Anda di halaman 1dari 24

MULTI LEVEL MARKETING

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Afdawaiza S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok III :

1. Imroatusholihah (14531011)
2. Iqbal Anshari (14531013)
3. Khairun Nisa (14531014)
4. Luqman Hakim (14531015)
5. M. Gupronillah (14531016)
6. Zidna Zuhdana M. (14531029)

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2014

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta rizki-
Nya kepada kita semua, baik itu berupa kesehatan jasmani maupun rohani. Dialah
Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Tuhan yang telah menganugerahkan
manusia akal fikiran yang dengan ini manusia dapat membedakan perbuatan baik
dan buruk
Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
besar Muhammad SAW yang membawa kedamaian bagi umat manusia.
Makalah ini di susun tidak lepas dari peranan dosen pembimbing Bapak
Afdawaiza, S.Ag., M.Ag. Beliau memberikan kami amanah untuk membahas
salah satu isu atau permasalahan penting dan teraktual saat ini, yakni Multi Level
Marketing yang mana karenanya terjadi perdebatan panjang tentang pandangan
Islam kepadanya.
Penulisan melalui makalah ini berusaha membahas mengenai seluk beluk
Multi Level Marketing yang termasuk didalamnya pandangan hukum Islam
tentang konsep dasar Multi Level Marketing. Tujuan yang terpenting adalah untuk
mengharapkan ilmu dan ridho Allah SWT. Semoga makalah ini,dapat
memberikan manfaat kepada kita semua, amin.

Yogyakarta, 8 Desember 2014

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................iii

BAB I: Pendahuluan.............................................................................................1

A. LatarBelakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah….……............……………….................................2
C. Tujuan Penulisan …………………………....………...........................2

BAB II: Pembahasan............................................................................................3

A. Pengertian Multi Level Marketing………...………………..................3


B. Sejarah Multi Level Marketing…...……….……………………...........4
C. Sistem Kerja Multi Level Marketing……….…………………….........5
D. Jenis Akad di dalam MLM....................................................................7
E. Pandangan Fiqh Mengenai MLM........................................................12
F. Multi Level Marketing Berbasis Syari’ah..............……………..........13
G. Dampak Positif dan Negatif Multi Level Marketing...........................16
H. Analisis Pemakalah.............................................................…….........16

BAB III:
Penutup…………………………………………………………..........20

Kesimpulan……………………………………………………….............20

Daftar Pustaka……………………………...…………………...........................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu pola bisnis yang saat ini sangat marak adalah bisnis
MLM (Multi Level Marketing) yang merupakan salah satu cabang dari
Direct Selling yaitu salah satu sistem bisnis yang pemasaran produknya
menggunakan member sebagai pembeli, konsumen, pemasar, promotor
dan sekaligus distributor. Multi Level marketing adalah pemasaran yang
berjenjang banyak dan merupakan suatu organisasi distributor yang
melaksanakan penjualan yang berjenjang banyak atau bertingkat-tingkat.
MLM ini disebut juga sebagai Network Marketing karena anggota
kelompok tersebut semakin banyak, sehingga membentuk sebuah jaringan
kerja (network) yang merupakan suatu sistem pemasaran dengan
menggunakan jaringan kerja berupa sekumpulan banyak orang yang
kerjanya melakukan pemasaran. Bisnis ini kian hari kian berkembang,
bahkan muncul MLM yang berbasis syariah. Perusahaan berbasis syariah
diwajibkan memenuhi janji atau komitmennya, ini sesuai dengan ajaran
Islam.
Secara realitas, kini perusahaan Direct Selling (penjualan
langsung) adalah metode penjualan barang dan atau jasa tertentu kepada
konsumen, dengan cara tatap muka di luar lokasi eceran tetap oleh
jaringan pemasar yang dikembangkan oleh mitra usaha. Bekerja
berdasarkan komisi penjualan, bonus penjualan, dan iuran keanggotaan
yang wajar. Dengan teknologi yang semakin meluas, banyak kesempatan
untuk menuai pendapatan, sayangnya kesempatan-kesempatan ini kadang-
kadang telah menimbulkan banyak problematika di tengah kehidupan
masyarakat termasuk bisnis Multi Level Marketing. Oleh karena itu,
penulis akan membahas tentang Multi Level Marketing dan masalah-
masalah yang berhubungan dengan bisnis ini.

1
B. Perumusan Masalah

1. Apa itu Multi Level Marketing?


2. Bagaimana sejarah berdirinya Multi Level Marketing?
3. Bagaimana sistem kerja dari Multi Level Marketing dan apa saja akad
yang terjadi dalam Multi Level Marketing?
4. Bagaimana Multi Level Marketing menurut pandangan Islam?
5. Apa dampak posotif dan negatif dari Multi Level Marketing?

