Anda di halaman 1dari 24

MATA KULIAH

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

OLEH
Dr. AL LAILY FITRI
NIM. 1813101001

STIKES FORD DE KOK


BUKIT TINGGI TAHUN 2018
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang......................................................................... 1

1.2 Tujuan Penulisan ............................................................... 4

1.3 Manfaat Penulisan .................................................................... 5

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Etika dan Hukum Kesehatan

2.1.1 Etika Profesi Kesehatan

2.1.2 Ciri-Ciri Profesi

2.1.3 Kode Etik Profesi

2.1.4 Fungsi Kode Etik

2.1.5 Hukum Kesehatan

2.2 Malapraktik dan Hak-Hak Pasien

2.2.1 Malapraktik

2.2.2 Hak dan Kewajiban Pasien

2.3 Etika dan Hukum dalam Kesehatan Reproduksi

2.3.1 Aborsi

2.3.1.1 Bersifat Legal

2.3.1.2 Bersifat Ilegal

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Peran Etika dalam Pelayanan
Kesehatan.

Kami menyadari penulisan makalah ini mungkin jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan dimasa
mendatang.

Selama proses penulisan makalah ini, kami banyak mendapatkan arahan dan bimbingan terutama
dari dosen pengajar Etika dan Hukum Kesehatan. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang
setimpal atas segala bantuan yang telah diberikan sampai kamidapat menyelesaikan penulisan
makalah ini.

Dengan selesainya penulisan makalah ini, kami berharap petugas kesehatan dapat memahami
prinsip bekerja berdasarkan etika profesi dan hukum kesehatan yang berlaku, sehingga terhindar
dari kasus-kasus malapraktik maupun kelalaian dalam praktik kesehatan yang menyebabkan
turunnya citra profesi petugas kesehatan.

Semoga karya kecil ini dapat memberikan kontribusi secara bermakna dalam menanamkan etika
profesi bagi petugas kesehatan sekaligus mengenalkan hukum-hukum kesehatan yang harus
dipatuhi guna menghindari malapraktik dan pelanggaran etik.

Palembang, 03 November 2011

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etika adalah aturan bertindak atau berperilaku dalam suatu masyarakat tertentu atau komunitas.
Aturan bertindak ini ditentukan oleh setiap kelompok masyarakat, dan biasanya bersifat turun-
temurun dari generasi ke generasi, serta tidak tertulis. Sedangkan hukum adalah aturan berperilaku
masyarakat dalam suatu masyarakat atau negara yang ditentukan atau dibuat oleh para pemegang
otoritas atau pemerintah negara, dan tertulis.
Baik etika maupun hukum dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan yang sama, yakni terciptanya
kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan damai. Oleh sebab itu, semua anggota masyarakat
harus mematuhi etika dan hukum ini. Apabila tidak, maka bagi para pelanggar kedua aturan perilaku
ini memperoleh sanksi yang berbeda. Bagi pelanggar etika sanksinya adalah “moral”, sedangkan bagi
pelanggar hukum, sanksinya adalah hukuman (pidana atau perdata).

Petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terikat pada etika dan hukum, atau etika
dan hukum kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan masyarakat, perilaku petugas kesehatan harus
tunduk pada etika profesi (kode etik profesi) dan juga tunduk pada ketentuan hukum, peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila petugas kesehatan melanggar kode etik profesi, maka
akan memperoleh sanksi “etika” dari organisasi profesinya. Dan mungkin juga apabia melanggar
ketentuan peraturan atau perundang-undangan, juga akan memperoleh sanksi hukum (pidana atau
perdata).

Seiring dengan kemajuan zaman, serta kemudahan dalam akses informasi, era globalisasi atau
kesejagatan membuat akses informasi tanpa batas, serta peningkatan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi membuat masyarakat semakin kritis. Disisi lain menyebabkan timbulnya berbagai
permasalahan etik. Selain itu perubahan gaya hidup, budaya dan tata nilai masyarakat, membuat
masyarakat semakin peka menyikapi berbagai persoalan, termasuk memberi penilaian terhadap
pelayanan yang diberikan petugas kesehatan.

Perkembangan ilmu dan tekhnologi kesehatan yang semakin maju telah membawa manfaat yang
besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Perkembangan ini juga diikuti
dengan perkembangan hukum di bidang kesehatan, sehingga secara bersamaan, petugas kesehatan
menghadapi masalah hukum terkait dengan aktivitas, perilaku, sikap dan kemampuannya dalam
menjalankan profesi kesehatan.

Ketika masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan atau apabila seorang petugas
kesehatan merugikan pasien, tidak menutup kemungkinan untuk di meja hijaukan. Bahkan didukung
semakin tinggi peran media, baik media massa maupun elektronik dalam menyoroti berbagai
masalah yang timbul dalam pelayanan kesehatan, merupakan hal yang perlu diperhatikan dan perlu
didukung pemahaman petugas kesehatan mengenai kode etik profesi dan hukum kesehatan, dasar
kewenangan dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Untuk itu dibutuhkan suatu pedoman
ynag komprehensif dan integratif tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang
petugas kesehatan, pedoman tersebut adalah kode etik profesi.

Kode etik profesi penting diterapkan, karena semakin meningkatnya tuntutan terhadap pelayanan
kesehatan dan pengetahuan serta kesadaran hukum masyarakat tentang prinsip dan nilai moral
yang terkandung dalam pelayanan profesional. Kode etik profesi mengandung karakteristik khusus
suatu profesi. Hal ini berarti bahwa standar profesi harus diperhatikan dan mencerminkan
kepercayaan serta tanggung jawab yang diterima oleh profesi dalam kontrak hubungan profesional
antara tenaga kesehatan dan masyarakat.

