan (+), gatal (+), bau (+).

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Asma (-), Riwayat Diabetes Melitus (-), Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Alergi (-), Riwayat upper respiratory infection, Riwayat Penyakit
Jantung (-), Riwayat Epilepsi (-)

Riwayat Operasi dan Anestesi Sebelumnya :


Riwayat operasi (-), riwayat anaestesi sebelumnya (-).

Riwayat Kebiasaan :
Riwayat Alkohol (-) dan riwayat merokok (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak kesakitan, Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 153 cm Berat Badan : 64 kg
Tanda-tanda vital
 Tekanan Darah : 130/80 mmHg - Nadi : 81 x/m
 Suhu Badan : 36,5 ◦C - Respirasi : 22 x/m
Kepala
 Mata : Konjuntiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, Pupil Isokor, Ø ± 3/3 mm

25
 Hidung /Mulut/Telinga : dalam batas normal
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-) Peningkatan vena jugularis
(-)
Thoraks
 Jantung : BJ I – II Reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-) Wheezing (-/-)
Abdomen
 I : Supel, cembung
 A : Bu (+) Normal
 P : Nyeri Tekan (-) Hati/Limpa : Tidak dapat di evaluasi

Status Obstetri :
 Pemeriksaan Luar
TFU : 29 cm
TBBJ : 2790 gram
DJJ : 148 x / menit
Pemeriksaan Leopold :
Leopold I :
Di bagian teratas perut ibu teraba bagian janin setengah bulat,
lunak, tidak melenting yaitu bokong
Leopold II :
Dibagian kiri perut ibu teraba bagian janin keras, panjang seperti
papan yaitu punggung, di bagian kanan perut ibu teraba bagian
terkecil janin yaitu ekstremitas
Leopold III :
Dibagian terbawah perut ibu teraba satu bagian janin keras, bulat,
melenting yaitu kepala
Leopold IV :
Belum masuk PAP
 Pemeriksaan Dalam
Inspekulo : v/v tenang
VT : portio kenyal,posterior, tebal 2 cm, pembukaan 1,ketuban

26
utuh, kepala diatas PAP

Ekstremitas : Akral hangat, CRT ≤ 3s, edema (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Hb : 11,2 gr%
Leukosit : 4200/mm3
Trombosit : 215.000/mm3
CT : 9’00”
BT : 2’30”

3.5 Status PS ASA :


Phisical Status American Society Of Anestheciologi II (PS ASA II)
Karena Obsteri sendiri merupakan co-morbid pada pasien ini.

3.6 Status Anestesi


3.6.1 Pesiapan Anestesi : Infomed konsen, SIO, Persiapan darah 1 bag,
puasa dari jam 12 malam, pasang IV line dan pastikan IV line mengalir
dengan lancar, ganti baju, transportasi, pasang monitor dan dilaporkan
ke Supervisor.

2.5.4 Laporan Pembedahan


Ahli bedah : dr. Daniel H. Usmany, Sp. OG
Ahli anestesi : dr. Duma S. Siahaan, Sp. An, KIC
Jenis Anestesi : SAB
Diagnosis pre operatif : G1P0A0 hamil 37-38 minggu janin
presentasikepala tunggal hidup, suspek
disproporsi kepala-panggul.
Diagnosis post operatif : P1 post SC atas indikasi disproporsi
kepala-panggul.
Tanggal operasi : Senin, 12 Oktober 2015
Organ yang diinsisi: Uterus
Laporan Operasi :
- Pasien terlentang dalam anestesi spinal
- Antisepsis daerah operasi
- Incisi phannensteel 8 cm
- Plica disayat semilunar, ditembus dan dilebarkan secara tajam,
vesica disisihkan ke bawah.
- SBU disayat semilunar, ditembus dan dilebarkan tumpul.