C. Tujuan Penulisan

1. Menambah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai bisnis Multi


Level Marketing.
2. Mengetahui bagaimana sejarah MLM (Multi Level Marketing).
3. Memahami sistem kerja dan jenis akad yang terjadi dalam Multi Level
Marketing.
4. Mengetahui Multi Level Marketing menurut pandangan Islam.
5. Mengetahui dampak posotif dan negatif dari Multi Level Marketing.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
MLM adalah singkatan dari Multi Level Marketing yang berasal dari
bahasa Inggris, Multi yang berarti banyak, Level berarti jenjang atau tingkat,
sedangkan Marketing artinya pemasaran. Jadi Multi Level Marketing adalah
pemasaran yang berjenjang banyak. Disebut dengan Multi Level Marketing
karena merupakan suatu organisasi distributor yang melaksanakan penjualan
dengan pola bertingkat-tingkat atau berjenjang, sehingga Multi Level
Marketing adalah suatu metode bisnis alternatif yang berhubungan dengan
pemasaran dan distribusi yang dilakukan melalui banyak level (tingkatan),
yaitu biasa dikenal dengan istilah upline (tingkat atas) dan downline (tingkat
bawah), orang akan disebut upline jika mempunyai downline. Inti dari bisnis
Multi Level Marketing digerakkan dengan jaringan, baik yang bersifat
vertikal atas bawah maupun horizontal kiri-kanan ataupun gabungan antara
keduanya.
Dalam bahasa Indonesia MLM dikenal dengan istilah Pemasaran
Berjenjang atau Penjualan Langsung Berjenjang, sedangkan dalam bahasa
arabnya, MLM adalah sistem penjualan yang dilakukan oleh perusahaan,
dimana perusahaan yang bergerak dalam industri MLM hanya menjual
produk-produknya secara langsung kepada konsumen yang sudah terdaftar
(member) yang bersifat independen (tidak terikat kontrak dengan perusahaan
MLM), tidak melalui agen/penyalur, selain itu perusahaan juga memberikan
kesempatan kepada setiap konsumen yang sudah terdaftar (member) untuk
menjadi tenaga pemasar atau penyalur. Dengan cara ini maka seorang
konsumen secara otomatis menjadi tenaga pemasar (marketer). Dengan kata
lain seorang konsumen akan berfungi ganda di mata perusahaan, yakni
yang pertama ia menjadi konsumen, dan kedua ia juga sebagai mitra
perusahaan dalam memasarkan produknya.
MLM adalah sebuah sistem pemasaran barang (al-
buyu’) dan jasa (al-ijaarah). Namun demikian ada beberapa perusahaan

3
yang tidak menjual barang dan jasa namun mereka mengklaim sebagai
industri MLM akan tetapi hakekatnya adalah Money Game yang
mengikuti skema ponzi atau sistem piramida. MLM adalah sistem penjualan
dengan cara memasarkan produknya melalui jaringan internet. Orang-orang
yang terkait dengan MLM ini mempunyai tingkatan-tingkatan yang biasanya
selain pendiri, orang yang lebih dulu masuk dalam penjualan ini akan
mendapatkan bonus atau istilah apapun yang lebih besar dari bawahannya.
MLM merupakan suatu cabang dan termasuk dalam kategori
penjualan langsung (direct selling). Direct selling bermakna sebagai metode
penjualan barang atau jasa tertentu kepada konsumen langsung dengan cara
tatap muka langsung di luar lokasi eceran tetap oleh jaringan pemasaran yang
dikembangkan oleh para mitra usaha, mereka bekerja berdasarkan omset
penjualan mereka, bonus penjualan serta iuran setiap anggotanya. Dalam hal
ini, penjualan tersebut tidak melalui perantara lagi seperti swalayan, toko,
kedai maupun apotek tetapi kepada konsumen langsung. Direct selling adalah
Single Level Marketing, yaitu metode pemasaran barang atau jasa dari sistem
penjualan langsung melalui program pemasaran satu tingkat, dimana mitra
usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil
penjualan barang atau jasa yang dilakukan sendiri. 1

B. Sejarah Multi Level Marketing


Di era pasar bebas (free market) seperti sekarang ini banyak muncul
produk baru dari berbagai belahan dunia tanpa adanya halangan yang berarti,
termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis, salah satu contohnya adalah
Multi Level Marketing (MLM) yang sering disebut juga Direct Selling
ataupun Networking Selling.
Dalam sejarahnya, Direct Selling pertama kali ditandai dengan
beroprasinya The California Perfume Company di New York tahun 1886
yang didirakan oeh Dave McConnel. Lalu McConnel mempekerjakan Mrs.
Albee yang dianggap sebagai pioneer metode penjualan Direct Selling yaitu
cara menjual parfum langsung dari pintu ke pintu. Selanjutnya pada tahu

1
Muqtadirul Aziz, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bisnis MLM, Skripsi Mahasiswa Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijagaa, Yogyakarta, 2011.

4
1934 di California perusahaan Nutrilite memunculkan metode baru dengan
memberi komisi bagi distributor independen yang berhasil merekrut, atau
membantu anggota baru untuk ikut menjual produknya. Terakhir tahun 1956
dan 1959, perusahaan Shaklee dan Amway memunculkan metode penjualan
yang sekarang dikenal dengan sebutan Multi Level Marketing (MLM).2
Di Indonesia sendiri tepatnya di Bandung pada tahun 1986 berdiri
Nusantara Sun Chorelatama yang akhirnya berubah menjadi CNI. Kemudian
ditahun 1992 bisnis MLM perusahaan Amway diperkenalkan. Pada
perkembangan dari tahun ke tahun bisnis MLM terlihat semakin menjanjikan,
dengan iming-iming yang sangat menggiurkan yaitu uang dapat senantiasa
mengalir tanpa menguras banyak tenaga dan juga keuntungan yang berlipat
dari segi ekonomi ini tak jarang membuat masyarakat (pelaku) terjerumus
dalam kasus penipuan seperti kasus BMA (Banyumas Mulia Abadi) dan
KSU Prasetya Nugroho, terlebih masih banyak MLM yang menyinpang dari
sistem MLM yang sebenarnya.

