Anda di halaman 1dari 9

BAB III

VITILIGO

Definisi

Pada abad ke-16 Hieronemyus Mercurialis menduga bahwa vitiligo berasal dari bahasa Latin yaitu dari
kata virum atau vitellium yang berarti cacat. Vitiligo adalah kelainan kulit yang idiopatik, berbatas tegas,
dan didapat, ditandai dengan adanya milky white patch atau bintik putih seperti susu dengan berbagai
bentuk dan ukuran (Anju, 2011). Hal ini disebabkan karena kerusakan melanosit dalam menghasilkan
pigmen pada kulit dan mukosa. Menurut Aisyah, vitiligo merupakan kelainan pigmentasi yang
didapat pada kulit dan membrane, ditandai dengan adanya macula hipopigmentasi dengan batas yang
tegas dan pathogenesis yang kompleks.

Insidensi vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan jenis
kelamin. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa wanita memiliki faktor resiko lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki, namun perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari
pasien yang sebagian perempuan oleh karena permasalahan kosmetik yang digunakan.

Klasifikasi

Koga membagi vitiligo dalam dua golongan, yaitu :

Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom

Gambar 1.

Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom

Gambar 2.
Sedangkan berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Nordlund membagi menjadi :

Tipe lokalisata, yang terdiri atas :

Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih macula pada satu daerah dan tidak segmental.

Gambar 3.

Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih macula dalam satu atau lebih daerah dermatom dan selalu
unilateral.

Gambar 4.

Bentuk mucosal, yang terdapat pada selaput lendir (genital dan mulut)

Gambar 5.

Tipe generalisata, terdiri dari :

Bentuk akrofasial : lesi terdapat pada bagian distal ekstremitas dan muka.

Gambar 6.

Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.


Gambar 7.

Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial.

Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir seluruh tubuh.

Gambar 8.

Gambaran lokasi predileksi vitiligo

Etiologi

Etiologi dari vitiligo belum diketahui, namun terdapat beberapa teori yang menjelaskan terjadinya vitiligo
diantaranya kerusakan melanosit yang dihubungkan dengan genetic, cytotoxic, dan autoimun. Beberapa
faktor presipitasi yang berperan dalam vitiligo adalah trauma (fisik atau emosional) atau infeksi parasite.
Sumber lain menyebutkan bahwa faktor pencetus terjadinya vitiligo adalah

Faktor mekanis

Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah tindakan bedah atau
pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.

Faktor sinar matahari atau penyinaran ultraviolet


Pada 7-15% penderita vitiligo, timbul lesi setelah terpajan matahari atau UV A dan ternyata 70% lesi
pertama yang timbul ada pada bagian kulit yang terpajan.

Faktor psikis dan emosional

Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah mendapat gangguan emosi, stress
psikis yang berat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa stress dapat memacu berkurangnya oksigen
untuk membentuk radikal superoksida yang selanjutnya menjadi hidrogen peroksida dan membentuk
Superoxide Dismutase (SOD).

Faktor hormonal

Diduga vitiligo memburuk selama proses kehamilan atau pada penggunaan kontrasepsi oral. Namun
pendapat tersebut masih diragukan.

Manifestasi Klinis

Kulit vitiligo menunjukkan gejala dipegmintasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna kulit normal
atau oleh hiperpigmentasi. Pada vitiligo, ditemukan macula dengan gambaran seperti “kapur” atau putih
pucat dengan tepi yang tajam.

Progress dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap dari macula lama atau
pengembangan dari macula baru.

Tangan, pergelangan tangan, lutut, leher, dan daerah disekitar mulut merupakan daerah yang sering
ditemukan vitiligo. Kadang juga ditemukan rambut yang memutih atau uban premature. Gambaran
rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan macula putih, disebut sebagai poliosis.

Patofisiologi

Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi penyakit ini masih
menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat beberapa hipotesis tentang mekanisme penghancuran
melanosit pada vitiligo, yang masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, yaitu :
Hipotesis autoimun

Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun. Pada penderita dapat ditemukan autoantibodi terhadap
antigen sistem melanogenik, yaitu autoantibodi anti melanosit yang bersifat toksik terhadap melanosit
dan menghambat pembentukan melanin. Dari hasil-hasil penelitian terakhir, tampaknya hipotesis
autoimun banyak dianut oleh banyak ahli. Hal ini disokong dengan kenyataan bahwa insidens vitiligo
meningkat pada penderita penyakit autoimun, seperti : penyakit kelenjar tiroid, alopesia areata, anemia
pernisiosa, anemia hemolitik autoimun, skleroderma, dan artritis rheumatoid.

