Oleh: Surono
Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai
Abstraksi:
Kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2013 dilandasi oleh beberapa latar belakang kepentingan
yang berbeda. Di satu sisi cukai masih menjadi alat penrimaan Negara yang memberikan kontribusi
yang cukup besar bagi pemerintah. Disisi lain, pemerintah juga harus mempertimbangkan
keberadaan industri hasil tembakau yang memeberikan kesempatan kerja yang cukup luas bagai
masyarakat. Kemudian tidak kalah pentingnya adalah aspek pengendalian konsumsi. Meskipun
Indonesia belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco control (FCTC) namun langkah-
langkah kebijakan di bidang industri hasil tembakau juga sudah mengarah pada FCTC tersebut.
Pokok-pokok kebijakan tarif cukai 2013 antara lain: Mempertegas sistem tarif cukai hasil tembakau
dengan penerapan tarif cukai full spesifik; mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau; pemberlakuan tarif cukai rata-rata jenis hasil
tembakau untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek
Tangan (SKT) mengalami kenaikan secara moderat dalam kisaran 8,5%; kebijakan cukai hasil
tembakau 2013 dilakukan dalam rangka pengendalian konsumsi dan kepentingan penerimaan
negara
Cukai merupakan salah satu penerimaan pajak yang memiliki karakteristik yang unik.
Bila ditinjau dari sisi objek maka cakupan pemilihan objeknya bersifat diskriminatif, dalam
artian hanya berlaku untuk barang-barang tertentu saja yang memenuhi karakteristik
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Cukai. Bila ditinjau dari sisi tujuan pemungutan,
cukai dapat digunakan sebagai sumber penerimaan negara (budgetair) dan juga dapat
diarahkan untuk kepentingan pengaturan (regulerend).
Sebagai instrumen regulator, cukai berfungsi untuk mengendalikan konsumsi
terhadap barang kena cukai, intrumen pengawas peredaran, kompensasi terhadap barang
yang dianggap berdampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan, serta sebagai
pembebanan demi keadilan dan keseimbangan. Sebagai sumber penerimaan negara, cukai
(terutama cukai hasil tembakau) memiliki peran yang cukup penting. Pada tahun 2012 yang
lalu, cukai mampu memberikan kontribusi sekitar 84,67 trilyun rupiah atau 110%x dari target
yang ditetapkan. Untuk tahun 2013 ini penerimaan cukai ditargetkan akan mencapai 88,02
trilyun rupiah. Dari nilai tersebut, 85 trilyun rupiah diestimasikan akan berasal dari cukai hasil
tembakau.
1
Ada yang menarik pada kebijakan cukai hasil tembakau tahun ini. Salah satunya
adalah karena adanya putusan Mahkamah Agung yang menerima gugatan uji materil dari
kelompok pengusaha hasil tembakau terhadap kebijakan tarif Cukai hasil tembakau PMK
167/PMK.011/20011. Disamping itu, kebijakan cukai hasil tembakau semakin mengarah
pada tujuan pengendalian konsumsi sesuai yang diamanatkan dalam Roadmap Industri
Hasil Tembakau.
2
Membatasi kadar nikotin
INSTRUMEN Membatasi ijin perusahaan baru 0
Masyarakat Sehat
Mengarah kebijakan cukai sederhana
2
Memperkuat Struktur Industri
Kebutuhan Penerimaan Negara
dan kompetisi sehat 0
yang Pasti
Menghilangkan Rokok Illegal
Dan pita palsu
Menampung Lapangan Pekerjaan
TUJUAN
2006
Rincian jangka waktu untuk mencapai tujuan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Tahun 2006-2010 : urutan prioritas pada aspek keseimbangan tenaga kerja,
penerimaan negara dan kesehatan masyarakat.
Tahun 2010-2015 : urutan prioritas pada aspek penerimaan negara, kesehatan
masyarakat, dan tenaga kerja.
2
Tahun 2015-2020 : urutan prioritas pada aspek kesehatan masyarakat, tenaga kerja
dan penerimaan negara
Sejak tahun 2006 kebijakan tarif cukai hasil tembakau mulai bergeser dari sistem
advalorum menjadi sistem spesifik. Sistem spesifik dirasakan lebih memberikan efek positif
terhadap pengawasan cukai hasil tembakau. Hal ini dapat terlihat dari semakin menurunnya
intensitas kasus-kasus pemalsuan pita cukai maupun pelanggaran yang ditimbulkan dengan
adanya disperitas harga jual eceran hasil tembakau.