C. Sistem Kerja MLM


MLM adalah suatu jenis bisnis yang dalam prakteknya sangat
bervariasi. Varian yang ada dalam MLM tersebut terjadi secara alamiah,
karena masing-masing MLM ingin lebih unggul dari yang lainnya, baik dari
segi sistem maupun dari segi keuntungannya, sehingga selalu akan ada
sistem-sistem baru. Maka dari itu, menjelaskan sistem-sistem yang ada dalam
MLM secara detail satu per satu sangatlah sulit. Dalam makalah ini hanya
akan diungkapkan sistem yang ada di MLM pada umumnya, dan yang
berkaitan dengan pokok pembahasan saja. Berikut ini adalah dua sistem yang
secara umum dalam MLM: Pertama, calon member harus membayar
sejumlah uang untuk menjadi anggota (member) – apapun istilahnya, apakah
membeli posisi ataupun yang lain – dan orang tersebut akan menerima suatu
produk tertentu yang diberikan oleh pihak perusahaan. Ini berarti, terjadi
pembayaran dari satu pihak yang kemudian diikuti oleh pemberian barang
dari pihak lainnya, yang kemudian menyebabkan perpindahan kepemilikan

2
F. Ajaht Al-Jaelani, “Pengertian dan Sejarah Multi Level Marketing” dalam
www.Cashinvestasi.com, diakses 02/12/2014, pukul 22:34 WIB.

5
barang, sehingga terjadi akad bai’ (jual beli). Pada waktu yang bersamaan
setelah terdaftar sebagai member, secara otomatis dia mendapat kesempatan
untuk mencari sejumlah orang yang akan menjadi downline-nya. Jika dia
berhasil mencari sejumlah downline (sesuai kesepakatan dengan perusahaan),
maka dia berhak atas bonus dari perusahaan. Pencarian orang ini sifatnya
tidak mengikat, artinya si member tidak berkewajiban untuk itu, hanya
sebatas berhak saja. Bila ingin mendapatkan bonus, maka tentu dia harus
mencari downline, tetapi bila tidak juga tidak ada masalah. Kedua,
perusahaan MLM yang membuka pendaftaran member tanpa harus membeli
produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang
tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama, membership
(keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik
dari pembelian yang dilakukannya sendiri di kemudian hari maupun dari
jaringan di bawahnya (downline). Pada saat yang sama, si member punya
kesempatan mendapatkan bonus jika dia berhasil merekrut downline, dimana
keaktifan downline-nya ini akan berpengaruh pada bonus yang diterimanya.3

3
Lubabulmubahitsin, MLM DALAM TINJAUAN FIKIH dalam
File:///C:/Users/User/Documents/From/Ushul/MLM/Mohammed_Lubab/MLM/DALAM/Tinjauan
/FIKIH.Htm diakses 01/12/ 2014

6
Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan dibawah ini:

PERUSAHAAN MLM

Sinta Alip Dayat

Sandi Wawan Baihaki


iii
Zainul
K L H G
Z M

R F J
E O
B

Dari perluasan dan pengembangan jaringan di atas, Alip akan


mendapatkan keuntungan berupa komisi atau bonus, apakah berupa komisi
rapat, komisi pengembangan group, komisi pembinaan dan sebagainya.
Semakin banyak dan berkembang group Alip, semakin besar pula komisi
yang akan diperolehnya, karena anggota dan group yang ada di bawah
(downline) Alip memberi keuntungan. Dengan semakin berkembang group
Alip, Alip akan mendapatkan bonus dari perusahaan, apabila Alip telah
mencapai level tertentu atau telah mencapai prestasi yang bagus. Jenis bonus
itu macam-macam, ada bonus wisata, kendaraan, rumah, dan sebagainya.4

D. Jenis Akad di dalam MLM

4
Muqtadirul Aziz, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bisnis MLM, Skripsi Mahasiswa Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011.

7
Ketika berbicara tentang hukum suatu jenis muamalah, tidak akan
lepas dari akad-akadnya. Dalam buku An-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah, Dr.
Muhammad Al-Zuhaily (Dekan Fakultas Syari’ah Damascus University)
menyatakan bahwa dalam akad, ada syarat-syarat umum yang berlaku bagi
semua akad, dan ada pula syarat-syarat tertentu yang berlakunya hanya pada
akad tertentu saja dan tidak bagi yang lainnya. Bila dilihat dari sudut pandang
fikih, ada tiga jenis akad yang potensial terjadi dalam MLM, yaitu akad bai’
(jual beli), ju’alah (pengupahan), dan samsarah (makelar).
Dalam sebuah akad, dua orang yang terlibat langsung dalam transaksi
harus memenuhi syarat sehingga transaksinya tersebut dianggap sah.
Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Rasyîd yaitu mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk
dirinya. Ini ditandai dengan akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal.
Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, jika
melakukan akad maka akadnya rusak (fasid)
2. Ridho atau sukarela dan tidak terpaksa, Akad yang dilakukan dibawah
paksaan hukumnya tidak sah.
3. Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki
khiyar (hak pilih/opsi). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan
persyaratan), khiyar ‘aib dan sejenisnya.
Dalam ju’alah-pun harus memenuhi beberapa syarat. Syarat Ju’alah :
1. Orang yang menjanjkan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum, yaitu orangnya baligh, orangnya berakal dan
orangnya cerdas.
2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus tediri dari sesuatu yang bernilai
harta dan jelas jumlahnya.
3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang
jelas dan boleh pekerjaan itu bisa dimanfaatkan menurut hukum syara’.
4. Madzah Syafi’I dan Maliki menambahkan syarat, bahwa dalam masalah
tertentu, ju’alah tidak boleh di bataasi dengan waktu tertentu , seperti
mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan madzhab
Hanbali membolehkan pemabatasan waktu.