Masyarakat memberi kepercayaan kepada tenaga kesehatan untuk melaksanakan kewajibannya


dalam memutuskan dan melakukan tindakan berdasarkan pada pertimbangan terbaik bagi
kepentingan masyarakat (penerima layanan kesehatan) yang mengacu pada standar praktik dan
kode etik profesi. Kode etik adalah seperangkat prinsip etik yang disusun atau dirumuskan oleh
anggota-anggota kelompok profesi, yang merupakan cermin keputusan moral dan dijadikan standar
dalam memutuskan dan melakukan tindakan profesi.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah kami berharap petugas kesehatan dapat memahami prinsip
bekerja berdasarkan etika profesi dan hukum kesehatan yang berlaku, sehingga terhindar dari kasus-
kasus malapraktik maupun kelalaian dalam praktik kesehatan yang menyebabkan turunnya citra
profesi petugas kesehatan.

1.3 Manfaat Penulisan

Semoga karya kecil ini dapat memberikan kontribusi secara bermakna dalam menanamkan etika
profesi bagi petugas kesehatan sekaligus mengenalkan hukum-hukum kesehatan yang harus
dipatuhi guna menghindari malapraktik dan pelanggaran etik.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Etika dan Hukum Kesehatan

2.1.1 Etika Profesi Kesehatan

Profesi berasal dari kata profesio (Latin), yang berarti pengakuan. Selanjutnya, profesi adalah
suatu tugas atau kegiatan fungsional dari suatu kelompok tertentu yang “diakui” atau “direkognisi”
dalam melayani masyarakat. Dapat dikatakan juga bahwa etika profesi adalah merupakan norma-
norma, nilai-nilai, atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan
atau “jasa” kepada masyarakat. Etika profesi kesehatan adalah norma-norma atau perilaku
bertindak bagi petugas atau pofesi kesehatan dalam melayani masyarakat.

2.1.2 Ciri-Ciri Profesi

Tidak semua petugas atau orang yang menjalankan tugas atau pekerjaan di dalam suatu
institusi atau lembaga baik di pemerintah maupun swasta itu memperoleh pengakuan sebagai
profesi. Suatu profesi sekurang-kurangnya mempunyai ciri sebagai berikut :

· Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional, artinya orang yang termasuk dalam profesi yang
bersangkutan harus telah menyelesaikan pendidikan profesi tersebut. Orang yang berprofesi dokter,
dengan sendirinya harus telah lulus pendidikan profesi dokter (bukan hanya sarjana kedokteran).

· Pekerjaannya bedasarkan etik profesi. Artinya, dalam menjalankan tugas atau profesinya
seseorang harus berlandaskan atau mengacu kepada etik profesi yang telah dirumuskan oleh
organisasi profesinya.

· Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan materi. Dalam menjalankan


tugasnya seorang profesional dalam menjalankan tugasnya tidak didasarkan pada keuntungan
materi semata-mata. Tetapi harus mengutamakan terlebih dahulu panggilan kemanusiaan. Seorang
petugas kesehatan dalam menolong penderita atau korban, yang didahulukan adalah
menyelamatkan pasien atau korban, bukan berpikir siapa yang akan membayar jasanya nanti.

· Pekerjaannya legal (melalui perizinan). Untuk menjalankan tugas atau praktik, profesi ini
dituntut perizinan secara hukum, atau izin praktik. Dokter praktik, bidan praktik, notaris praktik,
akuntan praktik, harus terlebih dahulu memperoleh izin praktik dari yang berwenang.

· Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat. Seorang anggota profesi mempunyai kewajiban


untuk selalu meningkatkan profesinya melalui belajar terus-menerus. Seorang profesional tidak
boleh berhenti belajar untuk memelihara dan meningkatkan profesionalitasnya.
· Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi. Seseorang yang sudah
memperoleh pengakuan profesi, atau lulus dari pendidikan profesi diwajibkan untuk menjadi
anggota organisasi profesi yang bersangkutan. Seseorang yang sudah lulus pendidikan dokter harus
menjadi anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia), seseorang yang sudah lulus pendidikan Notariat,
harus menjadi anggota organisasi profesi notaris.

Profesi kesehatan sampai saat ini dapat dikelompokkan menjadi :

v Kuratif-Rehabilitatif :

Ø Dokter,

Ø Dokter gigi,

Ø Perawat dan bidan,

Ø Apoteker,

Ø Rekam medis,

Ø Penata rontgen,

Ø Laboran,

Ø Fisioterapitis, dan sebagainya.

v Promotif-Preventif :

Ø Ahli Kesehatan Masyarakat,

Ø Ahli Kesehatan lingkungan,

Ø Administrator Kesehatan,

Ø Bidan dan Perawat Kesehatan Masyarakat,

Ø Epidemiolog,

Ø Entomolog,

Ø Penyuluh/Pendidik/Promotor Kesehatan,

Ø Dan Sebagainya.

2.1.3 Kode Etik Profesi

Mengingat petugas kesehatan demikian luasnya, maka masing-masing petugas kesehatan


tersebut mengelompokkan dirinya dalam profesi yang berbeda. Untuk mengatur perilaku masing-
masing profesi petugas kesehatan ini, maka masing-masing profesi ini membuat panduan sendiri-
sendiri yang disebut “Kode Etik”. Dapat dirumuskan bahwa “Kode Etik Profesi” adalah suatu aturan
tertulis tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh semua anggota profesi dalam menjalankan
pelayanannya terhadap “client” atau masyarakat. Kode etik pada umumnya disusun oleh organisasi
profesi yang bersangkutan. Kode etik tidak mengatur “hak-hak” anggota, tetapi hanya “kewajiban-
kewajiban” anggota.