Salah satu fungsi cukai hasil tembakau adalah sebagai instrumen pengendalian
konsumsi hasil tembakau. Tuntutan masyarakat secara nasional maupun internasional
menghendaki adanya kepedulian pemerintah yang lebih tinggi terhadap aspek kesehatan
masyarakat. Salah satu tuntutan ini berasal dari forum Internasional yaitu rekomendasi yang
dikeluarkan dalam Framework Convention on Tobacco control (FCTC) pada tahun 2003 dan
mulai diimplementasikan sejak tahun 2005. Meskipun hingga saat ini pemerintah Indonesia
belum meratifikasi konvensi yang digagas oleh World Health Organization tersebut, namun
kebijakan pemerintah terkait cukai hasil tembakau juga telah mengadopsi rekomendasi
FCTC tersebut.
Sistem tarif cukai hasil tembakau yang diimplementasikan di Indonesia pada dasarnya
mensinergikan beberapa kepentingan yangb berbeda. Hal ini lah yang membuat, struktur
tarif cukai hasil tembakau menjadi agak kompleks dan tidak sederhana. Kondisi seperti ini
tidaklah cocok dengan prinsip administrasi perpajakan yang dituntut untuk sederhana.
Kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2013 juga telah mengarah pada penyederhanaan
struktur tarif cukai, walupun pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan moderat.
3
Struktur Tarif Cukai HT 2013
Golongan pengusaha
pabrik hasil
No. tembakau Batasan harga jual eceran Tarif cukai per
Urut per batang atau gram batang atau gram
Jenis Golongan
Pokok-Pokok Kebijakan
Bila merujuk pada struktur tarif cukai hasil tembakau yang telah ditetapkan pemerintah
tersebut, terdapat beberapa hal pokok kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2013. Penulis
mencoba untuk menafsirkan pokok-pokok kebijakan tersebut dalam rangkuman tulisan
sebagai berikut :
4
a. Mempertegas sistem tarif cukai hasil tembakau, yaitu penerapan tarif cukai full
spesifik dalam rangka memudahkan pemungutan dan pengawasan barang kena
cukai
Kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2013 semakin mengukuhkan penerapan sistem
tarif cukai spesifik yang mengarah pada penyederhanaan struktur tarif cukai. Sistem tarif
cukai spesifik secara teoritis akan mengurangi disparitas harga antara harga jual eceran
penetapan pemerintah dengan harga transaksi pasar. Adanya disperitas inilah yang menjadi
faktor pemicu upaya-upaya pelarian cukai baik yang sifatnya pemalsuan pita cukai,
penggunaan pita cukai yang bukan haknya bahkan tanpa pita cukai sama sekali.
Dengan penerapan sistem spesifik, maka intervensi pemerintah terhadap cukai hasil
tembakau tidak lagi dilakukan terhadap harga jual eceran namun lebih difokuskan pada
intervensi tarif. Harga jual secara fleksibilitas dapat diimplementasikan oleh pengusaha hasil
tembakau sesuai dengan strategi pemasaran masing-masing. Hal inilah yang memberikan
dampak pada penurunan disperitas harga di tingkat pasar. Efek multipliernya tentu saja
akan berimbas pada semakin berkurangnya upaya-upaya pelanggaran cukai yang
diakibatkan oleh adanya disperitas harga tersebut.
Pada tahun 2012 para pengusaha hasil tembakau yang tergabung dalam Forum
Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengajukan gugatan uji materi
terhadap pemberlakuan PMK 167/PMK.011/2011 tentang tarif cukai hasil tembakau. Salah
satu hal pokok yang digugat adalah besaran tarif cukai yang diimplementasikan dalam PMK
tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Undang-undang Cukai karena telah melebihi
angka tarif maksimum 57% dari harga jual eceran.
Putusan Mahkamah Agung pada akhirnya menerima gugatan uji materi dari Formasi
tersebut. Sebagai konsekuensinya, pemerintah diharuskan untuk segera mencabut
pemberlakuan PMK 167/PMK.011/2011. Menurut perhitungan waktu paling lambat bagi
pemerintah untuk menjalankan putusan MA atas uji materi adalah tanggal 24 Desember
2012. Hal inilah yang membuat pemberlakuan PMK 179/PMK.011/2012 menjadi agak unik
dan juga cukup kompleks. PMK 179 mulai berlaku sejak tanggal 25 Desember 2012. Suatu
pemberlakuan peraturan yang tidak lazim ditambah lagi bahwa tanggal 25 Desember
merupakan hari libur.