8
5. Madzhab hanbali menambahkan syarat, bahwa pekerjaan yang diharapkan
hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulang kali
seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang
banyak.
6. Akad ju’alah bersifat suka rela dengan kata lain kedua belah pihak saling
ridha.
Pekerjaan makelar (samsarah) harus memenuhi beberapa syarat
disamping persyaratan diatas, antara lain sebagai berikut (Farid, 2007) :
1. Perjanjian jelas kedua belah pihak. (An-Nisa: 29)
2. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3. Obyek akad bukan hal-hal yang mengandung unsur maksiat atau haram.
4. Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu
dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat.

Dikatakan bahwa dalam MLM terjadi akad bai’ karena dalam praktek
MLM, ada pembayaran yang dilakukan oleh pendaftar dan ada pemberian
barang yang dilakukan oleh perusahaan MLM, yang berakhir dengan
berpindahnya kepemilikan barang, apalagi ada MLM yang secara tegas
menyatakan bahwa bila ingin jadi anggota, pendaftar harus membeli produk
terlebih dahulu. Pembelian produk ini kemudian akan secara otomatis
dimaknai sebagai pendaftaran menjadi member dalam Multi Level Marketing.
Dikatakan bahwa dalam MLM potensial terjadi akad ju’alah, karena
disitu terdapat pengupahan (berupa bonus) atas prestasi yang telah dilakukan
member (merekrut orang lain yang kemudian menjadi downline-nya).
Sedangkan indikasi adanya akad samsarah (makelar) pada MLM terlihat
dengan peran dari member dalam hal menghubungkan calon pembeli (bisa
juga berarti calon member) dengan pihak perusahaan dimana ia bergabung.
Untuk menentukan secara pasti jenis akad apa yang terjadi dalam MLM,
maka mengingat bahwa sistem dari MLM ada dua macam sebagaimana telah
disebutkan diatas, penentuannya-pun harus dirinci (tafshil). Untuk sistem
yang pertama, akad yang terjadi adalah jual beli (bai’) dan pengupahan
(ju’alah).

9
Beberapa orang, seperti Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. dan Dr.
Setiawan Budi Utomo, Lc.MA. menyatakan bahwa akad yang terjadi dalam
sistem MLM tipe pertama adalah akad jual beli dan samsarah (makelar).
Karena ketika member mencari downline, berarti dia sedang berada dalam
kondisi menghubungkan dua pihak (penjual dan pembeli) perusahaan dan
calon member baru yang menjadi downline. Tindakan seperti ini termasuk
dalam akad samsarah, yang oleh al-Sarkhasi didefinisikan Simsar adalah
nama untuk orang yang bekerja pada orang lain dengan upah, baik itu untuk
menjualkan atau membelikan. Menurut jumhur ulama, samsarah termasuk
dalam jenis akad ijarah, sehingga didalamnya juga berlaku ketentuan-
ketentuan umum akad ijarah. Selain itu, akad ijarah dimana samsarah
termasuk di dalamnya bersifat mengikat (luzum) terhadap kedua belah pihak,
artinya salah satu pihak tidak bisa keluar dari akad begitu saja, tapi harus
menepati apa yang diakadkan sampai tujuan akad selesai. Sifat yang mengikat
seperti ini tidak tampak dalam MLM, karena pihak member punya kebebasan
untuk mencari downline atau tidak, bila berhasil mendapatkan downline
berarti dia mendapat bonus dan kalaupun tidak mencari downline juga tidak
apa-apa dan tidak ada akibat hukumnya.
Sebenarnya terjadi dalam MLM adalah akad ju’alah. Dalam
terminologi fikih ju’alah didefinisikan, suatu tanggung jawab dalam bentuk
janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang
berhasil melakukan perbuatan atau memberi jasa yang belum pasti dapat
dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Ulama
Syafi’iyyah, sebagaimana dalam kitab Al-Majmu’, memberikan definisi
bahwa ju’alah adalah sebagai berikut: Seseorang memberikan upah kepada
orang lain yang telah melakukan suatu pekerjaan untuknya, berupa
mengembalikan yang tersesat dan mengembalikan budak yang lari,
membangun tembok, menjahit baju, dan semua pekerjaan yang dapat
dipekerjakan kepadanya.
Diantara ciri akad ju’alah adalah, upah tidak diberikan sebelum apa
yang dipersyaratkan benar-benar tercapai dan selesai. Masih dalam kitab al-
Majmu’, di situ disebutkan: Imam Mushonnif mengatakan “(dalam ju’alah)
orang yang melakukan pekerjaan tidak berhak atas upah/hadiah kecuali