Kode etik adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap profesi di dalam
melaksanakan tugas profesinya dan di dalam hidupnya di masyarakat. Norma tersebut berisi
petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan
larangan, yaitu ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh
anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah
laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari di dalam masyarakat (Mustika, 2001) “(etika
profesi dan hukum kebidanan. Yanti, S.S.T, M.Keb. Nurul Eko W, S.SiT. Halaman 243).

Kode etik juga diartikan sebagai suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan
eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pengetahuan komprehensif suatu profesi yang
memberikan tuntutan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi. Kode etik adalah suatu
kesepakatan yang diterima dan dianut bersama (kelompok tradisional) sebagai tuntunan dalam
melakukan praktik. Kode etik disusun oleh profesi berdasarkan pada keyakinan dan kesadaran
profesional serta tanggung jawab yang berakar pada kekuatan moral dan kemampuan manusia
(Depkes, 2001). “

Ruang lingkup kewajiban bagi anggota profesi atau “isi” Kode Etik Profesi pada umumnya
mencakup :

v Kewajiban umum,

v Kewajiban terhadap “client”,

v Kewajiban terhadap teman sejawatnya,

v Kewajiban terhadap diri sendiri.

Agar setiap profesi kesehatan senantiasa berpegang teguh dan berperilaku sesuai dengan
kehormatan profesinya, maka sebelum menjalankan tugas profesinya diwajibkan mengangkat
sumpah, sebagai janji profesi baik untuk umum (kemanusiaan), untuk “client” atau pasien, teman
sejawat, dan untuk diri sendiri. Sumpah atau janji ini oleh masing-masing profesi telah dirumuskan
secara cermat. Di bawah ini disajikan contoh lafal sumpah atau janji enam profesi kesehatan di
Indonesia.

v Lafal Sumpah atau janji Dokter

Demi Allah saya bersumpah/berjanji :

§ Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.

§ Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.

§ Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan
martabat pekerjaan saya sebagai dokter.

§ Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.

§ Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan
saya sebagai dokter.

§ Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan
dengan perikemanusiaan, sekalipun di ancam.
§ Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.

§ Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan
keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam
menunaikan kewajiban terhadap penderita.

§ Saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan.

§ Saya akan memberikan kepada guru-guru dan rekan guru-guru saya penghormatan dan
pernyataan terima kasih yang selayaknya.

§ Saya akan mempelakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan.

§ Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

§ Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri
saya.

v Lafal Sumpah atau Janji Dokter Gigi

Demi Allah saya bersumpah/berjanji :

§ Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang
kesehatan.

§ Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran gigi.

§ Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan
saya sebagai dokter gigi.

§ Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran gigi saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan perikemanusiaan.

§ Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik, kepartaiaan, atau
kedudukan sosial.

§ Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsafan.

v Lafal Sumpah atau Janji Apoteker

Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa :

§ Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang
kefarmasiaan.

§ Saya akan merahasiakan sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya
sebagai apoteker.

§ Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuaan kefarmasiaan untuk sesuatu
yang bertentangan dengan hukum peikemanusiaan.
§ Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian.

§ Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan beikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau
kedudukan sosial.

§ Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsafan.

v Lafal Sumpah atau Janji Sarjana Kesehatan Masyarakat

Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa :

§ Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang
kesehatan masyarakat.

§ Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kesehatan masyarakat.

§ Saya akan merahasiakan sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan ssaya
sebagai sarjana kesehatan masyarakat.

§ Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kesehatan masyarakat untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.

§ Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau
kedudukan sosial.

§ Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsafan.

v Lafal Sumpah atau Janji Sarjana Keperawatan

Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa :

§ Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang
keperawatan.

§ Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan keperawatan.

§ Saya akan merahasiakan sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya
sebagai sarjana keperawatan.

§ Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan keperawatan untuk sesuatu
yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
§ Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau
kedudukan sosial.

§ Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsafan.

v Lafal Sumpah atau Janji Bidan

Demi Allah saya bersumpah/berjanji :

§ Bahwa saya sebagai bidan akan melaksanakan tugas saya sebaik-baiknya menurut undang-undang
yang berlaku dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.

§ Bahwa saya sebagai bidan dalam melaksanakan tugas atau dasar kemanusiaan, tidak akan
membedakan pangkat, kedudukan, keturunan, golongan, bangsa, dan agama.

§ Bahwa saya sebagai bidan, dalam melaksanakan tugas akan membina kerja sama, keutuhan dan
kesetiakawanan dengan teman sejawat.

§ Bahwa saya sebagai bidan tidak akan menceritakan kepada siapa pun segala rahasia yang
berhubungan dengan tugas saya kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan kepada saya.

Apabila diperhatikan isi lafal sumpah atau janji profesi atau petugas kesehatan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa sumpah atau janji tersebut mengandung beberapa prinsip bahwa
para profesi atau petugas kesehatan tersebut:

v Membaktikan hidup untuk kepentingan perikemanusiaan.

v Menjalankan tugas sesuai tradisi luhur jabatan atau pekerjaan.

v Berpegang teguh kepada prinsip-prinsip ilmiah dan moral, dan walaupun diancam tidak akan
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moral atau etik, hukum dan agama.

v Tidak deskriminatif dalam melayani masyarakat.

v Menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan, kecuali ada peratuan pengecualian.

2.1.4 Fungsi Kode Etik

Kode etik berfungsi sebagai berikut :

¨ Memberi panduan dalam membuat keputusan tentang masalah etik.

¨ Menghubungkan nilai atau norma yang dapat diterapkan dan dipertimbangkan dalam memberi
pelayanan.

¨ Merupakan cara untuk mengevaluasi diri.

¨ Menjadi landasan untuk memberi umpan balik bagi rekan sejawat.


¨ Menginformasikan kepada calon tenaga kesehatan tentang nilai dan standar profesi.

¨ Menginformasikan kepada profesi lain dan masyarakat tentang nilai moral.