5
c. Pemberlakuan tarif cukai rata-rata jenis hasil tembakau untuk jenis Sigaret
Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT)
mengalami kenaikan secara moderat berkisar mulai Rp5,00 s.d. Rp20,00 per
batang atau secara rata-rata dalam kisaran 8,5%.
Kebijakan menaikan tarif cukai terhadap hasil tembakau yang tergolong primadona
penghasil cukai (SKM, SPM dan SKT) adalah suatu keharusan apabila pemerintah ingin
memenuhi target penerimaan cukai tahunan sebesar 88,02 trilyun rupiah. Apalagi bila
mengingat asumsi tingkat pertumbuhan produksi rokok yang akan sedikit melambat di tahun
20013 sejalan dengan pemberlakuan PP nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Akan tetapi meskipun terhadap seluruh produk primadona tersebut dinaikan tarif
cukainya, pemerintah tetap memperhitungkan kebijakan keberpihakan pada industri yang
menyerap banyak tenaga kerja. Beban tarif cukai hasil tembakau yang dibuat dengan
tangan (khususnya SKT) masih lebih rendah dibandingkan yang dibuat dengan mesin.
Kemudian untuk tarif cukai hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris (TIS), Klobot (KLB),
dan Kelembak Menyan (KLM) dinaikkan dalam kisaran Rp1,00 s.d. Rp4,00 per batang/gram.
Untuk tarif cukai hasil tembakau yang diimpor ditetapkan sama dengan tarif cukai tertinggi
untuk masing-masing jenis dan golongan hasil tembakau yang diproduksi di dalam negeri.
Disamping menaikan tarif cukai beberapa jenis produk hasil tembakau, kebijakan
cukai kali ini juga menaikkan batasan HJE per batang dan gram untuk 10 (sepuluh) layer
tarif cukai. Sejak pemberlakuan tarif spesifik tahun 2006, tercatat baru tahun ini saja
pemerintah melakukan penyesuaian terhadap HJE. Menurut analisa penulis, hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk menghindari tarif cukai agar tidak melebihi batasan tertinggi
57% sebagaimana putusan uji materi MA.
Untuk memenuhi aspek penyederhanaan administrasi, struktur tarif cukai 2013 juga
telah dilakukan penyederhanaan. Beberapa jenis rokok yang semula terdiri atas tiga layer
batasan HJE kini disederhanakan dengan menggabungkan SKM golongan I layer 3
digabung, sehingga jenis SKM golongan I menjadi 2 layer. Kemudian, SPM golongan II layer
3 digabung, sehingga jenis SPM golongan II menjadi 2 layer.
6
mengendalikan konsumsi hasil tembakau semakin menguat dengan ditetapkannya
Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang
Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Kebijakan menaikan tarif cukai hasil tembakau adalah salah satu langkah efektif untuk
mendukung upaya pengendalian konsumsi hasil tembakau. Secara teoritis, apabila tarif
cukai hasil tembakau ditingkatkan maka asumsinya konsumen akan mengurangi
konsumsinya terhadap hasil tembakau. Disisi lain, kebijakan menaikan tarif cukai hasil
tembakau dalam jangka pendek akan meningkatkan penerimaan negara. Data statistik
membuktikan bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu, angka penerimaan cukai cenderung
meningkat secara signifikan. Sederhanya saja, tahun 2002 angka penerimaan cukai baru
mencapai 23,34 trllyun rupiah sedangkan tahun 2012 yang lalu angka penerimaan cukai
sudah mencapai 84,67 trilyun rupiah.
Penutup
Kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang dijalankan pemerintah merupakan sinergi
dari beberapa kepentingan yang berbeda. Disatu sisi pemerintah harus mengakomodir
kebutuhan pencapaian target penerimaan cukai sesuai asumsi APBN. Namun disisi lain
pemerintah juga berkomitmen untuk memenuhi rekomendasi FCTC dalam rangka lebih
peduli dengan aspek kesehatan. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah aspek
ketenagakerjaan dalam industry hasil tembakau. Semua aspek kepentingan tersebut
senantiasa harus diakomodir dalam penyusunan kebijakan tariff cukai hasil tembakau.
7
Referensi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau;
Bahan Sosialisasi Kebijakan Tarif Cukai 2013, Direktorat Cukai DJBC