10
karena selesainya pekerjaan. Jika seseorang menetapkan hadiah atas
pengembalian budak yang hilang, kemudian ada orang yang
mengembalikannya ke pintu rumah, tapi budak tersebut lari atau mati
sebelum diterima oleh pemiliknya, maka orang yang mengembalikan tadi
tidak berhak sesuatu pun dari upah/hadiah. Karena yang dimaksud adalah
pengembalian budak dan upah/hadiah adalah imbalannya, sedangkan dalam
hal ini tujuan tersebut tidak terwujud”. Apabila penjelasan tersebut dicermati
dengan seksama, maka dapat disimpulkan dua hal yang menjadi ciri ju’alah,
Pertama, upah tidak boleh diberikan di awal ataupun ditengah namun harus
di akhir akad. Kedua, proses tidak dihargai sama sekali, tetapi yang dinilai
adalah hasilnya. Ketentuan ini tidak berlaku dalam ijarah sehingga tidak
berlaku juga dalam samsarah karena samsarah termasuk dalam ijarah,
maksudnya dalam samsarah dimungkinkan diberikannya upah di awal atau
sebelum selesainya pekerjaan, karena selain hasil proses juga termasuk dalam
penilaian kerja. Sehingga jika akad samsarah ingin dihentikan oleh salah satu
pihak, maka si pekerja sudah berhak atas upah meskipun hasil pekerjaannya
belum ada, karena dia sudah melakukan proses. Bila ini kita kaitkan dengan
MLM, maka akan semakin jelas bahwa dalam MLM tidak terjadi akad
samsarah tetapi ju’alah. Alasannya, dalam MLM pihak member belum berhak
menerima upah sebelum dia berhasil merekrut downline, padahal member
sudah berusaha dan berproses untuk merekrut downline meskipun tidak
berhasil, member juga belum berhak atas upah/bonus. Seandainya dalam
MLM terjadi akad samsarah, maka usaha pihak member untuk mencari
downline ini harus dihargai dan diberi upah/bonus. Tapi pada kenyataannya
tidaklah demikian member berhak atas upah/bonus hanya ketika dia sudah
berhasil merekrut down line dalam jumlah tertentu. Sedangkan dalam sistem
MLM tipe kedua, akad yang terjadi adalah akad keanggotaan (membership)
dan ju’alah. Pendaftaran member tersebut merupakan akad tersendiri, karena
punya akibat hukum. Pada saat yang sama, terjadi pula akad ju’alah, karena si
member punya kesempatan mendapatkan bonus jika dia berhasil merekrut
down line, dimana keaktifan downline-nya ini akan berpengaruh pada bonus
yang diterimanya.

11
Dari sistem yang berlaku dalam MLM tersebut terciptalah hubungan
hukum yang terjadi antara pihak perusahaan dan pihak member termasuk
hubungan hukum antara member yang satu dengan yang lainnya. Hubungan
hukum antara member dengan perusahaan dari sistem MLM yang ada baik
sistem yang pertama maupun yang kedua, timbul hubungan hukum antara
pihak perusahaan dengan member. Hubungan hukum yang terjadi sebagai
akibat dari kedua sistem MLM tersebut adalah perusahaan berkewajiban
untuk memberikan upah/bonus, dan member berhak untuk mendapatkan
bonus/upah dari pihak perusahaan, apabila syarat-syarat yang ada telah
terpenuhi, hubungan hukum ini terjadi sebagai akibat dari perbuatan hukum
yang dilakukan oleh perusahaan dan member yaitu pada saat member
mendaftar.
Selain adanya hubungan hukum antara perusahaan dengan member,
kedua sistem MLM tersebut juga menimbulkan hubungan hukum antara para
member sendiri, yaitu antara member yang menjadi upline dan member yang
menjadi downline. Upline berhak untuk mendapatkan bonus dari prestasi
yang telah dilakukan oleh downline-nya yang bisa mencari downline baru/lain
atau membeli produk. Tetapi downline tidak mendapatkan hak atau
keuntungan apapun dari pihak upline. Hubungan hukum yang timbul antara
upline dan downline ini tidak jelas dari mana sumbernya, karena upline dan
downline tidak pernah melakukan perbuatan hukum yang secara khusus
sengaja dilakukan untuk menimbulkan akibat hukum tersebut.5

E. Pandangan Fiqh Mengenai MLM


Dalam MLM tipe pertama, terjadi dua akad dalam waktu yang
bersamaan: akad bai’ dan akad ju’alah. Berkaitan dengan terjadinya dua akad
pada satu transaksi dan satu waktu menurut Drs. Hafiz Abdurrahman, MA.
terdapat hadis Nabi yang melarangnya, yaitu:“Rasulullah melarang dua
pembelian dalam satu pembelian” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I,
Tirmidzi dan dishahihkannya). Mengenai maksud “bai’atain fi bai’atin”,

5
Lubabulmubahitsin, MLM DALAM TINJAUAN FIKIH dalam
File:///C:/Users/User/Documents/From/Ushul/MLM/Mohammed_Lubab/MLM/DALAM/Tinjauan
/FIKIH.Htm diakses 01/12/ 2014

12
Imam Syafi’i memberikan dua contoh, diantaranya: Seseorang mengatakan:
saya jual budak itu kepadamu seharga seribu, dengan syarat kamu menjual
harga rumahmu dengan harga segini. Maksudnya, jika kamu menetapkan
milikmu menjadi milikku, maka aku pun menetapkan milikku jadi milikmu.
Drs. Hafiz Abdurrahman, MA. kemudian mengatakan bahwa maksud
dari hadis tersebut adalah ‘larangan terjadinya dua akad dalam satu transaksi’.
Jadi tidak harus jual beli dan jual beli saja, tapi bisa juga jual beli dengan
akad yang lainnya. Sehingga berdasarkan pada hadis tersebut, Hafiz akhirnya
mengatakan bahwa MLM haram hukumnya, karena di dalamnya terjadi dua
akad dalam satu transaksi yaitu bai’ dan samsarah.
Pada praktik MLM yang menggunakan produk halal, ada beberapa
kalangan yang melihat bahwa walaupun produk halal, namun tidak lepas dari
sistem yang digunakan. Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun
produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi
dalam bisnis MLM adalah pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh
seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari
makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab kedudukan
makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith) atau orang yang
mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda yaitu kepentingan
penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-
mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah, dan gugurlah
kedudukannya sebagai penengah atau makelar. Inilah fakta makelar dan
pemakelaran sehingga akad dalam sistem MLM yang melanggar ketentuan
syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi)
atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi
lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap
jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung, maka
MLM yang demikian hukumnya adalah haram (Abdurahman, 2007).6