2.1.5 Hukum Kesehatan

Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam
mengatur pergaulan hidup bermasyarakat. Pergaulan hidup atau hidup di masyarakat yang sudah
maju seperti sekarang ini tidak cukup hanya dengan adat kebiasaan yang turun-temurun seperti
sebelum lahirnya peradaban yang modern. Untuk itu, maka oleh kelompok masyarakat yang hidup
dalam suatu masyarakat atau negara diperlukan aturan-aturan yang secara tertulis, yang disebut
hukum. Meskipun demikian, tidak semua perilaku masyarakat atau hubungan antara satu dengan
yang lainnya juga masih perlu diatur oleh hukum ynag tidak tertulis yang disebut : etika, adat-
istiadat, tradisi, kepercayaan dan sebagainya.

Hukum tertulis, dikelompokkan menjadi dua, yakni :

ü Hukum perdata mengatur subjek dan antar subjek, anggota masyarakat yang satu dengan yang
lain dalam hubungan interrelasi. Hubungan interrelasi ini antara kedua belah pihak sama atau
sederajat atau mempunyai kedudukan sederajat. Misalnya, hubungan antara penjual dan pembeli,
hubungan antara penyewa dan yang menyewakan. Di samping itu hubungan dalam keluarga,
kesepakatan-kesepakatan dalam keluarga, termasuk perkawinan dan warisan juga dapat
digolongkan dalam hukum perdata.

ü Hukum pidana adalah mengatur hubungan antara subjek dan subjek dalam konteks hidup
bermasyarakat dalam suatu negara. Dalam hukum pidana selalu terkait antara seseorang yang
melanggar hukum dengan penguasa (dalam hal ini pemerintah) yang mempunyai kewenangan
menjatuhkan hukuman. Dalam hukum pidana atau peraturan mengenai hukuman, kedudukan
penguasa/pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sebagai subjek hukum.

Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini berarti hukum kesehatan adalah
aturan tertulis mengenai hubungan antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat
atau anggota masyarakat. Dengan sendirinya hukum kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban
masing-masing penyelenggaraan pelayanan dan penerima pelayanan atau masyarakat. Hukum
kesehatan relatif masih muda bila dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain. Perkembangan
hukum kesehatan baru dimulai pada tahun 1967, yakni dengan diselenggarakannya “World Congress
on Medical Law” di Belgia tahun 1967. “(Etika dan Hukum Kesehatan. Prof. Dr. Soekidjo
Notoatmodjo. Halaman 44).

Di Indonesia, perkembangan hukum kesehatan dimulai dengan terbentuknya kelompok studi


untuk Hukum Kedokteran FK-UI dan rumah Sakit Ciptomangunkusumo di Jakarta tahun 1982. Hal ini
berarti, hampir 15 tahun setelah diselenggarakan Kongres Hukum Kedokteran Dunia di Belgia.
Kelompok studi hukum kedokteran ini akhirnya pada tahun 1983 berkembang menjadi Perhimpunan
Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI). Pada kongres PERHUKI yang pertama di Jakarta, 14 April
1987. Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen atau kelompok-kelompok profesi
kesehatan yang saling berhubungan dengan yang lainnya, yakni : Hukum Kedokteran, Hukum
Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan
Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan, dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, meskipun Etika dan Hukum Kesehatan mempunyai perbedaan,
namun mempunyai banyak persamaannya, antara lain :

ü Etika dan hukum kesehatan sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup
bermasyarakat dalam bidang kesehatan.

ü Sebagai objeknya adalah sama yakni masyarakat baik yang sakit maupun yang tidak sakit (sehat).

ü Masing-masing mengatur kedua belah pihak antara hak dan kewajiban, baik pihak yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan maupun yang menerima pelayanan kesehatan agar tidak
saling merugikan.

ü Keduanya menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi, baik penyelenggara maupun


penerima pelayanan kesehatan.

ü Baik etika maupun hukum kesehatan merupakan hasil pemikiran dari para pakar serta
pengalaman para praktisi bidang kesehatan.

Sedangkan perbedaan antara etika kesehatan dan hukum kesehatan, antara lain :

ü Etika kesehatan hanya berlaku di lingkungan masing-masing profesi kesehatan, sedangkan


hukum kesehatan berlaku untuk umum.

ü Etika kesehatan disusun berdasarkan kesepakatan anggota masing-masing profesi, sedangkan


hukum kesehatan disusun oleh badan pemerintahan, baik legislatif (Undang-Undang = UU,
Peraturan Daerah = Perda), maupun oleh eksekutif (Peraturan Pemerintah/PP, Kepres. Kepmen, dan
sebagainya).

ü Etika kesehatan tidak semuanya tertulis, sedangkan hukum kesehatan tercantum atau tertulis
secara rinci dalam kitab undang-undang atau lembaran negara lainnya.

ü Sanksi terhadap pelanggaran etik kesehatan berupa tuntunan, biasanya dari organisasi profesi,
sedangkan sanksi pelanggaran hukum kesehatan adalah “tuntunan”, yang berujung pada pidana
atau hukuman.

ü Pelanggaran etik kesehatan diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Profesi dari masing-masing
organisasi profesi, sedangkan pelanggaran hukum kesehatan diselesaikan lewat pengadilan.

ü Penyelesaiaan pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, sedangkan untuk pelanggaran
hukum pembuktiannya memerlukan bukti fisik.