Hipotesis neurogenik

Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti asetilkolin, epinefrin dan norepinefrin
yang dilepaskan oleh ujung-ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang dapat merusak
melanosit ataupun menghambat produksi melanin. Bila zat-zat tersebut diproduksi berlebihan, maka sel
melanosit di dekatnya akan rusak. Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau dua
dermatom, dan seringkali timbul pada daerah dengan gangguan saraf seperti pada daerah paraplegia,
penderita polineuritis berat.

Selain itu, beberapa bahan yang lepas dari ujung syaraf perifer pada kulit seperti Neuropeptide-Y, juga
merupakan bahan toksik terhadap melanosit dan dapat menghambat proses melanogenesis.
Kemungkinan Neuropeptide-Y memegang peranan dalam pathogenesis vitiligo melalui mekanisme
neuroimmunity atau neuronal terhadap melanosit.

Hipotesis autositotoksik

Hipotesis ini berdasarkan biokimiawi melanin dan prekursornya. Dikemukakan bahwa terdapat produk
antara dari biosintesis melanin yaitu monofenol atau polifenol. Sintesis produk antara yang berlebihan
tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit. Berdasarkan observasi, sewaktu terjadinya sintesis
melanin, terbentuk bahan kimia yang bersifat cytotoxic terhadap sitoplasma dari sel sehingga
menyebabkan timbulnya kerusakan struktur yang paling penting seperti mitokondria. Lerner (1959)
mengemukakan bahwa melanosit normal mempunyai proteksi terhadap proses tersebut, sedangkan
pada penderita vitiligo mekanisme proteksi ini labil, sehingga bila ada gangguan, produk antara tersebut
akan merusak melanosit dan akibatnya terjadi vitiligo. Hal ini secara klinis dapat terlihat lesi banyak
dijumpai pada daerah kulit yang mengandung pigmen lebih banyak (berwarna lebih gelap). Juga hal ini
dapat terjadi pada pekerja-pekerja industri karet, plastik dan bahan perekat karena banyak berkontak
dengan bahan fenol dan katekol.
Self-destruction hypothesis

Mekanisme pertahanan yang tidak sempurna pada sintesis melanin di dalam melanosit, menyebabkan
menumpuknya bahan toksik ( campuran phenolic ) yang menghancurkan melanosit. Hipotesis ini
berdasarkan pengaruh bahan toksik yang dihasilkan oleh campuran kimia (phenol) terhadap fungsi
melanosit.

Genetik hipotesis

Vitiligo diperkirakan dapat diturunkan secara kromosom autosomal. Cacat genetic ini menyebabkan
dijumpainya melanosit yang abnormal dan mudah mengalami trauma, sehingga menghalangi
pertumbuhan dan diferensiasi dari melanosit.

Terpapar bahan kimiawi

Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan Mono Benzil Et er Hidrokinon dalam sarung tangan
atau detergen yang mengandung fenol.

Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, serta ditunjang oleh
pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu Wood. Biasanya, diagnosis vitiligo dapat
dibuat dengan mudah pada pemeriksaan klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur
putih”, bilateral (biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang khas

Pada pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini berbeda dengan
kelainan hipopigmentasi lainnya. Dalam kasus-kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan
untuk melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis.

Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Pada
pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit, dan melanosom pada keratinosit, juga terdapat perubahan
dalam keratinosit: spongiosis, eksositosis, basilarvacuopathy, dan apoptosis. Beberapa penulis
menjumpai infiltrate limfositik di epidermis.

Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada vitiligo yaitu repigmentasi dan menstabilkan proses depigmentasi. Proses
repigmentasi yang dimaksud yaitu membentuk cadangan baru melanosit yang diharapkan akan tumbuh
dalam kulit dan menghasilkan pigmen melanin. Ada banyak pilihan ter,api yang dapat memberikan hasil
memuaskan pada sebagian besar pasien. Walaupun begitu pengobatan vitiligo membutuhkan waktu
karena sel yang baru terbentuk akanberproliferasi dan bermigrasi ke daerah yang mengalami
depigmentasi.

Metode pengobatan vitiligo dapat dibagi atas:

Pengobatan secara umum

Memberikan keterangan mengenai penyakit, pengobatan yang diberikan dan menjelaskan


perkembangan penyakit selanjutnya kepada penderita.