6
Lubabulmubahitsin, MLM DALAM TINJAUAN FIKIH dalam
File:///C:/Users/User/Documents/From/Ushul/MLM/Mohammed_Lubab/MLM/DALAM/Tinjauan
/FIKIH.Htm diakses 01/12/ 2014

13
F. Multi Level Marketing Berbasis Syari’ah
Sama halnya dengan Bank Syariah Multi Level Marketing Syariah
berdiri atas dasar kegelisahan para pelaku bisnis karena kinerja yang kurang
etis dan tidak profesional dari beberapa oknum pelaku bisnis yang
menimbulkan kerugian para konsumen, padahal animo dari masyarakat
terhdap MLM masih tinggi. Disinilah para pelaku bisnis muslim melihat
adanya peluang bisnis menjanjikan namun perlu membenahi sistemnya
menuju konsep yang lebih baik yaitu konsep agama Islam (Syariah). Dalam
konteks yang demikian inilah maka selanjutnya muncul ide atau gagasan di
kalangan pelaku bisnis muslim tentang model bisnis MLM Syari'ah. Mereka
adalah H. Setyotomo, H. Muhammad Hidayat, KH. Ma'ruf Amin, H. Ateng
Kusnadi, H. Abdul Halim dan H. Danny Ramadhani, di bawah bendera PT
Ahad Net International.7
Adapun ketentuan yang harus dipenuhi oleh pemohon Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) yaitu :
1. Adanya obyek transaksi riil yang diperjual belikan berupa barang atau
produk jasa.
2. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang
diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
3. Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar,
maysir, riba, dharar, dzolim, maksiat.
4. Tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up)
sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan
kualitas/manfaat yang diperoleh.
5. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik
besaranmaupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata
yangterkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang
atauproduk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam
PLBS.

7
www.Ahad-Net International.com., "MLM Asli versus MLM Aspal", h.. 1

14
6. Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus
jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target
penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan.
7. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara
reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau
jasa.
8. Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra
usaha) tidak menimbulkan ighra.
9. Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara
anggota pertama dengan anggota berikutnya.
10. Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial
yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan
aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan
lainlain.
11. Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan
berkewajibanmelakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang
direkrutnya tersebut.
12. Tidak melakukan kegiatan money game.8

Selain kriteria sehat dari MUI dibawah ini ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebagai berikut :
1. Transparansi penjualan dan pembagian bonus serta komisi penjualan,
disamping pembukuan yang menyangkut perpajakan dan perkembangan
networking atau jaringan dan level, melalui laporan otomatis secara
periodik.
2. Meyakinkan kehalalan produk yang menjadi obyek transaksi riil
(underlying transaction) dan tidak mendorong kepada kehidupan boros,
hedonis, dan membahayakan eksistensi produk muslim maupun lokal.
3. Tidak ada excessive mark up (ghubn fakhisy) atas harga produk yang
dijualbelikan di atas covering biaya promosi dan marketing konvensional.

8
Fatwa DSN-MUI No. 75 Th. 2009, h. 5.

15
4. Tidak adanya eksploitasi pada jenjang mana pun antar distribrutor ataupun
antara produsen dan distribrutor, terutama dalam pembagian bonus yang
merupakan cerminan hasil usaha masing-masing anggota.

Dengan demikian, seluruh masyarakat, khususnya stakeholders, para


praktisi bisnis ini, para prospek dan pemerhati yang telah menyimak
presentasi sistem MLM perlu secara obyektif, mandiri, dan proaktif
mempelajari batasan-batasan umum syariah sebagai panduan dan dasar
penilaian kesesuaian ataupun pelanggaran syariah demi memastikan
kehalalan masing-masing perusahaan MLM sebagaimana dijelaskan tadi.9

G. Dampak Positif dan Negatif Bisnis Multi Level Marketing (MLM)


Dampak Positif MLM yaitu :
1. Menguntungkan pengusaha dengan adanya penghematan biaya
(minimizing cost) dalam iklan, promosi, dan lainnya).
2. Menguntungkan para distributor sebagai simsar (makelar/broker/
mitrakerja/ agen/distributor) yang ingin bekerja secara mandiri dan bebas.
Sedangkan dampak negatif MLM menurut Dewan Syariah Partai
Keadilan melalui fatwa No.02/K/DS-P/VI/11419, di antaranya : obsesi yang
berlebihan untuk mencapai target penjualan tertentu karena terpacu oleh
sistem ini, suasana tidak kondusif yang kadang mengarah pada pola hidup
hedonis ketika mengadakan acara rapat dan pertemuan bisnis, banyak yang
keluar dari tugas dan pekerjaan tetapnya karena terobsesi akan mendapat
harta yang banyak dalam waktu singkat. System ini akan memperlakukan
seseorang (mitranya) berdasarkan target-target penjualan kuantitatif material
yang mereka capai yang pada akhirnya dapat mengindikasikan seseorang
yang berjiwa materialis dan melupakan tujuan asasinya untuk dekat kepada
Allah di dunia dan akhirat.10

9
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual -Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,
(Jakarta:Gema Insani Press, 2003), hlm. 104-106.
10
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual -Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,
hlm. 104-106.