27
- Dengan menarik kaki, lahir bayi perempuan, pukul 09.30. BB: 2900
gram, PB: 47cm, A/S 7/8, ada lilitan tali pusat 1x.
- Air ketuban jernih, jumlah cukup.
- Dengan menarik ringan tali pusat, lahir plasenta lengkap.
- Kedua ujung SBU dijahit hemostasis, luka SBU dijahit jelujur 2
lapis
- Pada eksplorasi, kedua tuba dan ovarium dalam batas normal.
- Alat dan kassa lengkap.
- Dinding abdomen ditutup lapos demi lapis
- Operasi selesai.

2.5.5 Instruksi Post-Operasi


- Hemodinamik ibu stabil  observasi KU, TTV, perdarahan,
kontraksi, cek DPL post op.
- IVFD RL + Clinimix + D5% : 2:1:1 selama 24 jam.
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gram IV
- Inj. Metronidazol 3 x 500 mg drip IV
- Inj, Ranitidin 3 x 1 amp IV
- Inj. Ondancentron 3 x 1 amp IV
- Inj. Tramadol drip 1 amp / 8 jam
- Inj. Vit C 3 x 1 amp IV
- Mobilisasi bertahap
- GV hari ke-2
- Realimentasi dini
- Folley catether 1 x 24 jam

3.6.4 Laporan Anestesi :


PS. ASA : II ( Co morbid: Obstetri)
Hari/Tanggal : Senin, 12 Oktober 2015
Ahli Anestesiologi : Dr. Duma S. Siahaan, Sp.An. KIC
Ahli Bedah : dr. Daniel H. Usmany, Sp. OG
Diagnosa Pra Bedah : G1P0A0 hamil 37-38 minggu janin
presentasi kepala tunggal hidup, suspek
disproporsi kepala-panggul.

28
Diagnosa Pasca : P1A0 post SC atas indikasi disproporsi
Bedah kepala panggul.

Keadaan Pra Bedah :


KU : Tampak kesakitan
Makan terakhir : 12 jam lalu
BB : 64 kg
TTV : TD :130/80 mmHg, N: 81x/m, SB: 36,50
SpO2 : 100 %

B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+,


suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-,
wheezing -/-, RR: 24 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary
Refill Time < 2 detik, BJ: I-II murni regular.
B3 : Allert, GCS: E4V5M6, riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : Terpasang DC, produksi urin 200 cc, warna
kuning jernih.
B5 : Cembung, membesar sesuai usia
kehamilan, nyeri tekan (-), timpani, BU (+)
normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-),
motorik normal

Medikasi Pra Bedah : RL 500 cc


Jenis Pembedahan : Sectio Caeserae
Lama Operasi : 55 menit (09.25 – 10.20 WIT)
Jenis Anestesi : SAB
Lama Anestesi : - menit (09.20 – WIT)
Anestesi Dengan : Bupivacaine 0,5 % 20 mg
Teknik Anestesi : Pasien dalam posisi duduk dan kepala
menunduk, dilakukan aseptic di sekitar

29
daerah tusukan yaitu di regio vertebra
lumbal 3-4, dilakukan sub arachnoid blok
dengan jarum spinal No 27 pada regio
vertebra lumbal 3-4, approach median, ICS
keluar (+) jernih, dilakukan blok.
Teknik Khusus : -
Pernafasan : Control respiration
Posisi : Terlentang
Infus : Tangan Kiri, abbocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : -
Akhir pembedahan : TD: 120/70 mmHg, N: 85x/m, SB: afebris,
RR: 19x/m
Terapi Khusus Pasca : -
Bedah
Penyulit Pasca Bedah : -
Hipersensitivitas : -
Premedikasi : -
Medikasi : Bupivacaine 0,5% 10 mg
Efedrin 10 mg
Synthetic oxytocin 10 IU ftg
Methil Ergometrin 0.2 mg
Ranitidin 50 mg
Ondansentron 4 mg
Natrium Metamizol 1000 mg