2.2 Malapraktik dan Hak-Hak Pasien

2.2.1 Malapraktik

Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang praktik tenaga
kesehatan baik itu dokter atau bidan yang melakukan pengguguran kandungan. Sering juga kita
dengar pasien yang menjadi cacat dan bahkan meninggal dunia setelah ditangani oleh dokter atau
petugas kesehatan yang lain. Kemudian polemik yang muncul adalah bahwa petugas kesehatn
melakukan malapraktik, melakukan pengguguran, menyebabkan pasien cacat seumur hidup dan
bahkan sampai meninggal dunia. Oleh sebab itu, fenomena ini juga menunjukkan adanya kesadaran
masyarakat, terutama pasien tentang hak-haknya, atau hak-hak pasien.
Di negara-negara maju fenomena malapraktik dan kesadaran akan hak-hak pasien ini
memang sudah terjadi puluhan tahun yang lampau. Di Negara-negara berkembang, terutama
Indonesia baru kurang lebih dua dasa yang lampau. Sesuai dengan ungkapan yang mengatakan lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali. Artinya, meskipun terlambat lebih baik kita sadarkan
kepada masyarakat tenttang masalah malapraktik ini, dan juga tentang hak-hak pasien terhadap
petugas kesehatan, terutama tenaga medis.

Malapraktik, berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak semestinya, sedangkan
praktik adalah proses penanganan kasus (pasien) dari seorang profesional yang sesuai dengan
prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya. Sehingga malapraktik dapat
diartikan melakukan tindakan atau praktik yang salah atau yang menyimpang dari ketentuan atau
prosedur yang baku (benar). Dalam bidang kesehatan, malapraktik adalah penyimpangan
penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk penyakit) olehh petugas kesehatan, sehingga
menyebabkan dampak buruk bagi penderita atau pasien

Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan meskipun telah dicabut
dengan keluarnya UU. No. 23 tahun 1992, dan diperbaharui lagi dengan UU. No. 36 Tahun 2009,
tetapi esensinya secara implisit masih dapat digunakan, yakni bahwa malapraktik terjadi apabila
petugas kesehatan :

o Melalaikan kewajibannya.

o Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan,
baik mengingat sumpah jabatan maupun profesinya. “ (Etika dan Hukum Kesehatan. Halaman 167).

Melakukan kelalaian bagi petugas kesehatan dalam melakukan tugas atau profesinya
adalah sebenarnya tidak melanggar hukum atau kejahatan, kalau kelalaian tersebut tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Dalam hukum,
prinsip ini disebut “De minimis noncurat lex” yang artinya hukum tidak mencampuri hal-hal yang
kecil atau “sepele”. Petugas yang melakukan kelalaian yang seperti ini, meskipun tidak melanggar
hukum, tetapi melanggar etika. Namun demikian, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan
sehingga menyebabkan orang lain menderita kerugian atau cedera, cacat, atau meninggal dunia
berarti juga melanggar hukum, dan juga melanggar etika. Namun demikian, apabila kelalaian
seorang tenaga kesehatan sehingga menyebabkan orang lain menderita kerugian, cedera atau cacat,
dan sebagainya bagi orang lain diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau “ culpa lata”, atau serius,
dan disebut tindakan kiminal. Kriteria yang digunakan apakah kelalaian berat adalah sebagai berikut
(Yusuf Hanafiah dan Amri Amir : 1998) :

o Bertentangan dengan hukum.

o Akibatnya dapat dibayangkan.

o Akibatnya dapat dihindarkan.

o Perbuatannya dapat dipersalahkan.

Apabila petugas kesehatan melanggar hukum kesehatan atau malapraktik, maka dapat dikenakan
sanksi. Untuk itu maka pihak masyarakat atau pasien dapat menuntut penggantian kerugian atas
kelalaian tersebut. Untuk itu, pihak penuntut atau masyarakat yang ingin menuntut ganti rugi harus
dapat membuktikan adanya empat unsur di bawah ini :

o Adanya sebuah kewajiban bagi petugas kesehatan terhadap penderita atau pasien, tetapi tidak
dilakukan.
o Petugas kesehatan telah melanggar standar pelayanan kesehatan (mediis) yang lazim digunakan.

o Penggugat atau penderita dan atau keluarganya telah menderita kerugian yang dapat
dimintakan ganti rugi.

o Secara jalas (fuktual) kerugian itu disebabkan oleh tindakan oleh tindakan di bawah standar atau
ketentuan profesi kesehatan/medis.

Malapraktik itu pasti melanggar hukum. Apabila petugas kesehatan tidak melakukan sesuatu yang
memenuhi unsur pidana, tetapi melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesi, maka
yang bersangkutan melakukan malapraktik etik. Untuk pelanggaran etik atau malapraktik etik yang
bersangkutan tidak dikenakan sanksi hukum atau pidana, tetapi sanksi etik saja. Dalam praktik
kedokteran sering pasien atau keluarga pasien sebagai penggugat tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian bagi tergugat atau petugas kesehatan. Tetapi dengan fakta yang ditemukan, sebenarnya
sudah merupakan alat bukti. Misalnya, timbulnya komplikasi pascaoperasi usus buntu terdapat
kapas yang tertinggal dalam perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pascabedah. Dalam
kasus ini tidak perlu dibuktikan adanya malapraktik dalam operasi atau bedah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kelalaian sebagai indikasi malapraktik dapat dibedakan menjadi dua,
yakni :

o Kelalaian dalam arti perdata, apabila kelalaian petugas kesehatan atau medis tidak menyebabkan
pelanggaran undang-undang. Artinya, akibat dari kelalaian tersebut tidak menyebabkan orang
cedera, cacat, atau kematian. Pelanggaran perdata jelas sanksinya adalah etik yang diatur oleh kode
etik profesi. Perlu dijelaskan di sini setiap profesi mempunyai Kode Etik Profesi. Profesi kesehatn
sendiri juga terdiri dari berbagai macam profesi, misalnya dokter, dokter gigi, bidan, perawat,
kesehatan masyarakat, sanitarian, dan sebagainya. Masing-masing profesi kesehatan ini mempunyai
perkumpulan atau ikatan profesi seperti IDI, PDGI, IBI, IAKMI, HAKLI, dan sebagainya. Para organisasi
profesi semestinya mempunyai “Kode Etik” Profesi masing-masing. Setiap ada pelanggaran Kode Etik
Profesi dari setiap anggota profesi, maka masing-masing organisasi profesi inilah yang akan
menberikan sanksinya.