16
H. Analisis Pemakalah
Berbicara tentang MLM, kita tidak bisa memukulratakan hukumnya,
tergantung proses yang dilakukan, karena bisnis MLM ini bervariasi
bentuknya, tergantung pada akad, barang dan dan hal-hal yang melingkupi
jual beli secara umum. Bisnis MLM bisa menjadi haram apabila barang yang
dijadikan bisnis adalah barang yang haram dan akad yang dilakukan tidak
jelas, seperti bay’atain fi bai’ah. Karena dalam riwayat Al-Bazzar dan
Ahmad, dari Ibn Mas’ud menyatakan bahwa Nabi melarang dua kesepakatan
(akad) dalam satu akad. Maksud dari dua kesepakatan dalam satu akad yaitu
pemakelaran atas pemakelaran (samsarah ala samsarah). MLM bisa juga
menjadi haram apabila didalam melakukan bisnis tersebut terjadi penipuan
(gharar) di dalamnya.
Bila kita memandang dari sudut pandang masing-masing akad yang
terjadi dalam MLM, ternyata masih terdapat masalah lagi. Khusus untuk akad
jual belinya (bai’), ada beberapa MLM yang bai’-nya terancam rusak (fasid).
Ini terjadi dalam MLM yang tidak secara tegas menyatakan syarat pembelian
produk untuk menjadi member, tapi pada prakteknya ternyata mirip jual beli.
Pendaftar membayar biaya pendaftaran dan perusahaan memberinya produk
tertentu dan kemudian terjadi perpindahan hak milik, sehingga secara lahiriah
adalah jual beli. Tapi, pihak pendaftar ketika memberikan uang tidak berniat
membeli barang (niatnya adalah menjadi member), sehingga “ijab” dari pihak
member ini kabur. Maka dari itu, jual belinya rusak, karena terdapat
kerancuan dalam salah satu rukunnya yang paling penting, ijab-
qabul.Kalaupun akad jual beli itu dinyatakan secara tegas, masalah lain pun
timbul, yaitu kerelaan (ridlo) dari pihak member yang mendaftar. Karena,
bisa jadi, si member sebenarnya tidak ingin membeli produk tersebut – yang
harganya biasanya mahal dan belum tentu bermanfaat bagi si member sendiri.
Tapi karena dia punya keinginan untuk menjadi member, sedangkan syarat
untuk menjadi member adalah membeli produk terlebih dahulu, maka si
member ini pun ‘terpaksa’ membelinya. Padahal, unsur kerelaan adalah unsur
yang paling penting dalam setiap transaksi, termasuk jual beli.

17
Dalam akad ju’alah-nya juga terjadi kekacauan. Dalam ju’alah, pihak
yang berhak mendapatkan keuntungan adalah hanya pihak yang berhasil
memenuhi suatu tugas tertentu saja, selainnya tidak. Ketika seorang member
terlibat akad ju’alah dengan perusahaannya, dan kemudian dia berhasil
memenuhi tugas (yaitu merekrut sejumlah orang untuk menjadi member),
maka yang akan menerima hadiah/bonus bukan hanya dia sendiri, tetapi
semua orang yang ada dalam jaringan diatasnya. Padahal, orang-orang
diatasnya sama sekali tidak terlibat dalam perekrutan orang yang dilakukan si
member tadi. Artinya, dalam ju’alah yang seperti ini, ada orang yang
sebenarnya tidak berhak menikmati upah/bonus, tapi ikut menikmatinya.
Akibatnya, untuk akad ju’alah yang seperti ini hukumnya adalah rusak
(fasidah).
Selain itu, akad ijarah, dimana samsarah termasuk di dalamnya,
bersifat mengikat (luzum) terhadap kedua belah pihak. Artinya, salah satu
pihak tidak bisa keluar dari akad begitu saja, tapi harus menepati apa yang
diakadkan sampai tujuan akad selesai. Sifat yang mengikat seperti ini tidak
tampak dalam MLM, karena pihak member punya kebebasan untuk mencari
down line atau tidak; bila berhasil mendapatkan down line berarti dia
mendapat bonus, tapi kalau tidak mencari juga tidak apa-apa dan tidak ada
akibat hukumnya. Dan biasanya pun dalam MLM, bisa saja upline keluar
begitu saja tanpa adanya persetujuan dari downline atau sebaliknya. Kalau
seperti itu maka akadnya akan rusak.
Kemudian, akad membership. Akad ini jelas mengundang pertanyaan
besar, karena obyeknya bukan zat ataupun jasa. Tujuan dari akad ini adalah
untuk mendapatkan bonus jika nanti membeli suatu barang, yang hal ini
belum tentu akan terlaksana, karena tergantung apakah nantinya member
membeli produk atau tidak. Ini mirip dengan orang yang mendaftar menjadi
anggota asuransi untuk mendapatkan jaminan asuransi dari pihak yang
menyelenggarakan asuransi, meski tidak sepenuhnya sama. Yang jelas, akad
membership merupakan akad yang menggantungkan pada sesuatu di masa
yang akan datang yang belum pasti akan terjadi. Oleh karena itu, akad ini
merupakan akad yang dilarang dalam Islam, karena mengandung unsur
untung-untungan. Pihak member tidak akan bisa merasakan manfaat nyata