3.7 Diagram observasi

30
Balance Cairan
Waktu Input Output
Pre RL : 500 cc Urin : ±50 cc
operasi
Durante Wida HES : 500 cc Urin : ± 150 cc
operasi RL : 1000 cc
Total perdarahan: 300 cc
- Suction: 200 cc
- Kasa : ± 100 cc (10x10cc)

Penguapan 6 cc x 64 x 0.9 jam = 345 cc


Total 2000 cc 795 cc

3.8 Terapi Cairan Perioperatif


a. Pre Operative
1. Kebutuhan:
Maintenance dan replacement (puasa ± 9 jam) :
- Cairan : 40-50cc/kgBB/hari  2560 – 3200/hari
= 106 – 133 / jam
= 954 – 1197 / 9 jam

31
Dapat diberikan RL 1000 cc.
2. Aktual cairan yang diberikan : RL 500 cc
Defisit : 454 – 697 cc

b. Durante Operatif ( lama operasi ± 1 jam)


1. Kebutuhan :
Maintenance : 106 - 133 cc / jam
Replacement :
- EBV = 65-70 cc/kgBB ( 64 kg)  4160 cc
- EBL= jumlah perdarahan = 300 cc  7 % EBV
- Penggantian :
kristaloid = 2 - 4x EBL = 600 – 1200 cc
Koloid (HES) = 1x EBL = 300 cc
- Penguapan : 6 cc x 64 Kg x 1 jam = 384 cc

2. Aktual cairan yang digunakan :


- Widahes 500 cc  sudah mengganti perdarahan 300 cc
- RL 1000 cc  sudah mengganti penguapan 384 cc
= 1000 – 384 = 616 cc
= 616 cc – defisit cairan (454-697)
= sudah cukup menggantikan defisit.

c. Post Operatif
1. Kebutuhan :
Maintenance :
- Cairan : 2332 – 2926 cc
- Natrium : 128- 256- mEq/24 jam
- Kalium : 64 - 192 mEq/24 jam
- Kalori : 1600 - 1920 kKal/ hari
Dapat digunakan cairan Clinimix 1000
komposisi: 35 mEq Natrium, 30 mEq Kalium dan 410 kKal.
RL 1000 cc

32
Komposisi: 130 mEq Natrium, 4 mEq Kalium dan 0 kKal total
elektrolit dan kalori yang diperoleh per hari: 300mEq Natrium
D5% 500 cc
Komposisi: 100 kKal
2. Aktual cairan yang digunakan : RL 1000 cc : Clinimix 1000 cc :
D5% 500cc
- Total cairan, elektrolit dan kalori yang diperoleh per hari:
Cairan : 2500 cc
Natrium : 165 mEq
Kalium : 34 mEq
Kalori : 510 kKal

