Anda di halaman 1dari 14

I. DEFINISI.

Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan


oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Demam thypoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut
yang disebabkan infeksi Salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan
dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang
terinfeksi kuman Salmonella.
Demam typhoid atau Typhus abdominalis suatu penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.

II. ETIOLOGI.
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan
salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang,
gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun
bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi
oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O
(berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H
(berasal dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan
antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa.
III. MANIFESTASI KLINIK.
a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten,
suhu tubuh berangsur meningkat
b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering
pecah-pecah (ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah
limfoid) ujung dan tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang
diare, mual muntah, dan jarang kembung.
c. Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa
dalam, apatis sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah
d. Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih
singkat.

Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal
(gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas):

 Perasaan tidak enak badan.


 Lesu.
 Nyeri kepala.
 Pusing.
 Diare.
 Anoreksia.
 Batuk.
 Nyeri otot
Menyusul gejala klinis yang lain demam yang berlangsung 3 minggu
1) Demam
 Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat pada sore dan malam hari.
 Minggu II: Demam terus.
 Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur - angsur.
2) Gangguan pada saluran pencernaan
 Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi
kemerahan, jarang disertai tremor.
 Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan.
 Terdapat konstipasi, diare.
3) Gangguan kesadaran
 Kesadaran yaitu apatis–somnolen.
 Gejala lain “Roseola” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil
dalam kapiler kulit ).
Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun
menjelang malamnya demam tinggi.

IV. PATOFISIOLOGI/PATHWAYS.
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak
bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan
antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar,
akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di
usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang
melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri
mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan
ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.
Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam
folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu makaSalmonella typhi akan
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang
disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik
secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran
endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel
limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-
zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah
dan juga menstimulasi sistem imunologik.
V. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang
terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor:
a. Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan
laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan
media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik
adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia
berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum
klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh
salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman).
c. Aglutinin VI, yang dibuat karena rangsangan antigen VI (berasal dari
simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

VI. PENATALAKSANAAN MEDIK.


1. Observasi.
a. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang
lebih dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi perforasi usus.
b. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
c. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah
pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan
dekubitus.
d. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
2. Diet.
a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari.
3. Pengobatan
Obat-obatan yang umumnya digunakan antara lain:
A. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
 Klorampenicol.
 Amoxicilin.
 Kotrimoxasol.
 Ceftriaxon.
 Cefotaxim.
B. Antipiretik (Menurunkan panas): Paracetamol.

VII. PENGKAJIAN FOKUS KEPERAWATAN.


1. Pengkajian.
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit,
nomor register dan diagnosa medik.
b. Keluhan utama.
Keluhan utama demam thypoid adalah panas atau demam yang tidak
turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare
serta penurunan kesadaran..
c. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke
dalam tubuh.
d. Riwayat penyakit dahulu.
Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.
e. Riwayat penyakit keluarga.
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
f. Pola-pola fungsi kesehatan.
 Pola nutrisi dan metabolisme.
 Pola eliminasi.
 Pola aktivitas dan latihan.
 Pola tidur dan istirahat.
 Pola persepsi dan konsep diri.
 Pola sensori dan kognitif
2. Pemeriksaan fisik
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 41°C muka
kemerahan. Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN.


1. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma.
2. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake
cairan peroral yang kurang (mual, muntah).
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi.

IX. INTERVENSI.
1. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma.
a. Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh pasien
dapat turun, kriteria:
 Suhu tubuh stabil 36-37 C.
 Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
b. Intervensi.
 Pantau suhu tubuh pasien setiap 4 jam.
 Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai anjuran.
 Turunkan panas dengan melepaskan selimut atau menanggalkan
pakian yang terlalu tebal, beri kompres pada aksila dan liatan
paha.
 Observasi adanya konfusi disorientasi.
 Berikan cairan IV sesuai yang dianjurkan.
c. Rasional.
 Mengetahui suhu tubuh klien.
 Menurunkan demam.
 Meningkatkan kenyaman, menurunkan temperatur suhu tubuh.
 Perubahan tingkat kesadaran dapat merupakan akibat dari
hipoksia jaringan.
 Menghindari kehilangan air natrium klorida dan kalium yang
berlebihan.
2. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake
cairan peroral yang kurang (mual, muntah).
a. Tujuan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan
terpenuhi, kriteria
 Tidak mual.
 Tidak demam.
 Suhu tubuh dalam batas normal.
b. Intervensi.
 Jelaskan kepada pasien tentag pentingnya cairan.
 Monitor dan catat intake dan output cairan.
 Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah,
kehausan dan turgor kulit.
 Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan.
 Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan
cairan secara dekuat.
 Kolaborasi pemberian cairan intravena.
c. Rasional.
 Agar pasien dapat mengetahui tentang pentingnya cairan
dan dapat memenuhi kebutuhan cairan.
 Untuk mengetahui keseimbangan intake da output cairan.
 Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap
dan atau efek dari kehilangan cairan.
 Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan.
 Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah
volume cairan tubuh.
 Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi
kebutuhan cairan yang hilang.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi.
a. Tujuan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukkan tingkat
kenyamanan meningkat, kriteria:
 Pasien dapat melaporkan nyeri berkurang Frekuensi nyeri.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal.
b. Intervensi.
 Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensi.
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan..
 Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan..
 Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri.
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
c. Rasional.
 Respon nyeri sangat individual sehingga penangananya pun
berbeda untuk masing-masing individu.
 Menngetahui tingkat kenyamanan.
 Lingkungan yang nyaman dapat membantu klien untuk
mereduksi nyeri.
 Pengalihan nyeri dengan relaksasi dan distraksi dapat
mengurangi nyeri yang sedang timbul.
 Pemberian analgetik yang tepat dapat membantu klien untuk
beradaptasi dan mengatasi nyeri.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Susilo. (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika.

Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Soedarmo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI.

NANDA. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2012-2014. Philadelphia :


NANDA International

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagosa
Medis NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Susilaningrum, R., Nursalam, & Utami, S. (2013). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak
Untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika.

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku : Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
TYPHOID

Disusun Oleh:
Anisa Andri Lestari.
1701005.

S1 Ilmu Keperawatan
STIKes Muhammadiyah Klaten
2019/2020

Anda mungkin juga menyukai