18
berupa keuntungan/bonus apapun, sebelum ia membeli produk. Sehingga,
dengan bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa akad membership
adalah akad yang sebenarnya berisi ‘pembelian hak untuk mendapatkan
bonus’. Hanya sebatas hak, karena teralisasi atau tidaknya hak ini
digantungkan ke masa yang akan datang. Berdasarkan paparan diatas, jelaslah
bahwa telah terjadi kerancuan dalam akad-akad yang terjadi dalam MLM.
Padahal, maksud diaturnya akad secara ketat dalam fikih mu’amalah adalah
untuk menjamin kepastian hukum dan menutup kemungkinan terjadinya
gharar (tipuan), dlarar (kerugian), jahalah (ketidakjelasan), ataupun dzulm
(kezaliman terhadap pihak lain), sehingga dapat meminimalisir persengketaan
antara para pihak dan menyelamatkan masing-masing pihak dari kerugian.
Maka dari itu, karena dalam bisnis MLM terjadi akad yang mengandung
kerancuan, bisnis ini potensial bagi terjadinya gharar. Sedangkan, dalam
hadis nabi dikatakan: Dari Abu Hurairah: “Rasulullah melarang jual beli
dengan lemparan batu dan jual beli yang mengandung tipuan” (Diriwayatkan
oleh Jama’ah (para perawi hadis) kecuali Bukhari).
Fakta lain yang terjadi dalam MLM adalah adanya penerimaan bonus
oleh up line, sebagai imbalan atas prestasi down line-nya. Ini terjadi karena
rusaknya akad ju’alah yang terjadi dalam MLM, sehingga pihak up line
menikmati suatu kemanfaatan yang bukan dari usahanya sendiri. Prestasi
yang dilakukan down line akan secara otomatis mengakibatkan keuntungan
up line-nya. Padahal, bisa jadi, antara up line dan down line tidak saling kenal
dan tidak tahu aktifitasnya. Apalagi bagi up line yang down line-nya sudah
banyak, dia bisa sama sekali tidak tahu mengenai down line-nya. Tahu-tahu
sudah untung dan bonusnya terus bertambah, seiring bertambahnya down line
dan prestasi yang dilakukan down line.11
Akan tetapi, MLM bisa saja halal ketika dilakukan sesuai dengan
syari’ah dan tidak menyalahi ketentuan yang sudah ada. Tapi pemakalah
memberi saran, ketika ingin masuk ke bisnis MLM hendaklah berhati-hati,

11
Lubabulmubahitsin, MLM DALAM TINJAUAN FIKIH dalam
File:///C:/Users/User/Documents/From/Ushul/MLM/Mohammed_Lubab/MLM/DALAM/Tinjauan
/FIKIH.Htm diakses 01/12/ 2014

19
diteliti dahulu bagaimana system MLM yang berjalan di bisnis tersebut,
karena dikhawatirkan akan masuk ke bisnis yang diharamkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Multi Level Marketing adalah pemasaran yang berjenjang banyak.
Disebut dengan Multi Level Marketing karena merupakan suatu organisasi
distributor yang melaksanakan penjualan dengan pola bertingkat-tingkat atau
berjenjang, sehingga Multi Level Marketing adalah suatu metode bisnis
alternatif yang berhubungan dengan pemasaran dan distribusi yang dilakukan
melalui banyak level (tingkatan), yaitu biasa dikenal dengan istilah upline
(tingkat atas) dan downline (tingkat bawah), orang akan disebut upline jika
mempunyai downline. Inti dari bisnis Multi Level Marketing digerakkan
dengan jaringan.
Dalam sejarahnya, MLM pertama kali ditandai dengan beroprasinya
The California Perfume Company di New York tahun 1886 yang didirakan
oeh Dave McConnel.
Mengenai hukum MLM ini pun ada yang halal ada yang haram
tergantung bagaimana proses atau sistem yang dijalankan. Apabila MLM
tersebut dijalankan sesuai syari’ah dan tidak ada penyimpangan maka hal itu
dibolehkan. Dan sebaliknya, jika MLM dijalankan tidak sesuai syari’ah dan
didalamnya terdapat unsur-unsur yang haram seperti penipuan, kedzaliman
dan lain sebagainya maka jelaslah bahwa MLM jenis ini hukumnya haram.

20
Daftar Pustaka

Kuncoro,Anis Tyas. Konsep Bisnis Multi Level Marketing dalam Prespektif


Syari’ah. Dalam: Jurnal Sultan Agung Vol. XLV NO. 119 34. September – Nopember
2009.
Suhendi,Hendi.2005.Fiqh Muamalah.Jakarta:Rajawali Pers.
Lubabulmubahitsin, MLM DALAM TINJAUAN FIKIH dalam
File:///C:/Users/User/Documents/From/Ushul/MLM/Mohammed_Lubab/MLM/DALAM/Tinjauan
/FIKIH.Htm diakses pada 01/12/14.

Utomo,Setiawan Budi. Fiqih Aktual -Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,


(Jakarta:Gema Insani Press, 2003).
www.Ahad-Net International.com., "MLM Asli versus MLM Aspal.
www.dsnmui.or.id diakses 04/12/2014.

21

Anda mungkin juga menyukai