BAB IV
PEMBAHASAN

33
Pasien wanita umur 28 tahun dengan diagnosa G1P0A0 G1P0A0 hamil
37-38 minggu janin presentasi kepala tunggal hidup, disproporsi kepala-panggul,
akan dilakukan tindakan sectio caesarea dengan anestesi sub arachnoid block.
Pada persiapan pra anestesi diketahui bahwa pasien tidak mempunyai riwayat
penyakit asma, alergi, dan tidak adanya upper respiratory infection maupun
gangguan metabolik. Pasien belum memiliki riwayat operasi sectio caesarea
secara anestesi regional maupun operasi lainnya. Pasien berpuasa sekitar 12 jam
sebelum pembedahan. Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan
anesthesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Pada pemeriksaan fisik, pada umumnya kondisi pasien dalam keadaan
baik. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil dalam batas normal. Pada
kasus ini, klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 2, yaitu pasien
dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena bedah maupun
penyakit lainnya. Pasien sedang dalam masa kehamilan dimana pada masa
kehamilan terdapat beberapa perubahan- perubahan fisiologis yang terjadi.
Pada pasien ini tidak digunakan anestesi umum karena komplikasi aspirasi
lambung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu, kegagalan
intubasi/ventilasi pasien obstetric memiliki resiko 10 x lebih besar dibanding
wanita tak hamil akibat perubahan anatomi leher pendek, edema laring, payudara
yang besar dan obesitas morbid. Hipertensi berat akibat anestesi yang kurang
dalam dan stimulasi trakea dapat menyebabkan penurunan aliran darah uterus dan
fetal distress. Relaksasi uterus meningkatkan resiko perdarahan pada ibu. Efek
nitrous oksida (NO2) terhadap janin pada pemberian jangka lama, menyebabkan
terjadi depresi respirasi dan asidosis janin, khususnya bila analgesia ibu tidak
sempurna dan kadar katekolamin ibu meningkat. Efek agen halogenated terhadap
ibu, dapat menyebabkan depresi kardiovaskular dan respirasi. Kontraksi uterus
menurun tergantung dosis yang diberikan. Efek terhadap janin, konsentrasi rendah
yang diberikan dalam waktu singkat menyebabkan sedasi janin. Konsentrasi
tinggi dan waktu pemberian yang lama menyebabkan apnoe dan hipotensi janin.

34
Pasien ini menggunakan anastesi spinal karena aman untuk janin, pasien
sadar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi, sterilisasi
dijamin pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dan tangisan bayi yang baru
dilahirkan merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh seorang ibu, disertai jalinan
psikologik berupa kontak mata antara ibu dan anak dan penyembuhan rasa sakit
pasca operasi.
Pada pasien ini tidak dilakukan dengan anestesi epidural karena anestesi
epidural sangat tergantung pada subyektifitas deteksi dari loss of resistance (atau
hanging drop). Juga, lebih bervariasinya anatomi dari ruang epidural dan kurang
terprediksinya penyebaran obat anestesi lokal, karenanya membuat anestesia
epidural kurang dapat diprediksi dan juga dipilih anestesi sub arachnoid block
dikarenakan teknik anestesi sub arachnoid block lebih mudah.
Pada pasien ini digunakan anestesi sub arachnoid block dengan bupivakain
dengan masa kerja yang panjang. Efek analgesia bupivakain lebih panjang dari
lidokain dan mepivakain. Bupivakain 0,5% paling sering digunakan pada anestesi
regional. Konsentrasi bupivakain berapapun yang digunakan, total massa
bupivakain yang dianjurkan 2-3 mg/kgBB. Durasi kerja pada ruang epidural kira-
kira 2-3 jam.
Pada pasien ini mengapa digunakan obat Bupivakain dan tidak
menggunakan Lidokain karena mulai kerjanya lidokain cepat dengan lama kerja
60 – 120 menit sedangkan bupivakain mula kerjanya lambat, lama kerjanya 240 –
480, Bupivakain termasuk golongan anestesi lokal onset lambat, durasi panjang,
dan potensi yang tinggi, blokade sensoriknya lebih dominan dibanding dengan
blokade mororiknya.
Pada pasien ini telah dipuasakan 12 jam. Puasa ini akan menyebabkan
pasien mengalami defisit cairan 6 cc / kgBB. Preload yang kita berikan
seharusnya melebihi defisit cairan itu sehingga apabila terjadi vasodilatasi
karena blok simpatis oleh obat anestesi, diharapkan cairan yang telah
diberikan dapat mengkompensasinya sehingga tidak terjadi hipotensi.
Pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal lebih efektif dalam
menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid
masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional fluid)