o Kelalaian dalam arti pidana, apabila kelalaian petugas kesehatan atau medis tersebut
mengakibatkan pelanggaran hukum atau undang-undang. Artinya, akibat kelalaian petugas
kesehatan tersebut mengakibatkan orang lain atau pasien cedera, cacat, atau meninggal dunia.
Sanksi pelanggaran hukum jelas adalah pidana atau hukuman, yang ditentukan oleh pengadilan,
setelah melalui proses pengadilan yang terbuka.

2.2.2 Hak dan Kewajiban Pasien

Keluhan-keluhan masyarakat yang sering kita dengar tentang petugas kesehatan kita adalah positif
apabila kita lihat dari segi masyarakat sebagai “konsumen” pelayanan kesehatan. Karena dengan
makin banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan petugas kesehatan, merupakan umpan
balik bagi petugas kesehatan untuk meningkatkan pelayanannya. Di sisi yang lain makin banyaknya
keluhan masyarakat terhadap petugas kesehatan, dapat dimaknai makin meningkatnya pemahaman
masyarakat terhadap hak-hak pasien, yang selama ini diabaikan oleh petugas kesehatan terutama
dokter. Pemahaman masyarakat selama ini bahwa mereka adalah sebagai objek pelayanan
kesehatan, yang harus menerima pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Pemahaman
semacam ini bukan hanya pada masyarakat saja, tetapi juga pada petugas kesehatan. Masyarakat
atau pasien hanya mempunyai kewajiban, tidak mempunyai hak apa-apa terhadap petugas
kesehatan. Masyarakat atau pasien hanya mempunyai kewajiban, tidak mempunyai hak apa-apa
terhadap petugas kesehatan. Demikian pula petugas kesehatan, mereka hanya mempunyai hak dan
tidak mempunyai kewajiban apa pun terhadap masyarakat atau pasien.

Dalam perspektif etika dan hukum kesehatan kedua belah pihak, baik masyarakat atau pasien dan
petugas kesehatan, keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang saling diakui dan dihormati. Hak-
hak masyarakat atau pasien harus dihargai oleh setiap petugas kesehatan, dan sebaliknya hak-hak
petugas kesehatan juga harus diakui dan dihargai oleh masyarakat sebagai pengguna pelayanan.
Demikian juga, petugas kesehatan mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan untuk pasien atau
masyarakat, tetapi juga masyarakat atau pasien harus menjalankan kewajibannya untuk petugas
kesehatan yang melayaninya. Adapun hak-hak dan kewajiban petugas kesehatan yaitu :

Φ Hak-Hak Pasien

Hak-hak masyarakat sebagai sasaran pelayanan kesehatan atau lebih spesifiknya lagi penderita atau
pasien sebenarnya merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang universal itu. Dalam deklarasi
hak-hak asasi manusiia (declaration of human rights) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tahun
1984 telah dirumuskan bahwa :

· Setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal
dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam “persaudaraan”.

· Manusia dihormati sebagai manusia tanpa memperhatikan asal keturunannya.

· Setiap manusia tidak boleh diperlakukan secara kejam.

· Setiap orang diperlakukan sama di depan hukum dan tidak boleh dianggap bersalah kecuali
pengadilan telah menyalahkannya.

· Setiap orang berhak mendapat pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial.

· Setiap orang berhak memberikan pendapat.

· Setiap orang berhak mendapat pelayanan dan perawatan kesehatan bagi dirinya dan
keluarganya, juga jaminan ketika menganggur, sakit, cacat, menjadi janda, usia lanjut atau
kekurangan nafkah yang disebabkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

Hak-hak asasi tersebut pada praktiknya dapat dilanggar atau dibatasi sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan undang-undang atau hukum yang berlaku. Misalnya, persetujuan untuk menjadi
donor dalam tindakan transplantasi guna kepentingan kemanusiaan atau orang lain. Demikian pula
demi kepentingan undang-undang hak asasi juga bisa dilanggar, misalnya hak untuk menolak
imunisasi bagi anaknya. Tetapi karena demi kepentingan pencegahan penyakit menular, dan
pemerintah mengeluarkan peraturan atau undang-undang yang mewajibkan semua anak harus
diimunisasi, maka hak tersebut dapat dilanggar.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), telah juga dirumuskan ketentuan tentang hak-hak
pasien ini sebagai berikut :

· Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar.

· Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar profesi
kedokteran.

· Hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya.
· Hak menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari
kontak terapetik.

· Hak memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya.

· Hak menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran.

· Hak dirujuk kepada dokter spesialis, apabila diperlukan, dan dikembalikan kepada dokter yang
merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau tindak
lanjut.

· Hak kerahasiaan dan rekam medisnya atas hak pribadi.

· Hak memperoleh penjelasan tentang peraturan-peraturan rumah sakit.

· Hak berhubungan dengan keluarga, penasihat atau rohaniwan dan lain-lainnya yang diperlukan
selama perawatan.

· Hak memperoleh penjelasan tentang perincian biaay rawat inap, obat, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan Rontgen (X-Ray), Ultrasonografi (USG), CT-Scan, Magnetic Resonance
Immaing (MRI), dan sebagainya.