Penggunaan tabir surya pada daerah yang terpapar sinar matahari.penggunaan tabir surya mempunyai
beberapa alas an yaitu:

Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap sinar matahari dan dapat mengakibatkan
timbulnya kanker kulit.

Trauma yang diakibatkan sinar matahari selanjutnya dapat memperluas daerah depigmentasi(koebner
phenomeno).

Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan daerah kulit normal menjadi lebih gelap.

Kamuflase kosmetik

Tujuan penggunaaan kosmetik yaitu menyamarkan bercak putih sehingga tidak terlalu kelihatan.

Repigmentasi vitiligo, dapat dilakukan dengan berbagai cara dengan melihat usia penderita yaitu:

Usia dibawah 12 tahun

Steroid topical

Penggunaan steroid topical diharapkan dapat meningkatkan mekanisme pertahanan terhadap


autodestruksi melanosit dan menekan proses imunologis.

Tacrolimus topical
Tacrolimus merupakan suatu imunosupresor yang poten dan selektif. Mekanisme kerja berdasarkan
inhibisi kalsineurin yang menyebabkan supresi dari sel T dan inhibisi pelepasan sitokin. Berdasarkan
penelitian,penggunaan tacrolimus 0,1% memberikan hasil yang baik pada daerah wajah dan memiliki
efek samping yang lebih minimal di bandingkan dengan steroid topical poten yaitu adanya rasa panas
atau terbakar dan rasa gatal,namun biasanya hilang setelah beberapa hari pengobatan.

PUVA topical

Diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun dengan vitiligo tipe lokalisata atau pada lesi
yang luasnya kurang dari 20% permukaan tubuh. Pemaparan menggunakan UV-A dan dapat juga
menggunakan sinar matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit pada
pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit dan maksimum selama 15-30 menit. Pengobatan
diberikan satu atau dua kali seminggu, tetapi tidak dalam 2 hari berturut-turut. Setelah selesai
pemaparan, daerah tersebut dicuci dengan sabun dan dioleskan tabir surya.

Usia lebih dari 12 tahun

Sistemik PUVA

Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A yaitu pada vitiligo tipe generalisata.Obat
yang digunakan yaitu Methoxsalen (8-MOP, Oxsolaren), bekerja dengan cara menghambat mitosisyaitu
dengan berikatan secara kovalen pada dasar pyrimidin dari DNA yang difotoaktivasi dengan UV-Adengan
dosis yang diberikan 0,2-0,4 mg/kg/BB/oral, diminum 2 jam sebelum pemaparan. Lamanya pemaparan
pada awal pengobatan selama 5 menit,pada pengobatan berikutnya dapat di tambahkan 5 menit
sehingga dicapai eritema ringan dan maksimum 30 menit. Terapi ini biasanya diberikan satu atau dua kali
seminggu tetapi tidak dilakukan 2 hari berturut-turut.

Terapi bedah

Pasien dengan area vitiligo yang luas dan aktivitasnya stabil,dapat dilakukan transplantasi secara
bedah,yaitu: autologous skin graft dan suction blister.

Depigmentasi

Terapi ini merupakan pilihan pada pasien yang gagal terapi PUVA atau pada vitiligo yang luas
dimanamelibatkan lebih dari 50% area permukaan tubuh atau mendekati tipe vitiligo universal.
Pengobatan inimenggunakan bahan pemutih seperti 20% monobenzyl ether dari hydroquinone
(benzoquin 20%), yangdioleskan pada daerah normal (dijumpai adanya melanosit). Dilakukan sekali atau
dua kali sehari.

Tattoo (mikropigmentasi).

Tattoo merupakan pigmen yang ditanamkan dengan menggunakan peralatan khusus yang bersifat
permanen.

Komplikasi

Kulit terbakar matahari disebabkan kurangnya melanin dalam kulit sehingga membuat kulit lebih rentan
terhadap sinar matahari.

Vitiligo dapat menyebabkan kekurangan pigmen pada mata dan penurunan pendengaran (hipoakusis)

Penderita vitiligo biasanya mengalami penurunan harga diri dan rasa percaya diri terutama jika area yang
terkena vitiligo adalah area yang sering terlihat

Poliosis

Rash

Koebner phenomenon

Prognosis

Prognosis dari vitiligo tergantung dari lokasi yang terkena dan respon klien terhadap terapi. Vitiligo dapat
menyebar dengan cepat pada daerah depigmentasi kulit secara spontan dapat repigment tanpa
diketahui penyebabnya.

Anda mungkin juga menyukai