35
untuk mempertahankan venous return dan curah jantung. Hipotensi dapat dicegah
dengan pemberian preload cairan tepat sebelum dilakukan anestesi spinal
atau dengan pemberian vasopresor contohnya efedrin. Pada beberapa
penelitian prehidrasi dengan larutan kristaloid 10-20 ml/kg berat badan efektif
mengkompensasi pooling darah di pembuluh darah vena akibat blok simpatis
atau pemberian cairan Ringer Laktat 500 - 1000 ml secara intravena sebelum
anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi atau preloading.
Pada pasien ini menggunakan efedrin 10 mg. Pencegahan dengan akut
hidrasi dan mendorong uterus ke kiri dapat mengurangi insidensi hipotensi sampai
50-60%. Pemberian vasopresor, seperti efedrin, sering sekali dipakai untuk
pencegahan maupun terapi hipotensi pada pasien kebidanan. Obat ini merupakan
suatu simpatomimetik non katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak
langsung. obat ini resisten terhadap metabolisme MAO dan metiltransferase
katekol (COMT), menimbulkan aksi yang berlangsung lama. Efedrin
meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan nadi melalui stimulasi adrenergik
alfa dan beta. Meningkatkan aliran darah koroner dan skelet dan menimbulkan
bronkhodilatasi melalui stimulasi reseptor beta 2. Efedrin mempunyai efek
minimal terhadap aliran darah uterus, dieliminasi dihati, dan ginjal. Namun,
memulihkan aliran darah uterus jika digunakan untuk mengobati hipotensi
epidural atau spinal pada pasien hamil. Efek puncak : 2-5 menit, Lama aksi : 10-
60 menit. Interaksi/Toksisitas: peningkatan resiko aritmia dengan obat anetesik
volatil, dipotensiasi oleh anti depresi trisiklik, meningkatkan MAC anestetik
volatil. Keuntungan pemakaian efedrin ialah menaikan kontraksi miokar, curah
jantung, tekanan darah dampai 50%, tetapi sedikit sekali menurunkan
vasokonstriksi pembulu darah uterus. Menurut penyelidikan Wreight, efedrin
dapat melewati plasenta dan menstimulasi otak bayi sehingga menghasilkan skor
Apgar yang lebih tinggi. Guthe menganjurkan pemberian efedrin 25-50 mg IM
sebelum dilakukan induksi. Ini dapat mengurangi insidensi hipotensi sampai 24%.
Tetapi cara ini sering menimbulkan hipertensi postpartum karena efedrin bekerja
sinergistik dengan obat oksitosik. Penggunaan profilaksis ephedrine dalam suatu
studi dan penggunaan terapi dalam studi yang lain kemungkinan ikut
mengakibatkan fetal asidosis. Demikian pula, penggunaan ephedrine dikaitkan

36
dengan nilai pH arterial umbilical yang lebih rendah saat dibandingkan dengan
phenylephrine dalam suatu kajian sistematis. Literatur tersebut memperdebatkan
vasopressor misalnya, ephedrine atau phenylephrine, yang lebih cocok untuk
mengatasi hipotensi selama anestesi spinal pada Sectio Caesaria. Kontroversi
terjadi pada etiologi fetal asidosis apakah hal tersebut karena pengaruh metabolis
stimulasi-ß dalam fetus atau perfusi uteroplacenta yang kurang baik karena
kegagalan darah yang tersita pada bagian splanchnic untuk meningkatkan preload.
Pemilihan obat vasopressor mungkin kurang penting dibanding menghindari
hipotensi. Penulis lain menganjurkan pemberian efedrin cara intravena kalau
terjadi hipotensi atau sudah terjadi penurunan tekanan darah 10 mmHg; dosisnya
10 mg yang diulang sampai tekanan darah kembali ke awal. Bayi yang dilahirkan
dengan cara ini mempunyai skor Apgar sangat baik; pemeriksaan pH dan base-
excessnya dalam batas normal, dan sikap neurologi bayi setelah 4 - 24 jam
dilahirkan sangat baik.
Pada pasien tidak ditemukan mual dan muntah. Namun mual selama
anestesi biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau terhalanginya stimulus
vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok simpatis
mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus
gastrointestinal. Selama prosedur pembedahan pasien diberikan ranitidin dan
ondansentron yang merupakan antagonis reseptor H2 histamin dan anti muntah.
Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan mencegah
mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman.
Dosis Ondancentron anjuran yaitu 0,05-0,1 mg/KgBB.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg sebelum
jadwal operasi.3 Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg (zofran, narfoz).
Pada akhir pembedahan pasien menggunakan Natrium Metamizol.
Natrium Metamizol merupakan derivat metansulfonat dari aminopirin yang