Uraian tersebut menjelaskan bahwa hak-hak memperoleh informasi atau penjelasan, merupakn hak
asasi pasien yang paling utama bahkan dalam tindakan-tindakan khusus diperlukan persetujuan
tindakan medis (inform concent) yang ditandatangani oleh pasien dan atau keluarga pasien.
Memang tidak boleh disangkal dalam hubungan dokter dengan pasien, maka dokter mempunyai
posisi yang dominan atau kuat dibanding dengan posisi pasien atau keluarga pasien. Hal ini dapat
dimaklumi karena tenaga kesehatan, utamanya dokterlah yang mempunyai ilmu pengetahuan dan
teknologi penyembuhan yang tinggi, sehingga secara psikologis menempatkan posisi yang lebih
tinggi ketimbang pasiennya. Namun demikian, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
pula masyarakat atau pasien terutama di kota-kota besar telah memperoleh akses yang tinggi
terhadap informasi-informasi tentang kesehatan, terutama kedokteran. Hal inilah yang
menyebabkan meningkatnya hak-hak pasien atau proses penyembuhan yang dilakukan.

Mengingat sangat heterogennya masyarakat, utamanya pasien, baik dilihat dari segi pendidikan,
sosial, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya maka petugas kesehatan atau dokter dalam
memenuhi hak-hak pasien atas hal-hal yang terkait dengan penyakit yang diderita. Dalam
memberikan informasi tentang kesehatan atau yang terkait dengan penyakit yang diderita pasien
dapat berpegang pada prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut

(Yusuf Hanafiah dan Ami Amir, 1998) :

· Informasi yang diberikan haruslah dikemas dalam baahsa yang sederhana, dan mudah dipahami
semua pasien.

· Pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan-tindakan yang akan
diambil, kemungkinan komplikasi dan resikonya.

· Untuk anak-anak dan pasien penyakit jiwa, maka informasi diberikn kepada orang tua atau
walinya.
Φ Kewajiban Pasien

Hak-hak pasien yang telah diuraikan sebelumnya adalah hal-hal yang bisa dituntut dari petugas
kesehatan atau dokter yang melayani. Sedangkan kewajiban pasien adalah hal-hal yang harus
diberikan pasien kepada petugas kesehatan atau dokter. Seorang petugas kesehatan atau dokter
tidak seharusnya mengutamakan kewajiban pasien terlebih dahulu sebelum memenuhi hak-hak
pasien. Secara tegas di sini petugas kesehatan termasuk dokter tugas utamanya adalah melayani
masyarakat atau pasien. Tugas seorang pelayan hendaknya mendahulukan kepentingan atau hak
yang dilayani yakni pasien.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa hak-hak masyarakat atau pasien harus diimbangi dengan
kewajiban-kewajiban mereka terhadap petugas pelayanan kesehatan atau dokter. Maka masyarakat
atau pasien yang baik pasti akan melakukan atau memenuhi kewajibannya setelah hak-haknya
dipenuhi oleh petugas kesehatan atau dokter yang melayaninya. Secara garis besar kewajiban-
kewajiban masyarakat atau pasien antar lain sebagai berikut :

j Memeriksakan diri sedini mungkin pada petugas kesehatan atau dokter.

Agar masyarakat mempunyai kebiasan memeriksakan kesehatan diri (check up) secara rutin, maka
kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan informasi kesehatan. Masyarakat mempunyai hak
untuk menerima informasi tentang kesehatan, dan hal ini merupakan salah satu hak asasi menusia
yang dikeluarkan oleh PBB.

j Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya.

Dalam rangka memperoleh pengobatan yang tepat dari petugas kesehaatn, seorang pasien
berkewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya kepada petugas
kesehatan yang menanganinya.

j Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter

Bagi pasien yang sudah menyerahkan proses penyembuhan kepada petugas kesehatan,
berkewajiban untuk mematuhi segala petunjuk dan perintah petugas kesehatan atau dokter
tersebut.

j Menandatangani surat-surat persetujuan tindakan (inform concent).

Apabila dalam proses penyembuhan, petugas kesehaatn atau dokter harus melakukan tindakan
invasi atau operasi terhadap pasien, maka pasien berkewajiban menandatangani persetujuan
setelah penjelasan (inform concent) yang telah disiapkan dokter. Apabila pasien dalam keadaan
tidak sadar, maka inform concent tersebut dapat diberikan oleh anggota keluarganya.

j Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.

Keyakinan kepada petugas kesehatan atau dokter dan keyakinan akan sembuh adalah merupakan
salah satu kewajiban pasien.

j Melunasi biaya perawatan, biaya pemeriksaan dan pengobatan serta honorrarium dokter.

Kewajiban harus dipenuhi, karena hak-hak pasien sudah diterimanya meskipun mungkin tidak
sepenuhnya.
2.3 Etika dan Hukum dalam Kesehatan Reproduksi

Di dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, kesehatan reproduksi memperoleh


perhatian khusus. Hal ini wajar bahwa masalah kesehatan reproduksi di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia menjadi masalahkesehatan yang utama. Akibat rendahnya kesehatan
reproduksi, terutama pada wanita, maka akan berdampak terhadap tingginya angka kematian bayi
dan kematian ibu karena melahirkan. Padahal kedua indikator tersebut merupakan bagian
terpenting dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals).

Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak
semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Kesehatan reproduksi mencakup kesehatan wanita (UU.
No. 36 Tahun 2009 Pasal 70) :

j Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan.

j Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual, dan

j Kesahatan sistem reproduksi.

Hak-hak produksi adalah merupakan hak-hak asasi manusia, dan dijamin oleh undang-undang. Hak-
hak reproduksi tersebut mencakup :

Ø Menjalin kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari
paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.

Ø Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan
yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia dengan norma
agama.