37
mempunyai khasiat analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi
rasa sakit ke susunan saraf pusat dan perifer.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah, denyut nadi serta
pernapasan selalu dimonitor.
Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut :
a. Pre Operative
1. Kebutuhan:
Maintenance dan replacement (puasa ± 9 jam) :
- Cairan : 40-50cc/kgBB/hari  2560 – 3200/hari
= 106 – 133 / jam
= 954 – 1197 / 9 jam
Dapat diberikan RL 1000 cc.
2. Aktual cairan yang diberikan : RL 500 cc
Defisit : 454 – 697 cc
b. Durante Operatif ( lama operasi ± 1 jam)
1. Kebutuhan :
Maintenance : 106 - 133 cc / jam
Replacement :
- EBV = 65-70 cc/kgBB ( 64 kg)  4160 cc
- EBL= jumlah perdarahan = 300 cc  7 % EBV
- Penggantian :
kristaloid = 2 - 4x EBL = 600 – 1200 cc
Koloid (HES) = 1x EBL = 300 cc
- Penguapan : 6 cc x 64 Kg x 1 jam = 384 cc
2. Aktual cairan yang digunakan :
- Widahes 500 cc  sudah mengganti perdarahan 300 cc
- RL 1000 cc  sudah mengganti penguapan 384 cc
= 1000 – 384 = 616 cc
= 616 cc – defisit cairan (454-697)
= sudah cukup menggantikan defisit.
c. Post Operatif
1. Kebutuhan :

38
Maintenance :
- Cairan : 2332 – 2926 cc
- Natrium : 128- 256- mEq/24 jam
- Kalium : 64 - 192 mEq/24 jam
- Kalori : 1600 - 1920 kKal/ hari
Dapat digunakan cairan Clinimix 1000
komposisi: 35 mEq Natrium, 30 mEq Kalium dan 410 kKal.
RL 1000 cc
Komposisi: 130 mEq Natrium, 4 mEq Kalium dan 0 kKal total
elektrolit dan kalori yang diperoleh per hari: 300mEq Natrium
D5% 500 cc
Komposisi: 100 kKal
2. Aktual cairan yang digunakan : RL 1000 cc : Clinimix 1000 cc :
D5% 500cc
- Total cairan, elektrolit dan kalori yang diperoleh per hari:
Cairan : 2500 cc
Natrium : 165 mEq
Kalium : 34 mEq
Kalori : 510 kKal
Pemilihan cairan tersebut dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan
cairan pasien dan pemberian nutrisi parenteral sebagai pengganti pada
saat pasien puasa setelah operasi.
Critical point pada kasus ini adalah :
1. Safe the Mother
2. Safe the Baby
3. Safe the Uterus

BAB V
PENUTUP

39
5.1. Kesimpulan
Pada tindakan sectio caeserae digunakan teknik sub arachnoid blok
anestesi. Dipilihnya jenis anestesi spinal dikarenakan baik untuk tindakan
bedah abdomen bawah dan bedah obstetric dan ginekologi. Keuntungan dari
spinal anestesi adalah kecepatan onsetnya. Kerugian yang sering adalah
terjadinya hipotensi. Hal ini terjadi karena pergeseran uterus ke kiri dengan
manipulasi mengganjal panggul. Pada pasien ini diberikan pengisian cairan
sebelum dilakukan spinal anestesi untuk mencegah hipotensi maternal.

5.2 Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan
pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama
menyangkut resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan
hemodinamik perioperative.

40

Anda mungkin juga menyukai