Ø Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak
bertentangan dengan norma agama.

Ø Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang dan dapat
dipertanggung jawabkan.

Untuk menjamin hak-hak reproduksi tersebut pemerintah membuat ketentuan sebagai berikut : (UU
No. 36 Tahun 2009)

v Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.

v Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan
memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.

v Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai
agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari berbagai aspek tentang kesehaatn reproduksi, tiga hal yang menjadi masalah yang sering terkait
dengan etika dan hukum kesehatan, yakni : aborsi.

2.3.1 Aborsi

Aborsi adalah keluarnya atau dikeluarkannya hasil konsepsi dari kandungan seorang ibu
sebelum waktunya. Aborsi atau abortus dapat terjadi secara spontan dan aborsi buatan. Aborsi
secara spontan merupakan mekanisme alamiah keluarnya hasil konsepsi yang abnormal
(keguguran). Sedangkan abortus buatan atau juga disebut terminasi kehamilan, yang mempunyai
dua macam, yakni:

2.3.1.1 Bersifat Legal

Aborsi legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten
berdasarkan indikasi medis, dan dengan persetujuan ibu yang hamil dan atau suami.

Aborsi legal sering juga disebut aborsi buatan atau pengguguran dengan indikasi medis.
Meskipun demikian, tidak setiap tindakan aborsi yang sudah mempunyai indikasi medis ini dapat
dilakukan aborsi buatan. Persyaratan lain yang harus dipenuhi sebuah aborsi adalah :

¨ Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan teraputik.

¨ Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompeten.

¨ Dilakukan di tempat pelayanan kesehatan yang diakui oleh suatu otoritas yang sah.

2.3.1.2 Bersifat Ilegal

Aborsi ilegal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak kompeten,
melalui cara-cara diluar medis (pijat, jamu, atau ramu-ramuan), dengan atau tanpa persetujuan ibu
hamil dan atau suaminya. Aborsi ilegal sering juga dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten,
tetapi tidak mempunyai indikasi medis.

§ Dasar Hukum Aborsi

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 15 : “Dalam keadaan darurat sebagai
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis
tertentu. (etika dan hukum kesehatan. Halaman 136)

Kemudian dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Pasal mengenai aborsi ini lebih
dipertegas lagi. Dalam pasal 75 Ayat 1 dinyatakan dengan tegas bahwa “Setiap orang dilarang
melakukan aborsi”. (halaman 136)

Selanjutnya dijelaskanbahwa tindakan medis tertentu atau aborsi yang dimaksud hanya dapat
dilakukan :

o Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.

o Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan.

o Disetujui oleh ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.

o Pada sarana kesehatan tertentu.


Ketentuan tentang larangan aborsi ini dikecualikan berdasarkan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009
Pasal 75 Ayat 2, berdasarkan :

ü Indikasi kegawat daruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan atau janin, yang menderita penyakit ggenetik berat dan atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

ü Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Sebagai penjelasan tentang hal ini bahwa tindakan aborsi ini hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan atau penasihat pratindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Apabila kekucualian tindakan aborsi ini terpaksa dilakukan, maka beberapa persyaratan lain harus
dipenuhi, antara lain (Pasal 76 UU No. 36 Tahun 2009) :

v Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT),
kecuali dalam hal darurat.

v Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan, yakni sertifikat yang
ditetapkan oleh Menteri.

v Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.

v Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.

v Penyedia layanan keehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan.

§ Sanksi Pidana

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000
(satu milyar rupiah).
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Etika profesi kesehatan adalah norma-norma atau perilaku bertindak bagi petugas atau profesi
kesehatan dalam melayani kesehatan masyarakat.

Kode etik profesi adalah suatu aturan tertulis tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh
semua anggota profesi dalam menjalankan pelayanannya terhadap ”client” atau masyarakat.kode
etik pada umumnya disusun oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Kode etik tidak mengatur
“hak-hak” anggota, tetapi hanya “kewajiban-kewajiban” anggota.

Hukum kesehatan adalah semua ketentuaan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Oleh sebab itu, hukum kesehatan
mengatur dua kepentingan yang berbeda, yakni :

· Penerima pelayanan, yang harus diatur hak dan kewajiban, baik perorangan, kelompok atau
masyarakat.

· Penyelenggara pelayanan : organisasi dan sarana-prasarana pelayanan, yang juga harus diatur
hak dan kewajibannya.

Apabila petugas kesehatan melalaikan kewajiban yang berarti tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan, dan petugas kesehatan melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh
dilakukan dapat dikatakan “malapraktik”.

Aborsi legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan
indikasi medis, dan dengan persetujuan ibu hamil dan atau suami.

Aborsi ilegal sering dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi
medis. Petugas kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, berarti telah melakukan malapraktik, melanggar lafal sumpah atau janji profesinya,
melanggar kode etik profesi yang berarti akan mendapat sanksi dari organisasi kesehatan, melanggar
hukum kesehatan yang dapat dipidana dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 9satu milyar rupiah).

3.2 Saran

Dalam profesi apa pun selalu ada etika dan hukumnya. Bagi yang melanggar etika akan
dikenakan sanksi moral dan bagi yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi hukum. Oleh sebab
itu, sepatutnyalah petugas kesehatan untuk memahami etika dan hukum kesehatan. Diharapkan
juga semua petugas kesehatan senantiasa berpegang teguh dan berperilaku sesuai dengan
kehormatan profesinya.

Daftar Pustaka

Bertens, K. (2001). Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.


Eko, Nurul. Yanti. (2010). Etika Profesi dan Hukum Kebidanan. Yogyakarta : Pustaka Rihama.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Siswanto, Hadi. (2009). Etika Profesi. Yogyakarta : Pustaka Rihama.

Anda mungkin juga menyukai